Stockholm,
7 Oktober 2006
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum
wr wbr.
MENGGALI AL-MAIDAH 5:55,67 UNTUK MELIHAT APAKAH AL-WILAYAH ADALAH ALI BIN
ABI THALIB.
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
MASIH MENGGALI AL-MAIDAH 5:55,67 UNTUK MELIHAT APAKAH AL-WILAYAH ADALAH
ALI BIN ABI THALIB.
Dalam tulisan ini kita bersama-sama pertama, akan membahas kandungan
ayat 55 surat Al-Maidah yang didalamnya berisikan salah satunya butiran kata
waliyyu atau penanggung atau penolong atau pelindung. Dimana kata walliyu ini
merujuk kepada kalimat “Innama waliyyukumullahu wa rasuluhu…” atau diartikan
dengan “Sesungguhnya waliyyu (penolong atau penanggung atau pelindung) kamu hanyalah
Allah, Rasul-Nya…”
Ketika Allah SWT menurunkan ayat 55 surat Al-Maidah ini yaitu
“Sesungguhnya waliyyu (penolong atau penanggung atau pelindung) kamu
hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat
dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS Al-Maidah,
5:55)
Maka pengertian kata “waliyyu” telah disimpangkan atau dibelokkan
menjadi sebagai khalifah yang dikenakan kepada Ali bin Abi Thalib.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah yang dimaksud dengan kata
waliyyu-kum atau penaggung atau penolong atau pelindung kamu diartikan dengan
khalifah kamu yang dikenakan kepada diri Ali bin Abi Thalib, sehingga hanya Ali
bin Abi Thalib adalah yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah saw?
Apakah hanya Ali bin Abi Thalib yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
seraya mereka tunduk (kepada Allah) yang berhak menjadi khalifah sepeninggal
Rasulullah saw?
Nah, untuk menjawabnya, marilah kita bersama menggali apa yang terkadung
dalam ayat 55 surat Al-Maidah tersebut agar supaya kita menjadi jelas dan
terang apakah memang benar kata waliyyu dalam ayat 55 surat Al-Maidah itu
dirujukan atau dikenakan kepada Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah sepeninggal
Rasulullah saw.
Kata waliyyu memiliki beberapa pengertian, bisa diartikan dengan
pelindung, penolong, penanggung, pemimpin. Nah, untuk mengetahui arti dan
maksud kata waliyyu dalam ayat 55 surat Al-Maidah, maka perlu melihat dan
mempelajari kata waliyyu yang terdapat dalam ayat sebelumnya, yaitu dalam ayat
51 yang merujuk kepada kalimat “auliyaa' b'adhuhum auliyau b'adhin” (sebahagian
mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain) dan dalam ayat 52 yang
merujuk kepada kalimat “alladzina fi qulubihim marodhun yusaringuna fihim
yaquluna nachsya an tushibana...” (orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya
(orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya
berkata: “Kami takut akan mendapat bencana.”). Juga dalam ayat 56 yang merujuk
kepada kalimat “wa man yatawallalloha wa rosulahu, walladzina amanu, fa inna
hizballohi humul gholibun” (Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan
orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya hizballahi (pengikut (agama) Allah) itulah yang pasti menang.)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah
pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka
menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS
Al-Maidah, 5:51)
“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang
munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: “Kami
takut akan mendapat bencana.” Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan
(kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu,
mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.”
(QS Al-Maidah, 5:52)
“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya hizballahi (pengikut
(agama) Allah) itulah yang pasti menang.” (QS Al-Maidah, 5:56)
Nah, dari ayat-ayat diatas menunjukkan bahwa kata waliyyu mengarah dan
merujuk kepada penolong, pelindung, penanggung, pemimpin. Tidak satupun kata
waliyyu yang mengarah dan merujuk kepada khalifah. Adapun kata pemimpin untuk
orang-orang Yahudi dan Nasrani adalah tidak disebut dengan panggilan khalifah.
Jadi kata waliyyu yang tertuang dalam ayat 55 surat Al-Maidah setelah
digali dari ayat sebelumnya yaitu ayat 51 dan ayat 52, begitu juga dari ayat
sesudahnya yang ada dalam ayat 56, maka tidak ditemukan kata waliyyu yang bisa
diartikan dengan kata khalifah, melainkan kata waliyyu diartikan dengan
penolong, pelindung, penanggung.
Kalau kata waliyyu dalam ayat 55 surat Al-Maidah diartikan khalifah,
maka kalimat ”Innama waliyyukumullahu wa rasuluhu wa ladzina amanu…” memiliki
arti “sesungguhnya Khalifah kamu hanyalah Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang
yang beriman…”
Nah, dalam kalimat tersebut timbul suatu kejanggalan dan ketidak logisan
dalam ayat 55 tersebut. Mengapa ? Karena tidak mungkin ada tiga ke-khilafahan
dalam waktu yang bersamaan. Yaitu dibawah Allah SWT dan Rasulullah saw dan
orang-orang yang beriman.
Artinya kekhilafahan dibawah Rasulullah saw dan kekhilafahan dibawah
khalifah orang beriman. Dua khilafah berdiri pada waktu bersamaan.
Jadi, kata waliyyu sebagaimana yang tertuang dalam ayat 51, 55 dan 56
mengacu dan merujukkan kepada pengertian penolong, pelindung, pemimpin (istilah
pemimpin dikenakan pada orang-orang Yahudi dan Nasrani)
Karena itu, tidak ada nash qat’i atau kuat yang bisa dijadikan rujukan
kata waliyyu diartikan dengan khalifah pada ayat 55 surat Al-Maidah tersebut.
Kedua, kita mempertanyakan apakah ayat 67 surat Al-Maidah ada hubungan
dengan Rasulullah saw mengangkat dan melantik Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifah dalam pidato Rasulullah saw di lembah bernama Ghadir Khum sepulang
haji wada?
Dalam ayat 67 surat Al-Maidah Allah berfirman:
”Hai Rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan
itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari
(gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS Al-Maidah 5:67)
Nah, sekarang mari kita kupas
secara bersama-sama untuk menjawab pertanyaan diatas.
Kalau kita memperhatikan,
membaca dan menelaah ayat 67 surat Al-Maidah ini, maka tidak ada ditemukan
maksud dan tujuan pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Melainkan
isinya merupakan tugas misi dakwah Rasulullah saw untuk menyampaikan risalah
islam kepada ummat manusia, yaitu:
Pertama, ”Ya ayyuhar Rosulu
balligh ma unjila ilaika mir Robbika…” (Hai Rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu…) yaitu sampaikan risalah Islam kepada ummat
manusia.
Kedua, ”wa in lam taf ’al fa ma
ballaghta risalatahu…” (Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan
itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.) secara lengkap dan
menyeluruh.
Ketiga,
”wallahu y’ashimuka minannas…” (Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia)
yang mengancam ketika kamu menjalankan dan menyampaikan risalah Islam kepada
ummat manusia.
Keempat,
”Innalloha la yahdil qaomal kafirin” (Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang kafir) yaitu orang-orang yang mengingkari risalah yang
kamu sampaikan kepada mereka.
Jadi,
dalam ayat 67 surat Al-Maidah itu memang tidak ditujukan dan tidak dimaksudkan
untuk pengangkatan dan pelantikan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah penerus
Rasulullah saw.
Apabila
memang Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai khalifah penerus Rasulullah saw
langsung oleh Allah SWT, mengapa tidak langsung ditujukan dan disebutkan
sebagaimana Nabi Sulaiman mewarisi ke-khilafahan atau kerajaan Nabi Daud “Wa
waritsa Sulaimanu Dawuda...“ (Dan Sulaiman telah mewarisi Daud)
”Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata:
"Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami
diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang
nyata." (QS
An-Naml 27:16)
Atau
ketika Allah SWT menunjuk dan mengangkat Nabi Daud sebagai khalifah:
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah
(penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia
dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah
akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan“. (QS Ash-Shaad 38:26)
Jadi, sebenarnya orang yang menghubungkan ayat 67 surat Al-Maidah dengan
pengangkatan Ali bin Abi Thalib oleh Rasulullah saw adalah tidak memiliki
kekuatan nash yang kuat.
Kemudian kalau ada orang yang menghubungkan ayat 67 surat Al-Maidah ini
dengan perkataan Abu Sa‘id al-Khudri ra, yang menyatakan bahwa ayat tersebut
diturunkan berhubungan dengan Ali bin Abi Thalib yang mengarah kepada
pelantikan sebagai khalifah di Ghadir Khum. Dimana pelantikan ini dikenal
dengan khutbah Ghadir Khum, maka perlu diteliti riwayat tersebut terlebih
dahulu.
Nah, sebenarnya yang dirujuk oleh orang itu untuk memperkuat ayat 67
surat Al-Maidah bukan hadits Rasulullah saw, melainkan hanya ucapan dan
kata-kata Abu Sa’id al-Khudri yang isinya: Daripada Abu Sa’id al-Khudri, dia
berkata: Diturunkan ayat ini: “Wahai Rasul Allah! Sampaikanlah apa yang telah
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu” ke atas Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam pada Hari Ghadir Khum berkenaan Ali bin Abi Thalib.
Dimana, sanad riwayat ini adalah dha’if. Riwayat ini dikeluarkan oleh
Ibn Abi Hatim di dalam Tafsir al-Quran al-Azhim – no: 6609 (tafsir ayat 67
surah al-Maidah), al-Wahidi di dalam Asbab al-Nuzul, ms. 233 (ayat 67 surah
al-Maidah) dan Ibn Asakir di dalam Tarikh Dimasq al-Kubra, jld. 45, ms. 179 (biografi
‘Ali bin Abi Thalib), kesemuanya dengan sanad yang berpangkal kepada Ali bin
Abas, daripada al-Amasy, daripada Athiyah, daripada Abu Sa‘id al-Khudri. Athiyah
adalah Athiyah bin Sa’ad Abu al-Hasan al-Aufiy dari Kufah. Beliau dihukum
dha’if oleh Hisyam, Yahya bin Sa’id al-Qathan, Ahmad bin Hanbal, Sufyan al-
Tsauri, Abu Zar’ah al-Razi, Ibn Ma’in, Abu Hatim al-Razi, al-Nasa’i,
al-Jauzajani, Ibn Adiy, Abu Daud, Ibn Hibban, al-Daruquthni dan lain-lain lagi.
Selain itu beliau masyhur dengan sifat
tadlis yang amat buruk. (Al-’Uqaili – al-Dhu’afa’ al-Kabir – biografi no: 1392;
Ibn Hajar al-’Asqalani – Thabaqat al-Mudallisin – biografi no: 122 dan Syu’aib
al-Arna’uth & Basyar ’Awwad Ma’ruf – Tahrir Taqrib al-Tahzib, biografi no:
4616.)
Jadi, kalau berdasarkan riwayat
diatas, maka riwayat yang menyatakan bahwa ayat 67 surat Al-Maidah ada
hubungannya dengan pengangkatan Ali bin Abi Thalib oleh Rasulullah saw di
Ghadir Khum adalah tidak memiliki kekuatan nash yang kuat atau dha’if atau
lemah.
Nah sekarang, kesimpulan yang
bisa diambil dari apa yang dijelaskan diatas adalah ayat 67 surat Al-Maidah
yang dihubungkan dengan pengangkatan dan pelantikan Ali bin Abi Thalib oleh
Rasulullah saw sebagai khalifah adalah tidak memiliki kekuatan nash yang kuat.
Begitu juga ayat 55 surat Al-Maidah yang menghubungkan dengan khalifah adalah
sangat lemah. Karena itu baik dalam ayat 55 ataupun ayat 67 surat Al-Maidah
adalah sama sekali tidak ada hubungannya yang kuat dengan pengangkatan dan
pelantikan Ali bin Abi Thalib oleh Rasulullah saw sebagai khalifah penerus
Rasulullah saw.
Terakhir, diharapkan dengan
adanya penjelasan ini kita semua memperoleh gambaran dan jawaban yang terang
bahwa ayat 55 dan ayat 67 surat Al-Maidah adalah bukan dasar hukum atau Nash
Qat’i tentang pengangkatan dan pelantikan Ali bin Abi Thalib oleh Rasulullah
saw sebagai khalifah.
Bagi yang ada minat untuk
menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya
sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya
yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang
Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya kepada Allah kita memohon
pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad
Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
----------