Stockholm, 24 Maret 2008
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
MENYOROT TENTANG MASALAH ALA DI BUMI ACHEH DIKAITKAN DENGAN
MOU HELSINKI 15 AGUSTUS 2005
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
MASIH
MENYOROT TENTANG MASALAH ALA DI BUMI ACHEH DIKAITKAN DENGAN MOU HELSINKI 15
AGUSTUS 2005
Saudara
Kosasih Ali Abu Bakar, cossalabu@gmail.com , dari Takengon, Acheh Tengah, Acheh
telah menyampaikan buah pikirannya yang menyangkut masalah pemekaran ALA yang
dikirimkan ke Ahmad Sudirman pagi ini. Dimana sebagian isi pemikiran saudara
Kosasih Ali Abu Bakar sebagai berikut:
"Kembali dicatat bahwa pemekaran wilayah ini karena kami hanya
ingin hidup bersama dengan rakyat Aceh pesisir secara damai dan sejajar, bukan
karena kami benci rakyat Aceh pesisir, karena kami ingin hidup dalam kedamaian
menuju kesejahteraan dan meningkatkan mutu hidup. Itu yang menurut
kami sulit diterima apabila dilarang. Apabila anda selama ini tidak dapat
mengurus kami bahkan melupakan kami ada, kenapa terus mengikat kami, alasan
apapun kami sudah siap untuk berdiri sendiri, bukankah beban anda juga akan
lebih ringan. Atau anda memang ingin menghancurkan kami."(Kosasih Ali Abu
Bakar, cossalabu@gmail.com . Date:
Mon, 24 Mar 2008 11:15:55 +0700, Takengon, Acheh Tengah, Acheh)
"Apakah mereka tidak pernah berpikir mereka juga telah melanggar pesan
Proklamasi 17 Agustus 1945 dan UUD 1945 mengenai peta wilayah NKRI sejak tahun
1945 bahwa peta wilayah Indonesia dari Sabang sampai Meuroke, mana yang lebih
tinggi perjanjian Helinsky atau perjanjian PBB wilayah kesatuan Republik
Indonesia. Mana yang lebih dibela Pemberontak atau Pendukung NKRI. Mana yang
harus dibela yang sudah melanggar janji Proklamasi 17 Agustus 1945 atau yang
bersusah payah menyebarkan berita kemerdekaan NKRI ke seluruh dunia bahwa kita
sebagai bangsa Indonesia yang dikumandangkan dari radio rimba raya Takengon
atau Bener Meriah saat ini ketika semua tidak bisa melakukannya. Bahkan apakah
mereka juga memungkiri bahwa rakyat Aceh adalah yang pertama kali memberikan
sumbangan pesawat dari rakyat Aceh untuk merebut kemerdekaan RI." (Kosasih
Ali Abu Bakar, cossalabu@gmail.com . Date: Mon, 24 Mar 2008 11:15:55 +0700,
Takengon, Acheh Tengah, Acheh)
Terimakasih
saudara Kosasih
Ali Abu Bakar atas hasil pemikiran saudara di Takengon.
Sebenarnya
kalau ditelusuri lebih mendalam dan lebih cermat apa yang ditulis oleh saudara
Kosasih Ali Abu Bakar tersebut adalah tidak lebih dan tidak kurang yaitu
persoalan
"ingin
hidup dalam kedamaian menuju kesejahteraan dan meningkatkan mutu hidup…Yang
terjadi adalah catatan yang panjang tentang ketidakadilan Aceh Pesisir kepada
Aceh Pegunungan."
Nah,
dari isi tulisan saudara Kosasih Ali Abu Bakar sedikitpun tidak tersirat ataupun tersurat bahwa Gayo
dijajah oleh Acheh, melainkan karena Aceh Pesisir istilah saudara Kosasih Ali Abu Bakar untuk panggilan rakyat
Acheh yang tidak memberikan kesejahteraan untuk meningkatkan mutu hidup dan
perlakuan tidak adil terhadap Aceh Pegunungan istilah saudara Kosasih Ali Abu
Bakar untuk panggilan orang Gayo.
Jadi,
tidak adanya sikap yang adil dari rakyat Acheh Pesisir terhadap rakyat Acheh
Pegunungan tidak berarti rakyat Acheh Pegunungan harus melakukan tindakan
pemisahan diri dari Acheh secara geografi, melainkan bagaimana seharusnya kedua
rakyat Acheh tersebut melakukan musyawarah secara politik dan hukum agar supaya
bisa hidup duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Salah satunya membangun
pemerintahan Acheh yang bersifat federasi, sebagaimana di Malaysia atau di
Jerman atau di Amerika Serikat. Dan sekaligus memberikan contoh kepada pihak
NKRI yang berkeras kepala dari sejak Soekarno cs dengan ide dan politik negara
kesatuannya yang sangat ditentang oleh sebagian besar rakyat dari beberapa
Negara Bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) yang mendengungkan dan
menjalankan pemerintahan negara yang berbentuk federasi dan yang ditandatangani
secara resmi oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) di Ridderzaal,
Den Haag, Belanda pada tanggal 2 November 1949 dan yang diakui resmi pada
tanggal 27 Desember 1949. ("Kembali mengulang dalam rangka menguliti mitos
RI hasil buatan Soekarno dengan kelompok unitaris RI-nya" ,
http://www.dataphone.se/~ahmad/070817.htm )
Nah,
kalau pihak rakyat Gayo merasa bahwa dalam masalah pembagian
APBD Acheh ke wilayah Acheh Pegunungan atau, dana BRR, pemberian beasiswa bagi
pemuda Acheh serta pengangkatan eselon I dan II pada pemerintah Acheh tidak
adil, maka melalui jalur politik dan hukum dalam bentuk pemerintahan yang
bersifat federasi, maka tindakan politik yang dianggap tidak adil akan bisa
diatasi secara politik dan hukum melalui jalur lembaga legislatif Acheh.
Selanjutnya,
kalau saudara Kosasih Ali Abu Bakar telah mengklaim bahwa pada waktu DOM rakyat
Gayo bahu membahu dengan TNI dan POLRI untuk mencegah pengaruh GAM pada Acheh
Pegunungan atau ALA sehingga mereka tidak dapat berkuasa penuh disitu, misalnya
dengan memilih Bupati-bupati yang ada pada daerah ALA yang anti GAM , maka itu
hasil pemikiran saudara Kosasih Ali Abu Bakar bukan merupakan dasar hukum yang
kuat untuk djadikan alasan untuk melakukan pemisahan secara geografis dari
Acheh yang kemudian menggabungkan untuk menjadi bagian dari propinsi-nya RI.
Seterusnya, yang
menyangkut masalah MoU Helsinki yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus
2005 di Helsinki, Filandia adalah menyangkut dan meliputi seluruh Acheh tidak
terkecuali dan mengikat seluruh rakyat Acheh, kendatipun saudara Kosasih Ali
Abu Bakar menganggap dan berpikiran bahwa perjanjian damai antara GAM-RI
melalui MoU Helsinki tersebut tidak mengaspirasikan penduduk Acheh keseluruhan
dan hanya diwakili oleh segelintir wakil-wakil GAM yang oleh saudara Kosasih
Ali Abu Bakar disebut sebagai pemberontak.
Nah, kalau
saudara Kosasih Ali Abu Bakar selama masa DOM telah bahu membahu dengan pihak
RI dalam hal ini dengan pihak TNI dan POLRI untuk menghancurkan GAM, maka
secara tidak langsung itu saudara Kosasih Ali Abu Bakar harus tunduk dan patuh
pada kebijaksanaan politik yang dijalankan oleh pihak RI dalam masalah
penyelesaian damai di Acheh, dimana dalam hal ini MoU Helsinki 15 Agustus 2005.
Pihak RI
menganggap GAM adalah sebagai wakil Acheh untuk melakukan perdamaian di Acheh
yang disokong dan didukung penuh oleh dunia internasional, dimana perjanjian
GAM-RI adalah perjanjian internasional. ("MoU Helsinki adalah bentuk
perjanjian internasional yang mengikat Pemerintah RI dan DPR RI" ,
http://www.dataphone.se/~ahmad/060422b.htm )
Sekarang kalau
saudara Kosasih Ali Abu Bakar bertanya:
"...apakah perjanjian itu patut kita patuhi? Terlebih lagi kita tidak pernah
diikutkan, dan tidak seluruh rakyat Aceh itu GAM, hanya segelintir…(dan)
masyarakat Gayo pada umumnya selalu
membela NKRI ",
maka jawabannya
adalah seluruh rakyat Acheh, begitu juga seluruh rakyat RI dan DPR RI tidak
terkecuali patut mematuhi MoU Helsinki 15 Agustus 2005. ("Secara hukum DPR
RI terikat dengan MoU Helsinki", http://www.dataphone.se/~ahmad/060725.htm
)
Jadi secara hukum
kalau itu saudara Kosasih Ali Abu Bakar mempergunakan alasan bahwa
"Kesepakatan
hanya dipatuhi oleh pihak-pihak yang mengikuti perjanjian tersebut sedangkan
yang tidak mengikutinya sudah pasti tidak mempunyai kewajiban untuk itu",
maka alasan dari
saudara Kosasih Ali Abu Bakar adalah alasan hukum yang sangat-sangat lemah
sekali.
Seterusnya lagi
kalau saudara Kosasih Ali Abu Bakar menampilkan alasan bahwa masyarakat di
Acheh Tengah semasa DOM menderita kerugian seperti
"kebun
kopi yang terbengkalai, bahan makanan dan bahan bakar yang langka karena tidak
dapat masuk, anak-anak yang diculik untuk mengikuti pelatihan GAM dengan
kehidupan orangtuanya sebagai jaminan, rumah dan sekolah yang dibakar, saling
mencurigai antara teman dan lawan..."
"...bahkan
setelah MoU Helinsky ternyata masih lebih suka meminta-minta atau merampok
bahkan menggunakan segala cara untuk menggolkan apa yang dikehendakinya,
mungkin ini juga karena adanya konflik internal pada GAM. Ironisnya GAM yang
ada pada KPA juga bertindah serupa, hal ini yang terjadi di Atu Lintang
baru-baru ini dimana kemarahan warga kepada mereka.... "
maka alasan
tersebut bukan alasan hukum yang kuat untuk djadikan sebagai dasar argumen
untuk membelah Acheh secara geografis menjadi dua bagian untuk kemudian
membentuk propinsi tersendiri dan masuk dibawah propinsi-propinsi-nya RI. Dan
yang menyangkut tindakan kriminil pembunuhan di Atu Linang adalah merupakan
hasil hembusan kelompok yang anti MoU Helsinki, termasuk pihak PDI-P, PKB, PD
dan PAN serta sebagian dari Golkar juga sebagian para pensiunan jenderal TNI
yang tidak menyetujui perjanjian Helsinki antara pihak GAM dan RI. ("GAM
jangan terpancing oleh umpan pembunuhan politik Atu Lintang yang dikontrol dari
Jakarta ", http://www.dataphone.se/~ahmad/080308.htm )
Kemudian
lagi saudara Kosasih Ali Abu
Bakar menuliskan:
"Apakah
mereka tidak pernah berpikir mereka juga telah melanggar pesan Proklamasi 17
Agustus 1945 dan UUD 1945 mengenai peta wilayah NKRI sejak tahun 1945 bahwa
peta wilayah Indonesia dari Sabang sampai Meuroke, mana yang lebih tinggi
perjanjian Helinsky atau perjanjian PBB wilayah kesatuan Republik Indonesia.
Mana yang lebih dibela Pemberontak atau Pendukung NKRI. Mana yang harus dibela
yang sudah melanggar janji Proklamasi 17 Agustus 1945 atau yang bersusah payah
menyebarkan berita kemerdekaan NKRI ke seluruh dunia bahwa kita sebagai bangsa
Indonesia yang dikumandangkan dari radio rimba raya Takengon atau Bener Meriah
saat ini ketika semua tidak bisa melakukannya. Bahkan apakah mereka juga
memungkiri bahwa rakyat Aceh adalah yang pertama kali memberikan sumbangan
pesawat dari rakyat Aceh untuk merebut kemerdekaan RI."
Nah,
disinilah kesalahan pemikiran dan penghayatan saudara Kosasih Ali Abu Bakar yang mengangap bahwa
"peta
wilayah NKRI sejak tahun 1945 bahwa peta wilayah Indonesia dari Sabang sampai
Meuroke"
Padahal
sebenarnya menurut sejarah dan hukum ketika Soekarno membentuk Kabinet RI
pertama pada awal bulan September 1945, ternyata Soekarno mengklaim bahwa
"seluruh tumpah darah Indonesia" adalah Sumatra, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan. Sehingga
diangkatlah 8 orang Gubernur untuk kedelapan propinsi yang diklaim Soekarno
itu, salah satu Gubernur yang diangkat Soekarno itu adalah Mr. Teuku Mohammad
Hassan untuk propinsi Sumatra. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949,
Sekretariat Negara RI, 1986, hal.30)
Sekarang
timbul pertanyaan, apakah benar pengklaiman wilayah RI yang dibuat diatas
kertas oleh Soekarno tersebut? Tentu saja jawabannya adalah tidak benar.
Mengapa ? Karena terbukti setelah pembentukan Kabinet Pertama RI timbul
berbagai perang dimana-mana. Untuk jawaban selanjutnya silahkan baca tulisan
"Kembali mengulang dalam rangka menguliti mitos RI hasil buatan
Soekarno dengan kelompok unitaris RI-nya" (
http://www.dataphone.se/~ahmad/070817.htm )
Kemudian
lagi saudara Kosasih Ali Abu
Bakar mengemukakan pemikirannya bahwa
"Yang selalu menjadi pemikiran adalah bahwa mereka
selalu mengatakan bahwa adanya GAM untuk memajukan rakyat Aceh atau akibat
rakyat Aceh yang tertindas, akan tetapi kenyataannya sampai saat ini
ethnocentris dari Aceh Pesisir dengan Aceh Pedalaman ternyata tidak bisa
dianggap sebelah mata, keadilan selalu tidak didapatkan. Hal ini sebenarnya
mudah saja dilihat dengan kenyataan-kenyataan yang ada sejak dahulu sampai sekarang.
Oleh karena itu, yang dikuatirkan adalah jangan sampai masyarakat ALA berpikir
bahwa GAM sekarang memang hanya ingin mencari kekuasaan, bukan kesejahteraan
masyarakat, bahkan mungkin mempunyai agenda politik lain untuk kemudian
memperjuangkan Aceh Merdeka kembali."
Nah,
secara de facto memang GAM telah berada di Acheh dan secara perlahan, setahap
demi setahap bersatu bersama rakyat Acheh untuk secara bersama-sama membangun
Acheh. Hanya secara politik sampai tahun 2009 lembaga legislatif Acheh masih dibawah
orang-orang yang pro status quo melalui partai-partai politik pusatnya, seperti
Golkar, PDI-P, PAN, PPP, PKS. Walaupun saudara Irwandi Yusuf dan saudara
Muhammad Nazar terpilih menjadi Kepala Pemerintah Acheh, tetapi mereka berdua
itu hanyalah dari kelompok independen saja, bukan wakil dari GAM. Karena
itu kebijaksanaan politik saudara
Irwandi Yusuf dan saudara Muhammad Nazar adalah hanya merupakan kebijaksanaan
politik mereka berdua plus para pendukungnya ditambah dengan orang-orang lama
penganut status quo yang masih memenuhi gedung Lembaga Legislatif Acheh saja.
Tetapi, tentu saja pada tahun depan, tahun 2009 sesuai dengan MoU Helsinki 15
Agustus 2005, maka seluruh rakyat Acheh tidak terkecuali untuk tampil memilih
wakil-wakil-nya yang benar-benar berjuang untuk Acheh dan rakyat Acheh tanpa
terkecuali. Dimana untuk meningkatkan kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan
bagi seluruh rakyat Acheh dipecahkan dan diputuskan dalam lembaga Legislatif
Acheh hasil pemilihan umum lagsung tahun 2009. Inilah hasil kesepakatan antara
GAM dan RI yang dituangkan dalam MoU Helsinki , dimana kesemuanya untuk
menegakkan perdamaian yang menyeluruh dan meningkakan kehidupan dan
kesejahteraan serta keadilan bagi seluruh rakyat Acheh di Acheh.
Seterusnya
saudara Kosasih Ali Abu Bakar
menuliskan:
"Sampai kapanpun selama ada suku bangsa Gayo tidak
akan pernah ada Aceh Merdeka di nusantara itu, mohon dicatat. Masyarakat Gayo
itu bukan pemberontak, karena kami punya budaya malu, budaya tertinggi suku
ini, memberontak itu perbuatan pengkhianat yang tidak bisa ditolerir. Sekarang
kami juga sudah malu karena selalu mendapat penghinaan dan pelecehan bahkan
ketidakadilan, maka bagi kami baik lebih mati daripada hidup. Dan ini sesuai
dengan perintah Agama "Hidup Mulia atau Mati Syahid", kami berjuang
membela kehormatan kami merupakan jihad dalam agama Islam, hal ini mungkin
lebih baik dari pepatah orang Aceh pesisir yang mengatakan putih tulang kami
sama dengan putih mata kami."
Nah,
persoalannya adalah pandangan dan pemikiran saudara Kosasih Ali Abu Bakar tentang usaha pemisahan dari
Acheh adalah bukan karena didasarkan pada masalah pendudukan dan penjajahan,
melainkan hanyalah sekedar masalah ketidak adilan, ketidak makmuran dan ketidak
sejahteraan. Berbeda dengan bangsa Acheh yang memiliki pandangan dan pikiran
serta penghayatan bahwa Acheh memang diduduki dan dijajah oleh pihak RI. Dimana
Ahmad Sudirman telah berpuluh kali menuliskan bentuk penjajahan pihak RI
terhadap Acheh. Salah satu contohnya seperti yang tertuang dalam tulisan "Detik-detik
akhir Acheh dianeksasi oleh RI kedalam Propinsi Sumatera Utara" (
http://www.dataphone.se/~ahmad/070308.htm )
Terakhir
disini saudara Kosasih Ali
Abu Bakar mengulang kembali:
"Kembali
dicatat bahwa pemekaran wilayah ini karena kami hanya ingin hidup bersama
dengan rakyat Aceh pesisir secara damai dan sejajar, bukan karena kami benci
rakyat Aceh pesisir, karena kami ingin hidup dalam kedamaian menuju
kesejahteraan dan meningkatkan mutu hidup. Itu yang menurut kami sulit
diterima apabila dilarang."
Nah, kalau
saudara Kosasih Ali Abu Bakar hanya sekedar untuk dapat hidup bersama dengan
orang Acheh lainnya secara damai dan sejajar, maka jalan keluarnya adalah
pecahkan secara politik dan hukum dalam tubuh bumi Acheh melalui cara
pembentukan Pemerintahan Acheh yang bersifat federasi. Contohnya banyak,
diantaranya Pemerintah Amerika Serikat, Pemerintah kerajaan Malaysia,
Pemerintah Republik Federasi Jerman.
Kalau
Pemerintah Jakarta tidak menyetujui dengan bentuk Pemerintahan Acheh yang bersifat
federasi, maka itu menandakan dan membuktikan bahwa pihak Jakarta memang masih
terus berusaha untuk terus mengurung Acheh termasuk orang-orang Gayo dan anti
kepada perdamaian di Acheh yang tertuang dalam MoU Helsinki 15 Agustus 2005.
Terakhir
inilah jawaban dan pandangan Ahmad Sudirman atas tulisan yang bersikan
pemikiran dan pandangan saudara Kosasih Ali Abu Bakar di Takengon, Acheh Tengah, Acheh yang dikirimkan
kepada Ahmad Sudirman pagi ini.
Bagi
yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu
untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang
Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di
HP http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon
petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
----------
Received:
by 10.142.156.21 with HTTP; Sun, 23 Mar 2008 21:15:55 -0700 (PDT)
Date:
Mon, 24 Mar 2008 11:15:55 +0700
From: "kosasih ali abu
bakar" <cossalabu@gmail.com>
To:
ahmad@dataphone.se
Subject:
Pemekaran ALA
Takengon,
30 Februari 2007
Bismillahirrahmanirrahim
Assalammuálaikum
Wr. Wb.
Cossalabu
Takengon,
ALA, Indonesia
USAHA
SEGELINTIR ORANG DI ACEH YANG MENGAKU SEBAGAI WAKIL SELURUH RAKYAT ACEH (sebut
Gerakan Aceh Merdeka/GAM) DENGAN MENGACU MEMBABIBUTA KEPADA MOU HELSINKY 2005.
Hal
yang terbaik adalah seharusnya dengan mulai membahas bagaimana adanya MoU
Helsinky, sebuah perjanjian antara Pemerintah NKRI dan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) tahun 2005. Sebuah perjanjian yang tidak menguntungkan bagi rakyat Aceh
akan tetapi lebih menguntungkan GAM, hal ini merupakan sebuah kesalahan
Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena hanya berunding
dengan GAM, tidak mengikutsertakan komponen masyarakat Aceh lain, jadi
perjanjian tersebut jelas bukan merupakan suara dari seluruh rakyat Aceh.
Lebih
kurang selama 20 tahun GAM telah menteror, menakuti, menjanjikan dan memberikan
wacana kepada rakyat Aceh untuk mendukung setiap tujuannya. Hal ini tentunya
amat membekas dalam hati rakyat dengan berbagai macam tanggapan dan harapan.
Perlu diingat memberontak merupakan sebuah kesalahan fatal yang tidak bisa
ditolerir oleh sebuah negara yang berdaulat, harus segera dimusnahkan sampai ke
akar-akarnya seperti halnya Partai Komunis Indonesia (PKI), walau saat ini
banyak pihak yang menyayangkan pembantaian ini yang membabibuta. Akan tetapi hal ini dapat memberikan shockterapy.
Sebenarnya pemerintah telah berusaha untuk melakukan itu dengan cara menjadikan
Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) yang diprakarsai oleh Ibrahim Hasan,
Gubernur Aceh waktu itu, orang Pidie, walau kemudian kedepan terkesan ini
merupakan permainan politik dari segelintir orang juga. Bahkan DOM itu ternyata
kembali tidak efektif karena tidak menyentuh kepada sasaran yang diharapkan
serta adanya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya baik itu oleh TNI
maupun GAM itu sendiri yang langsung berdampak kepada rakyat Aceh pada umumnya.
Sebagai sebuah perbandingan bahwa
selalu terngiang-ngiang pada telinga kita, khususnya Aceh di pegunungan adalah
bahwa pemberontak saat ini telah mendapatkan kesempatan untuk menjadi hidup
lebih baik, sedangkan pembela tanah air, rakyat Gayo pada umumnya yang
menginginkan Provinsi malah tidak mendapatkan apapun, bahkan semakin terzholimi
dengan kebijakan-kebijakan dari pemerintah GAM pilihan rakyat sebesar 35%, yang
pada kertas pemilihan cagubnya menggunakan pakaian tradisional orang Aceh.
Contohnya seperti adanya KPA, yang jelas-jelas selalu ikut campur dalam
kepemerintahan rakyat Aceh untuk kepentingan GAM, padahal seharusnya tugas
mereka adalah sebagai fasilitator dan konsultan bagi masyarakat Aceh, bukannya
malah bersikap seperti pemerintah bayangan GAM. Hal ini dapat dilihat dari
pembagiian APBD Prov NAD ke wilayah Aceh Pegunungan, dana BRR, pemberian
beasiswa bagi pemuda Aceh bahkan pengangkatan eselon I dan II pada pemerintah
daerah NAD, belum lagi yang lainnya apabila kita teliti satu persatu atau bila
dilihat sejak masa yang laiu. Yang terjadi adalah catatan yang panjang tentang
ketidakadilan Aceh Pesisir kepada Aceh Pegunungan.
Selama DOM rakyat Gayo selama ini
bahu membahu dengan TNI dan POLRI untuk mencegah pengaruh GAM pada Aceh
Pegunungan atau ALA sehingga mereka tidak dapat berkuasa penuh disitu. Hal ini
dapat dibuktikan dengan Bupati yang ada pada daerah ALA tidak satupun yang
berasal dari GAM berbeda dengan daerah lain pada Aceh. Ini sudah barang tentu
menunjukkan bahwa pengaruh GAM amat kurang.
Oleh karena itu, kemudian timbul
sebuah pemikiran apakah perjanjian itu perlu diikuti oleh rakyat Aceh yang sama
sekali tidak diikutkan dalam perjanjian tersebut, hanya diwakili oleh
segelintir orang dari GAM, pemberontak, yang tidak juga mengaspirasikan
penduduk Aceh keseluruhan, terlebih lagi pada daerah ALA.
Kembali
dipertanyakan apakah perjanjian itu patut kita patuhi? Terlebih lagi kita tidak
pernah diikutkan, dan tidak seluruh rakyat Aceh itu GAM, hanya segelintir, yang
kedepannya 'maaf' ternyata banyak dari mereka, bahkan setelah MoU Helinsky
ternyata masih lebih suka meminta-minta atau merampok bahkan menggunakan segala
cara untuk menggolkan apa yang dikehendakinya, mungkin ini juga karena adanya
konflik internal pada GAM. Ironisnya GAM yang ada pada KPA juga bertindah
serupa, hal ini yang terjadi di Atu Lintang baru-baru ini dimana kemarahan
warga kepada mereka.
Padahal
masyarakat dari daerah ALA juga merupakan korban DOM, bayangkan berapa rupiah
yang rugi dari kebun kopi yang terbengkalai, bahan makanan dan bahan bakar yang
langka karena tidak dapat masuk, anak-anak yang diculik untuk mengikuti
pelatihan GAM dengan kehidupan orangtuanya sebagai jaminan, rumah dan sekolah
yang dibakar, saling mencurigai antara teman dan lawan. Semua harus dilalui
dengan senjata yang tidak ada ditangan, dilain pihak GAM dan TNI mempunyai
senjata, bayangkan perasaan-perasaan
ketakutan yang harus dihadapi hingga tidur pun sulit waktu itu. Sesungguhnya
Pemerintah NKRI tahu bahwa masyarakat Gayo pada umumnya selalu membela NKRI sampai kapanpun.
Kesepakatan
hanya dipatuhi oleh pihak-pihak yang mengikuti perjanjian tersebut sedangkan
yang tidak mengikutinya sudah pasti tidak mempunyai kewajiban untuk itu.
Tulisan dari Tony Priono dan Sigit Sugiharto menurut saya masih terlalu baik karena
berusaha mengaitkan kemungkinan perjanjian Helinsky dengan pemekaran wilayah
Aceh, terlalu baik. Bahkan dengan kebaikan itu mereka pun masih
mempermasalahkannya untuk berpegang teguh perjanjian itu.
Apakah
mereka tidak pernah berpikir mereka juga telah melanggar pesan Proklamasi 17
Agustus 1945 dan UUD 1945 mengenai peta wilayah NKRI sejak tahun 1945 bahwa
peta wilayah Indonesia dari Sabang sampai Meuroke, mana yang lebih tinggi
perjanjian Helinsky atau perjanjian PBB wilayah kesatuan Republik Indonesia.
Mana yang lebih dibela Pemberontak atau Pendukung NKRI. Mana yang harus dibela
yang sudah melanggar janji Proklamasi 17 Agustus 1945 atau yang bersusah payah
menyebarkan berita kemerdekaan NKRI ke seluruh dunia bahwa kita sebagai bangsa
Indonesia yang dikumandangkan dari radio rimba raya Takengon atau Bener Meriah
saat ini ketika semua tidak bisa melakukannya. Bahkan apakah mereka juga
memungkiri bahwa rakyat Aceh adalah yang pertama kali memberikan sumbangan
pesawat dari rakyat Aceh untuk merebut kemerdekaan RI.
Yang
selalu menjadi pemikiran adalah bahwa mereka selalu mengatakan bahwa adanya GAM
untuk memajukan rakyat Aceh atau akibat rakyat Aceh yang tertindas, akan tetapi
kenyataannya sampai saat ini ethnocentris dari Aceh Pesisir dengan Aceh Pedalaman
ternyata tidak bisa dianggap sebelah mata, keadilan selalu tidak didapatkan.
Hal ini sebenarnya mudah saja dilihat dengan kenyataan-kenyataan yang ada sejak
dahulu sampai sekarang. Oleh karena itu, yang dikuatirkan adalah jangan sampai
masyarakat ALA berpikir bahwa GAM sekarang memang hanya ingin mencari
kekuasaan, bukan kesejahteraan masyarakat, bahkan mungkin mempunyai agenda
politik lain untuk kemudian memperjuangkan Aceh Merdeka kembali.
Sampai
kapanpun selama ada suku bangsa Gayo tidak akan pernah ada Aceh Merdeka di
nusantara itu, mohon dicatat. Masyarakat Gayo itu bukan pemberontak, karena
kami punya budaya malu, budaya tertinggi suku ini, memberontak itu perbuatan
pengkhianat yang tidak bisa ditolerir. Sekarang kami juga sudah malu karena selalu
mendapat penghinaan dan pelecehan bahkan ketidakadilan, maka bagi kami baik
lebih mati daripada hidup. Dan ini sesuai dengan perintah Agama "Hidup
Mulia atau Mati Syahid", kami berjuang membela kehormatan kami merupakan
jihad dalam agama Islam, hal ini mungkin lebih baik dari pepatah orang Aceh
pesisir yang mengatakan putih tulang kami sama dengan putih mata kami.
Kembali
dicatat bahwa pemekaran wilayah ini karena kami hanya ingin hidup bersama
dengan rakyat Aceh pesisir secara damai dan sejajar, bukan karena kami benci
rakyat Aceh pesisir, karena kami ingin hidup dalam kedamaian menuju
kesejahteraan dan meningkatkan mutu hidup. Itu
yang menurut kami sulit diterima apabila dilarang. Apabila anda selama ini
tidak dapat mengurus kami bahkan melupakan kami ada, kenapa terus mengikat
kami, alasan apapun kami sudah siap untuk berdiri sendiri, bukankah beban anda
juga akan lebih ringan. Atau anda memang ingin menghancurkan kami.
Akan tetapi apabila kami terus
saja ditekan jangan salahkan apabila Aceh kembali tidak aman, bukan GAM yang
berontak, akan tetapi rakyat Aceh Pedalaman juga bisa melakukan itu utamanya
kepada pemerintah Aceh sekarang yang notabene pemerintah GAM, demi menginginkan
peningkatan taraf hidup yang lebih baik melalui provinsi ALA. Ataupun lagi anda
yang kembali berkhianat kepada NKRI karena adanya pemekaran wilayah NAD.
Perlu diingat bahwa masalah ini
seperti api dalam sekam yang apabila terbakar dampaknya akan lebih besar,
seperti kejadian di Atu Lintang. Mari hidup bersisian, hilangkan egoisme, kita
berdiri dengan sama tegak menuju Aceh damai dan rakyatnya yang sejahtera.
Perbedaan adalah sebuah rahmat
dari Allah SWT, hal ini yang menyebabkan Allah menciptkan manusia bersuku
bangsa untuk saling mengenal satu dengan yang lain. Bhineka Tunggal Ika dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jika
ingin lebih berdiskusi silahkan kirim ke email cossalabu@gmail.com
Baca
baik-baik dan jawab pakai nurani anda sebagai Manusia
----------