Stockholm,
22 April 2007
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum
wr wbr.
SEMANGAT UNTUK MENDALAMI SEJARAH
ACHEH ADALAH SALAH SATU MODAL UTAMA UNTUK MEMPERJUANGKAN ACHEH
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
SEKELUMIT
MENYINGGUNG SEJARAH ACHEH KAITANNYA DENGAN JEPANG, SEKUTU, BELANDA DAN RI
"Saudara
Ahmad Sudirman Yth, saya tertarik mempelajari sejarah Atjeh dari Anda, saya
melihat Anda sangat mendalami sejarah Atjeh. Dan Anda pula yang menumbuhkan
semangat saya untuk mendalami sejarah Atjeh. Saya ingin berbuat sesuatu untuk
kemuliaan Atjeh. Dalam sejarah yang pernah saya pelajari saya
mengetahui. Atjeh dalam lintas sejarah adalah sebuah Negara yang bermartabat
dan berdaulat. RI samasekali tidak berhak atas Atjeh! Maka dari itu saya ingin
bertanya kepada Anda: Setelah berakhirnya perang antara Kerajaan Atjeh dengan
Kerajaan Belanda (1873-1902/1904). Seperti apa suasana di Atjeh dalam kurun
waktu dari tahun 1902/1904 sampai dengan tahun 1945? Dan siapa Pemimpin/Sultan
Atjeh dalam kurun waktu 1902/1904-1945? Mengapa Sekutu juga menggerakkan
pasukan Jepang untuk menyerang Atjeh? Apa ”kesalahan” Atjeh? Saya ingin tau Sumatera yang dimaksud di sini apakah
termasuk Atjeh? Apakah ada pengecualian Atjeh? Pemerintah Darurat Republik
Indonesia 19 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949 berkantor di mana? Di Koetaradja
(Atjeh) atau Bukittinggi (Minangkabau)? Pada saat itu Minangkabau tunduk di
bawah kekuasaan Negara apa? Sementara itu, ada salah satu Negarabagian RIS
yang bertetangga dengan Atjeh yaitu Negara Sumatera Timur. Saya ingin tau
sampai mana batas wilayah Negara Sumatera Timur itu di sebelah barat yang
berbatasan langsung dengan Atjeh itu?" (Dewi Mawar, ratna_andari@yahoo.co.id , [222.124.193.3], Date: Sun, 22
Apr 2007 00:03:30 +0700 (ICT))"
Terimakasih saudari Ratna Andari di Acheh.
Sebenarnya perang Acheh tidak berakhir pada tahun 1904, yaitu ketika Van Daalen yang menggantikan Van Heutz membunuh 2922 orang Acheh, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan di Kuta Reh pada tanggal 14 Juni 1904, juga menangkap Cut Nya' Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya. Melainkan perang Acheh masih terus berkobar melalui perang gerilya, seperti yang dipimpin oleh Teungku Tjhik Buket di Tiro yang sahid dalam pertempuran di Gunung Alimon pada tanggal 21 Mei 1910. Selanjutnya perlawanan secara gerilya ini dilanjutkan oleh Teungku Tjhik Mahyeddin di Tiro yang sahid dalam pertempuran di Putjok Alue Simi pada tanggal 5 September 1910. Kemudian pimpinan gerilya diteruskan oleh Teungku Tjhik Maat di Tiro yang menghadapi sahidnya pada pertempuran di Alue Bhot, Tangse pada tanggal 3 Desember 1911. Nah, dari sejak tanggal 3 Desember 1911 inilah Acheh secara de facto dijajah oleh Belanda sampai waktu Jepang berhasil menguasai Asia Tenggara termasuk Acheh pada tahun 1942. Dimana Belanda berhasil dihancurkan oleh Jepang di Acheh dan meninggalkan Acheh dan semua daerah jajahannya di Nusantara. Sejak tahun 1942 Jepang adalah penjajah baru di Acheh. Tetapi, pada tanggal 14 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu, setelah bom atom dijatuhkan diatas Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945 dan diatas Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945. Setelah Jepang menyerah kepada Amerika dan sekutunya, maka tugas dan wewenang untuk menduduki wilayah Sumatera, Jawa, dan Madura diserahkan kepada Panglima South East Asia Command (SEAC) Lord Louis Mountbatten di Singapura. Sedangkan untuk wilayah Kalimantan sampai ke Irian Jaya diserahkan kepada Angkatan Perang Australia.
Kemudian setelah bekas wilayah pendudukan Jepang diserahkan
oleh Jepang kepada pihak Amerika dan sekutunya, maka tanggal 24 Agustus 1945,
antara Pemerintah Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda tercapai persetujuan
yang dikenal dengan nama Civil Affairs Agreement. Dimana dalam persetujuan ini
disebutkan bahwa panglima tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang
kekuasaan atas nama pemerintah Belanda. Dalam pelaksanaan hal yang menyangkut
pemerintahan sipil diserahkan kepada NICA (Netherland Indies Civil
Administration) dibawah tangung jawab Kommando Inggris. Kekuasaan itu kemudian akan dikembalikan kepada
Kerajaan Belanda. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara
RI, 1986, hal.34)
Nah, atas alasan fakta, bukti dan hukum Civil Affairs Agreement antara Inggris dan Belanda inilah mengapa pasukan Sekutu pada bulan November 1945 menggerakkan pasukan Jepang di Sumatera yang masih tinggal dan sudah menyerah itu untuk menyerang Acheh. Karena Acheh yang sudah ditinggalkan oleh pasukan jepang menjadi bebas, dan pejuang Islam Acheh yang langsung dipimpin oleh Residen Teuku Nyak Arif mampu menahan serangan pasukan Jepang dan dapat dipukul mundur. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.70-71) Sedangkan di daerah-daerah lainnya di Sumatra pasukan Sekutu (Inggris - Gurkha) yang bersama tentara Belanda dan NICA (Netherland Indies Civil Administration) dibawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly berhasil mendarat di Medan pada tanggal 9 Oktober 1945. Kemudian pada tanggal 13 oktober 1945 terjadi pertempuran pertama antara para pemuda dan pasukan Belanda yang dikenal dengan pertempuran "Medan Area". Seterusnya pada tanggal 10 Desember 1945 seluruh daerah Medan digempur pasukan Sekutu dan NICA lewat darat dan udara. Juga Padang dan Bukittinggipun digempur pasukan Sekutu dan serdadu NICA.
Jadi adanya penyerangan pasukan Sekutu bersama tentara Belanda dan NICA (Netherland Indies Civil Administration) kepada Acheh, bukan berarti Acheh mempunyai kesalahan, melainkan karena Acheh telah bebas dari penjajahan Jepang dan pihak Sekutu bersama Belanda tidak mampu menduduki kembali Acheh.
Karena telah timbul berbagai perang, baik di Sumatera seperti di Medan, Padang, Bukittinggi dan Acheh, juga di Jawa seperti di Semarang dan Surabaya, maka pada tanggal 25 Maret 1947 ditandatangani persetujuan Linggajati di Istana Rijswijk, sekarang Istana Merdeka, Jakarta. Dari pihak RI ditandatangani oleh Sutan Sjahrir, Mr.Moh.Roem, Mr.Soesanto Tirtoprodjo, dan A.K.Gani, sedangkan dari pihak Belanda ditandatangani oleh Prof.Schermerhorn, Dr.van Mook, dan van Poll. Dimana isi perjanjian Linggajati itu, secara de pacto RI dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura. RI dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama RIS, yang salah satu negara bagiannya adalah RI. RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.119,138)
Nah, dari isi Perjanjian Linggajati ini sudah kelihatan bahwa bagaimana keadaan dan status de-facto dan de-jure RI dihubungkan dengan wilayah lainnya yang masih berada dalam kekuasaan de-facto dan de-jure Sekutu. Jadi Perjanjian Linggajati ini bukan hanya sekedar menghentikan peperangan dan permusuhan antara RI dan Belanda, melainkan menetapkan dan memutuskan status de-facto dan de-jure RI dan Belanda. Dan dalam Perjanjian Linggajati ini juga sudah disepakati bahwa akan dibentuk Negara Federasi atau RIS (Republik Indonesia Serikat), dimana RI merupakan salah satu Negara bagian RIS.
Adapun yang menyangkut Sumatera memang tidak dicantumkan bahwa didalamnya termasuk Acheh, hal ini disebabkan secara fakta, bukti dan hukum Acheh adalah bebas setelah Jepang menyerah kepada pihak Amerika dan Sekutu, dan pihak Sekutu bersama Belanda tidak berhasil menduduki kembali Acheh.
Jadi, dalam hal ini kalau disebutkan dalam isi perjanjian Linggajati nama Sumatera, tetapi dalam fakta, bukti dan hukumnya Acheh berada diluar nama Sumatera. Artinya Acheh tidak termasuk dalam isi perjanjian yang menyebutkan bahwa pihak RI mempunyai hak secara de facto dan dejure atas Sumatera. Apalagi setelah perjanjian Renville ditandatangani pada 17 Januari 1948. Ternyata wilayah kekuasaan secara de-facto dan de-jure Negara RI adalah di Yogyakarta dan daerah sekitarnya. Jadi, akibat dari ditandatangani Perjanjian Renville inilah kekuasaan wilayah RI hanya di Yogyakarta dan daerah sekitarnya, dan daerah wilayah Acheh berada diluar wilayah kekuasaan de-jure dan de-facto Negara RI.
Selanjutnya soal dibentuknya Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI) oleh Sjafruddin Prawiranegara atas mandat yang diberikan oleh
Kabinet RI di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948, sebelum RI di
Yogyakarta jatuh ke tangan pasukan Beel, dimana Soekarno dan Mohammad Hatta
ditawan kemudian diasingkan ke Bangka, memang itu PDRI pada awalnya berdiri di
Bukittinggi. Sejak tanggal 19 Desember 1948, itu wilayah di Sumatera sudah
mulai digempur oleh Belanda. Tidak ada wilayah yang bebas, kecuali Acheh, dan
wilayah Negara-Negara dan Daerah-Daerah yang telah berdiri sendiri dan diakui
oleh Belanda dan yang akan menjadi Negara Bagian RIS. Dimana di Sumatera dan
wilayah sekitarnya yang telah menjadi Negara dan Daerah yang berdiri sendiri
adalah Negara Sumatra Selatan, Negara Sumatra Timur, Daerah Bangka, Daerah
Belitung, Daerah Riau. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat
Negara RI, 1986, hal.243-244). Jadi PDRI sampai waktu diserahkan kembali
mandatnya pada tanggal 13 Juli 1949 kepada Mohammad Hatta di Jakarta, itu
kedudukan PDRI adalah di Acheh. Atau dengan kata lain itu PDRI merupakan
Pemerintah Darurat Republik Indonesia dalam pengasingan di Acheh. Dan hal ini
juga sesuai dengan dasar hukum Resolusi PBB No.67(1949) 28 January 1949. Dimana
menurut fakta, bukti dan hukum yang diakui oleh pihak PBB yang tertuang dalam
Resolusi PBB No.67(1949) pada tanggal 28 January 1949 mendasarkan adanya
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dalam pengasingan di Acheh berdasarkan
hasil kerja Komisi militer pencari fakta PBB (U.N. Fact Finding Military
Commission) yang datang ke Kuta Radja di Acheh pada bulan Januari 1949 dalam
usaha mencari fakta dan bukti apakah benar pihak Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI) dalam pengasingan di Acheh yang dibentuk berdasarkan mandat
yang dikirimkan oleh pihak Kabinet RI di Yogyakarta sebelum Negara RI secara
de-facto dan de-jure lenyap dan hilang dari permukaan bumi benar-benar wujud. Ternyata, karena adanya Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI) dalam pengasingan di Acheh, maka keluarlah
dasar hukum Resolusi PBB No.67(1949) pada tanggal 28 January 1949 yang sebagian
isinya berbunyi: "in the interest of carrying out the expressed objectives
and desires of both parties to establish a federal, independent and sovereign
United States of Indonesia at the earliest possible date, negotiations be
undertaken as soon as possible by representatives of the Goverenment of the
Netherlands and refresentatives of the Republic of Indonesia, with the
assistance of the Commission referred to in paragraph 4 below, on the basis of
the principles set forth in the Linggadjati and Renville Agreements. (PBB
resolution No.67(1949), 28 January 1949, adopted at the 406th meeting)."
Nah
sekarang, dari fakta, bukti, sejarah dan hukum diatas menyatakan bahwa memang
benar adanya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dalam pengasingan di
Acheh, sehingga bisa dijadikan sebagai dasar acuan lahirnya Resolusi PBB
No.67(1949) pada tanggal 28 January 1949 dan diadakannya Perjanjian Roem Royen
yang hasil kesepakatannya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949.
Selanjutnya yang terjadi pada tanggal 24 Maret 1948 di Sumatera Timur adalah lahir dan berdirinya Negara Sumatera Timur yang ber Ibu Kota Medan dengan Dr. Teungku Mansyur diangkat sebagai Wali Negara. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal. 176). Dan menjadi Negara bagian RIS. Adapun batas Negara Sumatera Timur disebelah barat adalah Tapanuli. Dimana Negara Sumatera Timur inilah yang dirobah menjadi Propinsi Sumatera Utara oleh Presiden RIS Soekarno dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 5 tahun 1950 yang telah diubah dengan Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1955 (Lembaran Negara tahun 1955 No.52). Bukan hanya Negara Sumatera Timur yang dirobah menjadi Propinsi Sumatera Utara melainkan juga dianeksasinya Tapanuli, Acheh, Langkat dan Karo kedalam wilayah Sumatera Utara.
Terakhir, inilah sedikit jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut sejarah Acheh yang disampaikan oleh saudari Ratna Andari.
Bagi
yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada
ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk
membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah
Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP
http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad
Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
----------
Received:
from [222.124.193.3] by web62114.mail.re1.yahoo.com via HTTP; Sun, 22 Apr 2007
00:03:30 ICT
Date: Sun,
22 Apr 2007 00:03:30 +0700 (ICT)
From: Dewi
Mawar <ratna_andari@yahoo.co.id>
Subject:
Saya Ingin Tau Sejarah Atjeh dari Anda
To:
ahmad@dataphone.se
Saudara Ahmad Sudirman Yth:
Saya tertarik mempelajari sejarah Atjeh dari Anda, saya melihat Anda sangat mendalami sejarah Atjeh. Dan Anda pula yang menumbuhkan semangat saya untuk mendalami sejarah Atjeh. Saya ingin berbuat sesuatu untuk kemuliaan Atjeh. Dalam sejarah yang pernah saya pelajari saya mengetahui. Atjeh dalam lintas sejarah adalah sebuah Negara yang bermartabat dan berdaulat. RI samasekali tidak berhak atas Atjeh!
Maka dari itu saya ingin bertanya kepada Anda:
’’Nah, ketika Soekarno membentuk Kabinet RI pertama pada awal bulan September 1945, ternyata Soekarno mengklaim bahwa "seluruh tumpah darah Indonesia" adalah Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan. Sehingga diangkatlah 8 orang Gubernur untuk kedelapan propinsi yang diklaim Soekarno itu, salah satu Gubernur yang diangkat Soekarno itu adalah Mr. Teuku Mohammad Hassan untuk propinsi Sumatra. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.30)
Sekarang timbul pertanyaan, apakah benar pengklaiman wilayah RI yang dibuat diatas kertas oleh Soekarno tersebut? Tentu saja jawabannya adalah tidak benar. Mengapa ? Karena terbukti setelah pembentukan Kabinet Pertama RI timbul berbagai perang dimana-mana.
Misalnya di Sumatra pasukan Sekutu (Inggris - Gurkha) yang diboncengi oleh tentara Belanda dan NICA (Netherland Indies Civil Administration) dibawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di Medan pada tanggal 9 Oktober 1945. Pada tanggal 13 Oktober 1945 terjadi pertempuran pertama antara para pemuda dan pasukan Belanda yang dikenal dengan pertempuran "Medan Area". Pada tanggal 10 Desember 1945 seluruh daerah Medan digempur pasukan Sekutu dan NICA lewat darat dan udara. Kemudian Padang dan Bukittinggipun digempur pasukan Sekutu dan serdadu NICA.
Sedangkan
di Acheh karena Sekutu menggerakkan pasukan-pasukan Jepang untuk menghadapi dan
menghantam pejuang-pejuang Islam Acheh, maka pecahlah pertempuran yang dikenal
sebagai peristiwa Krueng Panjo/Bireuen, pada bulan November 1945. Kemudian
Sekutu mengirim lagi pasukan Jepang dari Sumatra Timur menyerbu Acheh sehingga
terjadi pertempuran besar di sekitar Langsa/Kuala Simpang. Pihak pejuang Islam
Acheh yang langsung dipimpin oleh Residen Teuku Nyak Arif. Kemudian pasukan Jepang dapat
dipukul mundur. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI,
1986, hal.70-71)’’.
Yang ingin saya tanyakan, mengapa Sekutu
juga menggerakkan pasukan Jepang
untuk menyerang Atjeh?
Apa ”kesalahan” Atjeh?
Pada saat itu Minangkabau tunduk di bawah kekuasaan Negara apa?
Terima Kasih
Sumatera Tengah, 21 April 2007
Ratna Andari
----------