Stavanger,
5 Mei 2006
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
NASIONALISME ACHÈH DAN
NASIONALISME INDONESIA JAWA.
Omar Puteh
Stavanger - NORWEGIA.
MENYOROT
NASIONALISME ACHÈH YANG MAKIN BERKEMBANG DAN NASIONALISME INDONESIA JAWA
YANG TERUS MAKIN MENGUNCUP.
Teuku
Kemal Pasya,
Disini
dan dengan ini dan dengan segala senang hati, sukalah saya menganjurkan pada
awal-awal lagi kepada anda: Teuku Kemal Pasya dan rakan-rakan anda, agar
sudilah kiranya mengunjungi milis bebas dari website dari Tengku Ahmad Hakim
Sudirman: http://www.dataphone.se/~ahmad atau berkontak langsung dengan
ahmad@dataphone.se
Sebelum
saya coba merespon terhadap karya anda yang berjudul: "Nasionalisme
Achèh dan Indonesia", yang jongang dan peyang itu, maka terlebih
dahulu saya ingin menanyakan kepada anda: Mengapakah sampai begitu tidak
malunya anda untuk mengatakan: "Sebagai seorang pribadi yang ingin
melepaskan diri dari propaganda nasionalisme, entah Indonesia atau Aceh, saya
ingin mencari ruang lain untuk menentukan atas tafsir nasionalisme....?
Lagi-lagi anda, kiranya anda
seorang lagi orang baru, yang coba
menenggek diatas pagar!
Pada 22 April, 2006, tahun ini, sepatutnya kita bangsa
Achèh, secara bebas dan merdeka
akan bersama-sama turut memperingati: "Hari
Ulang Tahun Ke-133 TNA, Tentara Negara Achèh: 22 April, 1873-22 April,
2006", tetapi karena kita masih tersayu-kuyu, tatkala sedang mengingati
200.000 jiwa lebih bangsa Achèh yang dalam sekelip mata hilang,
terkorban diterjang Tsunami dan juga sebagai sedang merespek penuh pada MoU
Helsinki, Finlandia 15 Agustus, 2005, maka kepatutan itu, terpaksalah kita
kesampingkan dahulu, untuk sementara waktu.
Begitupun juga TNA, Tentara Negara
Achèh, yang walaupun telah
berjuang mati-matian dari sejak 26 Maret, 1873
hingga 15 Agustus, 2006 yang telah terkorban lebih 100.000 jiwa
Èndatu bangsa Acheh, yang lelaki dan yang perempuan, yang disembelih
oleh anak-anak Jawa, Pembunuh bayaran KNIL Belanda atau si Belanda Hitam
(I). Dan lebih 70.000 jiwa bangsa Achèh, yang lelaki dan
yang perempuan, yang disembelih oleh anak-anak Jawa, Pembunuh bayaran
ABRI-TNI/POLRI, Tentara Teroris Nasional
Indonesia Jawa atau si Belanda Hitam(II) hingga 2005, malahan hingga kini, juga
telah mengenyampingkan dahulu, untuk sementara waktu!
"Dirgahayu TNA, Tentara
Negara Achèh!" Viva GAM!
Viva Achèh! Viva Negara
Achèh Sumatra/ASNLF dan Viva Nasionalisme-mu, Nasionalisme
Achèh!"
Tidak pernah ada didunia, seperti
ketika itu, ketika yang lelaki dan yang
perempuan berjuang bahu berbahu menentang kuasa agressor penjajahan asing.
Laksmana Tjut Malahayati, dikenal
sebagai Laksmana (Laut) wanita yang pertama didunia, dengan memopong
senjata, memimpin armada lautnya dan
berperang di laut Selat Melaka, menentang armada laut agressor asing, yang
ketika itu, lebih tiga ratus tahun sebelum kumpulan tulisan surat-menyurat R.A. Kartini (1879-1904) kepada induk semangnya,
siapa yang telah ikut berjasa meng-Katholik-annya, yang kemudian diangkat dan
diberikan judul oleh sastrawan Armyn Pane sebagai: Habis Gelap Tebitlah
Terang! R. A. Kartini beremansipasi
dengan popongan kertas, dawat China
Tiongkok dan pena coloknya! Pisau
dapurpun R. A. Kartini tidak pernah menyentuhnya, seperti "Jenderal"
Sudirman dengan gaya sigak berpistol, tetapi hanya mampu membiarkan
bergantungan saja dipingganngnya!
Panglima Perang (Infantri) Tjut
Nja'k 'Dhin (1850-1908), dikenal sebagai Panglima Infantri wanita yang pertama
didunia, yang memimpin pasukan perang melawan tentang agressor asing, begitulah
jugalah Tjut Meutia, Tjut Beuheue , Tengku Fakinah dll. pejuang wanita
Achèh....ketika R. A. Kartini, sedang asyik bermesra-mesraan dengan
tuannya, anak-anak si Belanda penjajah.
Saya suka memberitahukan saudara
Ibrahim Isa-Betawi dari Bijlmer, Negeri Belanda, ex- Duta NKRI ke Mesir itu,
yang pada tanggal 21 April, 2006 baru
lalu, telah menuliskan tentang R. A. Kartini, yang dikatakan pernah
beremansipasi lewat surat-menyurat,
dengan induk semangnya di Belanda, tetapi kemudian telah dinobatkan sebagai
Pahlawan Nasional Indonesia Jawa, sekalipun dia hingga matinya di tahun 1904,
tidak pernahpun mengetahui apa itu Indonesia, kecuali Jawa!
Teuku Kemal Pasya, kita tanyakan
dulu kepada saudara Ibrahim Isa-Betawi dari Bijlmer, Negeri Belanda itu, yang
ex- Duta NKRI ke Mesir itu. Saudara
Ibrahim Isa-Betawi, dari Bijlmer, mengapakah Soekarno si Penipu licik itu cq
pemerintah Penjajah Indonesia Jawa dan anda juga masih mengatakan bahwa, R. A.
Kartini itu, adalah sebagai pelopor emansipasi wanita Indonesia (Jawa)?
Tetapi anehnya tidak pernahpun
Penjajah Indonesia Jawa mengatakan bahwa, Laksmana Tjut Malahayati, yang lebih
300 tahun sebelum lahirnya R. A. Kartini itu,
pernah memimpin armada perang laut
di Selat Melaka, melanjutkan tugas yang pernah dijalankan oleh suaminya,
yang rebah tersyahid di medan perang Pulau Sampoë (P. Kampai), Pangkalan Susu,
Sumatra Utara, menentang agressor Portugis
disana, tidak pernahpun dikatakan sebagai pelopor emansipasi wanita
pertama di Asia atau mungkin didunia.
Saudara Teuku Kemal Pasya,
Saya katakan kepada anda
bahwa, Laksmana Tjut Malahayati, Panglima Perang (Infantri) Tjut Njak 'Dhin, Tjut Meutia, Tjut Beuheue, Tengku
Fakinah yang berjuang bahu berbahu menentang agressor penjajah asing, adalah
karena dengan tanggung jawab yang dituntut oleh nasionalisme Achèh!
Mereka telah bernasionalisme
Achèh, sejak ratusan tahun sebelum "benih-benih nasionalisme Indonesia
Jawa" mencuat.
Mengapakah pula anda, Teuku Kemal
Pasya masih lagi tidak malunya untuk
mengatakan: "Sebagai seorang pribadi yang ingin melepaskan diri dari
propaganda nasionalisme, entah Indonesia atau Aceh, saya ingin mencari ruang
lain untuk menentukan atas tafsir nasionalisme....?
Bagaimanakah anda, yang kini
sebagai Dosen .....di Universitas Malikussaleh, Lhok Seumawe, tetapi masih lagi
mencari ruang (acuan?) lain untuk menentukan nasionalisme apakah sebenarnya
anda ini? Lantas, tidak pernahkah anda
mengetahui bahwa, kesemua mahasiswa(i) anda sekarang ini bernasionalisme
Achèh?
Sepatutnya anda tidak sampai
terpesong dengan definisi-definisi yang dihasilkan oleh orang-orang luar,
sekalipun dari seorang permikir seperti Bertrand Russel atau sampai-sampai
pergi berkuliah ke Jokyakarta sana.
Sesungguhnya bangsa Achèh
terbina nasionalisme Achèhnya sejak dari ayunan hingga ke liang
lahat. Coba anda buatkan riset
kemana-mana didunia ini, dimanakah didunia ini ada pembinaan nasionalisme-nya sama
sebagaimana pembinaan nasionalisme Achèh, di Achèh sejak ratusan
tahun lalu?
Teuku Kemal Pasya,
Pembinaan nasionalisme
Achèh hari ini, bukanlah baru dimulai sejak kemarin sore, tetapi sejak 4
Desember, 1976 dan kemudian menjalar hingga kehari ini! Bukanlah dimulai dari kampus-kampus,
sebagaimana anda celotehkan, tetapi sejak dari kampung-kampung menular ke
kota-kota dan kemana-mana, ke Asia, ke Australia, ke Eropah, ke Canada atau ke
Amerika, tapi memang tidak sampai ke Jokyakarta! Atau mungkin karena Prof (kangkung) Dr Ibrahim Alfian memagarnya?
Kembali ke R. A. Kartini, si anak
Jawa, warga negara Belanda itu, yang dikatakan sebagai pelopor emansipasi
wanita Jawa, yang kemudian terangkat sebagai pelopor emansipasi wanita
Indonesia Jawa, pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana
biadabnya para Raja-Raja Jawa, para Bangsawan-Bangsawan Jawa, para
Tengkulak-Tengkulak Jawa dan para Centeng-Centeng Jawa memperlakukan
wanita-wanita Jawa desa, di desa-desa.
Sebagaimana Soekarno si Penipu
licik dan rakan-rakan kolaborator Jepangnya menjual pemuda-pemuda Jawa, sebagai
buruh paksa membina jalan kereta api di Burma, maka begitulah para Raja-Raja
Jawa, para Bangsawan-Bangsawan Jawa, para Tengkulak-Tengkulak Jawa dan para
Centeng-Centeng Jawa menjual Pemuda/lelaki Jawa dan Wanita/Perempuan Jawa pada
Maskapai-Maskapai Perkebunan.
Biarlah saya ceritakan sedikit
(cuplikan dari sebahagian runtunan cerita hidup dan kehidupan dalam barak-barak
atau pondok-pondok buruh perkebunan)bagaimana pemuda/lelaki Jawa dan
wanita/perempuan Jawa dicarikan pasangan mereka masing-masing:
Wanita/perempuan Jawa yang dijual
ke Maskapai-maskapai perkebunan untuk
dipasang-pasangkan kepada pemuda/lelaki Jawa, lebih dahulu dibariskan
berderet-deret dan kemudian seluruh tubuh mereka pada posisi berdiri tegak itu,
di 'khop dengan goni (jute-India) beras garis hijau. Maka, kelihatan kesemua mereka yang berbaris dan berderet-deret
itu, seperti burung pinguin, karena hampir keseluruhan tubuh mereka, dari
kepala bagai terbungkus hingga keparas bawah tubuh. Ada yang nampak hanya separas paha, lutut, betis dan yang
pendek-katek sedikit diatas paras mata kaki.
Alangkah hinanya wanita/perempuan
Jawa itu diperlakukan oleh para Raja-Raja Jawa, para Bangsawan-Bangsawan Jawa,
para Tengkulak-Tengkulak Jawa dan oleh para Centeng-Centeng Jawa, sebagai memperlakukan barang dagangan
dipajangan atau seperti membeli cara borongan buah durian Thailand dalam goni.
Kemudian dipanggillah calon-calon
yang berminat akan pasangan yang sedang dipajangkan seperti burung pinguin,
yang berbaris berderet-deret itu, untuk calon pasangan hidup mereka nantinya
dibarak-barak atau dipondok-pondok perkebunan.
Yang pandai tentu akan mendapatkan yang "baik" dan yang tidak
akan mendapatkannya ikut nasib. Karena
kalau kita pada kebiasaan diperkenankan melihat telapak tangan calon pasangan
kita, tetapi mereka calon "kemanten" yang dijual oleh para Raaja-Raja
Jawa, Bangsawan-Bangsawan Jawa, Tengkulak-Tengkulak Jawa atau Centeng-Centeng
Jawa, hanya bisa mengangkat kaki, menunjukkan telapaknya.
Tidaklah perlu disini kita
menceritakan pada bentuk kaki
bagamanakah, maka kita akan dapat
"menjenguk" atau "membaca" isyarat bentuk biologis.
Begitulah kiranya sejarah nenek
perempuannya Ryamizard Ryacudu, yang baru beberapa hari ini dipensiunkan secara
resmi dan tenaganya tidak akan dipakai lagi.
Keluarga Ryamizard Ryacudu, yang anda telah sebutkan itu, kemudian
berpindah dari Gedung Tataan (Markas Besar Pujakusuma) ke Palembang. Anak Jawa Pujakusuma ini, yang kini terlalu angkuh dan masih belum
pernah menyadari akan dirinya, malahan
pernah dengan sombong memerintahkan gerak bunuh dengan kejam dan tidak
berprikemanusiaan terhadap pejuang-pejuang nasionalisme Achèh.
(1).Pada tanggal 20 May, 1908
bukan kebangkitan nasionalisme "Indonesia", tetapi kebangkitan
nasionalisme Jawa Priyayi!
(2).Pada tanggal 28 Oktober, 1928
, bukan kebangkitan "nasionalisme" Indonesia Jawa, tetapi orintasi
anak-anak Jawa komunis, yang baru mulai membangkitkan diri organisasi mereka
pada tahun 1924, tujuh tahun setelah
ketibaannnya pada tahun 1917 dari Eropah.
Karena buktinya Soekarno si Penipu licikpun 2 tahun kemudian di mahkamah
Belanda di Pulau Jawa, telah mengakui dirinya sebagai anak Jawa berkewargaan
Belanda, sebagaimana telah diungkapkan kembali oleh Prof Dr Mubyarto, seorang
ahli ekonomi Pancasila.
(3).Pada tahun 1945 Adalah baru
bersemi benih-benih nasionalisme, sebagaimana telah dikatakan oleh Prof Dr
Syafei Maarif.
(4).Antara tahun 1945 dan tahun
1949 nasionalisme Indonesia Jawa baru
mulai mencari identitinya, sebagaimana dikatakan oleh Prof Dr W.A.L.Stockhof dan Drs J.P. van Kerkhoft
ahli sejarah Belanda.
(4).K.H. Munawar Muso pada tahun
1948 masih belum menerima nasionalisme Indonesia Jawa, tetapi Internasionalisme
komunisma dengan upaya menegakkan USSR filial Jawa.
(5).Pada tahun 1968, Suharto Kleptokracy, lewat Jenderal Murtono, hendak membangun
kembali nasionalisme Jawa Priyayi atau
Jawanisasi........!
(bersambung:
Plus I + NASIONALISME ACHÈH DAN INDONESIA JAWA)
Wassalam.
Omar Putèh,
om_puteh@yahoo.com
Norway
----------
26
April 2006
OPINI
Nasionalisme
Aceh dan Indonesia
Penulis
: Teuku Kemal Fasya*
MUNGKIN
saja istilah nasionalisme Aceh dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang berumur hampir 60 tahun ini kurang enak didengar. Menyebut
nasionalisme Aceh seperti menangkap sesuatu yang ganjil, tabu, sok-subversif,
dan tentu saja bermasalah jika dihadapkan dengan wacana Pedoman, Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P4), terutama lagi sila ketiga, “Persatuan Indonesia.”
Tidak
ada kebenaran bagi seluruh ethnie, bahasa, subculture dari kontinen Sabang
hingga Meurauke, yang tidak merujuk kepada nasionalisme Indonesia. Tidak ada nasionalisme Aceh. Yang benar hanya nasionalisme
Indonesia.
Meskipun menggelitik, karena mulai
banyak penggunaan istilah etno-nasionalisme, terutama dalam khazanah
post-colonial studies, saya pun tak merasakan perlu menggunakan istilah ini.
Banyak kemacetan fungsional yang mungkin akan menghadang karena asal-usul kata
itu sendiri dalam bahasa Yunani, ethnikos, berarti “yang bukan orang Yahudi”
(gentile/non-israelite) atau “penyembah berhala” (heathen), yang sebenarnya
berkonotasi menghina atau mengecilkan. Menyebut ethnic sama dengan menyebut
segerombolan orang yang berada di sebelah hutan sana, dan kita tak tahu apa
(Bill Ashcroft, et.al, The Post-Colonial Studies Reader, 1995 : 219).
Lagipula, penyebutan
etno-nasionalisme, secara terminologis mengandaikan adanya pusat yaitu (Ethnic,
Jawa) dan pinggiran (ethnics, non-Jawa) dalam nasionalisme Indonesia. Padahal,
jika merujuk kepada catatan Benedict R.O’G Anderson (Indonesian Nationalism
Today and in the Future, 1999 dan Revoloesi Pemoeda, 1988) tentang nasionalisme
Indonesia, permasalahan ethnocentrism telah selesai dengan diakuinya “berbangsa
satu” jauh sebelum pengesahan kemerdekaan Indonesia oleh seluruh elemen
masyarakat nusantara, bahkan juga oleh Ambon, Papua, dan Manado.
Saat itu, suku-suku yang ada telah
melupakan, bahwa kerajaan Aceh pernah suatu waktu “menjajah” daerah pesisir
Minangkabau, atau para raja-raja Bugis pernah memperbudak masyarakat dataran
tinggi Toraja.
Seratus delapan puluh derajat
seluruh suku-suku bangsa nusantara melupakan sejarah persengketaan mereka, dan
bersegera menyongsong semangat bersama, semangat nasional untuk lepas dari
kolonisasi bangsa kulit putih. Dalam pembukaan UUD 1945 yang menjadi rujukan
sahih konstitusional, terbaca tanpa keraguan bahwa budaya yang akan dibangun
adalah budaya nasional yang berangkat dari kesadaran bersama, sebagai jajahan.
Menolaknyapun dengan alasan yang khas orang terjajah; “karena tidak sesuai
dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.”
Pembentukan Hindia Belanda ke
Indonesia tidak berasal dari superioritas etnik tertentu, tapi dianggap
pekerjaan yang dilakukan oleh seluruh etnik untuk merdeka dan merumuskan
nasionalisme Indonesia. Inilah proses pembentukan nasionalisme modern Indonesia. Tidak diawali
oleh kekalahan Belanda pada tahun 1942, tapi jauh sebelum itu ketika gerakan
kebangkitan nasional mulai marak di tahun 20-an hingga 30-an (Lihat Onghokham,
Runtuhnya Hindia Belanda, Jakarta:Gramedia, 1987).
Inilah
karya imajinatif yang sesungguhnya sangat cerdas dihasilkan oleh para pejuang
nasional sejak 1930-an itu. Jelasnya, tak ada yang menjadi pusat dan periferal
dalam pembentukan asal-usul nasionalisme itu. Pilihan menamakan bahasa nasional
dengan Bahasa Indonesia adalah indikator tersendiri bahwa proses hibridasi
berlangsung sempurna. Tidak hanya mengadopsi Bahasa Melayu-Malaka, tapi
menghimpunnya dengan dialek, pengaruh yang sama banyaknya dari Jawa, Padang,
Sunda, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, dll.
Memang
benar nasionalisme Indonesia banyak dipengaruhi de facto oleh budaya sentral
yaitu Jawa, dan budaya-budaya periferal (seperti Aceh) selanjutnya terinfeksi
oleh budaya sentral itu. Namun, pernyataan ini tidak membenarkan bahwa sudah
ada yang namanya pemilahan etnik Aceh dan Jawa dalam konsep sejarah
nasionalisme Indonesia.
Makanya
kiranya tepat jika saya cukup menggunakan istilah nasionalisme Aceh, dengan
pengertian ada sejarah baru yang terbentuk dari masyarakat Aceh sendiri, dan
tak salah juga jika disimpulkan mengeritik total nasionalisme Indonesia. Sejauh
ini saya bersetuju paham dengan proposisi yang pernah disampaikan oleh Ernest
Gellner (1983) bahwa nasionalisme pada dasarnya hanya sebuah kebetulan, sebuah
kecelakaan. Kebutuhannya tergantung dengan
tempat dan waktu yang melingkupinya. Ada pola keterpengaruhan yang
terus-menerus membentuk kesadaran nasionalisme sebuah masyarakat, yang itu
dapat berasal dari apa saja dan mana saja.
Nasionalisme Aceh
Sekarang, kita hadapkan dengan
nasionalisme Indonesia yang tengah retak-retak, dan di depannya telah bangkit
sebuah nasionalisme baru, nasionalisme Aceh yang dikembangkan dan
diimajinasikan oleh kelompok muda dan sedang segar bugar. Nasionalisme yang
dikembangkan oleh mahasiswa dan pemuda Aceh tidak terlalu menyibukkan diri
dengan sejarah nasionalisme Indonesia, dan memang bagi mereka sama sekali tidak
perlu. Objektivasinya adalah pelanggaran HAM (hak asasi manusia) dan kekejaman
yang mereka lihat dan dengar sejak tragedi DOM (daerah operasi militer) hingga
kejahatan Darurat Militer.
Filosofinya dibangun di tengah
narasi kekuasaan yang muncul, seperti ujaran Ryamizard Ryacudu, “tidak ada
dialog dengan pemberontak Aceh”; Amien Rais, “pendekatan militerisme perlu
diambil untuk mempertahankan NKRI”; Susilo Bambang Yudhoyono, “tidak ada
gunanya mempertahankan perdamaian”; Megawati, “Itu telah disetujui DPR”; Gus
Dur, “Hanya segelintir yang minta merdeka”, R. Pramono (Mantan Pangdam Bukit
Barisan akhir awal 90-an), “Jika kalian melihat GPK, jangan ragu sedkitpun,
ambil parang, serang, dan tebas mereka!.”
Jika demikian, pantaskah menilai
bahwa sebenarnya nasionalisme Aceh terbangun karena penderitaan yang
bertubi-tubi datang-pergi dan tak berhenti? Pantas saja, meskipun tidak
sepenuhnya. Meski kita mengira ketika secara psikologis orang disakiti dan
ketika serangan terjadi secara rutin terhadap fisik, orang akan membuat
tuntutan sebagai harga yang harus dibayar. Bisa jadi ya, tapi bukan itu yang
utama. Harga bisa jadi hal lain lagi. Tuntutan
tetap muncul bahkan dengan makin beragam. Yang pasti kekerasan hanya membuatnya
makin terlihat spesifik. Tuntutan yang hadir dari kelompok tetindas selalu
terlihat sebagai ironi.
Terkait dengan tuntutan -seperti
yang diungkap James C. Scott (Domination and Art of Resistance, 1990), seorang
profesor ilmu politik, pakar Asia Tenggara dari Yale University– masyarakat
yang berada dalam tekanan akan mengubah pengalaman kekekerasannya itu sebagai
sebuah fakta, dan berdasarkan metodologi praktis individualismenya,
dikembangkan menjadi sebuah tuntutan.
Dalam hal ini mahasiswa Aceh
menjadikan referendum sebagai tuntutan yang berangkat dari praktik
metodologis/pengalaman pengetahuannya yang sangat pribadi itu, yang digunakan
sebagai senjata untuk melawan kekerasan yang diterima populinya. Para pemuda
tentu akan mengabaikan (tidak jarang menghina atau meremehkan) penjelasan
sejarah dan budaya yang tidak secara pasti menolak kekerasan, meskipun itu
berasal dari komunitasnya. Karena tuntutan ini lahir dari sebuah grup sosial, yang kebetulan merupakan
etnis/bangsa, maka tuntutannya terlihat sangat spesifik.
Scott
dalam bukunya mengilustrasikan sebuah grup sosial, yaitu para petani upahan.
Ketika mereka menuntut, para tuan tanah menilainya sebagai pemberontakan atau
pengingkaran kedaulatan. Demikian pula Aceh, ketika grup sosial yang membuat
tuntutan ini melekat dengan nama Aceh (pertama, ia etnik yang seumur sejarah
membuat masalah dengan RI, kedua, ia luar Jawa, jauh dan di pinggiran pusat
budaya politik Indonesia, ketiga, ia Islam fanatik, bermasalah bagi sebagian
besar etnik di Indonesia) maka pihak dominan dengan mudah menilai tuntutan itu
irasional, egoistik, tidak tahu berterima kasih, layak diperangi, sub-human,
dsb.
Di
tengah desakan yang menekan tuntutan, mahasiswa Aceh tidak juga surut dengan
gagasannya, yang dalam taraf tertentu tak ubahnya seperti keyakinan. Tekanan
sang pemegang kekuasaan (powerholder) memang terlihat menang untuk membungkam,
tapi pada dasarnya tidak. Sang penguasa dapat dikatakan menang jika tuntutan
yang muncul adalah sebuah pilihan bebas, sesuatu yang sukarela, dari kondisi
tanpa tekanan dan opresi. Namun tuntutan ini hidup dari tekanan dan opresi
penguasa. Ia terus hidup, dalam eksprimentasi kepentingan ataupun tidak.
Tuntutan
referendum adalah mesin yang memproduksi reaksi melawan perilaku kekerasan.
Bahwasanya eksperimen referendum berangkat dari kepentingan bukanlah lagi
menjadi masalah. Karena jika dimunculkan umpan
balik, eksperimen manakah yang bukan kepentingan? Semua kita hidup dalam alam
eksperimen yang ujungnya adalah kepentingan. Kebetulan kekuasaan dapat memberi
embel-embel pada perilaku sendiri sebagai suci, mulia, diberkati oleh Tuhan,
dsb atas pilihan kemenangan. Kekuasaan pula yang menjadi alat nilai bahwa di
luar diri sendiri (the other sides) adalah sub-kultur yang membangkang
(dissident sub-culture), maka mereka harus pasrah menerima label penghianat
tengik.
Kebenaran hanya milik mereka yang
berkuasa.
Di kalangan mahasiswa Aceh, sejak
mula kampanye referendum (Februari 1999), banyak tafsir yang berkembang tentang
referendum. Mereka saling tidak cocok satu sama lain dan bahkan ada yang tidak
mendukung SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh). Namun, tidak menutup makna
bahwa referendum bukanlah simbol perlawanan rakyat, perlawanan melawan
kekuasaan yang kejam. Saat itu yang megah adalah “referendum untuk Aceh yang
berdaulat dan bermartabat”, kini yang hidup adalah “Aceh yang merdeka”,
sekarang atau nanti!.
Referendum adalah sebuah wacana
yang ingin diisi dalam ruangan sosial yang dibuat dan dipertahankan untuk
melakukan perlawanan. Hanya dengan pilihan spesifik seperti inilah, perlawanan
terhadap “sebuah fiksi abstrak” –yaitu kepada nasionalisme Indonesia- bisa dilakukan,
dengan menyosialisasikan praktik perlawanan ke dalam wacana.
Saya merasakan proses ini adalah
alami saja, yang dapat terjadi kepada siapapun yang berempati dengan
penderitaan. Satu
pengalaman ingin saya ceritakan sebagai penguat alasan.
Pada
tahun 2001, saya kebetulan berada di Jakarta di rumah seorang tokoh Tentara
Peladjar Atjeh (TP-Atjeh) yang di pagi itu melaksanakan perayaan tujuhbelasan.
Sang tuan rumah, Amran Zamzami, adalah ketua TP-Atjeh, sebuah organisasi para
veteran yang dahulu mengklaim ikut dalam perjuangan kemerdekaan. Saat itu
mereka belumlah sebagai tentara sungguhan, masih berpredikat pelajar, tetapi
telah ikut dalam front infanteri membantu tentara dewasa.
Sang tuan rumah mempersiapkan
sesuatunya dengan meriah dan lengkap. Ia bahkan membuatkan seragam yang
dikenakan oleh mahasiswa Aceh di Jakarta. Sekitar limabelas mahasiswa diundang
memakai seragam tentara pelajar.
Mereka memulai perayaan dengan
upacara bendera, diupayakan khidmat sekali. Setelah itu diisi dengan sarasehan
di ruang pertemuan dan mengundang Nurcholis Madjid. Acara diakhiri dengan
makan-makan layaknya lebaran. Yang saya tangkap, mereka ingin menunjukkan sikap
setia terhadap nasionalisme Indonesia yang tak luntur meskipun “perang”
berlangsung setiap saat di Aceh. Mereka mulai bercerita-cerita tentang heroisme
perang di Medan Area. Pesan yang sangat ingin mereka sampaikan –karena mereka
menemukan audiens-nya, kelompok muda Aceh—adalah “Jangan sampai kekerasan yang
terjadi sekarang mengoyak semangat nasionalisme. Perjuangan ini diupayakan
dengan darah dan air mata.
“Sekali Indonesia tetap
Indonesia!” pekik seorang tokoh tua yang mulai susah berdiri lama itu.
Yang saya tangkap, ini hanya
sebuah parade karikatural. Semangat nasionalisme dengan konteks lalu itu tidak
lagi saya rasakan kehadirannya kini. Semboyan nasionalisme Indonesia yang makin
sering mereka ulang-ulang terasa seperti omongan basi yang tidak menyengat
lagi. Saya cuma melihat mereka sebagai generasi yang mulai lumpuh berjalan di
sejarah hari ini, sejarah yang berkembang di tengah kecamuk perang yang terjadi
di Aceh.
Sejarah nasionalisme yang saya
pahami hari ini berbeda dengan semangat nasionalisme antiquarian mereka, yang
non-memoris dan non-historis. Mungkin cerita itu pernah ada, tapi cerita itu
sulit saya buktikan dengan pikiran saya. Kesadaran ini hanya akan ada jika
menggunakan analisis yang berempati kepada kelompok yang tertindas,
sub-culture, yang mungkin un-human itu.
Ada beberapa hal mengapa sifat
kritis dari kelompok tua itu lembek dan tidak selantang kelompok muda. Pertama,
mungkin kemapanan yang sudah mereka rasakan sehingga tidak berpikir untuk
mengambil jalan radikal dan meninggalkannya. Sebagian besar para veteran yang
hadir dalam pertemuan itu adalah orang-orang yang mapan secara politik dan
ekonomi. Amran Zamzami, di samping sebagai ketua TP Atjeh, juga seorang
pengusaha sukses, mantan wakil ketua Persatuan Bridge Seluruh Indonesia (PBSI),
dan mantan pengurus Golkar. Itu satu hal.
Tapi
yang lebih penting adalah kelompok tua telah terjangkiti sakit sejarah
nasionalisme, yang disebut dengan patriotisme, sebuah sikap tidak kritis pasif
yang berimplikasi dengan slogan “right or wrong is my country”. Semangat patriotisme ini adalah pasif secara internal dan
agresif secara eksternal. Maksudnya, kesadaran nasionalisme tidak melihat
hal-hal yang berharga di luarnya, termasuk masalah kemanusiaan. Ketika
kecelakaan kemanusiaan yang terjadi di Aceh sampai menuntut kemerdekaan,
kelompok tua tidak melihatnya sebagai hal substansial.
Kejahatan
kemanusiaan adalah kejahatan kemanusiaan, dan tidak ada relevansinya
membicarakan kemerdekaan. Paradoks ini mungkin akan terus lestari sepanjang
jalan, kecuali ada upaya mengoreksi dan melihatnya dalam komitmen kemanusiaan
yang sebenarnya: pengakuan kepada seluruh umat manusia. Agresivitas patriotisme
seharusnya diganti dengan komitmen kepada kesetaraan dan hasrat bahwa tidak ada
seorangpun yang punya hak mendominasi orang lain.
“Sifat
permusuhan dan tak acuh (indefferent) kepada masyarakat dari lain bangsa yang
sebelumnya sangat mungkin menghasilkan gesekan kezaliman dan perang, seharusnya
diganti dengan sikap peduli kepada orang lain itu,” demikian pesan Tolstoy
(Stephen Nathanson, Patriotism, Morality, and Peace, 1993 : 13).
Mungkin
akan terasa bahagia jika kita mengadopsi sikap baik Tolstoy menjadi sebuah
hukum tentang nasionalisme atau patriotisme. Sandaran hukum nasionalisme
seharusnya tegak di atas moralitas kemanusiaan (walaupun mungkin muncul
pertanyaan baru lagi, kemanusiaan yang seperti apa?). Kesadaran atas moral
kemanusiaan paling tidak bisa menurunkan kadar agresivitas nasionalisme
(patriotisme) tidak melulu “bak semangat anjing dan serigala”, seperti diungkap
Mark Twain.
Kiranya
makin jelas saja posisi dari nasionalisme Aceh saat ini, bahwa kelahirannya tak
mungkin tertahankan lagi ketika kezaliman (ruthlessness) dan perang terus
diproduksi. Perang itu sendiri juga bukan demi keutuhan nasionalisme Indonesia,
karena tak ada yang “luar biasa” terjadi sehingga perang itu harus hadir,
kecuali provokasi beberapa elite kekuasaan yang punya motif permusuhan yang
berlebihan terhadap sebuah komunitas yang berbeda dengannya.
Strategi
perang bukan cara untuk menyelamatkan, tapi menghilangkan (wiçirna sahana)
sebuah komunitas dalam skala besar. Terbukti perang telah berperan sangat
signifikan dalam menghancurkan selera kehidupan masyarakat Aceh. Hancurnya
sektor pendidikan, pemiskinan, dan korupsi menjadi faktor bahwa perang hanya
peduli kepada motif kekuasaan dan bukan pembebasan.
Bagi
saya, kehadiran sebuah nasionalisme seperti yang telah sedang muncul di Aceh
tidak harus merujuk kepada sebuah persyaratan khusus, dengan berbagai kriteria
yang membatasi, sehingga imajinasi ini tak bisa tumbuh. Seperti yang dikatakan
Gellner (1964), “nasionalisme bukanlah tentang bangkitnya kesadaran diri
bangsa, ia adalah bikinan yang sebelumnya tidak pernah ada.” Ia seperti melati yang kuncup dan mekar. Ketika ia tumbuh
di tanah terlarang sekalipun, ia harus diperiksa berdasarkan motif-motifnya,
gagasan-gagasannya, dan perilaku libidalnya. Sebagai sebuah gagasan ia punya
alur narasinya sendiri, dan ini yang lebih menarik untuk dilihat dan
dipelajari, bukan direpresi.
Ketika saya bersepakat untuk
mengambil makna nasionalisme yang telah didekonstruksi sedemikian profannya,
apakah untungnya memperdebatkan atau mengangkat tinggi-tinggi nasionalisme
Aceh? Bagi saya yang menarik adalah bagaimana gagasan ini berkembang dengan
praktik kepentingannya. Sebagai sebuah imajinasi tentang kedaulatan
(sovereignity) ia tentu akan terbatas dalam praktik-praktiknya. Praktik inilah
yang akan dinilai oleh rakyat Aceh sendiri apakah seindah pelangi. Ketika
imajinasi yang “abstrak” dan “fiktif” itu dikerahkan, apakah masih ada aspek
benefiditasnya di dunia nyata?
Pembuktiannya ada di tangan
generasi muda Aceh untuk merekonstruksinya. Perlu beberapa juru bicara
nasionalisme tangguh, yang bisa melihat berbagai aspek dengan sensitif dan
meng-counter gagasan anti-nasionalisme dengan mata menerawang di sudut-sudut
jauh. Harus ada yang menjadi wasit bahwa kerikil yang tersangkut di sepatu itu,
bisa juga melukai.
Lagi pula ketika nasionalisme
Indonesia terus dibiarkan berlubang dengan berbagai mal-praktik kebangsaan yang
dicontohkan elitenya sekarang ini, liang menganga itu mau tak mau akan diisi
oleh nasionalisme periferal yang ada di Indonesia. Memang nyatanya banyak
rakyat (populus) dan bangsa (natio) sangat sulit untuk disatukan di kehidupan
ini. Selalu ada pertaruhan besar untuk rela membunuh dan dibunuh atas nama
bangsa dan cinta tanah air, dan itulah misteri nasionalisme hingga dua ratus
tahun belakangan. Jawabannya ternyata ada di akar-akar budaya nasionalisme itu
sendiri.
Saat ini perselisihan itu adalah
lubang yang telah dibeton oleh kesadaran nasionalisme yang muncul dari generasi
muda Aceh. Imajinasinya seperti kerinduan seorang peziarah yang terus ingin
kembali dan bernyanyi. Karena belum terbukti nyata hingga saat ini, kecuali
hanya sebagai “senjata orang lemah”, saya yakin kegagalan ambisi nasionalisme
Aceh akan sama besar peluangnya dengan keberhasilan politiknya. Sejarah yang
akan mencatat.
Sebagai seoarang pribadi yang
ingin melepaskan diri dari propaganda nasionalisme, entah Indonesia atau Aceh,
saya ingin mencari ruang lain untuk menentukan atas tafsir atas nasionalisme,
dan saya temukan di gagasan Bertrand Russel. Ia secara tepat menetralisir racun
nasionalisme yang menghinggapi orang yang mulai jatuh cinta.
“Di tengah-tengah ini semua, aku
sendiri tersiksa oleh patriotisme terhadap bangsa. Sangat sulit bagiku untuk mengucapkan
kembali patriotisme itu, sekalipun aku cinta. Meskipun demikian, aku tidak
pernah berada dalam momen keraguan tentang apa yang harus kulakukan. Pada suatu
ketika mungkin aku dilumpuhkan oleh skeptisisme, pada suatu waktu lain pernah
menjadi sinis, dan waktu lainnya tak peduli. Namun,
ketika perang datang, aku yakin mendengar suara Tuhan. Seluruh sifatku
terlibat. Sebagai seorang yang cinta kebenaran, propaganda nasional dari
bangsa-bangsa yang suka berperang menyakitkanku.”
“Sebagai pecinta peradaban,
kembali ke barbarisme mencemaskanku. Sebagai seorang laki-laki yang terintangi
perasaan orang tua, pembantaian para pemuda menyayat-nyayat hatiku. Aku kira
pasti banyak kebaikan yang akan datang berlawanan dari perang. Akan tetapi aku
merasa bahwa untuk menghormati sifat manusia, tidak perlu menjegal kaki-kaki
itu sehingga mereka tunjukkan sendiri bisa berdiri tegak.”
Akhirnya di balik semua cerita
resmi tentang kebangsaan, ada getaran yang melampaui kata-kata. Itulah ekspresi
dari sebuah keberanian berbicara benar di hadapan kekuasaan yang menggoda dari
ventilasi yang gelap.
*Mahasiswa Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Dosen Fisipol Universitas Malikussaleh
Lhokseumawe.
http://www.acehkita.com/index.php?dir=banktampil&id=22
----------