Stockholm, 14 Nopember 1999

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.

DIR, MUSYAWARAH, TRIAS POLITIKA DAN ACEH
Ahmad Sudirman
XaarJet Stockholm - SWEDIA.

 

Jawaban untuk DR HJ Juswan Effendi (Malaysia).

Dengan ber-subject-kan "Pandangan saja", saudara DR HJ Juswan Effendi yang sekarang berdomisili di Malaysia melayangkan hasil pemikiran dan pertanyaannya langsung kepada ahmad@dataphone.se hari ini Minggu, 14 Nopember 1999.

PANDANGAN JUSWAN EFFENDI

Bismillaahirrahmaanirrahim.
Assalamu'alaikum wr. wbr

Tuan Achmad Sudirman yang saya hormati.
Saya adalah orang Indonesia yang berhijrah sementara ke Malaysia mencari nafkah kerana tidak tahan ulah Bos2 DEpKes yang memfasilitasi adanya salah guna kuasa untuk memperoleh kekayaan dari uang rakyat dan sampai sekarangpun keadaannya masih begitu saja walaupun kepalanya sudah bertukar 4 kali selepas saya bekerja di Malaysia. Adapun pertanyaan saya ialah berkisar tentang pahaman Tuan (Alquran ?) tentang daulah Panca Sila

1. Saya setuju dengan pengambilan keputusan suatu negara berdasarkan "musyawarah dan mufakat". Tetapi bagaimana bila musyawarah dan mufakat itu tidak berhasil dalam mengambil suatu keputusan ? Apakah tidak lebih baik kemudian diambil secara VOTING

2. Apakah trias politica baik untuk Indonesia sehingga pihak Executive tidak mempergunakan kuasa untuk mempengaruhi keadilan yang sangat didambakan oleh masyarakat kecil Indonesia  seperti mana yang telah berlaku selama ini ?

3. Apakah untuk Aceh sebaiknya Pemerintah pusat mengambil keputusan secara kompromi/ditengah-tengah. Mula-mula dibentuk suatu negara federasi dengan RI dan kemudian dengan perlakuan yang adil dari Pemerintah Pusat maka diharapkan Rakyat Aceh kemudian tetap memilih bergabung dengan Indonesia (berkat kebaikan yang diperdapat). Bila dirasakan Pemerintah pusat tidak adil ,mereka berhak melakukan referendum untuk memilih merdeka atau tetap bergabung.Saya rasa inilah cara musyawarah dan mufakat dan menghindarkan pertumpahan darah sesama muslim. (sebab darah orang muslim diharamkan bagi muslim lainnya).

Wassalam. (DR HJ Juswan Effendi, 14 Nopember 1999).

PEMBUATAN UU DALAM DIR BUKAN MELALUI VOTING

Wa'alaikum salam, saudara Juswan Effendi.

Dalam membuat dan menetapkan aturan-aturan, hukum-hukum, undang-undang yang akan diterapkan di Daulah Islam Rasulullah harus melalui musyawarah yang didasarkan pada Al Qur'an dan Hadist.

Tentu saja kadang-kadang tidak dijumpai nas yang jelas, tetapi pada suatu masa telah ada kesepakatan (ijma) mujtahidin atas hukum-hukumnya, maka ijma mujtahidin itulah yang dipakai.

Kemudian kalau memang tidak dijumpai nas yang jelas dan tidak dijumpai kesepakatan (ijma) mujtahidin, maka dalam hal ini dilakukan ijtihad untuk mencari hukum dengan membandingkan dan meneliti ayat-ayat dan hadist-hadist yang umum serta menyesuaikan dan mempertimbangkan dengan perkara yang sedang dibicarakan
kemudian diqiaskan dengan hukum yang sudah ada yang berdekatan dengan perkara yang sedang dibicarakan itu.

PERBEDAAN ANTARA MEMBUAT DAN MENERAPKAN UU DALAM DIR

Sekarang, harus dibedakan antara membuat dan menetapkan aturan-aturan, hukum-hukum, undang-undang dengan  penerapan, pelaksanaan, administrasi hukum (aturan-aturan, undang-undang).

Contoh klasik musyawarah dalam penerapan, pelaksanaan, administrasi hukum yang pernah dilakukan Rasulullah yaitu, dimana Rasulullah pada tahun ke tiga hijrah, ketika kaum kaffir Mekkah akan menyerang Madinah, membuat musyawarah dengan para sahabatnya untuk mengambil keputusan dalam menghadapi serangan kaum kaffir Mekkah itu. Dimana dalam musyawarah itu sebagian berpendapat bahwa sebaiknya mempertahankan Yatsrib dan berperang dari dalam dan pendapat ini lebih disenangi Rasulullah, sedangkan sebagian besar atau mayoritas berpendapat untuk pergi keluar dan berperang di medan terbuka. Karena dengan adanya desakan dan keinginan mayoritas dari para sahabatnya, maka Rasulullah memutuskan untuk mengikuti keinginan mereka yang mayoritas itu (Ibnu Sa'd, Ath-Thabaqat al-Kubra, Beirut, 1960).

Nah kita lihat dan kaji, hasil keputusan mayoritas yang diambil dalam musyawarah Rasulullah dengan para sahabatnya ketika menentukan strategi dan taktik menghadapi Musuh Kaum Kafir Quraish Mekkah dalam perang Uhud pada tahun ke tiga hijrah itu semuanya adalah menyangkut masalah penerapan, pelaksanaan, administrasi hukum dari hukum Jihad yang telah diperintahkan Allah yaitu "Dan perangilah dijalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas" (Al Baqarah: 190).

Jadi dari hasil musyawarah tersebut menggambarkan pengambilan suara terbanyak atau mayoritas yang menyangkut masalah taktik dan strategi perang (yaitu penerapan atau pelaksanaan dari hukum jihad yang diperintahkan dalam surat Al Baqarah : 190) jadi bukan pembuatan dan pemutusan hukum jihad kuffur itu sendiri.

Walaupun pendapat mayoritas dari musyawarah tersebut bertentangan dengan pendapat Rasulullah. Kemudian bagaimana hasilnya?. Ternyata hasilnya, konsepsi taktik dan strategi perang Uhud ini tidak memuaskan, sehingga mengakibatkan kekalahan dari pihak kaum Muslimin. Ini sebagian besar disebabkan oleh kesalahan dalam menentukan taktik dan strategi dari sebagian besar para sahabat yang bertentangan dengan pendapat Rasulullah sendiri.

Coba kita bayangkan, seandainya keputusan mayoritas ini adalah untuk membuat dan menetapkan peraturan, hukum dan undang undang dalam Daulah Islam Rasulullah yang mengikat seluruh rakyat Daulah Islam Rasulullah, jelas akibatnya akan menghancurkan Daulah Islam Rasulullah.

Kemudian saudara Juswan Effendi (kemungkinan) akan mempertahankannya dengan mengatakan, itu mudah saja pemecahannya, kita rubah dan luruskan kembali keputusan itu melalui suara mayoritas.

Nah, kalau caranya demikian, saudara Juswan Effendi telah masuk kedalam lingkaran ajaran sistem demokrasi barat yang mendasarkan kepada pengambilan suara terbanyak atau suara mayoritas dalam membuat dan menetapkan aturan-aturan, hukum-hukum dan undang undang.

Dimana saudara Juswan Effendi telah dibutakan dan dibingungkan oleh ajaran sistem demokrasi barat dalam hal pengambilan suara terbanyak atau mayoritas dalam membuat dan menetapkan aturan-aturan, hukum-hukum, undang undang dengan penerapan, pelaksanaan, administrasinya.

KHALIFAH MENENTUKAN KEPUTUSAN MENURUT IJTIHADNYA APABILA MENGHADAPI JALAN BUNTU

Sekarang kembali kepada membuat dan menetapkan peraturan, hukum dan undang undang dalam Daulah Islam Rasulullah. Apabila timbul jalan buntu dalam pembuatan dan penetapan peraturan, hukum dan undang undang, maka sebagaimana yang difirmankan Allah "Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An Nisaa',4:59).

Nah berdasarkan surat An Nisaa',4: 59 diatas menggambarkan salah satu peranan Pimpinan Daulah Islam Rasulullah atau Khalifah di Khilafah Islam sebagai kepala pimpinan (yang harus ditaati) diatas ulil amri dan semua rakyat yaitu  menentukan dan mengambil suatu keputusan untuk menetapkan peraturan, hukum dan undang
undang menurut ijtihadnya apabila timbul jalan buntu dalam pembuatan dan penetapan peraturan, hukum dan undang undang.

Jadi apabila sampai ke jalan buntu dalam mencapai keputusan, maka penyelesaiannya bukan melalui pemungutan suara, tetapi diserahkan kepada Khalifah untuk memutuskan pendapat mana yang akan dipakai dan ditetapkan yang nantinya akan diterapkan di Khilafah Islam untuk ditaati oleh seluruh rakyat termasuk Khalifah dan seluruh penguasa di Khilafah Islam.

BEDANYA SISTEM TRIAS POLITIKA DENGAN DIR

Sekarang harus dibedakan dahulu antara sistem trias politika yang dianut oleh hampir semua negara-negara yang ada didunia sekarang dengan sistem Khilafah Islam yang telah dibangun oleh Rasulullah SAW yang diteruskan dan dikembangkan oleh Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, Khalifah Usman bin Affan, Khalifah Ali bin Abi Thalib (11 H-40 H, 632 M-661 M). Yang mendasari Negara Islam atau Khilafah islam ini adalah akidah Islam, dimana segala sesuatu yang menyangkut masalah struktur, sistim, dan pertanggungjawaban masalah kenegaraan
bersumber dari aqidah Islam.

Dalam Khilafah Islam tidak dikenal nama lembaga legislatif pembuat undang undang dengan melalui pengambilan suara mayoritas seperti yang ada dalam sistem trias politika. Karena dalam Khilafah Islam adalah Allah yang berdaulat. Artinya segala sesuatu harus didasarkan kepada hukum-hukum Allah (Al Qur'an) dan Rasul-Nya
(Sunnah).

Jadi, Khalifah sebagai kepala tertinggi dalam Khilafah Islam hanyalah mengangkat dan menerapkan serta melaksanakan hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah. Bukan pembuat hukum. Sedangkan Majlis Syuro yang merupakan Ulil Amri yang anggotanya dipilih oleh rakyat bukan sebagai lembaga tertinggi pembuat undang undang atau hukum, seperti yang terdapat dalam sistem trias politika, melainkan suatu badan musyawarah tempat membicarakan segala urusan baik yang disampaikan oleh rakyat maupun yang timbul dari para anggota majlis syuro yang nantinya dikonsultasikan dengan Khalifah.

Apabila urusan-urusan yang disampaikan oleh rakyat atau yang timbul dari para anggota Majlis Syuro tidak ada nas-nya (dasar Al Qur'an dan hadist) yang kuat, maka para mujtahid dan para akhli dalam bidang masing-masing dari anggota Majlis Syuro melakukan ijtihad untuk mencari hukum dengan membandingkan dan meneliti ayat-ayat dan hadist-hadist yang umum serta menyesuaikan dan mempertimbangkan dengan perkara yang sedang dibicarakan kemudian diqiaskan dengan hukum yang sudah ada yang berdekatan dengan perkara yang sedang dibicarakan itu.

Apabila dalam melakukan ijtihad ini timbul beberapa pendapat yang berbeda, dimana masing-masingnya memiliki ayat-ayat dan hadist-hadist yang umum yang kuat, maka jalan keluarnya adalah Khalifah di Khilafah Islam sebagai kepala pimpinan (yang harus ditaati) diatas ulil amri dan semua rakyat yang akan menentukan dan mengambil suatu keputusan dari beberapa pendapat yang berbeda dari para anggota Majlis Syuro untuk diputuskan berdasarkan keyakinannya dengan ditunjang oleh dasar nas yang kuat.

Nah, tentu saja akan timbul suatu pemikiran dari orang-orang yang mendukung sistem trias politika, yaitu karena kedaulatan rakyat telah diganti oleh kedaulatan Allah dimana lembaga legislatif telah hilang sehingga rakyat melalui wakil-waklinya yang duduk dilembaga tersebut tidak lagi mempunyai hak suara untuk memilih dan menetapkan suatu hukum, melainkan didasarkan kepada Al Qur'an dan Hadist dan apabila timbul perbedaan pendapat dari para anggota penyelesaiannya diserahkan kepada Khalifah, maka menjadilah Khalifah seorang diktator.

Apabila timbul pemikiran yang menganggap bahwa Khalifah nantinya akan menjadi seorang diktator, maka anggapan tersebut adalah salah, mengapa? karena Khalifah bukanlah pembuat undang undang atau hukum melainkan hanya sebagai pengangkat dan pelaksana hukum-hukum yang telah digariskan oleh Allah (Al Qur'an) dan Rasul-nya (sunnah). Kemudian apabila perbuatan Khalifah telah menyimpang dari apa yang telah digariskan oleh Allah (Al Qur'an) dan Rasul-nya (sunnah), maka dengan segera harus diturunkan dari kedudukannya sebagai Khalifah.

Jadi perbedaannya antara sistem trias politika dengan sistem DIR adalah lembaga legislatif pembuat undang undang dengan melalui pengambilan suara mayoritas seperti yang ada dalam sistem trias politika tidak ada dalam sistem DIR. Karena dalam DIR adalah Allah yang berdaulat, artinya segala sesuatu harus didasarkan kepada hukum-hukum Allah (Al Qur'an) dan Rasul-Nya (Sunnah), dimana Majlis Syuro yang merupakan Ulil Amri yang anggotanya dipilih oleh rakyat adalah suatu badan musyawarah tempat membicarakan segala urusan baik yang disampaikan oleh rakyat maupun yang timbul dari para anggota majlis syuro yang nantinya dikonsultasikan dengan Khalifah.

SEDIKIT MENYINGGUNG ACEH

Seperti yang pernah saya nyatakan dalam tulisan-tulisan yang lalu, bahwa saya tidak ada hubungannya dengan GAM/AGAM, tetapi sebagai seorang muslim, yang melihat muslim lainnya yang tinggal dan hidup di Aceh sedang berjuang menurut keyakinannya (terlepas dari apakah ingin membangun Aceh sebagai negara Islam atau negara sekuler), maka saya ingin membantu memecahkan krisis Aceh sesuai dengan kemampuan yang saya miliki dilihat dari sudut pandang kenegaraan DIR sebagai yang telah dicontohkan Rasulullah, jadi bukan mau ikut campur dalam urusan intern Aceh.

Nah sekarang, saudara Juswana Effendi mengajukan usul agar dibentuk "negara federasi dengan RI dan kemudian dengan perlakuan yang adil dari Pemerintah Pusat maka diharapkan Rakyat Aceh kemudian tetap memilih bergabung dengan Indonesia (berkat kebaikan yang diperdapat). Bila dirasakan Pemerintah pusat tidak adil, mereka berhak melakukan referendum untuk memilih merdeka atau tetap bergabung.Saya rasa inilah cara musyawarah dan mufakat dan menghindarkan pertumpahan darah sesama muslim. (sebab darah orang muslim diharamkan bagi muslim lainnya)". (Juswana Effendi, 14 Nopermber 1999).

Memang idea itu baik,  karena idea negara federasi ini pernah dilambungkan juga oleh Amien Rais sebelum terpilih menjadi ketua MPR.

Tetapi menurut apa yang ada dalam pikiran saya, seperti pernah saya usulkan kepada Penguasa Daulah Pancasila Gus Dur-Mega dalam tulisan yang lalu, yang terpenting adalah apakah dengan adanya perubahan sistem dan struktur negara memberikan jaminan apa yang dikehendaki rakyat Aceh (kenapa saya katakan rakyat Aceh? karena yang sedang dihadapi sekarang krisis Aceh) akan menimbulkan kerelaan dari rakyat Aceh?.

Karena kalau perubahan sistem dan struktur negara dari sistem pancasila dengan struktur kesatuan yang berbentuk republik kepada sistem pancasila dengan struktur yang berbentuk federasi tanpa adanya perubahan sistem ideologi yang sesuai dengan rakyat Aceh, maka perubahan tersebut hanyalah perubahan yang sebagian.

Sebelum melangkah jauh dengan pelaksanaan konsepsi negara federasi ini, khusus dalam menyelesaikan Aceh ini, saya telah mengajukan usul, baik kepada pihak pemerintah Gus Dur maupun kepada pihak rakyat Aceh yaitu,

10 USUL UNTUK PIHAK PEMERINTAH GUS DUR

1. Presiden Gus Dur harus merubah taktik strategi kekerasan senjata dengan taktik strategi dialog dan perdamaian yang adil dalam menghadapi rakyat Aceh.
2. Presiden Gus Dur harus merubah sikap kebijaksaan politik militernya dengan cara menarik kekuatan TNI yang sekarang ada di Aceh dan diserahkan serta memberikan kepercayaan kepada pihak keamanan daerah Propinsi setempat untuk mengatur keamanan di daerahnya.
3. Presiden Gus Dur harus siap untuk mengusut dan mengadili mereka yang terlibat dalam berbagai tindakan kejahatan dan pembunuhan rakyat Aceh, terutama yang dilakukan oleh pihak militer.
4. Presiden Gus Dur harus mendekati dari segi aqidah Islam dan ukhuwah Islam, karena hampir semua rakyat Aceh adalah muslim.
5. Presiden Gus Dur harus memberikan kebebasan kepada rakyat Aceh untuk menerapkan, melaksanakan dan mengawasi hukum Islam tanpa dipengaruhi oleh hukum-hukum Pancasila.
6. Presiden Gus Dur harus siap dan mau berunding dan berdialog dengan semua pihak dan golongan yang terlibatdalam krisis Aceh.
7. Presiden Gus Dur harus mengerti dan memahami keinginan seluruh rakyat Aceh. Dimana dari berbagai macam keinginan yang timbul harus diperhatikan keinginan mana yang dikehendaki oleh sebagian besar rakyat Aceh.
8. Presiden Gus Dur jangan sekali-kali menggunakan politik pecah belah rakyat Aceh.
9. Presiden Gus Dur harus mau mengalah dengan memberikan kekuasaan otonomi yang luas kepada pemerintah istimewa otonomi Aceh untuk mengelola, mengatur dan menetapkan anggaran biaya, ekonomi dan keuangan daerahnya.
10. Presiden Gus Dur jangan sekali-kali menjalankan politik dialog dan perdamaian dengan tujuan untuk menipu rakyat Aceh.

10 USUL UNTUK PIHAK RAKYAT ACEH

1. Siap untuk melakukan dialog dengan cara damai dan adil dengan pihak Pemerintah Gus Dur.
2. Siap meninggalkan cara kekerasan senjata, terutama dari pihak GAM/AGAM.
3. Siap membangun kekuatan bersama dari seluruh kekuatan komponen rakyat Aceh yang dipimpin oleh gabungan utusan-utusan yang terlibat dalam perjuangan Aceh.
4. Siap menyatukan satu arah perjuangan yang dilandasi oleh aqidah Islam untuk tegaknya syariah Islam dan pemerintahan yang berlandaskan aqidah Islam.
5. Siap mengadakan kerjasama dengan pihak kaum muslimin yang di luar Aceh untuk bersama-sama menggalang persatuan.
6. Siap untuk membangun dan menegakkan aqidah Islam bukan hanya di Aceh tetapi juga untuk seluruh wilayah Indonesia.
7. Siap menolong dengan materil dan moril rakyat yang sekarang sedang menderita.
8. Siap membuang keinginan dan ambisi untuk mendapatkan kekuasaan.
9. Siap menyediakan tenaga-tenaga yang terlatih dan profesional untuk mengatur roda pemerintahan Aceh.
10. Siap membangun pemerintahan yang bertujuan untuk beribadah, bertaqwa dan mencari ridha Allah swt.

Nah, itulah sepuluh langkah dan kebijaksaan politik yang untuk sementara saya usulkan kepada Presiden Gus Dur dan sepuluh langkah kebijaksanaan politik untuk rakyat Aceh dalam rangka menyelesaikan krisis Aceh sekarang ini.

Inilah sedikit jawaban saya untuk DR HJ Juswan Effendi (Malaysia).

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se