Stockholm,
27 Februari 2007
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum
wr wbr.
MENGULITI SEJARAH ACHEH DIKAITKAN
DENGAN UU NO.11 TAHUN 2006
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
SEKILAS MENGUPAS FAKTA, BUKTI, SEJARAH DAN HUKUM DIBALIK UU NO.11 TAHUN 2006 DIHUBUNGKAN DENGAN ALASAN ACHEH DAERAH MODAL BAGI RI.
"...disayangkan
kepada sdr Ahmad Sudirman atau siapapun anda, sebenarnya saya pribadi sangat
tertarik dengan pandangan anda tentang burung garuda, mpu tantular dsb tetapi
sayangnya anda tidak memberikan fakta yang memadai sebagai pendukung opini
anda. Anda tidak menyebutkan pasal berapa UUD 45 yang bertentangan dengan MoU
Helsinki, sejarah Aceh terkait dengan RI versi anda, sikap Wali Nanggroe
terhadap IRNA dsb. Karena menurut saya tulisan
anda adalah perspektif baru dalam khasanah wacana politik di Aceh. Tapi sayang
seribu sayang, terlalu banyak caci maki, tudingan, cemoohan, sok hebat (jampok)
sehingga mengurangi bobot tulisan saudara Ahmad. Terakhir, semakin berbeda saya
anggap semakin bagus asal dengan syarat tetap memenuhi kaidah kita (agama dan
Ilmu pengetahuan)." (Muhammad Nizar, fordas_aceh@yahoo.com , "Topik:
beritakan dengan fakta",
http://www.acehkita.com/index.php?dir=message&showold=yes&page=6 , 19
Februari 2007)
Terimakasih
saudara Muhammad Nizar dari Canadian International Development Agency Acheh
Programme di Banda Acheh, Acheh.
Nah
untuk memberikan jawaban atas pertanyaan saudara Muhammad Nizar diatas, disini
Ahmad Sudirman sedikit akan menyinggung dua hal saja, yaitu pertama tentang UUD
1945 Pasal 18B ayat (1) kaitannya dengan MoU Helsinki dan kedua, mengenai
fakta, bukti, sejarah dan hukum tentang Acheh dikaitkan dengan apa yang
dituangkan dalam UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Acheh yang menyangkut
"…Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia" (UU No.11
tahun 2006 Menimbang: c.)
Nah
sekarang yang pertama akan disinggung masalah UUD 1945 Pasal 18B ayat (1)
kaitannya dengan MoU Helsinki. Dimana dalam kesepakatan antara Pemerintah RI
dan Gerakan Acheh Merdeka yang dituangkan dalam MoU Helsinki bahwa di Acheh
akan dibangun Pemerintahan Sendiri atau Self Government di wilayah Aceh
berdasarkan perbatasan 1 Juli 1956 dan menurut apa yang terjadi pada 1 Juli
1956, itu Acheh adalah bukan provinsi
dan Acheh bukan bersifat otonomi, melainkan Acheh merupakan daerah yang
dimasukkan kedalam wilayah propinsi Sumatra Utara. Kemudian kalau pihak pihak
Pansus DPR RI yang telah menetapkan UU tentang Pemerintahan Acheh pada tanggal
11 Juli 2006 yang lalu mengklaim bahwa Undang Undang Nomor 24 Tahun 1956
Tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan
Pembentukan Propinsi Sumatera Utara yang ditetapkan pada tanggal 29 Nopember
1956 oleh Presiden Republik Indonesia, Soekarno dan diundangkan pada tanggal 7
Desember 1956 oleh Menteri Kehakiman, Muljatno dan Menteri Dalam Negeri,
Sunarjo dijadikan sebagai dasar hukum untuk menyatakan bahwa Acheh adalah
merupakan propinsi RI, maka pengklaiman tersebut adalah suatu kebohongan
belaka. Mengapa?
Karena,
Acheh pada tanggal 1 Juli 1956 masih merupakan daerah yang dianeksasi kedalam
wilayah Propinsi Sumatera Utara, dan Acheh dinyatakan sebagai satu propinsi
yang bersifat otonomi yang terpisah dari Propinsi Sumatera Utara baru pada
tanggal 29 Nopember 1956, yaitu setelah Undang Undang Nomor 24 Tahun 1956
Tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan
Pembentukan Propinsi Sumatera Utara ditetapkan pada tanggal 29 Nopember 1956
dan diundangkan pada tanggal 7 Desember 1956.
Nah,
daerah Acheh yang dianeksi kedalam wilayah Propinsi Sumatera Utara tidak bisa
diklaim sebagai Acheh yang berbentuk propinsi dan bersifat otonomi pada tanggal
1 Juli 1956.
Nah
sekarang, berdasarkan dasar hukum inilah mengapa Acheh pada tanggal 1 Juli 1956
adalah bukan berbentuk propinsi dan bukan bersifat otonomi, melainkan Acheh
yang dianeksasi kedalam wilayah Propinsi Sumatera Utara oleh Soekarno melalui
RIS.
Jadi
kalau pihak Pansus DPR RI mengklaim dalam UU No.11 tahun 2006 bahwa Acheh
"berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan
satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa"( UU
No.11/2006 Menimbang: b. & UUD 1945 Pasal 18B ayat (1)), maka pengklaiman
Pansus DPR RI adalah penuh kepalsuan dan kebohongan. Menurut apa yang telah
disepakati oleh pihak Pemerintah RI dan GAM adalah Acheh bukan berbentuk
propinsi yang bersifat otonomi, melainkan Acheh merupakan Pemerintahan sendiri
yang berdiri di daerah perbatasan 1 Juli 1956 melalui pemilihan di Acheh yang bebas dan adil berdasarkan UU baru yang mengacu pada MoU Helsinki.
Selanjutnya
masalah kedua yang akan dijelaskan disini adalah mengenai fakta, bukti, sejarah
dan hukum tentang Acheh dikaitkan dengan apa yang dituangkan dalam UU No.11
tahun 2006 yang menyangkut "…Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan
dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia" (UU No.11 tahun 2006 Menimbang: c.)
Nah
disini ada sesuatu keganjilan dan kekeliruan serta kesalahan dalam hal fakta,
bukti, sejarah dan hukum ketika pihak Pansus DPR RI yang telah menetapkan UU
tentang Pemerintahan Acheh pada tanggal 11 Juli 2006 yang lalu, yaitu yang
menyangkut dasar "Pertimbangan" yang isinya "…Aceh menjadi
daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia"
Yang
menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah benar pihak RI menganeksasi Acheh
kedalam wilayah RI dengan hanya memakai alasan bahwa Acheh menjadi daerah modal
bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia?
Untuk
membuktikan kebenaran dari apa yang dituangkan oleh pihak Pansus DPR RI ketika
membuat dan menetapkan UU tentang Pemerintahan Acheh tersebut diatas, kita
perlu menggali fakta, bukti, sejarah dan dasar hukumnya, apakah memang benar
alasan yang dikemukakan pihak Pansus DPR RI tersebut, atau tidak.
Nah
sekarang, marilah kita secara bersama untuk membongkar kembali apa yang ada dibalik
untaian kata-kata hasil ciptaan pihak Pansus DPR RI yang dituangkan dalam UU
tentang Pemerintahan Acheh tersebut diatas.
Agar
supaya kita dalam menggali fakta, bukti, sejarah dan dasar hukum tersebut mencapai
sasaran, maka kita perlu melihat dan mempelajari kembali kebelakang yaitu dari
sejak awal yang namanya RI tumbuh dan berkembang diatas permukaan bumi ini.
Nah,
ketika RI diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta pada 17 Agustus
1945, secara de-jure Negara RI telah berdiri. Tetapi secara de-facto, artinya
melihat kepada sudut wilayah kekuasaannya, masih belum jelas secara pasti
batas-batasnya dimana. Mengapa ?
Karena
kalau hanya mengikuti apa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia", ternyata masih diraba-raba, apa yang dimaksud dengan wilayah
de-facto RI itu. Mengapa ?
Karena
wilayah de-facto RI sebagaimana yang dimaksud dengan "seluruh tumpah darah
Indonesia" adalah bisa hanya sekitar Jakarta saja, atau bisa untuk seluruh
pulau Jawa, atau bisa hanya Pulau Sumatera saja, atau bila untuk pulau
Kalimantan saja, atau Pulau Maluku saja. Oleh sebab itu, yang dinamakan dengan
"seluruh tumpah darah Indonesia" model UUD 1945 adalah masih relatif
dan tidak jelas batas-batasnya.
Nah,
dalam keadaan yang masih remang-remang dan kabur dalam masalah batas wilayah RI
inilah, Soekarno ketika membentuk Kabinet RI pertama pada awal bulan September
1945, ternyata Soekarno hanya bisa melakukan pengklaiman dengan menyatakan
bahwa "seluruh tumpah darah Indonesia" adalah terdiri dari Sumatra,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan
Kalimantan. Sehingga diangkatlah 8 orang Gubernur untuk kedelapan propinsi yang
diklaim Soekarno itu, salah satu Gubernur yang diangkat Soekarno itu adalah Mr.
Teuku Mohammad Hassan untuk propinsi Sumatra. (30 Tahun Indonesia Merdeka,
1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.30)
Itulah
hasil pengklaiman Soekarno, tetapi tentu saja, pembagian wilayah itu adalah
hanya sebatas diatas kertas saja. Mengapa ?
Karena
terbukti setelah pembentukan Kabinet Pertama RI itu, timbul berbagai perobahan
dalam proses pertumbuhan dan perkembangan RI, terutama dalam hubungannya dengan
Acheh. Seperti timbul berbagai pertempuran di Jawa dan Sumatera.
Misalnya
di Sumatra pasukan Sekutu (Inggris - Gurkha) yang bersama tentara Belanda dan
NICA (Netherland Indies Civil Administration) dibawah pimpinan Brigadir
Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di Medan pada tanggal 9 Oktober 1945. Kemudian pada tanggal 13 oktober 1945 terjadi pertempuran
pertama antara para pemuda dan pasukan Belanda yang dikenal dengan pertempuran
"Medan Area". Seterusnya pada tanggal 10 Desember 1945 seluruh daerah
Medan digempur pasukan Sekutu dan NICA lewat darat dan udara. Juga Padang dan
Bukittinggipun digempur pasukan Sekutu dan serdadu NICA.
Tetapi, pasukan Sekutu dan NICA
tidak mampu masuk ke Acheh. Mengapa ? Karena walaupun pasukan Sekutu
menggerakkan pasukan-pasukan Jepang untuk menghadapi dan menghantam
pejuang-pejuang Islam Acheh, misalnya dalam pertempuran Krueng Panjo/Bireuen,
pada bulan November 1945, tetapi pasukan Sekutu tidak mampu menduduki wilayah
Panjo/Bireuen. Kemudian ketika pasukan Sekutu mengirim lagi pasukan Jepang dari
Sumatra Timur untuk menyerbu Acheh ke Langsa/Kuala Simpang, tetapi disinipun
pihak pejuang Islam Acheh yang langsung dipimpin oleh Residen Teuku Nyak Arif
mampu menahan serangan pasukan Jepang dan dapat dipukul mundur. (30 Tahun
Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.70-71)
Di Jawa, terjadi pertempuran di
Semarang antara pasukan Veteran Angkatan Laut jepang Kidobutai melawan TKR yang
dimulai pada tanggal 14 Oktober 1945 selama lima hari.(30 Tahun Indonesia
Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.50). Selanjutnya
pertempuran di Ambarawa yang diawali oleh mendaratnya tentara Sekutu dibawah
pimpinan Brigadir Jenderal Bethel di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945. (30
Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.68)
Seterusnya pertempuran di Surabaya yang dimulai 2 hari setelah Brigae 49/Divisi
India ke-23 tentara Sekutu (AFNEI) dibawah komando Brigadir Jenderal A.W.S.
Mallaby mendarat untuk pertamakali di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945.
(30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.57)
Karena setelah Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby dibunuh, maka pihak Sekutu
mengeluarkan ultimatun pada tanggal 9 November 1945. Kemudian pada tanggal 10
November 1945 pecah pertempuran. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949,
Sekretariat Negara RI, 1986, hal.58)
Nah, setelah terjadi pertempuran,
pihak RI dan Belanda mengadakan perundingan di Linggajati, yang dilaksanakan
pada tanggal 25 Maret 1947. Dimana isi sebagian Perjanjian Linggajati itu
adalah secara de facto RI meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura. RI dan Belanda
akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama RIS,
yang salah satu negara bagiannya adalah RI. RIS dan Belanda akan membentuk Uni
Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya. (30 Tahun Indonesia
Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.119,138)
Nah sekarang, coba perhatikan,
secara de facto daerah kekuasaan RI setelah perjanjian Linggajati
ditandatangani bukan seperti yang diklaim oleh Soekarno dari awal yang mencakup
Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi,
dan Kalimantan, melainkan hanya meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura.
Kemudian, apa yang terjadi antara
pihak Acheh dan RI pasca Perjanjian Linggajati 25 Maret 1947?
Ternyata, Soekarno datang ke Acheh
dan berjumpa dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh dan pernah Soekarno berjanji
dan berikrar didepan Teungku Muhammad Daud Beureueh yaitu "Sebagai seorang
Islam, saya berjanji dan berikrar bahwa saya sebagai seorang presiden akan
menjadikan Republik Indonesia yang merdeka sebagai negara Islam dimana hukum
dan pemerintahan Islam terlaksana. Saya mohon kepada kakak, demi untuk Islam,
demi untuk bangsa kita seluruhnya, marilah kita kerahkan seluruh kekuatan kita
untuk mempertahankan kemerdekaan ini" (S.S. Djuangga Batubara, Teungku
Tjhik Muhammad Dawud di Beureueh Mujahid Teragung di Nusantara, Gerakan
Perjuangan & Pembebasan Republik Islam Federasi Sumatera Medan, cetakan
pertama, 1987, hal. 76-77).
Setahun kemudian, tepatnya pada
tanggal 17 Januari 1948 ditandatangani Perjanjian Renville oleh pihak RI dan
Belanda yang sebagian isinya menyangkut gencatan senjata disepanjang garis Van
Mook dan pembentukan daerah-daerah kosong militer. Dimana secara de jure dan de
facto kekuasaan RI hanya sekitar daerah Yogyakarta saja. Perjanjian Renville
ini ditandatangani oleh Perdana Mentri Mr. Amir Sjarifuddin dari Kabinet Amir
Sjarifuddin, yang disaksikan oleh H.A. Salim, Dr.Leimena, Mr. Ali
Sastroamidjojo. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI,
1986, hal.155,163)
Sekarang, apa yang terjadi setelah
perjanjian Renville ditandatangani pada 17 Januari 1948.?
Ternyata wilayah kekuasaan secara
de-facto dan de-jure Negara RI adalah di Yogyakarta dan daerah sekitarnya.
Jadi, akibat dari ditandatangani Perjanjian Renville inilah kekuasaan wilayah
RI hanya di Yogyakarta dan daerah sekitarnya, dan daerah wilayah Acheh berada
diluar wilayah kekuasaan de-jure dan de-facto Negara RI.
Kemudian
kita hubungkan kembali dengan masalah Acheh. Ternyata, ketika Soekarno datang
berkunjung lagi ke Acheh pada tanggal 17 Juni 1948 pasca penandatanganan
Perjanjian Renville 17 Januari 1948, secara de-facto dan de-jure antara Negara
RI dengan Acheh tidak punya hubungan struktur pemerintahan. Mengapa ? Karena
Negara RI secara de-facto dan de-jure wilayahnya tidak melingkupi wilayah Acheh
menurut Perjanjian Renville, oleh karena itu Acheh pasca Perjanjian Renville
adalah merupakan satu Negeri Acheh yang secara de-jure dan de-facto berdiri
sendiri.
Dimana
datangnya kembali Soekarno ke Acheh pada tanggal 17 Juni 1948 adalah sebagaimana
yang diceritakan dalam cerita: "Dalam sebuah rapat akbar di Lapangan Blang
Padang, Banda Acheh, tanggal 17 Juni 1948, Soekarno menyatakan hal itu.
"Kedatangan saya ke Acheh ini spesial untuk bertemu dengan rakyat Acheh,
dan saya mengharapkan partisipasi yang sangat besar dari rakyat Acheh untuk
menyelamatkan Republik Indonesia ini," begitu katanya memohon kesediaan
rakyat Acheh untuk terus membantu Indonesia. Di Blang Padang ini pula ia
kemudian berujar tentang kontribusi Acheh sebagai daerah modal terhadap
tegak-berdirinya Indonesia. "Daerah Aceh adalah menjadi Daerah Modal bagi
Republik Indonesia, dan melalui perjuangan rakyat Aceh seluruh wilayah Republik
Indonesia dapat direbut kembali," ungkap Soekarno jujur." (kutipan
dari buku Perekat Hati yang Tercabik).
Nah,
menurut cerita tersebut diatas, Soekarno datang ke Acheh pada saat itu untuk
"mengharapkan partisipasi yang sangat besar dari rakyat Acheh untuk
menyelamatkan Republik Indonesia", karena Negara RI sudah digencet dan
terkurung di Yogyakarta dan daerah sekitarnya.
Jadi,
kalau berdasarkan fakta, bukti, sejarah dan dasar hukum sebagaimana yang
tertuang dalam Perjanjian Renville 17 Januari 1948, maka antara Negara RI dan
Acheh tidak memiliki hubungan struktur pemerintahan. Artinya, Acheh berada diluar Negara RI, baik secara de-jure
ataupun secara de-facto.
Kalau Soekarno menyatakan pasca
Perjanjian Renville 17 Januari 1948 bahwa "Daerah Aceh adalah menjadi
Daerah Modal bagi Republik Indonesia, dan melalui perjuangan rakyat Aceh
seluruh wilayah Republik Indonesia dapat direbut kembali" bukan berarti
secara hukum bahwa Acheh merupakan wilayah de-facto dan de-jure Negara RI.
Menafsirkan Acheh merupakan daerah modal bagi RI menjadi wilayah Negara RI
adalah suatu penafsiran yang salah total. Acheh membantu RI dalam hal keuangan
dan bantuan materi serta dukungan moril bukan berarti secara hukum Acheh
menjadi bagian wilayah Negara RI.
Selanjutnya, kita menggali tentang
anggapan yang muncul dikalangan RI yang menyatakan bahwa Acheh merupakan bagian
Negara RI adalah dengan adanya pengangkatan Teungku Muhammad Daud Beureueh
menjadi Gubernur Militer di Daerah Militer wilayah Acheh, langkat dan tanah
Karo.
Nah sekarang, yang dipertanyakan
adalah siapa yang mengangkat Teungku Muhammad Daud Beureueh menjadi Gubernur
Militer di Daerah Militer wilayah Acheh, langkat dan tanah Karo?.
Jawabannya adalah yang jelas bukan
Soekarno yang datang setelah perjanjian Renville 17 Januari 1948. Mengapa ?
Karena, kalau kembali lagi ke masa
sebelum Perjanjian Renville 17 Januari 1948, yaitu ke masa pasca Perjanjian
Linggajati adalah tidak mungkin mengangkat Gubernur Militer Teungku Muhammad
Daud Beureueh di Daerah Militer Acheh, karena Gubernur untuk Propinsi Sumatera
masih wujud yaitu Teuku Mohammad Hassan.
Selanjutnya, kalau dihubungkan
pengangkatan Gubernur Militer Teungku Muhammad Daud Beureueh dengan Instruksi
No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948, juga tidak ada kaitan hukumnya.
Mengapa ?
Karena, Instruksi No. I/MBKD/1948
tanggal 22 Desember 1948 tentang Mulai Bekerjanya Pemerintahan Militer
dikeluarkan oleh Kolonel A.H. Nasution ketika di Jawa, Panglima Tentara dan
Territorium Jawa, pada tanggal 22 Desember 1948 mengumumkan berdirinya
pemerintahan militer untuk Jawa. Dalam pada itu di bidang militer, dengan
bermodalkan pengalaman yang diperoleh selama menghadapi agresi militer pertama
dan perjuangan bersenjata sebelumnya, telah disiapkan konsep baru di bidang
pertahanan. Konsepsi tersebut dituangkan dalam Pemerintah Siasat No.1 Tahun
1948 yang pokok isinya adalah:
1. Tidak melakukan pertahanan yang
linier.
2. Memperlambat setiap majunya
serbuan musuh dan pengungsian total, serta bumi-hangus total.
3. Membentuk kantong-kantong di
tiap onderdistrik yang mempunyai kompleks di beberapa pegunungan.
4. Pasukan-pasukan yang berasal
dari daerah-daerah federal menyusup ke belakang garis musuh (wingate) dan
membentuk kantong-kantong sehingga seluruh pulau Jawa akan menjadi medan
gerilya yang luas. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara
RI, 1986, hal.192-193)
Nah, kalau dilihat, dibaca,
dipikirkan, dipahami dan dianalisa lebih mendalam, maka dengan menggunakan
alasan Instruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 tentang Mulai
Bekerjanya Pemerintahan Militer untuk mempertahankan Negeri Acheh masuk NKRI
akan menimbulkan dua masalah besar yang dilanggar secara hukum dan secara
kemiliteran. Mengapa ?
Karena pertama, Instruksi No.
I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 tentang Mulai Bekerjanya Pemerintahan
Militer dikeluarkan oleh Kolonel A.H. Nasution ketika di Jawa kalau diterapkan
untuk seluruh Indonesia, jelas satu pelanggaran dasar hukum Perjanjian Renville
17 Januari 1948 yang sebagian isinya mengakui secara de facto kekuasaan RI
hanya sekitar daerah Yogyakarta saja dan ditandatangani oleh Perdana Mentri Mr.
Amir Sjarifuddin dari Kabinet Amir Sjarifuddin, yang disaksikan oleh H.A.
Salim, Dr.Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo. (30 Tahun Indonesia Merdeka,
1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.155,163). Seterusnya Instruksi No.
I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 tentang Mulai Bekerjanya Pemerintahan
Militer yang keluarkan oleh Kolonel A.H. Nasution adalah karena Pemerintah RI
secara de-facto dan de-jure dari sejak 19 Desember 1948 telah hilang dari
Yogyakarta dan daerah sekitarnya, dikarenakan TNI tidak mampu menghadapi
pasukan Beel, Yogyakarta jatuh ke pasukan Beel, Soekarno dan Mohammad Hatta
ditawan dan diasingkan ke Bangka. Dan yang timbul adalah Pemerintah Darurat
Republik Indonesia (PDRI) yang dibentuk oleh Sjafruddin Prawiranegara
berdasarkan dasar hukum mandat yang dibuat dalam Sidang Kabinet RI yang masih
sempat dijalankan sebelum Negara RI lenyap dan sempat dikirimkan melalui
radiogram kepada Sjafruddin Prawiranegara yang waktu itu berada di Sumatera. Kemudian, Instruksi No.
I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 tentang Mulai Bekerjanya Pemerintahan
Militer yang keluarkan oleh Kolonel A.H. Nasution ketika di Jawa adalah
diterapkan di Jawa, dan menyatakan berdirinya pemerintahan militer untuk Jawa.
Sebagaimana yang tercantum dalam sebagian isinya yaitu "4. Pasukan-pasukan
yang berasal dari daerah-daerah federal menyusup ke belakang garis musuh
(wingate) dan membentuk kantong-kantong sehingga seluruh pulau Jawa akan
menjadi medan gerilya yang luas." (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949,
Sekretariat Negara RI, 1986, hal.192-193).
Kedua,
kalau Instruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 tentang Mulai
Bekerjanya Pemerintahan Militer dikeluarkan oleh Kolonel A.H. Nasution ketika
di Jawa dan yang diberlakukan untuk di Jawa dipaksakan untuk dipakai di luar
daerah kekuasaan de-facto Negara RI di Yogyakarta (waktu itu Yogyakarta sudah
dikuasi pasukan Beel) dipakai sebagai dasar hukum pengangkatan Mayor Jenderal
Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai Gubernur Jenderal Daerah Militer Negeri
Acheh, jelas itu telah melanggar hukum yang berlaku dalam pengeluaran instruksi
dalam tubuh TNI. Mengapa ? Karena yang mengeluarkan Instruksi No. I/MBKD/1948
tanggal 22 Desember 1948 tentang Mulai Bekerjanya Pemerintahan Militer adalah
Panglima Tentara dan Territorium Jawa Kolonel A.H. Nasution, bukan Panglima
Besar TNI Jenderal Soedirman yang dilantik oleh Presiden RI Soekarno pada
tanggal 28 Juni 1947 di Yogyakarta.(30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949,
Sekretariat Negara RI, 1986, hal. 143). Secara tingkatan kekuatan dasar hukum
yang berlaku dan dipakai baik dalam TNI atau Pemerintah RI adalah tingkatan
dasar hukum yang berada diatasnya yang bisa dipakai. Jadi disini jelas, karena
Instruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 tentang Mulai Bekerjanya
Pemerintahan Militer bukan dikeluarkan oleh Panglima Besar TNI Jenderal
Soedirman yang dilantik oleh Presiden RI Soekarno pada tanggal 28 Juni 1947 di
Yogyakarta, maka ditinjau dari kekuatan dasar hukumnya, Instruksi No.
I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 tentang Mulai Bekerjanya Pemerintahan
Militer tidak kuat dan tidak sah dipakai untuk pengangkatan Mayor Jenderal
Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai Gubernur Jenderal Daerah Militer Negeri
Acheh.
Jadi
dari kedua point diatas dapat ditarik satu garis lurus yaitu Instruksi No.
I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 tentang Mulai Bekerjanya Pemerintahan
Militer yang dikeluarkan oleh Kolonel A.H. Nasution ketika di Jawa, Panglima
Tentara dan Territorium Jawa, pada tanggal 22 Desember 1948 kalau diterapkan
untuk seluruh Indonesia, jelas adalah suatu pelanggaran dasar hukum Perjanjian
Renville 17 Januari 1948. Begitu juga kalau dipaksanakan untuk dipakai sebagai
dasar hukum pengangkatan Mayor Jenderal Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai
Gubernur Jenderal Daerah Militer Negeri Acheh, maka jelas ditinjau dari
kekuatan dasar hukumnya, Instruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948
tentang Mulai Bekerjanya Pemerintahan Militer tidak kuat dan tidak sah dipakai
untuk pengangkatan Mayor Jenderal Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai
Gubernur Jenderal Daerah Militer Negeri Acheh.
Nah
kesimpulan yang dapat diambil dari apa yang Pansus DPR RI telah tetapkan dalam
UU tentang Pemerintahan Acheh pada tanggal 11 Juli 2006 yang menyangkut
"Pertimbangan"
"…Aceh
menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan
kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia" untuk dijadikan alasan
agar Acheh dapat dimasukkan kedalam wilayah RI adalah fakta, bukti, sejarah dan
hukum-nya tidak benar dan salah fatal.
Jadi,
sekarang dapat dibuktikan secara fakta, bukti, sejarah dan hukum bahwa dasar
pertimbangan yang dituangkan oleh pihak Pansus DPRI RI dalam UU tentang
Pemerintahan Acheh-nya yang menyangkut "…Aceh menjadi daerah modal bagi
perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia" agar supaya Acheh bisa dianeksasi kedalam wilayah RI
adalah tidak benar sama-sekali. Dan itu semuanya hanyalah merupakan suatu mitos
saja.
Bagi
yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada
ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk
membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah
Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP
http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya
kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon
petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad
Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
----------