Stockholm, 25 April 2006
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
ADANYA USAHA MEMBELOKKAN MOU HELSINKI DENGAN MEMAKAI MODEL
KONSEKUENSI LOGIS-NYA REKONSILIASI DAN REINTEGRASI.
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
MENYOROT
TENTANG USAHA MEMBELOKKAN ARAH DARI JALUR MOU HELSINKI DENGAN MEMAKAI JALUR
KONSEKUENSI LOGIS-NYA REKONSILIASI DAN REINTEGRASI.
"Bapak
Solana menjelaskan kembali pandangan AMM dalam hal ini bahwa pembubaran
organisasi GAM pada proses akhir, akan menjadi suatu titik kulminasi yang logis
dalam proses rekonsiliasi, yang menciptakan pluralisme sejati dalam masyarakat
sipil dan demokrasi yang sebenarnya, berdasarkan pihak-pihak yang terpilih. GAM akan tetap menjadi
pemangku kepentingan terhadap proses pelaksanaan Nota Kesepakatan
Helsinki" (Toni E dan Redaksi Modus, Senin, 24/4/06 10:45 WIB)
Membaca
apa yang ditulis oleh Redaksi Modus berdasarkan hasil laporan dari Biro Acheh
saudara Toni E yang menyinggung masalah penggantian nama dan fungsi dari GAM
yang dinyatakan oleh Pimpinan Urusan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa Javier
Solana seusai pertemuan ke-32 Komisi Pengaturan Keamananan (COSA) pada hari
Sabtu, 22 April 2006 di kantor Misi Monitoring Acheh (AMM) di Banda Acheh, ternyata
ada beberapa masalah yang masih dipertanyakan kekuatan dasar hukumnya.
Dimana,
kalau menelaah dan menganalisa tentang apa yang dinyatakan oleh Pimpinan Urusan
Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa Javier Solana bahwa "segera setelah
pengesahan RUU PA dan sebelum Pilkada, GAM harus mengganti nama dan fungsi dari
organisasinya yang akan menjadi suatu titik kulminasi untuk proses rekonsiliasi
dan reintegrasi dalam masyarakat sipil", maka masih ditemukan
kelemahan-kelemahan hukum dari isi pernyataan Pimpinan Urusan Luar Negeri dan
Keamanan Uni Eropa Javier Solana tersebut, mengapa ?
Karena,
sebagaimana yang tertuang dalam MoU Helsinki 15 Agustus 2005 bahwa UU Tentang
Self-Government atau Pemerintahan Sendiri di Acheh atau Pemerintahan Rakyat
Acheh atau Pemerintahan Acheh adalah salah satu dari poin yang telah disepakati
oleh pihak GAM dan Pemerintah Indonesia. Begitu juga masalah yang menyangkut
reintegrasi kedalam masyarakat Acheh adalah salah satu dari poin-poin yang
telah disepakati oleh pihak GAM dan Pemerintah Indonesia.
Jadi,
terbentuk dan disahkannya UU Tentang Pemerintahan Acheh bukan merupakan dasar
hukum untuk penggantian nama dan fungsi dari GAM. Begitu juga masalah reintegrasi kedalam masyarakat Acheh bagi
anggota GAM yang telah diberi amnesti atau dibebaskan dari Lembaga
Permasyarakatan atau tempat penahanan lainnya adalah bukan suatu dasar dan
acuan hukum untuk dipakai penggantian nama dan fungsi dari GAM.
Oleh
sebab itu kalau hanya didasarkan kepada telah disahkannya UU Tentang
Pemerintahan Acheh yang menjadi konsekuensi logis untuk diganti nama dan fungsi
GAM guna mencapai usaha reintegrasi kedalam masyarakat, maka alasan tersebut
adalah alasan yang sangat lemah.
Nah,
dalam usaha untuk mencapai perdamaian yang menyeluruh, berkelanjutan dan
bermartabat bagi semua di Acheh ini semuanya harus diacukan kepada apa yang
telah disepakati dalam MoU Helsinki 15 Agustus 2005. Jadi tidak dibelokkan ke
arah jalur acuan yang didasarkan kepada model konsekuen logis-nya Pimpinan Urusan Luar Negeri dan Keamanan Uni
Eropa Javier Solana.
Justru,
GAM yang ada sekarang secara de-facto telah mengarah kejurusan politik, dimana
kekuatan sayap militer GAM yaitu Tentara Negara Acheh (TNA) telah merobah jalur
ke jurusan sipil dengan Komite Peralihan Acheh (KPA)-nya sesuai dengan dasar
dan acuan hukum MoU Helsinki yang berbunyi: "4.2. GAM melakukan demobilisasi atas semua 3000 pasukan
militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan emblem
atau simbol militer setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini".
Nah sekarang, dari apa yang
dijelaskan diatas, tidak ada alasan dasar dan acuan hukum lagi yang bisa
dijadikan sebagai argumentasi untuk mengganti nama dan fungsi GAM, karena
memang GAM telah menjadi kekuatan politik dan telah bersatu dengan rakyat
Acheh. Terbukti dengan kedatangan para petinggi GAM Teungku Malik Mahmud dan
Teungku Dr.Zaini Abdullah serta para jajaran GAM lainnya ke Acheh yang disambut
besar-besaran oleh bangsa dan rakyat Acheh.
Jadi disini, memang masalah
reintegrasi GAM dengan bangsa dan seluruh rakyat Acheh bukan masalah yang harus
diselesaikan melalui jalur penggantian nama dan fungsi GAM. Melainkan
pengintegrasian GAM dalam bangsa dan rakyat Acheh telah berjalan dengan lancar
tanpa melalui jalur penggantian nama dan fungsi GAM.
Terakhir, masalah perdamaian yang
menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua di Acheh masih dalam
proses dan masih jauh dari titik akhir. Pelaksanaan MoU Helsinki masih banyak yang belum
tercapai. Selama isi dari semua poin-poin MoU Helsinki masih belum dilaksanakan
secara demokratis dan adil, maka selama itu GAM akan terus menjadi pemangku
yang sekaligus pelaksana MoU Helsinki. Yang sekarang justru dipertanyakan
adalah bagaimana pihak Pemerintah RI dan DPR RI dengan kemitmen mereka kepada MoU
Helsinki. Karena komitmen dengan MoU Helsinki dari kedua belah pihak, yaitu
dari pihak GAM dan Pemerintah Indonesia termasuk DPR RI adalah merupakan batu
pondasi terwujud dan terpeliharanya perdamaian yang menyeluruh, berkelanjutan
dan bermartabat bagi semua di Acheh.
Bagi
yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada
ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk
membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah
Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP
http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya
kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon
petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad
Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
----------
http://www.modus.or.id/internasional/ada.html
Senin,
24/4/06 10:45 WIB
COSA ADAKAN PERTEMUAN DENGAN WAKIL
UNI EROPA,PEMERINTAH DAN GAM
Banda Aceh,(Modus.or.id).Pertemuan
ke-32 Komisi Pengaturan Keamananan (COSA) diadakan hari Sabtu, 22 April 2006
dipimpin serta didampingi oleh Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Kebijakan
Keamanan dan Luar Negeri Biasa, Bapak Javier Solana dan Ketua Aceh Monitoring
Mission Bapak Pieter Feith. Delegasi dari Pemerintah Indonesia dipimpin oleh Menteri
Informasi dan Komunikasi Bapak Sofyan Djalil dan delegasi Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) dipimpin oleh Bapak Malik Mahmud. Gubernur Aceh Bapak Mustafa Abubakar
juga menghadiri pertemuan ini.
Pihak-pihak menyatakan kepuasannya
atas hasil-hasil yang dicapai selama ini, khususnya mengenai semakin membaiknya
kondisi keamanan. Semua pihak juga berkomitmen untuk melanjutkan usaha ini
dengan berlandaskan semangat dari Nota Kesepakatan dalam rangka memberikan
kontribusi untuk sebuah penyelesaian yang damai, berkelanjutan dan menyeluruh
di Aceh. Kelanjutan reintegrasi adalah juga sangat penting.
Piahk-pihak menggarisbawahi
pentingnya merampungkan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (RUU PA)
sesegera mungkin dan sepakat bahwa Undang-Undang tersebut harus sesuai dengan
Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dan Nota Kesepakatan Helsinki.
Undang-Undang ini tidak hanya akan menunjukkan komitmen Pemerintah seperti yang
tercantum dalam Nota Kesepakatan dan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada), tetapi juga akan menjadi instrumental dalam memenuhi harapan dan
aspirasi masyarakat Aceh. Setelah undangan dari Pemerintah Indonesia serta
didukung penuh oleh kepemimpinan GAM, Perwakilan Tinggi Uni Eropa menyatakan
kesiapannya untuk merekomendasikan negara-negara anggota Uni Eropa dengan
berkonsultasi dengan negara-negara anggota ASEAN yang berpartisipasi, untuk
perpanjangan singkat misi AMM, jikalau diundang. Juga sangat penting dijelaskan
lagi lebih jauh bahwa pihak-pihak itu sendirilah yang memiliki proses perdamaian
ini dan adalah mereka yang menyatakan komitmennya di Helsinki yang membangun
keyakinan dan kepercayaan saling menguntungkan.
Pihak-pihak lebih jauh
mendiskusikan masa depan GAM termasuk transformasinya ke arah pergerakan
politik. Bapak Solana menjelaskan kembali pandangan AMM dalam hal ini bahwa
pembubaran organisasi GAM pada proses akhir, akan menjadi suatu titik kulminasi
yang logis dalam proses rekonsiliasi, yang menciptakan pluralisme sejati dalam
masyarakat sipil dan demokrasi yang sebenarnya, berdasarkan pihak-pihak yang
terpilih. GAM
akan tetap menjadi pemangku kepentingan terhadap proses pelaksanaan Nota
Kesepakatan Helsinki.
Mengenai
kasus-kasus amnesti yang tertunda, pihak-pihak menyatakan bahwa kemajuan telah
dibuat namun perkembangan tersebut harus dibawa ke arah depan, sebagai sebuah
prioritas dan dibantu oleh AMM, dengan bertujuan menyelesaikan semua
kasus-kasus selambatnya pada 15 Juni 2006.
Bapak
Solana juga menyampaikan kembali permintaan AMM untuk sebuah surat dari
Pemerintah Indonesia selambatnya pada 15 Juni 2006, mengkonfirmasikan
implementasi total atas pembubaran setiap kelompok atau pihak-pihak ilegal,
sesuai dengan pasal 4 ayat 9 dari Nota Kesepakatan. (Red/Toni E).
----------