Stockholm, 17 Maret 1999

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.

ISLAM TIDAK MENGAJARKAN PEMELUKNYA UNTUK MENJADI DEMOKRAT (TANGGAPAN UNTUK EMHA A.N.).
Ahmad Sudirman
Modular Ink Technology Stockholm - SWEDIA.

 

Tanggapan untuk Saudara Emha Ainun Nadjib (Indonesia)

Pada tanggal 16 Maret 1999, pikir@softhome.net menyampaikan tulisan Emha Ainun Nadjib (tulisannya dilampirkan dibawah) yang bersubyek "Saya Anti Demokrasi" kepada saya.

Seperti yang telah saya tulis dalam tulisan "ISLAM TELAH SEMPURNA" yang dipublisir pada tanggal 11 Maret 1999 yaitu, "Allah telah menyempurnakan dan meridhai Islam sebagai agama untuk kaum muslimin dan telah mencukupkan nikmat-Nya. "..Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.."(Al Maidah: 3).

Karena itu tidak dibenarkan kalau Islam dicampur adukkan dengan pemahaman yang lain, seperti pemahaman komunis, sosialis, humanisme, sekuler, kapitalis, ateis, pancasila, demokrasi dan pemahaman-pemahanan yang lainnya yang merupakan produk pemikiran manusia".
 
Setelah saya membaca dan memikirkan tulisan "Saya Anti Demokrasi" yang ditulis oleh saudara Emha Ainun Nadjib, maka saya mengambil kesimpulan bahwa saudara Emha Ainun Nadjib mengatakan "Saya Anti Demokrasi" adalah bukan disebabkan oleh alasan "Islam tidak mengajarkan pemeluknya untuk menjadi demokrat", melainkan dengan alasan karena saudara Emha Ainun Nadjib melihat bahwa "penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui apresiasi terhadap Qur'an (dan merasa) jembek dan muak terhadap kelakuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia".

Jadi, menurut saya alasan saudara Emha Ainun Nadjib tersebut diatas adalah tidak benar ditinjau dari sudut pandang Islam. Karena yang dijadikan alasan oleh saudara Emha adalah adanya sikap anti-Islam dari pihak "penghuni peradaban global dunia " dan perasaan jembek dan muak saudara Emha terhadap perilaku orang-orang Amerika. Dimana alasan-alasan saudara Emha tersebut adalah bukan yang dijadikan alasan oleh Islam untuk tidak menggabungkan demokrasi dengan Islam.

Kalau saudara Emha Ainun Nadjib ingin menjadi seorang yang benar-benar "Anti Demokrasi" menurut dasar Islam, maka saudara Emha harus mengatakan "hidup dalam satu masyarakat muslim dibawah satu kekuasaan pemerintahan Islam dimana Allah yang berdaulat yang menerapkan musyawarah dan menjalankan hukum-hukum Allah dengan adil dalam naungan Khilafah Islam yang berdasarkan akidah Islam yang tidak mengenal nasionalitas, kebangsaan, kesukuan dan ras dengan tujuan untuk beribadah dan bertakwa kepada Allah SWT".

Jadi, kesimpulannya adalah kalau saudara Emha Ainun Nadjib sudah tidak lagi merasa "jembek dan muak terhadap kelakuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia..(dan) penghuni peradaban global dunia (sudah kembali) bersikap (menyenangi) Islam (dengan memberikan) apresiasi terhadap Qur'an, maka saudara Emha Ainun Nadjib akan kembali menjadi seorang yang "Demokrat".

Inilah tanggapan singkat saya untuk saudara Emha Ainun Nadjib.
 
Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
-------

16 Maret 1999
pikir@softhome.net
Saudara Pikir  menulis :

Saya Anti Demokrasi.
oleh : Emha Ainun Nadjib.

Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Depag, Polsek, dan Danramil harus menyalahkan Ustadz, sebab kalau tidak itu namanya diktator mayoritas. Mentang-mentang Ummat Islam mayoritas, asalkan yang mayoritas bukan yang selain Islam - harus mengalah dan wajib kalah. Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen. Tapi kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar namaya.

Kalau Khadhafi kurang ajar, yang salah adalah Islam. Kalau Palestina banyak teroris, yang salah adalah Islam. Kalau Saddam Hussein nranyak, yang salah adalah Islam. Tapi kalau Belanda menjajah Indonesia 350 tahun, yang salah bukan Kristen. Kalau amerika Serikat jumawa dan adigang adigung adiguna kepada rakyat Irak, yang salah bukan Kristen. Bahkan sesudah ribuan bom dihujankan di seantero Bagdad, Amerika Serikat lah pemegang sertifikat kebenaran, sementara yang salah pasti adalah Islam.

"Agama" yang paling benar adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan dan iblis. Cara mengukur siapa dan bagaiman yang pro dan yang kontra demokrasi, ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah menjadi pihak yang diplonco dan dites terus menerus oleh subyektivisme kaum non-Islam.

Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban dunia. Dan untuk mempelajari demokrasi, mereka dilarang membaca kelakuan kecurangan informasi jaringan media massa Barat atas kesunyatan Islam.

Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlese dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak dengan membaca Al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, melainkan dengan menilai dari sudut pandang mereka.

Maka kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui apresiasi terhadap Qur'an, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kelakuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia. Dan dari sudut itulah demokrasi saya nilai, sebagaimana dari sudut yang semacam juga menilai Islam.

Di Yogya teman-teman musik Kiai Kanjeng membuat nomer-nomer musik, yang karena bersentuhan dengan syair-syair saya, maka merekapun memasuki wilayah musikal Ummi Kaltsum, penyanyi legendaris Mesir. Musik Kiai Kanjeng mengandung unsur Arab, campur Jawa, jazz Negro dan entah apa lagi. Seorang teman menyapa: "Banyak nuansa Arabnya ya ? Mbok lain kali bikin yang etnis 'gitu..."

Lho kok Arab bukan etnis?
Bukan. Nada-nada arab bukan etnis, melainkan nada Islam. Nada Arab tak diakui sebagai warga etno-musik, karena ia indikatif Islam. Sama-sama kolak, sama-sama sambal, sama-sama lalap, tapi kalau ia Islam-menjadi bukan kolak, bukan sambal, dan bukan lalap.

Kalau Sam Bimbo menyanyikan lagu puji-puji atas Rasul dengan mengambil nada Espanyola, itu primordial namanya. Kalau Gipsy King mentransfer kasidah "Yarim Wadi-sakib...", itu universal namanya. Bahasa jelasnya begini: apa saja, kalau menonjol Islamnya, pasti primordial, tidak universal, bodoh, ketinggalan jaman, tidak memenuhi kualitas estetik dan tidak bisa masuk jamaah peradaban dunia.

Itulah matahari baru yang kini masih semburat. Tetapi kegelapan yang ditimpakan oleh peradapan yang fasiq dan penuh dhonn kepada Islam, telah terakumulasi sedemikian parahnya. Perlakuan-perlakuan curang atas Islam telah mengendap menjadi gumpalan rasa perih di kalbu jutaan ummat Islam. Kecurangn atas Islam dan Kaum Muslimin itu bahkan diselenggarakan sendiri oleh kaum Muslimin yang mau tidak mau terjerat menjadi bagian dan pelaku dari mekanisme sistem peradaban yang dominan dan tak ada kompetitornya. "Al-Islamu mahjubun bil-muslimin". Cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang Islam sendiri.

Endapan-endapan dalam kalbu kollektif ummat Islam itu, kalau pada suatu momentum menemukan titik bocor - maka akan meledak. Pemerintah Indonesia kayaknya harus segera mervisi metoda dan strategi penanganan antar ummat beragama. Kita perlu menyelenggarakan 'sidang pleno' yang transparan, berhati jernih dan berfikiran adil. Sebab kalau tidak, berarti kita sepakat untuk menabuh pisau dan mesiu untuk peperangan di masa depan.
--------