Stockholm, 20 April 1999

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.

APAKAH BENAR ISLAM HANYA DIJADIKAN JARGON KEAGAMAAN OLEH PARTAI-PARTAI POLITIK DI INDONESIA SEKARANG ? (TANGGAPAN UNTUK KH A MUSTOFA BISRI).
Ahmad Sudirman
Modular Ink Technology Stockholm - SWEDIA.

 

Tanggapan untuk Kiyai Haji A Mustofa Bisri (Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibien Rembang, Indonesia).

Pada tanggal 19 April 1999 saya menerima tulisan melalui Sabil yang dikirimkan oleh saudara Fauzan, fauzan@iname.com ,tulisan yang bersubyek "Sikap Keberagaman Muslimin" oleh KH A Mustofa Bisri. Tulisan lengkapnya saya lampirkan dibawah.

Setelah saya membaca dan memikirkan tulisan tersebut, timbullah dalam pikiran suatu pertanyaan yang dipakai judul tulisan hari ini yaitu, apakah benar Islam hanya dijadikan jargon keagamaan oleh partai-partai politik di Indonesia sekarang?.

Baiklah, kalau Kiyai Haji A Mustofa Bisri dalam menjawab pertanyaan tersebut adalah "Hanya terbawa semangat yang tidak diimbangi oleh pemahaman dan penalaran agama itu sendiri. Sebab kalau tidak, bagaimana kita menafsirkan perbedaan Islam, misalnya, antara yang menjadi asas partai A dengan yang menjadi asas partai B? Apabila sama, mengapa tidak menjadi satu partai saja? Atau bagaimana menjelaskan 'perkelahian' antara pendukung partai C dan pendukung partai D yang sama-sama beragama Islam? Bukankah menurut Islam, orang Islam yang satu dengan yang lain adalah bersaudara, tak boleh saling menghina dan menyakiti? Apalagi kita ingat bahwa sampai saat ini perhatian dan pembinaan terhadap raga masyarakat masih tidak berimbang sama sekali dengan perhatian dan pembinaan terhadap jiwa dan sukma. Maka agama pun, yang semestinya menjadi harapan terakhir untuk menyeimbangkan dan menjaga kewarasan serta kejernihan berpikir masyarakat, oleh manusia-manusia malah justru digunakan sebagai kendaraan kepentingan pula".

Adapun jawabannya menurut saya adalah (tentu saja setelah saya membaca anggaran dasar dari beberapa partai politik yang berasas Islam) beberapa partai-partai politik yang berasas Islam telah ada kesamaan dalam visi mereka untuk "menuju kesatuan ummat" dengan misinya untuk "menegakkan amar ma'ruf nahi munkar guna memelihara kesatuan ummat dan keutuhan Bangsa" tetapi tidak mengarah kepada membangun kembali satu masyarakat muslim dan non muslim didalam satu kekuasaan pemerintahan Islam dimana Allah yang berdaulat, yang menerapkan musyawarah dan menjalankan hukum-hukum Allah dengan adil dalam naungan Daulah Islam Rasulullah dengan Undang Undang Madinah-nya, yang berdasarkan akidah Islam yang tidak mengenal nasionalitas, kebangsaan, kesukuan dan ras dengan tujuan untuk beribadah dan bertakwa kepada Allah SWT, melainkan mengarah kepada memelihara dan mempertahankan Daulah Pancasila dengan UUD'45-nya yang sekuler.

Nah, disinilah perbedaan pandangan antara Kiyai Haji A Mustofa Bisri dengan saya dalam menjawab pertanyaan diatas.

Menurut saya, seharusnya Kiyai Haji A Mustofa Bisri memberikan pandangan dan pikiran kepada tokoh-tokoh partai-partai politik yang berasas Islam untuk tidak menjadikan Islam sebagai label dan jargon keagamaan demi kepentingan politik, kekuasaan dan pribadi dengan jalan menghimbau mereka dan seluruh kaum muslimin untuk membangun kembali Daulah Islam Rasulullah dengan Undang Undang Madinahnya, bukan membangun kembali dan mempertahankan Daulah Pancasila dengan UUD'45-nya atau membangun daulah sekuler seperti yang dikemukakan oleh saudara Basri Hasan yang menyatakan bahwa daulah sekuler adalah daulah yang ideal bagi kaum Muslim dan non Muslim yang hidup dan tinggal di seluruh wilayah Indonesia sekarang.

Ajaklah berdikusi secara terbuka para pemimpin partai-partai politik yang berasas Islam tersebut bukan hanya cukup dengan mengatakan "Saya sendiri memang belum pernah mendengar penjelasan para pemimpin partai-partai Islam tentang Islam yang mereka maksud. Dalam acara-acara teve yang menayangkan diskusi antarpartai-partai pun belum pernah saya dengar ada pertanyaan mengenai hal itu".

Kemudian alasan mencium Hajar Aswad dan penggunaan pengeras suara di mesjid-mesjid adalah bukan suatu alasan yang bisa dipertanggung jawabkan untuk mengambil kesimpulan bahwa "Dua contoh sikap keberagamaan (mencium Hajar Aswad dan penggunaan pengeras suara di mesjid) sementara kaum muslimin di atas boleh jadi menggambarkan semangat beragama yang tinggi tapi tidak diimbangi oleh pemahaman dan penalaran agama itu sendiri..jangan-jangan pengklaiman agama atau pemasangan label-label agama dan penggunaan jargon-jargon keagamaan dalam perpolitikan kita dewasa ini juga begitu. Hanya terbawa semangat yang tidak diimbangi oleh pemahaman dan penalaran agama itu sendiri".

Nah sekarang, saya ingin bertanya kepada  Kiyai Haji A Mustofa Bisri, dimana pertanyaan ini pernah juga saya sampaikan kepada saudara Basri Hasan di Bogor Jawab Barat yaitu, Daulah yang berdasar apa yang ideal bagi kaum Muslim dan non Muslim yang tinggal dan hidup di seluruh wilayah Indonesia sekarang menurut Kiyai Haji A Mustofa Bisri ?.

Jawaban dari Kiyai Haji A Mustofa Bisri, saya tunggu.

Inilah tanggapan saya yang singkat untuk Kiyai Haji A Mustofa Bisri.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
----

Mon, 19 Apr 1999 19:37:50 -0400 (EDT)
fauzan@iname.com

Fauzan mengirimkan tulisan:

Subject: [Sabil] Sikap Keberagaman Muslimin

Sikap Keberagaman Muslimin

Oleh KH A Mustofa Bisri  (Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibien Rembang)

Ketika di Masjidil Haram, saya selalu tidak pernah dapat melewatkan pemandangan mereka yang berebut mencium Hajar Aswad. Mereka begitu bersemangat berdesak-desakan untuk dapat menguasai bagian pojok dekat pintu Kabah. Sekali-kali terlihat beberapa orang terpental kena sodok 'saingan-saingan' mereka sesama jemaah, kemudian kembali maju merangsek lagi. Mereka yang berhasil mencium batu hitam yang dikeramatkan itu meskipun tampak lusuh dan kusut, jelas sekali kelegaan dan kepuasan pada wajah-wajah mereka. Biasanya keberhasilan mereka itu tak habis-habisnya mereka ceritakan dengan penuh kebanggaan kepada siapa saja yang mereka temui.

Melihat semangat mereka itu, kadang-kadang saya berpikir dan bertanya-tanya: kepercayaan atau motivasi apa sebenarnya yang membuat keinginan mereka begitu hebat dan bersedia 'berjuang mati-matian' berebut mencium Hajar Aswad.

Tentu bukan karena doktrin manasik yang mereka terima, sebab umumnya buku-buku atau penataran-penataran manasik justru mengingatkan bahwa mencium Hajar Aswad bukan merupakan rukun atau wajibnya haji.

Tentu juga bukan sekadar karena mereka ingin mendapatkan kesunnahan. Ingin mengikuti jejak nabi mereka, Muhammad saw. Sebab kalau demikian, kesunnahan-kesunnahan yang lain, seperti misalnya sembahyang sunnah, sedekah, dan lain-lain pasti akan mereka upayakan  kelakukannya dengan semangat yang kurang lebih sama.

Saya jadi teringat kisah tentang Amirul Mukminin Umar Ibn Khaththab ra saat mencium Hajar Aswad. Sahabat Umar saat itu berkata, ditujukan kepada Hajar Aswad: "Demi Allah aku tahu bahwa kau hanyalah batu. Seandainya aku tidak melihat sendiri Rasululullah saw menciummu, niscaya aku tak akan menciummu." (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Agaknya sesuai pengakuan-pengakuan yang pernah saya dengar, mencium Hajar Aswad bagi sementara jemaah, memang lebih merupakan cita-cita yang tak jelas dasarnya. Keberhasilan mencium Hajar Aswad mungkin mereka anggap sebagai suatu pengalaman rohani istimewa. Tak peduli bahwa untuk itu mereka sering meninggalkan yang wajib atau melanggar larangan. Mencium Hajar Aswad adalah sunnah, sedang mengganggu dan menyakiti sesama muslim, yang notebene juga sedang melaksanakan ibadah, adalah haram. Bagaimana seorang muslim ingin melaksanakan kesunnahan dengan melakukan keharaman? Lebih musykil lagi bila pelanggaran larangan agama itu dilakukan untuk memuaskan diri sendiri, mencari pengalaman rohani atau apa namanya, bersamaan dengan dan atas nama pelaksanaan ibadah agama.

Mirip dengan hal itu, apa yang banyak kita saksikan di Tanah Air ini. Yaitu penggunaan pengeras suara di masjid-masjid atau musala-musala yang biasanya tidak hanya untuk melantunkan azan. Boleh jadi alasan untuk itu adalah untuk 'syiar agama'. Tapi umumnya orang tidak sempat berpikir jauh, misalnya apakah syiar agama itu, apakah penggunaan pengeras suara seperti yang berlaku selama ini memang merupakan syiar agama, kalau memang merupakan syiar agama,
apakah hal itu boleh dilakukan meski ternyata mengganggu tetangga? (Ataukah hal itu tetap berlangsung karena Majelis Ulama Indonesia maupun organisasi-organisasi keagamaan tidak menegur atau melarangnya).

Dua contoh sikap keberagamaan sementara kaum muslimin di atas boleh jadi menggambarkan semangat beragama yang tinggi tapi tidak diimbangi oleh pemahaman dan penalaran agama itu sendiri.

Soal label makanan halal yang sempat ramai tempo hari, mungkin dapat juga Anda tambahkan sebagai contoh ketidakseimbangan semangat dengan pemahaman dan penalaran agama di kalangan kaum muslimin. Orang sibuk dengan halal-haramnya makanan, tapi tanpa mempedulikan halal-haramnya cara mendapatkan makanan itu sendiri. Waba'du jangan-jangan pengklaiman agama atau pemasangan label-label
agama dan penggunaan jargon-jargon keagamaan dalam perpolitikan kita dewasa ini juga begitu. Hanya terbawa semangat yang tidak diimbangi oleh pemahaman dan penalaran agama itu sendiri. Sebab kalau tidak, bagaimana kita menafsirkan perbedaan Islam, misalnya, antara yang menjadi asas partai A dengan yang menjadi asas partai B? Apabila sama, mengapa tidak menjadi satu partai saja? Atau bagaimana menjelaskan 'perkelahian' antara pendukung partai C dan pendukung partai D yang sama-sama beragama Islam? Bukankah menurut Islam, orang Islam yang satu dengan yang lain adalah bersaudara, tak boleh saling menghina dan menyakiti? Apalagi kita ingat bahwa sampai saat ini perhatian dan pembinaan terhadap raga masyarakat masih tidak berimbang sama sekali dengan perhatian dan pembinaan terhadap jiwa dan sukma. Maka agama pun, yang semestinya menjadi harapan terakhir untuk menyeimbangkan dan menjaga kewarasan serta kejernihan berpikir masyarakat, oleh manusia-manusia malah justru digunakan sebagai kendaraan kepentingan pula.

(Saya sendiri memang belum pernah mendengar penjelasan para pemimpin partai-partai Islam tentang Islam yang mereka maksud. Dalam acara-acara teve yang menayangkan diskusi antarpartai-partai pun belum pernah saya dengar ada pertanyaan mengenai hal itu).

Kecuali keberanian dan arogansi sudah sedemikian rupa, hingga menggunakan agama untuk kendaraan kepentingan di negeri ini, hanya dianggap soal kecil. Na'udzu billah!.

http://www.mediaindo.co.id/publik/1999/04/16/UTAMA05.html
-----