http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
Stockholm, 17
Oktober 2006
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum
wr wbr.
MENGGALI PERJANJIAN HUDAIBIYAH
DIHUBUNGKAN DENGAN UMAR BIN KHATTAB RA.
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
SEKILAS MENYOROT
PERJANJIAN HUDAIBIYAH DIHUBUNGKAN DENGAN UMAR BIN KHATTAB RA.
Setelah Negara
Islam pertama berdiri di Yatsrib pada tahun 1 H atau bersamaan dengan tahun 622
M, Rasulullah saw sebagai Rasul dan Nabi juga sekaligus sebagai pemimpin negara
Islam pertama di dunia, hampir tidak pernah menikmati kedamaian, karena
waktunya dihabiskan untuk mempertahankan Negara dari ancaman dan bahaya yang
datang dari luar, terutama yang datang dari pihak Quraisy.
Pada bulan
Syawwal 6 H Rasulullah saw bermimpi
sedang mencukur rambut kepala sesudah ibadah haji. Orang-orang muslim kaum
Anshor dan Muhajirin yang ada di Negara Islam Yatsrib-pun sudah sangat rindu
untuk mengunjungi Ka’bah, setelah bertahun-tahun meninggalkan Mekkah.
Walaupun wahyu
yang memerintahkan ibadah haji dan umrah telah diturunkan dalam Al Baqarah, QS
2: 196-210, tetapi dalam pelaksanaannya masih ada hambatan, yaitu masih adanya
permusuhan dengan pihak Quraisy. Kendatipun, masih ada permusuhan dengan pihak
Quraisy Rasulullah saw memutuskan untuk melakukan umrah bersama para sahabat
pada bulan berikutnya. Pada bulan Zulkaedah 6 H (sekitar tanggal 13 Maret 628
M) dengan 1400 sahabat, Rasulullah saw pergi untuk melaksanakan ibadah umrah
dengan damai tanpa maksud perang. (Ibnu Sa’d, Ath-Thabaqat al-Kubra, Jil. II,
hal. 95)
Walaupun
Rasulullah saw bersama para sahabat pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah
umrah, tetapi pihak Quraisy tidak mengizinkan Rasulullah saw untuk masuk ke
Mekkah. Berita ini diperoleh dari Budail, kepala suku Khaza’ah yang simpati membela
Islam. Kemudian melalui Budail ini Rasulullah saw mengirimkan pesan kepada
penguasa Quraisy bahwa Rasulullah saw bersama kaum muslimin ingin melaksanakan
ibadah, bukan untuk berperang. (Ibnu Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, Jil. II, hal.311). Sambil menunggu
pesan yang dikirim melalui Budail, Rasulullah saw berhenti di satu tempat yang
bernama Hudaibiyah. Ternyata pihak Quraisy mengirimkan utusannya Urwah bin
Mas’ud untuk melakukan perundingan dengan pihak Rasulullah saw. Tetapi, tidak dicapai kesepakatan.
Selanjutnya,
Rasulullah saw mengutus Khirasy bin Umayyah untuk berunding dengan pihak
Quraisy, tetapi sesampai di Mekkah Khirasy bin Umayyah dianiaya oleh pihak
Quraisy. (Ibnu Hisyam,
As-Sirah an-Nabawiyyah, Jil. II, hal.314) Mendengar berita penganiayaan
terhadap Khirasy bin Umayyah, kemudian Rasulullah saw mengirimkan Utsman bin
Affan untuk berunding dengan pihak Quraisy. Tetapi, tidak lama kemudian sampai
berita bahwa Utsman bin Affan dibunuh di Mekkah. (Ibnu Hisyam, As-Sirah
an-Nabawiyyah, Jil. II, hal.315). Mendengar berita ini Rasulullah saw terkejut, karena membunuh seorang pemimpin
Arab pada bulan suci di daerah suci dipandang suatu dosa besar dikalangan orang
Arab.
Disaat
itulah Rasulullah saw mengajak para sahabatnya untuk bersumpah untuk berperang
sampai ke titik darah penghabisan untuk membela Islam dan keimanan. Dimana
sumpah ini diucapkan dibawah sebuah pohon sebagaimana diwahyukan dalam Al Fath,
QS 48: 18 “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika
mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang
ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi
balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)”(Al Fath, QS 48:
18)
Ketika
berita sumpah setia para sahabat dihadapan Rasulullah saw ini sampai kehadapan
pihak Quraisy, ternyata selang beberapa waktu Utsman bin Affan pulang kembali
dari tawanan Quraisy. Rupanya berita Utsman bin Affan dibunuh hanya sebagai
taktik dari pihak Quraisy untuk menjatuhkan kekuatan iman pihak Rasulullah saw
dan para sahabat-nya.
Ternyata
tidak lama kemudian pihak Quraisy mengirimkan utusannya Suhail bin ‘Amar untuk
berunding dengan Rasulullah saw guna membicarakan gencatan senjata agar kedua
belah pihak menjaga perdamaian selama sepuluh tahun (Ibnu Sa’d, Ath-Thabaqat
al-Kubra, Jil. II, hal. 97),
dimana isi perjanjian tersebut yang juga sering disebut perjanjian Hudaibiyah
adalah:
1.Kaum Muslimin
tahun ini harus pulang tanpa melaksanakan ibadah umrah.
2.Mereka boleh
datang tahun depan untuk melaksanakan haji, tetapi tidak boleh tinggal di
Mekkah lebih dari tiga hari.
3.Mengunjungi
kota suci tidak boleh membawa senjata, hanya pedang yang boleh dibawa, tetapi
harus tetap disarungnya.
4.Orang Islam
Madinah tidak boleh mengambil kembali orang Islam yang tinggal di Mekkah, juga
tidak boleh menghalangi siapapun dari orang Islam yang ingin tinggal di Mekkah.
5.Bila ada orang
Mekkah yang ingin tingggal di Madinah, kaum muslimin harus menyerahkannya
kembali kepada mereka, tetapi bila ada orang Islam yang ingin tinggal di
Mekkah, pihak Mekkah tidak harus mengembalikannya ke Madinah. Suku-suku bangsa
di Arab, bebas untuk bersekutu dengan kelompok manapun yang mereka kehendaki. (Majid ‘Ali Khan, Muhammad The Final
Messenger, 1980, hal. 197-198)
Nah,
ternyata melihat isi dari hasil kesepakatan yang tertuang dalam Perjanjian
Hudaibiyah ini, secara umum, kaum muslimin tidak puas, malahan mereka, termasuk
Umar bin Khattab ra menganggap bahwa perjanjian Hudaibiyah ini menghina mereka.
(Majid ‘Ali Khan, Muhammad The Final Messenger, 1980, hal. 198-199)
Ketika
Perjanjian baru ditandatangani, tiba-tiba muncul Abu Jundal, putra Suhail bin
‘Amar utusan Quraisy meminta bergabung
dengan Rasulullah saw (Ibnu Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, Jil. II, hal.318)
sambil menunjukkan bekas-bekas luka akibat siksaan yang ditimpakan oleh
Quraisy. Kemudian, Rasulullah saw mencoba mencari perkecualian agar Abu Jundal
dapat diselamatkan, tetapi pihak Suhail bin ‘Amar menolaknya. Lalu Abu Jundal
ditangkap dan dibawa kembali ke Mekkah.
Nah,
melihat kejadian ini Umar Bin Khattab ra menjadi murung, lalu berkata kepada
Rasulullah saw: “Bukankah engkau benar-benar utusan Allah? Bukankah apa yang kita miliki sesuatu yang
benar?” (Syibli Nu’mani, Siratun Nabi, Jil I, hal.457) Kemudian Rasulullah saw
menjawab dengan tegas dan berkata bahwa ia lakukan semua ini semata-mata
mengikuti petunjuk Allah. (Majid ‘Ali Khan, Muhammad The Final Messenger, 1980, hal. 198)
Nah
sekarang, ternyata isi perjanjian Hudaibiyah ditentang oleh sebagian kaum
muslimin termasuk oleh Umar bin Khattab ra. Tetapi, tentu saja Rasulullah saw
tidak marah dan tidak bersedih hati terhadap sikap dan tindakan sahabat dan
pasukannya tersebut. Walaupun Rasulullah saw merasa bahwa sebagian sahabat dan
pasukannya tidak puas dan tidak setuju dengan hasil perjanjian Hudaibiyah
tersebut, tetapi Rasulullah saw tidak mengatakan kepada para penentangnya itu
adalah sebagai orang-orang yang tidak mengerti dan tidak paham kebijaksanaan
politik yang sedang dijalankan oleh Rasulullah saw dengan Negara Islam
pertamanya di Yatsrib ini. Melainkan Rasulullah saw menunggu sampai saat yang
baik untuk menerangkan kepada mereka yang merasa tidak puas dan tidak setuju
perjanjian Hudaibiyah tentang sikap dan tindakan kebijaksanaan politiknya yang
dituangkan dalam perjanjian Hudaibiyah tersebut.
Dan memang
terjadi saat-saat yang terbaik untuk menerangkan isi dan hasil yang akan
dicapai dengan melalui perjanjian Hudaibiyah ini. Yaitu dimana ditengah
perjalan pulang dari Hudaibiyah ke Madinah, Allah SWT menurunkan wahyu-Nya yang
tertuang dalam Al Fath, QS 48: 1 “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu
kemenangan yang nyata” (Al Fath, QS 48: 1) (Ibnu Hisyam, As-Sirah
an-Nabawiyyah, Jil. II, hal.320)
Nah, setelah turun wahyu Al-Fath, QS 48: 1, Rasulullah saw memanggil Umar bin Khattab ra dan berkata kepadanya bahwa apa yang Umar bin Kahattab ra anggap memalukan dan mengkhinakan itu ternyata menurut Allah SWT adalah merupakan kemenangan yang besar. Akhirnya Umar bin Khattab ra benar-benar puas. (Syibli Nu’mani, Siratun Nabi, Jil I, hal.458)
Sekarang, ternyata apa yang terjadi, setelah Rasulullah saw mendapat wahyu ayat 1 surat Al-Fath dan menerangkan kepada mereka yang merasa tidak puas dan tidak setuju termasuk kepada Umar bin Khattab ra, akhirnya kaum muslimin dan pasukan Rasulullah saw yang merasa tidak puas dan tidak setuju itu menerima hasil isi perjanjian Hudaibiyah tersebut. Mereka termasuk Umar bin Khattab ra tidak melakukan tindakan makar atau pembangkangan terhadap pemimpin tertinggi Negara Islam pertama di Yatsrib Rasulullah saw, melainkan mereka tetap berada dibawah payung dan pimpinan tertinggi Negara Islam pertama Rasulullah saw.
Jadi, tidak benar kalau ada orang-orang yang menganggap bahwa Umar bin Khattab ra dan sebgian kaum muslimin menentang dan membangkang terhadap perintah Rasulullah saw dalam hal perjanjian Hudaibiyah tersebut.
Kemudian akibat ditandatanganinya Perjanjian Hudaibiyah adalah bukan menjadikan kaum muslimin menjadi lemah dan rugi, malahan sebaliknya, baik dilihat dari sudut politik, pertahanan, sosial, perdagangan dan perjuangan.
Dilihat dari sudut politik kaum muslimin mengalami dan
mendapatkan perdamaian sehingga tidak perlu lagi untuk memusatkan kekuatan
untuk menghadapi musuh Quraisy. Kemudian dilihat dari sudut pertahanan, kaum
muslimin di Madinah dapat menyusun kekuatan baru dengan aman tanpa merasa
diancam terus menerus dari luar. Kaum muslimin dari Madinah dengan bebasnya bisa masuk ke Mekkah tanpa mendapat
tekanan dan ancaman. Mereka bisa bertemu dengan keluarga yang ada di Mekkah.
Disamping itu kaum muslimin yang ada di Madinah bisa melakukan perdagangan di
Mekkah dengan bebas. Hubungan sosial antara kaum muhajirin yang telah
meninggalkan Mekkah ketika berhijrah dapat menjalin kembali hubungan dengan keluarga
dan sahabat yang berada di Mekkah. Perjuangan kaum muslimin di Madinah
dipusatkan untuk membangun ekonomi, kekuatan dan social tanpa mendapat gangguan dan hambatan dari pihak luar yang
bertujuan untuk menghancurkan negara Islam pertama di Yatsrib. (Majid ‘Ali Khan, Muhammad The Final
Messenger, 1980, hal. 199)
Itulah
sebagian besar kemenangan yang dicapai akibat ditandatanganinya Kesepakatan
yang tertuang dalam Perjanjian Hudaibiyah.
Ternyata
usia Perjanjian Hudaibiyah ini hanya berlangsung dua tahun. Hal itu disebabkan
ketika pihak Bani Khuza’ah yang menjalin hubungan damai dan persahabatan dengan
pihak Rasulullah saw diserang oleh musuh Bani Khuza’ah, yaitu Bani Bakr yang
bekerjasama dan berpihak kepada Quraisy. Hal itu terjadi karena pihak Quraisy
melakukan taktik dengan cara membujuk pihak Bani Bakr dan sekutu-sekutu mereka
untuk menyerang Bani Khuza’ah. Pada suatu malam, Bani Bakr menyerang Bani
Khuza’ah, membunuh mereka dan merampok harta benda milik Bani Khuza’ah. (Syibli Nu’mani, Siratun Nabi, Jil I,
hal.509)
Nah, dengan
adanya penyerangan dari pihak Bani Bakr terhadap pihak Bani Khuza’ah adalah
merupakan suatu pelanggaran terhadap isi Perjanjian Hudaibiyah. Dimana menurut
isi Perjanjian Hudaibiyah adalah ”Suku-suku bangsa di Arab, bebas untuk
bersekutu dengan kelompok manapun yang mereka kehendaki.” Jadi dengan adanya
penyerangan dari pihak Bani Bakr terhadap pihak Bani Khuza’ah adalah sama
dengan menyerang kepada pihak Rasulullah saw dan kaum muslimin dan negara
Islam.
Akibat adanya
pelanggaran Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw mengirimkan pesan kepada
pihak Quraisy dengan tiga syarat, dan memilih salah satu dari tiga syarat
tersebut, yaitu:
1.Bangsa Quraisy
harus membayar tebusan darah bagi orang-orang Bani Khuza’ah yang terbunuh, atau
2.Mereka tidak berbuat apa-apa terhadap segala hal yang menimpa Bani Bakr, atau
3.Agar mereka menyatakan gencatan senjata menurut isi Perjanjian Hudaibiyah tidak berlaku lagi.
Ternyata pihak Quraisy mengirimkan pesan kepada Rasulullah saw melalui Qurt bin ’ Umar bahwa pihak Quraisy hanya mau menerima syarat nomor ketiga saja. (Muhammad Zurqani, Syarhul Mawahib al-Laduniyah, Jil II, hal. 336)
Dengan pihak Quraisy memilih pilihan nomor ketiga dari tiga
syarat yang diajukan Rasulullah saw, maka pada bulan Ramadhan 8 H, Rasulullah
saw beserta 10.000 pasukan kaum muslimin siap untuk membebaskan Mekkah. (Ibnu Hisyam, As-Sirah
an-Nabawiyyah, Jil. II, hal.400) Akhirnya, Mekkah jatuh ketangan Rasulullah saw
dan kaum muslimin serta berada dibawah negara Islam pertama dibawah pimpinan
Rasulullah saw.
Akhirnya,
Rasulullah saw dengan pasukannya berhasil masuk ke Mekkah dan menguasai Mekkah.
Inilah bukti kemenangan yang dijanjikan Allah SWT dalam surat Al-Fath tersebut.
Terakhir,
jadi dari apa yang dijelaskan diatas ternyata tidak benar dan tidak ada nashnya
yang kuat yang bisa dijadikan dasar argumentasi yang menyatakan bahwa Umar bin
Khattab ra menentang dan membangkang terhadap perintah Rasulullah saw dalam hal
isi perjanjian Hudaibiyah tersebut. Karena ternyata setelah ayat 1 surat
Al-Fath diturunkan Allah SWT dalam perjalanan pulang dari Hudaibiyah ke Madinah
dan diterangkan oleh Rasulullah saw kepada Umar bin Khattab ra dan sebagian
kaum muslimin yang merasa tidak puas dengan isi perjanjian Hudaibiyah, mereka menerima
dengan puas hati akan isi perjanjian Hudaibiyah tersebut.
Bagi yang
ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada
ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk
membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah
Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP
http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
----------