Stockholm,
22 Oktober 2006
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum
wr wbr.
ALLAMAH SYARAFUDDIN AL-MUSAWI SENGAJA
DAN PENUH KESADARAN MEMPERGUNAKAN FAKTA DAN BUKTI YANG SALAH DAN LEMAH.
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
KELIHATAN
DENGAN TERANG BAHWA ALLAMAH SYARAFUDDIN AL-MUSAWI SENGAJA DAN PENUH KESADARAN
MEMPERGUNAKAN FAKTA DAN BUKTI YANG SALAH DAN LEMAH.
Ketika
kita membahas secara bersama-sama tentang tulisan “Sejarah Hidupku, Hari-Hari
Masa Kecilku“ ( http://www.al-shia.com/html/id/books/Kebenaran-Hilang/index.htm
) yang dikarang oleh Allamah Syarafuddin Al-Musawi dari Sudan dan
disebarluaskan melalui situs Syiah oleh http://www.al-shia.com
ternyata diketemukan didalam tulisan pendahuluannya berjudul “Sejarah Hidupku,
Hari-Hari Masa Kecilku“ berisikan hal-hal yang tidak logis, kontradiksi dan
tidak masuk akal yang disimpulkan dalam uraian:
“Jadi
disini kelihatan dengan jelas dan nyata bahwa Allamah Syarafuddin Al-Musawi
ketika menuliskan hubungan antara kejadian di Ghadir khum setelah Haji Wada dan
turunnya ayat 1 dan ayat 2 surat Al-Ma'aarij ini tidak bisa diterima oleh akal
yang sehat atau tidak logis atau kontradiksi. Atau dengan kata lain Allamah Syarafuddin
Al-Musawi menuliskan cerita sejarah hidupnya itu penuh dengan kebohongan dan memanipulasi fakta dan
bukti.“ (Ahmad Sudirman, 20 Oktober 2006,
http://www.dataphone.se/~ahmad/061020a.htm
)
Nah,
rupanya kesimpulan yang diambil berdasarkan fakta, bukti hukum yang kuat itu
dibantah oleh salah seorang pengikut Ali atau Syiah Ali dengan menuliskan
bahwa:
“Tulisan Allamah Syarafuddin Al-Musawi tentu sebagaimana
buku yang ditulis penulis penulis lainnya, dimana pastinya ada titik
kelemahannya. Yang tidak memiliki titik kelemahan tentunya Al Qur-anul Karim.
Saya memforward bagian yang penting, yaitu tentang Konspirasi jahat yang
dilakukan terhadap Imam 'Ali as dan Mazhab Ahlulbaytnya atau Syi'ah Imamiah 12.
Sebaliknya orang itu hanya mengambil sisi yang masih perlu diperdebatkan
tentang keabsahannya.“ (Husaini Daud, 21 Oct 2006 18:16:10 -0000)
Nah sekarang, terbukti dengan terang bahwa ternyata setelah dibongkar
inti yang tertuang dalam Bab pendahuluannya yang merupakan bagian awal dan
penting dalam buku tersebut untuk menarik para pembaca, ternyata isinya penuh
kebohongan akibat mempergunakan fakta dan bukti hukum yang tidak benar dan
tidak masuk akal serta kontradiksi.
Kemudian yang paling melemahkan lagi yaitu dengan mengajukan argumentasi
bahwa kebohongan yang dilambungkan oleh Allamah Syarafuddin Al-Musawi dalam
bukunya itu adalah “sebagaimana buku yang ditulis penulis penulis lainnya,
dimana pastinya ada titik kelemahannya”.
Nah disinilah akhirnya pengikut Ali atau Syiah Ali yang hanya bisa
menjadikan dasar argumentasi untuk mempertahankan ketidak logisan dan
kontradiksi serta kebohongan itu dengan cukup memakai untaian kata “dimana
pastinya ada titik kelemahannya”.
Justru, sebenarnya itu bukan suatu titik kelemahan. Mengapa ?
Karena kalau memang Bab pendahuluan itu adalah berisikan poin-poin yang
lemah, maka tidak mungkin dijadikan sebagai bagian yang paling utama untuk
memikat para pembaca agar mau mengikuti dan mau tertarik dengan isi buku
tersebut. Dengan menjadikan ayat 1 dan ayat 2 surat Al-Ma'aarij sebagai dasar
argumentasi pengangkatan dan pelantikan Ali bin Abi Thalib ra di Ghadir khum
(satu tempat antara Mekkah dan Madinah) setelah Haji Wada dan ditempatkan di
Bab pendahuluan dan menjadi Bab utama dari buku itu, maka sudah pasti Allamah Syarafuddin
Al-Musawi dengan penuh kesadaran dan penuh pengertian bahwa apa yang ditulisnya
itu adalah fakta dan bukti hukum yang benar dan kuat.
Jadi, kalau kata pengikut Ali atau Syiah Ali bahwa tulisan Allamah Syarafuddin Al-Musawi adalah
“sebagaimana buku yang ditulis penulis penulis lainnya, dimana pastinya ada
titik kelemahannya. Yang tidak memiliki titik kelemahan tentunya Al Qur-anul
Karim.” Maka argumentasi yang disodorkannya itu adalah tidak lebih dan tidak
kurang hanyalah merupakan makin terbukanya kelemahan dan kesengajaan dalam hal
menjadikan fakta dan bukti hukum lemah untuk dijadikan penguat dalam hal cerita
pengangkatan dan pelantikan Ali bin Abi Thalib ra sebagai Khalifah langsung
penerus Rasulullah saw apabila Rasulullah saw telah menghadap Allah SWT.
Nah dengan ketidak mampuan memberikan argumentasi yang kuat atas apa
yang ditulis oleh Allamah Syarafuddin Al-Musawi, maka jalan pendek yang
ditempuh oleh pengikut Ali atau Syiah Ali itu cukup dengan menulis “Jadi
sebetulnya bagi saya sudah sa'atnya mengucapkan selamat tinggal kepada orang
itu dan "Lakum dinukum waliadin"”.
Selanjutnya dalam kesempatan ini juga kita akan membahas mengenai salah
satu dasar kekuatan hukum dalam membangun pemerintahan dan negara yang
dicontohkan Rasullah saw di Yatsrib. Dimana dasar kekuatan hukum dalam
membangun pemerintahan dan negara itu dituangkan dalam ayat 59 surat
An-Nisaa’yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS
An-Nisaa', 4: 59)
Nah,
dasar hukum Negara Islam pertama yang dibangun Rasulullah saw ini adalah
diturunkan sebelum Rasulullah saw melaksanakan Haji Wada. Kalau kita menggali
dan menganalisa apa yang tertuang dalam dasar hukum ayat 59 surat An-Nisaa’
itu, maka ditemukan butiran-butiran fakta dan bukti hukum yang akan membuat
argumentasi pihak para pengikut Ali atau Syiah Ali masuk dalam perangkap
jaringa buatannya sendiri. Mengapa ?
Karena,
apa yang tertuang dalam kata-kata “athi'u Allah wa athi'ur Rasul wa uli amri
minkum“ (taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu)
ditemukan satu dasar perbedaan yang sangat prinsipil dan paling mendasar, yaitu
masalah “athi'u Allah wa athi'ur Rasul“ (taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya)). Nah
didepan kata Allah dan Rasul ditempatkan kata perintah “athi'u“ (taatilah). Jadi dalam waktu
bersamaan kaum muslimin dan muslimat harus taat dan patuh kepada Allah SWT dan
Rasulullah saw. Taat kepada Allah SWT dan taat kepada Rasulullah saw, keduanya
tidak bisa dipisahkan. Tetapi, kepada ”uli
amri minkum” itu tidak ada perintah “athi'u“ (taatilah) sebagaimana kepada
Allah SWT dan Rasulullah saw. Mengapa ?
Karena ayat ini diturunkan
menurut Muslim dalam sahih-nya : 3416 ketika Rasulullah saw mengutus Abdullah
bin Hudzafah bin Qais bin Adi As-Sahmi dalam suatu pasukan perang.
Jadi Abdullah bin Hudzafah bin
Qais bin Adi As-Sahmi adalah salah satu contoh uli amri minkum yang diutus oleh
Rasulullah saw dalam suatu pasukan perang.
Nah pengertian ketaatan kepada
Allah SWT dan ketaatan kepada Rasulullah saw tidak diartikan sama dengan
ketaatan kepada Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin Adi As-Sahmi sebagai salah
seorang yang diutus dalam pasukan perang. Jadi, dalam hal pengangkatan Abdullah
bin Hudzafah bin Qais bin Adi As-Sahmi bagi pasukan perang dibawah komando
Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin Adi As-Sahmi harus patuh kepadanya. Tetapi
tidak berarti kepatuhan kepada Abdullah
bin Hudzafah bin Qais bin Adi As-Sahmi disamakan dengan ketaatan kepada Allah
SWT dan ketaatan kepada Rasulullah saw dalam hal kepercayaan atau keyakinan.
Nah, kalau sepeninggal
Rasulullah saw mengangkat uli amri diantara kaum muslimin dan muslimat adalah
bukan Allah SWT, melainkan kaum muslimin dan muslimat itu sendiri. Jadi,
ketaatan kepada Allah SWT dan ketaatan kepada Rasulullah saw tidak bisa
dilakukan dan diterapkan sama dengan kepada uli amri diantara kaum muslimin dan
muslimat. Sebagai alat pembanding adalah dengan pengangkatan Abdullah bin
Hudzafah bin Qais bin Adi As-Sahmi oleh Rasulullah saw sebagai salah seorang
yang diutus dalam pasukan perang.
Nah sekarang, berdasarkan ayat
59 surat An-Nisaa’ ini sudah bisa dibuktikan bahwa kalau ada orang sepeninggal
Rasulullah saw yang menjadikan ketaatan kepada Allah SWT dan ketaatan kepada
Rasulullah saw diterapkan kepada uli amri, maka orang itu telah melakukan
pelanggaran hukum dan penyelewengan hukum yang telah digariskan Allah SWT dan
dicontohkan Rasulullah saw.
Contohnya Allamah Syarafuddin
Al-Musawi telah menuliskan bahwa Ali bin Abi Thalib ra telah diangkat dan
dilatik menjadi Khalifah langsung sepeninggal Rasulullah saw. Dimana ketaatan
kepada Ali bin Abi Thalib ra adalah sama dengan ketaatan kepada Rasulullah saw,
sehingga Ali bin Abi Thalib ra dipanggil dengan panggilan Ali as setaraf dengan
tingkat Nabi dan Rasul, padahal tidak ada dalam Al Quran pengangkatan Ali bin
Abi Thalib ra sebagai Nabi atau sebagai Rasul atau sebagai Khalifah. Yang ada
diturunkan Allah SWT adalah ayat 59 surat An-Nissa’ tersebut diatas. Jadi
dengan ayat 59 surat An-Nisaa’ tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum untuk
menjadikan Ali bin Abi Thalib ra sebagai penggati Rasulullah saw sehingga
diberi gelar as atau alaihi salam sebagaimana gelar yang diberikan kepada para
Nabi dan Rasul.
Kemudian ayat 59 surat An-Nisaa’
ini juga adalah dasar hukum yang diterapkan dalam negara Islam pertama di
Yatsrib, yaitu ”Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
Nah, dasar hukum inilah yang
menjadi kekuatan dalam penentuan hukum di Negara Islam pertama yang dibangun
Rasulullah saw, yaitu apapun persoalan dan pendapat yang timbul dalam
pemerintah di Negara Islam pertama, maka jalan penyelesaiannya adalah diacukan
kepada Allah SWT yaitu kepada Al Quran dan Rasul yaitu kepada Sunnahnya. Inilah
dua pegangan yang harus tetap ditaati dan dijalankan oleh kaum muslimin dan
muslimat sampai hari yaumiddin atau hari pembalasan atau hari akherat.
Jadi dengan memegang kepada Al
Quran dan As-Sunnah Rasulullah saw, maka akan selamat kaum muslimin dan
muslimat yang hidup dalam naungan Negara Islam pertama Rasulullah saw. Begitu
juga bagi kaum muslimin dan muslimat akan selamat apabila dalam hal
penyelesaian masalah apapun yang timbul dalam pemerintah dan negara jalan
penyelesaiannya diacukan kepada Al Quran dan As-Sunnah Rasulullah saw.
Apa yang ditulis oleh Allamah Syarafuddin Al-Musawi tentang apa yang terjadi di Ghadir khum bahwa Rasulullah saw mengangkat dan melantik Ali bin Abi Thalib ra sebagai Khalifah langsung sepeninggal Rasulullah saw dengan diperkuat dalam pidato pengangkatan tersebut bahwa Rasulullah saw akan meninggalkan dua hal yang berat, yaitu: Al-Qur'an yang berisi petunjuk dan cahaya dan Keluarga Rasulullah saw atau dikalangan pengikut Ali bin Abi Thalib ra kedua hal itu dinamakan tsaqalain (Al-Quran dan Keluarga Rasulullah saw). Ternyata kalau digali lebih dalam tentang cerita tsaqalain yang kata mereka dinyatakan di Ghadir khum selepas Rasulullah saw melaksanakan Haji Wada pada tahun kesepuluh Hijrah dan dihubungkan dengan ayat 59 surat An-Nisaa’, maka ditemukan ketaatan kepada Allah SWT dan ketaatan kepada Rasulullah saw sebagaimana yang tertuang dalam ayat 59 surat An-Nisaa’ telah diganti dengan tsaqalain, yaitu memegang Al-Quran dan keluarga Rasulullah saw. Jadi bukan Rasulullah saw sendiri maksudnya Sunnah Rasulullah saw, tetapi keluarga Rasulullah saw. Artinya disini, apabila Rasulullah saw telah menghadap Allah SW, maka menurut pengikut Ali atau Syiah Ali seluruh kaum muslimin dan muslimat hanya wajib taat kepada Allah SWT artinya memegang Al Quran dan taat kepada keluarga Rasulullah saw yaitu kepada Ali bin Abi Thalib ra, Fatimah Zahra ra, Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra, Husen bin Ali bin Abi Thalib ra.
Terakhir, setelah digali,
dibaca, diteliti, dipahami dan dianalisa sebagaimana yang ditulis diatas, maka
ditemukan bahwa apa yang ditulis oleh Allamah Syarafuddin Al-Musawi tentang Ali
bin Abi Thalib ra telah diangkat dan dilatik menjadi Khalifah langsung
sepeninggal Rasulullah saw adalah tidak ada dasar nash-nya yang kuat dan sahih.
Begitu juga tentang tsaqalain ternyata bertentangan dengan dasar hukum ayat 59
surat An-Nisaa’. Seluruh kaum muslimin dan muslimat harus taat kepada Allah SWT
dan taat kepada Rasulullah saw. Bukan taat kepada Allah SWT dan taat kepada
keluarga Rasulullah saw yaitu kepada Ali bin Abi Thalib ra, Fatimah Zahra ra,
Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra, Husen bin Ali bin Abi Thalib ra sebagaimana
yang diimani dan diyakini oleh para pengikut Ali atau Syiah Ali.
Bagi yang ada minat untuk
menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya
sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya
yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang
Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya kepada Allah kita memohon
pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad
Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
----------