Stockholm, 28 Juni 1999

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.

NASIONALISME DITINJAU DARI UUM.
Ahmad Sudirman
Modular Ink Technology Stockholm - SWEDIA.

 

Jawaban untuk saudara Ujang Abdurrochman (Bandung, Indonesia).

Saudara Ujang Abdurrochman pada tanggal 26 Juni 1999 telah menyampaikan tanggapannya terhadap tulisan "[990626] Majlis Syuro bukan lembaga tertinggi pembuat hukum". Dimana tanggapan saudara Ujang Abdurrochman adalah,

"Terus terang saja, semakin hari saya mencari tahu tentang yang namanya Khilafah Islamiyah ataupun Darul Islam ataupun Daulah Islam, baik itu tentang landasan hukum wajibnya maupun ciri-cirinya, saya menjadi sedikit pesimis kalau berdirinya suatu negara dengan berdasarkan Islam dalam asas maupun dasarnya (negara Islam paripurna) tidak akan dapat dicapai dalam waktu dekat ini (setidaknya dalam 10 tahun ke depan). Terlebih lagi kalau melaksanakan tariqat sesuai dengan pendapat Anda (Anda pun telah mengakuinya pada artikel Anda).

Salah satu hal yang mendasari pesimistis saya ini, karena ternyata tidak sedikit bangsa yang telah menclaim dirinya sebagai negara Islam. Jadi bukan NII saja yang telah menproklamasikan berdirinya negara Islam. Sementara itu mereka tidak saling mengakui bahwa ada bangsa lain yang juga telah mendirikan negara Islam. Bukti yang paling jelas adalah tidak terjadinya perpindahan umat Islam dari suatu negara ke negara lain yang telah diakui (oleh bangsa lain di dunia) sebagai negara Islam.

Terlepas dari keseuaian setiap negara tersebut terhadap hukum dan ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah dari hadits shahih, adalah sudah selayaknya bila kita saling mendukung perjuangan masing-masing. Tentu saja dengan tidak melupakan saling menasehati dalam kebenaran dan sabar, bukannya membanggakan diri sebagai orang yang paling benar. Dengan harapan, pada gilirannya nanti tercipta suatu pemikiran yang sejalan dan kita semua dapat berjuang dengan lebih teratur menurut shaf-shaf yang terkoordinasi dengan baik.

Saya sangat sependapat dengan cara Anda menanggapi keberadaan NII dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dengan melihat mereka dari kaca mata yang jelas, Piagam Madinah sebagai Sunnah Rasulullah saw. Ada baiknya Anda juga membahas negara-negara lain yang telah menclaim dirinya sebagai Negara Islam. Dua kekurangan NII yang telah Anda bahas, (1) tidak adanya perlindungan terhadap warga negara asing, dan (2) cara penentuan keputusan di Majelis Syura yang berdasarkan suara terbanyak; kiranya perlu ditambahkan satu hal lagi. Satu hal ini pula yang menurut saya juga merupakan kekurangan dari negara-negara lain yang telah menclaim sebagai negara Islam. Satu hal yang saya maksudkan adalah NASIONALISME.

Qanun Asasi NII masih Nasionalistic, hal ini terlihat pada Bab I pasal 1 ayat 1 dan Bab X pasal 27 ayat 1, sementara kita ketahui bahwa Islam itu tidak mengenal nasionalitas. Ini pula salah satu alasan tidak diakuinya NII oleh "harakah-harakah impor" yang masuk ke Indonesia, sehigga tidak jarang mereka sering berbeda pendapat yang pada gilirannya sering terjadi gap satu sama lain (walaupun tidak secara terbuka).

Kiranya itu subject yang ingin saya diskusikan dengan Anda. Saya mengharapkan tanggapan Anda atas subject ini. Terima kasih atas perhatian Anda".

Baiklah, saudara Ujang Abdurrochman.

Nasionalisme atau suatu paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri telah banyak dianut oleh hampir semua negara yang berjuang membebaskan dari belenggu negara penjajah pada tahun tiga puluhan, empat puluhan dan lima puluhan, dari mulai negara-negara di Afrika sampai Asia. Nasionalisme adalah suatu paham untuk dipakai menyatukan rakyat dalam suatu golongan dan bangsa untuk lepas dari ikatan penjajah. Contohnya rakyat Indonesia yang berjuang dengan menggunakan tali pengikat paham nasionalisme untuk membebaskan bangsa dari cengkraman penjajah Belanda selama lebih dari tiga ratus lima puluh tahun dan penjajah Jepang selama tiga tahun lebih.

Ternyata nasionalisme ini tidak hanya dipakai sebagai dasar perjuangan semasa pembebasan rakyat dan negara dari penjajah, melainkan juga diteruskan dan dikembangkan oleh kelompok atau golongan dalam bentuk ideologi partai dan organisasi masyarakat sampai sekarang. Kalau kita lihat di Indonesia beberapa partai politik yang berasas pancasila dengan lebih banyak menampilkan paham nasionalisme, diantaranya Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (PND), Partai Kristen Nasional Indonesia (PKNI), Partai Nasional Indonesia massa Marhaen, Partai Buruh Nasional (PBN), Partai Nasional Bangsa Indonesia (PNBI) dan Partai Kebangsaan Merdeka (PKM). Jadi kalau kita lihat dari semua partai-partai politik yang ikut pemilihan umum tanggal 7 Juni 1999 yang lalu, maka partai-partai politik yang berasas pancasila dengan penampilan paham nasionalisme-nya adalah sekitar tujuh belas persen.

Nah, dengan menggunakan kaca mata Undang Undang Madinah saya akan melihat nasionalisme. Bagaimana menurut Undang Undang Madinah tentang nasionalisme?.

Kalau kita melihat dan mempelajari dari apa yang telah dicontohkan Rasulullah SAW seribu tiga ratus tujuh puluh tujuh tahun yang lalu ketika dilahirkannya Undang Undang Madinah (Piagam Madinah), maka bukanlah nasionalisme yang menjadi ikatan persatuan ummat, melainkan persatuan seagama dengan mengangkat hak asasi manusia tanpa melihat nasionalitas, kebangsaan, kesukuan, golongan dan ras (lihat tulisan [980904] Undang Undang Madinah yang telah disusun pasal per pasal di http://www.dataphone.se/~ahmad/daftar.htm ).

Bangsa, suku, kabilah, kelompok memang diakui oleh Islam, tetapi tidak berarti dengan adanya kebangsaan dan kesukuan itu dijadikan dasar untuk membentuk satu organisasi, masyarakat, negara, sehingga terpisah antara bangsa yang satu dari bangsa yang lain atau suku yang satu dari suku yang lain, karena kalau demikian bukan seperti yang dimaksudkan oleh ayat 13 surat Al Hujurat yaitu dijadikannya bangsa dan suku adalah untuk saling kenal mengenal, bukan untuk dijadikan alat pemecah belah, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal"(Al Hujurat,49:13).

Dengan dasar persatuan seagama dengan mengangkat hak asasi manusia tanpa melihat nasionalitas, kebangsaan, kesukuan, golongan dan ras dengan tujuan untuk beribadah dan bertaqwa Kepada Allah SWT inilah seperti yang difirmankan Allah "Sesungguhnya kamu adalah ummat yang satu, Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku" (An-Biyaa',21:92). "Dan sesungguhnya kamu adalah ummat yang satu, Aku adalah Tuhanmu, maka bertaqwalah kepada-Ku" (Al Mu'minun,23:52 ) yang menjadi dasar dalam Undang Undang Madinah (Piagam Madinah) yang dibuat oleh Rasulullah SAW seribu tiga ratus tujuh puluh tujuh tahun yang lalu.

Nah sekarang, kalau saya kembali kepada tanggapan saudara Ujang Abdurrochman diatas yang menyangkut masalah "Qanun Asasi NII masih Nasionalistic, hal ini terlihat pada Bab I pasal 1 ayat 1 (Negara Islam Indonesia adalah Negara Kurnia Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada bangsa Indonesia) dan Bab X pasal 27 ayat 1 (Jang menjadi warga negara ialah orang Indonesia asli dan orang2 bangsa  lain jang disjahkan dengan undang2 sebagai warga negara), sementara kita ketahui bahwa Islam itu tidak mengenal nasionalitas".

Tanggapan saya adalah, ini disebabkan karena kita masih menganggap bahwa batas suatu negara yang berasas Islam dengan menjadikan hukum tertinggi Al Qur'an dan Hadist adalah kebangsaan, nasionalitas, kesukuan dan kekabilahan, disamping batas teritorial negara. Sehingga lahirlah beberapa negara yang menyatakan sebagai "negara Islam" dengan kebangsaan dan nasionalitas sebagai batas negara. Tidak heran apabila seorang muslim datang mengunjungi suatu "negara Islam" yang ditanya terlebih dahulu adalah "darimana asal saudara?", bukan ditanya " apakah saudara muslim?".

Kesimpulan terakhir adalah, Islam tidak mengajarkan kepada pemeluknya untuk menjadikan bangsa, suku, kabilah, kelompok sebagai dasar suatu organisasi, masyarakat, negara, sehingga terpisah antara bangsa yang satu dari bangsa yang lain atau suku yang satu dari suku yang lain. Karena itulah nasionalisme tidak diajarkan oleh Islam dan tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW sewaktu membuat Undang Undang Madinah, maka orang-orang yang menjadikan nasionalisme sebagai dasar perjuangannya, mereka itulah yang menjadikan kaum muslimin terpecah belah kedalam golongan-golongan, bangsa-bangsa dan negara-negara.

Inilah sedikit jawaban dari saya untuk saudara Ujang Abdurrochman.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se