Stockholm, 29 Maret 2006

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Assalamu'alaikum wr wbr.

 

 

PENGUNGSI RAKYAT PAPUA PUNYA HAK MENDAPATKAN PERLINDUNGAN POLITIK BERDASARKAN KONVENSI GENEVA 28 JULI 1951.

Ahmad Sudirman

Stockholm - SWEDIA.

 

 

PENGUNGSI RAKYAT PAPUA PUNYA HAK MENDAPATKAN PERLINDUNGAN POLITIK DARI NEGARA-NEGARA PENANDATANGANI KONVENSI GENEVA 28 JULI 1951.

 

Ketika Pemerintah Australia pada tanggal 23 Maret 2006 memberikan temporary protection visa (TVP) atau visa perlindungan sementara bagi 42 dari 43 rakyat Papua setelah mereka selama tiga bulan tinggal di Pulau Natal (Christmas Island) untuk mendapatkan perlindungan politik dari pihak Pemerintah Australia, maka itu membuktikan bahwa Pemerintah Australia telah memahami dan menyadari apa yang dimaksud dengan dengan pengungsi menurut Konvensi Geneva 28 Juli 1951 tentang pengungsi.

 

Dimana orang yang digolongkan pengungsi yang perlu dilindungi menurut Konvensi Geneva 28 Juli 1951 itu adalah: "As a result of events occurring before 1 January 1951 and owing to well-founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country; or who, not having a nationality and being outside the country of his former habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it. (Menurut Konvensi 1951 (mengenai Status Pengungsi) juga pengungsi sebelum 1 Januari 1951, adalah seseorang yang oleh karena rasa takut yang wajar akan kemungkinan dianiaya berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada suatu kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik, berada di luar negeri kebangsaannya, dan tidak bisa atau, karena rasa takut itu, tidak berkehendak berada di dalam perlindungan negeri tersebut…" ) ( Convention Relating to the Status of Refugees. Preamble, Chapter I: General Provisions, Article 1 Definiton of the Term "Refugee", (2))

 

Nah, kewajiban bagi pihak Pemerintah Australi yang telah menandatangani Konvensi Geneva 28 Juli 1951 untuk memberikan perlindungan politik bagi siapa saja yang digolongan masuk kedalam pengungsi menurut Konvensi Geneva 28 Juli 1951 tentang pengungsi.

 

Ketika ada seseorang dari Papua yang datang untuk masuk ke Australia guna mendapatkan perlindungan politik karena rasa takut akan kemungkinan dianiaya disebabkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada suatu kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik, maka sudah sewajibnya pihak Pemerintah Australia memberikan perlindungan orang tersebut sebagai pengungsi berdasarkan dasar hukum Konvensi Geneva 28 Juli 1951 tentang pengungsi.

 

Jadi sangat dibenarkan secara hukum internasional apabila pihak Pemerintah Australia memberikan perlindungan politik kepada orang-orang yang datang dari Papua yang memajukan dasar dan alasan sebagaimana yang tertuang dalam Konvensi Geneva 28 Juli 1951 tentang pengungsi.

 

Tentu saja, pihak Pemerintah Australia dalam memutuskan keputusannya tentang pemberian perlindungan politik bagi pengungsi asal Papua ini didasarkan kepada alasan dari masing-masing individu.

 

Sebenarnya bukan hanya Pemerintah Australia saja yang berkewajiban memberikan perlindungan politik kepada pengungsi dari Papua, melainkan juga Pemerintah dari negara-negara lainnya, misalnya Pemerintah Swedia.

 

Permintaan perlindungan politik bagi pengungsi ini bisa dilakukan secara langsung, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para pengungsi dari Papua diatas, tetapi juga dapat melalui lembaga UNHCR (The United Nations High Commissioner for Refugees). Dimana lembaga The United Nations High Commissioner for Refugees dalam menangani pengungsi telah diatur menurut Artikel 35, Konvensi Geneva 28 Juli 1951 tentang posisi, tugas dan kewajiban The United Nations High Commissioner for Refugees terhadap pengungsi yaitu,

 

"The Contracting States undertake to co-operate with the Office of the United Nations High Commissioner for Refugees, or any other agency of the United Nations which may succeed it, in the exercise of its functions, and shall in particular facilitate its duty of supervising the application of the provisions of this Convention". (UNHCR atau Lembaga lain PBB berkewajiban untuk memastikan bahwa negara, yang ditempati oleh pengungsi, memperhatikan dan bertindak dalam melaksanakan kewajibannya untuk melindungi pengungsi) ( Convention Relating to the Status of Refugees. Chapter VI: Executory and Transitory Provisions, Article 35 Co-operation of the National Authorities with the United Nations, 1)

 

Jadi, sebenarnya pihak Pemerintah Australia yang telah memberikan temporary protection visa (TVP) atau visa perlindungan sementara bagi 42 dari 43 rakyat Papua telah berjalan diatas jalur hukum internasional. Adapun pihak Pemerintah RI justru sebaliknya harus menyadari bahwa sebenarnya apa yang telah dilakukan terhadap bangsa dan Negeri Papua adalah suatu pelanggaran hukum internasional, yaitu penganeksasian Papua Barat tanpa melalui persejutuan dari seluruh rakyat Papua Barat.

 

Penganeksasian Papua Barat kedalam wilayah RI-Jawa-Yogya.

 

Tentang masalah penganeksasian Papua Barat ini telah sering dikupas dan dijelaskan oleh Ahmad Sudirman di mimbar bebas ini.

 

Tetapi, tidak mengapa terus diulang-ulang penjelasannya, agar supaya makin meresap kedalam pikiran dan hati tentang akar utama masalah Papua Barat ini.

 

Sebenarnya bangsa Papua yang sudah sadar untuk menentukan nasib sendiri diatas tanah Papua yang dianeksai oleh Soekarno dengan memakai RI-Jawa-Yogya-nya, itu bukan bangsa separatis, sebagaimana yang selalu digembar gemborkan oleh para pendukung unitaris RI-Jawa-Yogya, mengapa ?

 

Karena itu negerinya bangsa Papua bukan bagian dari RI-Jawa-Yogya, melainkan negeri yang dimasukkan dengan melalui kekerasan senjata dibawah perintah Soekarno dan diteruskan oleh Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan sekarang Susilo Bambang Yudhoyono.

 

Kemudian, kalau mengacu kepada KMB 2 November 1949, jelas itu dalam KMB 2 November 1949 tidak menyebutkan bahwa Papua Barat akan menjadi milik RI-Jawa-Yogya. Justru yang dinyatakan dalam KMB 2 November 1949 itu adalah Belanda akan menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) pada akhir bulan Desember 1949. Dan Irian barat atau Papua Barat penyelesaiannya ditunda selama satu tahun. Nah disini artinya, satu tahun setelah Belanda Menyerahkan kedaulatan kepada RIS (Republik Indonesia Serikat). Karena itu  menurut dasar hukum KMB 2 November 1949 sudah jelas, bahwa tidak ada hak bagi Soekarno dengan RI-Jawa-Yogya-nya untuk menganeksasi Papua Barat.

 

Selanjutnya kalau melihat dari sudut sebelum Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang disepakati setelah Soekarno dengan RI-Jawa-Yogya-nya menelan 15 Negara-Negara dan Daerah-Daerah Bagian RIS, Acheh dan Maluku Selatan pada 15 Agustus 1950, maka akan terlihat dimana Soekarno dengan RI-Jawa-Yogya-nya pada tanggal 17 Agustus 1956 mengklaim secara sepihak bahwa Papua Barat sebagai provinsi Papua Barat dengan memasukkan wilayah Tidore, Oba, Weda, Patani, serta Wasile di Maluku Utara, dan menjadikan Soa Siu debagai Ibu Kotanya.

 

Seterusnya kalau dihubungkan dengan kedatangan Nikita Khrushchev ke RI sebagai pelaksanaan hubungan kerjasama antar dua negara. Dimana Soekarno yang berideologi marhaenisme yang berasal dari hasil perasan salah satunya paham Marxisme yang menjadi intinya ideologi Lenin menjadi kekuatan bagi pihak Uni Soviet untuk meluaskan kuku kekuasaan hegemoninya ke wilayah Asia Tenggara. Karena alasan ideologi inilah, maka pada tanggal 28 Februari 1960 di Istana Bogor dilangsungkan upacara penandatanganan tiga Naskah Persetujuan Bersama antara Pemerintah Uni Soviet yang diwakili oleh Perdana Menteri Nikita Khrushchev dan Pemerintah RI yang diwakili oleh Presiden Soekarno.

 

Dimana ketiga Naskah Persetujuan  Bersama itu adalah 1. Pernyataan bersama antara Pemerintah RI dan Pemerintah Uni Soviet. 2. Perjanjian Kerjasama kebudayaan anatara Pemerintah RI dan Pemerintah Uni Soviet. 3. Perjanjian kerjasama ekonomi anatara Pemerintah RI dan Pemerintah Uni Soviet.

 

Pemerintah  Uni Soviet memberikan kredit sebesar US$ 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta dolar Amerika) untuk berbagai pembangunan proyek seperti industri besi/baja, kimia, reaktor atom, teksil, dan pertanian.

 

Dalam bidang pertahanan, pihak Uni Soviet telah memberikan kredit jangka panjang. Dimana pihak Uni Soviet telah menjual senjata kepada RI. Pembelian senjata itu ditandatangani pada tanggal 4 Maret 1961 di Jakarta oleh Menteri Keamanan Nasional Jenderal Abdul Haris Nasution. Dimana pembelian senjata dari Uni Soviet itu adalah pembelian senjata terbesar yang pernah dilakukan oleh pihak RI sampai saat itu. Dimana tujuan pembelian senjata Uni Soviet ini adalah untuk mempersiapkan potensi militer RI untuk mencaplok Papua Barat atau Irian barat.

 

Nah disini jelas, arah haluan politik luar negeri Soekarno mengarah ke Uni Soviet yang sekaligus dijadikan sebagai alat untuk mengumpulkan senjata guna dipakai mencaplok Papua Barat dari tangan Belanda.

 

Kemudian dengan senjata yang diperoleh dari Uni Soviet, pada tanggal 2 Januari 1962 Soekarno menugaskan kepada  Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Mandala Pencaplokan Irian Barat atau Papua Barat. Wakil I Panglima Kolonel Laut Subono, Wakil II Panglima Kolonel Udara Leo Wattimera, dan sebagai Kepala Staf Gabungan Kolonel Achmad Tahir.

 

Tugas dari Komando Mandala ini adalah merencanakan, mempersiapkan dan menyelenggarakan operasi-operasi militer dengan tujuan merebut wilayah Irian Barat masuk kedalam wilayah RI-Jawa-Yogya. Kemudian mengembangkan situasi militer diwilayah Irian Barat sesuai dengan taraf-taraf perjuangan dibidang diplomasi. Dan supaya dalam waktu singkat wilayah Irian Barat bisa dianeksasi kedalam wilayah RI-Jawa-Yogya.

 

Rencana Komando Mandala ini pertama, sampai akhir 1962 dinamakan fase infiltrasi. Dengan memasukkan 10 kompi ke sasaran-sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de-facto. Kedua, mulai awal 1963 dinamakan fase eksploitasi, yaitu mengadakan serangan terbuka terhadap induk-induk militer musuh, menduduki semua pos pertahanan musuh. Ketiga, awal 1964 dinamakan fase konsolidasi, yaitu menjadikan RI sebagai penguasa di Papua.

 

Nah, dari sini memang kelihatan Soekarno telah melakukan operasi militer secara terang-terangan untuk menguasai dan menduduki Papua Barat.

 

Hanya setelah Perjanjian New York ditandatangani pada 15 Agustus 1962, gerakan operasi Soeharto dengan Komando Mandalanya dihentikan.

 

Jadi kelihatan sekarang, bahwa sebelum Perjanjian New York ditandatangani 15 Agustus 1962, itu telah terjadi kronologis kejadian:

 

Pertama, Soekarno memutuskan hubungan dilomatik dengan Belanda pada tanggal 17 Agustus 1960.

 

Kedua, membeli senjata dari Uni Soviet pada tanggal 4 Maret 1961.

 

Ketiga, pada tanggal 19 Oktober 1961 di Jayapura bangsa Papua membentuk Kongres Pertama Rakyat Papua dan mendeklarkan Manifesto kemerdekaan Papua Barat yang ditandatangani oleh wakil-wakil kelompok, agama, dan suku adat yang ada di Papua Barat.

 

Keempat, pada tanggal 2 Januari 1962 Soekarno menugaskan kepada  Mayon Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Mandala Pencaplokan Irian Barat atau Papua Barat

 

Kelima, tanggal 2 April 1962 Presiden John F. Kennedy mengirimkan surat kepada Perdana Menteri Belanda J. E. de Quay. Dimana sebagian isi surat Presiden John F. Kennedy:

 

"The Netherlands position, as we understand it, is that you wish to withdraw from the territory of West New Guinea and that you have no objection to this territory eventually passing to the control of Indonesia. However, The Netherlands Government has committed itself to the Papuan leadership to assure those Papuans of the right to determine their future political status. The Indonesians, on the other hand, have informed us that they desire direct transfer of administration to them but they are willing to arrange for the Papuan people to express their political desires at some future time. Clearly the positions are not so far apart that reasonable men cannot find a solution.

 

Mr. Ellsworth Bunker, who has undertaken the task of moderator in the secret talks between The Netherlands and Indonesia, has prepared a formula which would permit The Netherlands to turn over administrative control of the territory to a UN administrator. The UN, in turn, would relinquish control to the Indonesians within a specified period. These arrangements would include provisions whereby the Papuan people would, within a certain period, be granted the right of self-determination. The UN would be involved in the preparations for the exercise of self-determination.

 

My Government has interested itself greatly in this matter and you can be assured that the United States is prepared to render all appropriate assistance to the United Nations when the Papuan people exercise their right of self-determination. In these circumstances and in light of our responsibilities to the free world, I strongly urge that The Netherlands Government agree to meet on the basis of the formula presented to your representative by Mr. Bunker.

 

We are of course pressing the Indonesian Government as strongly as we can for its agreement to further negotiations on the basis of this same formula."

 

Nah dari surat Presiden John F. Kennedy tersebut menggambarkan bagaimana pihak Pemerintah Amerika telah menyetujui komitmen Belanda terhadap para pemimpin Bangsa Papua untuk memberikan bangsa Papua hak menentukan nasib sendiri dimasa depan. Sedangkan pihak Pemerintah Soekarno menghendaki penyerahan langsung dari Belanda kepada RI, tetapi juga berkeinginan menyelenggarakan penentuan pendapat rakyat bagi rakyat Papua.

 

Dan pihak Presiden John F. Kennedy sekemampuan yang ada menekan pihak Soekarno untuk melakukan perundingan yang didasarkan kepada formula yang sama.

 

Jadi kita melihat sekarang, makin jelas, bahwa pihak Pemerintah Amerika setuju dengan pihak Pemerintah Belanda untuk memberikan kebebasan bangsa Papua menentukan nasib mereka sendiri. Tetapi melalui pengawasan utusan PBB. Sedangkan dari pihak Pemerintah RI, justru ingin terus mencaplok Papua. Dan memang usaha pencaplokan Papua telah dijalankan oleh Soekarno sampai waktu Penandatanganan Perjanjian New York 15 Agustus 1962.

 

Dan kesimpulannya bahwa perjuangan bangsa Papua Barat bukan perjuangan separatis, melainkan perjuangan untuk menentukan nasib sendiri yang negeri-nya telah dianeksasi oleh Soekarno, diteruskan oleh Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan sekarang Susilo Bambang Yudhoyono.

 

Pelaksanaan Perjanjian New York 15 Agustus 1962.

 

Adapun tentang pelaksanaan Perjanjian New York 15 Agustus 1962 dapat dibaca dalam tulisan "Bangsa Papua menuntut self-determination berdasarkan Perjanjian New York 15 Agustus 1962" ( www.dataphone.se/~ahmad/050809a.htm )

 

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

 

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

 

Wassalam.

 

Ahmad Sudirman

 

http://www.dataphone.se/~ahmad

ahmad@dataphone.se

----------