Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
RUU TENTANG PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN SENDIRI DI ACHEH
YANG MENGACU KEPADA MOU HELSINKI 15 AGUSTUS 2005.
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
SEKILAS
CONTOH RUU TENTANG PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN SENDIRI DI ACHEH YANG MENGACU
KEPADA MOU HELSINKI 15 AGUSTUS 2005.
"Akang Ahmad Sudirman
Yth. Sering email akang
difawder ke email saya. Akang adalah seorang putra Parahiyangan, sedang saya
seorang Putroe Acheh Asli. Sebagai seorang dafter RUU PA versi GAM bersama
Nazar, Cs, sekaligus sebagai drafter RUUPA versi Civil Society, saya dibikin
bingung oleh pernyataan-pernyataan akang. Saya tahu persis kalau Depdagri
bersama Setneg telah memangkas dan menambah draft RUU PA yang diajukan rakyat
Acheh. Dan perbuatan mareka telah membuat RUUPA itu menjadi tidak
sejalan dan bertentangan dengan dengan MoU. Saya juga tahu persis bahwa apa
yang diajukan rakyat Acheh dan dibuat team perumus GAM bukan konsep Self Goverment yang maksimal
atau murni 100 %. Tapi itu adalah konsep Self Government yang menurut kami
tidak bertentangan dengan MoU Helsinki. Kami juga telah mengkonsultasikannya
dengan beberapa ahli hukum self government dari beberapa negara sperti John
Packer dari Kanada, Julian Hottinger dati Swiss, dan dengan Damien Kingbury
dari Australia, yang akang sendiri telah kenal siapa mareka mareka. Konsultasi
itu dilakukan di Kuala Lumpur bulan Desember lalu. Oke. Akang Ahmad, kalau
semua itu bukan konsep Self Government, maka saya minta agar akang mengirim
konsep yang benar-benar Self Goverment kepada saya untuk kami bandingkan" (Mary Aty, mary_aam2003@yahoo.com , Thu, 9 Mar 2006 20:58:03 -0800 (PST))
Saudara
Mary Aty,
Dibawah ini
ada satu draft RUU Pemerintahan Sendiri di Acheh yang masuk ke email box Ahmad
Sudirman lima bulan yang lalu, yang telah diteliti, dipelajari, dianalisa dan
dirobah disesuaikan dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 15
Agustus 2005.
Semua
butir-butir yang terkandung dalam MoU Helsinki sudah tertuang dalam draft RUU
Pemerintahan Sendiri di Acheh hasil perobahan dibawah ini.
Dasar yang
paling penting yang perlu dijelaskan disini adalah karena Pemerintahan Sendiri
di Acheh baru pertama kali ini dilahirkan, dibentuk dan dibangun sejak sejarah
pertumbuhan dan perkembangan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, Republik
Indonesia Serikat 27 Desember 1949,
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan UUD Sementara 1950 dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan UUD 1945 5 Juli 1959, maka
tidak satupun Undang-Undang yang berlaku sekarang termasuk UUD 1945 yang
mengatur secara hukum Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di Acheh. Jadi
wujudnya Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di Acheh ini adalah karena telah
ditandatanganinya MoU Helsinki 15 Agustus 2005 dan berdasarkan dasar hukum MoU
inilah RUU Tentang Penyelenggaraan
Pemerintahan Sendiri di Acheh dibuat yang selanjutnya ditetapkan dan diundangkan
di Acheh.
Berdasarkan
MoU Helsinki Pemerintahan sendiri di
Aceh yang disebut pemerintahan Acheh adalah Pemerintahan sendiri di wilayah
Aceh berdasarkan perbatasan 1 Juli 1956 dan menurut apa yang terjadi pada 1
Juli 1956, itu Acheh adalah bukan
provinsi dan Acheh bukan bersifat otonomi, melainkan Acheh merupakan daerah
yang dimasukkan kedalam wilayah propinsi Sumatra Utara.
Dimana
dasar hukumnya adalah karena Undang Undang Nomor 24 Tahun 1956 Tentang Pembentukan
Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi
Sumatera Utara ditetapkan pada tanggal 29 Nopember 1956 oleh Presiden Republik
Indonesia, Soekarno dan diundangkan pada tanggal 7 Desember 1956 oleh Menteri
Kehakiman, Muljatno dan Menteri Dalam Negeri, Sunarjo.
Jadi, Acheh
pada tanggal 1 Juli 1956 masih berada dalam wilayah Propinsi Sumatera Utara,
sebab Acheh baru dipisahkan dari Propinsi Sumatera Utara menjadi Propinsi Acheh
yang otonom pada tanggal 29 Nopember 1956.
Nah,
berdasarkan dasar hukum inilah mengapa Acheh pada tanggal 1 Juli 1956 bukan
propinsi dan bukan otonomi.
Ketika
Ahmad Sudirman mempelajari RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di
Acheh ini, yang paling penting adalah:
Pertama,
RUU tersebut harus mengacu kepada MoU Helsinki 15 Agustus 2005 sebagai
Self-Government atau Pemerintahan Sendiri di Acheh yang bukan propinsi dan
tidak bersifat otonomi khusus atau otonomi istimewa.
Kedua, RUU
tersebut tidak mengacukan kepada UU yang ada sekarang di RI, karena UU yang ada
tidak punya referensi hukum tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di
Acheh.
Ketiga, RUU
tersebut tidak mengacu kepada UUD 1945, karena dalam UUD 1945 tidak ada dasar
hukum untuk membangun Pemerintahan
Sendiri di Acheh, karena yang ada dalam UUD 1945 adalah seperti yang tertuang
dalam Pasal 18B ayat (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang-undang. Nah, yang dimaksud dengan satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa menurut UUD 1945 adalah
satuan pemerintahan daerah oronomi, bukan
Pemerintahan sendiri sebagaimana
yang telah disepakati dalam MoU Helsinki.
Jadi,
berdasarkan dasar hukum inilah mengapa Ahmad Sudirman membuang semua yang
menjadi dasar "Mengingat" dari mulai pasal-pasal dalam UUD 1945 sampai
UU lainnya dan untuk gantinya dimasukkan
MoU Helsinki sebagai acuan hukum pembuatan RUU Tentang Penyelenggaraan
Pemerintahan Sendiri di Acheh.
Karena
kalau ada saja satu UU yang dijadikan referensi dalam pembuatan RUU
Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri, maka menyimpanglah RUU
tersebut dari isi MoU Helsinki yang telah disepakati oleh pihak GAM dan
Pemerintah RI.
Kemudian
Pemerintahan Sendiri di Acheh ini masih punya hubungan dengan Pemerintah
Indonesia adalah karena masih adanya enam kewenangan yang dimiliki oleh
Pemerintah RI, yaitu kewenangan dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan
luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan
kebebasan beragama. Diluar itu Pemerintahan Acheh ini memiliki kewenangan penuh
kedalam ditambah kewenangan keluar, kecuali kewenangan keluar dalam hal
hubungan luar negeri, misalnya kalau mau mengadakan perjalanan keluar negeri,
masih tetap mempergunakan travel dokumen yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI.
Sekarang,
walaupun Acheh masih kehilangan enam kewenangan, tetapi Acheh sudah merupakan
satu negara yang berdiri dengan diatur oleh Pemerintahan Acheh-nya di daerah
menurut perbatasan 1 Juli 1956 yang bukan bersifat otonomi dan juga bukan
berbentuk propinsi.
Jadi bisa
dikatakan bahwa Acheh adalah satu negara yang hidup dan berdampingan dengan
Negara RI dalam satu wadah yang masih diikat dengan enam tali kewenangan Pemerintah
Indonesia, yang bisa juga dikatakan sebagai tali ikatan federasi.
Pemerintah
Indonesia dan DPR RI tidak lagi bebas untuk mengatur, mengontrol dan menetapkan
sesuatu yang ada hubungannya dengan Acheh dan tentang kewenangan diluar enam
kewenangan yang dimiliki Pemerintah Indonesia tanpa adanya persetujuan dan
kesepakatan dari pihak Pemerintahan Acheh dan Lembaga legislatif Acheh.
Nah
sekarang, kalau masih ada orang Acheh yang menyatakan bahwa karena pihak
Pemerintah Indonesia yang masih menguasai enam kewenangan atas Acheh, sehingga
Acheh tetap sebagai daerah yang bersifat otonomi dengan status bentuk propinsi,
maka orang Acheh tersebut masih berjalan ditempat dan tidak memahami isi dari
MoU Hlsinki.
Dan kalau
pihak Pemerintah RI dan DPR RI memangkas isi RUU Tentang Pemerintahan Sendiri
di Acheh yang mengacu kepada MoU Helsinki ini, maka itu membuktikan bahwa pihak
RI memang tidak memiliki alasan fakta, bukti, sejarah dan dasar hukum yang kuat
untuk terus memeluk Acheh. Atau dengan kata lain, pihak kelompok unitaris RI
takut kehilangan Acheh kalau Acheh benar-benar menjadi bentuk Self-Government
atau Pemerintahan Sendiri di Acheh atau Pemerintahan Acheh yang kedudukannya
sama dengan RI dan yang mengarah kepada bentuk federasi. Dan nama federasi
adalah dianggap sebagai hantu yang menakutkan oleh para pendukung unitaris RI.
Inilah
penjelasan RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di Acheh yang telah
dipelajari dan dirobah oleh Ahmad Sudirman.
Bagi yang
ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada
ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk
membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah
Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP
http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya
kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon
petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad
Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
----------
Date:
Thu, 9 Mar 2006 20:58:03 -0800 (PST)
From:
mary aty mary_aam2003@yahoo.com
Subject:
Yang Paleng Berhak
To:
ahmad@dataphone.se, muzakkir_hamid@yahoo.com, djuli@streamyx.com, bakhtiar59@yahoo.com,
teuku@aol.com, beuransah@hotmail.com,
shadmar12@yahoo.com, tang_ce@yahoo.com, peusangansb@hotmail.com,
husaini54daud@yahoo.com, warzain@yahoo.com
Ass. Wr.
Wb.
Akang Ahmad Sudirman Yth.
Sering email akang difawder ke email saya. Akang adalah seorang putra Parahiyangan, sedang saya seorang Putroe Acheh Asli. Sebagai seorang dafter RUU PA versi GAM bersama Nazar, Cs, sekaligus sebagai drafter RUUPA versi Civil Society, saya dibikin bingung oleh pernyataan-pernyataan akang. Saya tahu persis kalau Depdagri bersama Setneg telah memangkas dan menambah draft RUU PA yang diajukan rakyat Acheh. Dan perbuatan mareka telah membuat RUUPA itu menjadi tidak sejalan dan bertentangan dengan dengan MoU. Saya juga tahu persis bahwa apa yang diajukan rakyat Acheh dan dibuat team perumus GAM bukan konsep Self Goverment yang maksimal atau murni 100 %. Tapi itu adalah konsep Self Government yang menurut kami tidak bertentangan dengan MoU Helsinki. Kami juga telah mengkonsultasikannya dengan beberapa ahli hukum self government dari beberapa negara sperti John Packer dari Kanada, Julian Hottinger dati Swiss, dan dengan Damien Kingbury dari Australia, yang akang sendiri telah kenal siapa mareka mareka. Konsultasi itu dilakukan di Kuala Lumpur bulan Desember lalu.
Oke. Akang Ahmad,
kalau semua itu bukan konsep Self Government, maka saya minta agar akang
mengirim konsep yang benar-benar Self Goverment kepada saya untuk kami
bandingkan.
Tahukah akang, bahwa ketika rakyat Acheh ajukan konsep SG yang minimal diaduk-aduk Jakarta? Konon lagi jika diajukan konsep yang murni seperti dinginkan akang. Selamat merumuskan RUUPA dengan konsep Self Government murni dan kami rakyat Acheh menunggu kirimannya dan akan kami ajukan ke Jakarta, kepada pemerintah RI, dan
ke DPR RI. Tentu saja setelah dikonsultasikan dengan para Pemimpin Nanggroe dan para pakar SG dari berbagai negara.
Teurimeng Geunaseh ateuh perhatian
Wassalam
Mar
Faisalabad,
Punjab, Pakistan
----------
RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
TAHUN 2006
TENTANG
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN SENDIRI DI ACEH
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.
Menimbang :
a. Nota Kesepahaman antara
Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangi
pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia;
b.
bahwa penyelenggaraan pemerintahan
sendiri di Aceh baru pertama kali ini wujud sejak sejarah pertumbuhan dan
perkembangan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, Republik Indonesia Serikat 27
Desember 1949, Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasar UUDSementara 1950 dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasar UUD 1945 5 Juli 1959;
c.
bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan
sendiri di Aceh, dipandang perlu diberikan kewenangan Pemerintahan sendiri di
Aceh sesuai dengan semangat dan butir-butir yang terkandung dalam Nota
Kesepahaman Helsinki 15 Agustus 2005 yang diatur dengan undang-undang;
d.
bahwa salah satu karakter khas yang
alami di dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh adalah adanya ketahanan dan daya
juang yang tinggi yang bersumber pada pandangan hidup dan karakter sosial
kemasyarakatan dengan budaya Islam yang kuat;
e.
bahwa berdasarkan hal-hal tersebut pada huruf a,
b, c, dan d, maka perlu ditetapkan Undang-undang tentang Penyelenggaraan
Pemerintahan Sendiri di Aceh;
Mengingat :
Nota Kesepahaman
antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka:
1.
Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh.
1.1. Undang-undang
tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh
1.1.1.
Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan
diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya
tanggal 31 Maret 2006.
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN SENDIRI DI ACEH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang Undang ini yang dimaksudkan dengan :
1.
Pemerintah Republik Indonesia
selanjutnya disebut Pemerintah Indonesia adalah pemegang kekuasaan eksekutif
Negara Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden serta para Menteri.
2.
Pemerintahan
sendiri di Aceh selanjutnya disebut pemerintahan Acheh adalah Pemerintahan
sendiri di wilayah Aceh berdasarkan perbatasan 1 Juli 1956 yang diwujudkan
melalui suatu proses demokratis yang jujur dan adil.
3.
Pemerintah Aceh adalah pemegang
kekuasaan eksekutif Aceh yang terdiri atas Kepala Pemerintahan Aceh dan
perangkat-perangkatnya.
4.
Pemerintah Aceh terdiri dari
Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan daerah Kabupaten/Kota.
5.
Kepala Pemerintahan Aceh adalah
pemegang kekuasaan eksekutif di Aceh yang menjalankan kekuasaan Pemerintahan
sendiri di Aceh.
6.
Kabupaten, adalah Daerah yang berada
di bawah Pemerintahan Aceh yang dipimpin oleh Bupati/Kepala Pemerintahan
Daerah.
7.
Kota
adalah Daerah yang berada di bawah Pemerintahan Aceh yang dipimpin oleh
Walikota.
8.
Kecamatan adalah perangkat daerah
Kabupaten/Kota, yang dipimpin oleh Camat.
9.
Mukim adalah kesatuan masyarakat yang
merupakan organisasi pemerintahan dalam
Kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas
wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, yang dipimpin oleh Imum
Mukim.
10.
Gampong adalah kesatuan masyarakat
yang merupakan organisasi pemerintahan terendah yang berada langsung di
bawah Mukim dan menempati wilayah
tertentu, yang dipimpin oleh Geuchik serta berhak menyelenggarakan urusan rumah
tangganya sendiri.
11.
Wali Nanggroe
adalah lembaga kepemimpinan rakyat yang berdiri sendiri untuk pelestarian
dan penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya serta pemersatu rakyat Aceh.
12.
Legislatif Aceh untuk selanjutnya
disebut Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota yang anggota-anggotanya
dipilih melalui pemilihan umum.
13.
Majelis Perwakilan Daerah Aceh
selanjutnya disebut MPDA adalah lembaga legislatif Aceh perwakilan daerah yang berada di wilayah
Pemerintahan Aceh yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
14.
Departemen adalah lembaga operasional
strategis dan teknis yang bertugas
membantu kepala pemerintahan Aceh
15.
Dinas adalah lembaga operasional
teknis yang bertugas membantu kepala daerah kabupaten/kota
16.
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama adalah lembaga peradilan yang mengadili perkara-perkara yang berkenaan
dengan Agama Islam.
17.
Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dengan persetujuan bersama Kepala
Pemerintahan Aceh sebagai peraturan pelaksanaan undang-undang ini.
18.
Qanun pada tingkat Kabupaten/Kota
adalah produk perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota untuk
mengatur hal ikhwal penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat dalam
lingkungan Kabupaten/Kota itu.
19.
Partai Politik yang
memenuhi persyaratan Nasional dan ada basisnya di Aceh adalah partai politik nasional sebagai sarana partisipasi
politik secara damai dan demokratis melalui pemilihan umum.
20.
Partai Politik Lokal adalah partai politik yang berbasis di Aceh dan hanya
untuk di Aceh yang dibentuk dan didirikan di Aceh oleh Rakyat Aceh, sebagai
sarana partisipasi politik secara damai dan Demokratis melalui pemilihan
umum.
21.
Rakyat Aceh adalah
rakyat yang berasal dari berbagai bangsa yang telah menetap di Aceh secara
turun temurun
22.
Penduduk Aceh adalah semua orang yang
menurut ketentuan yang berlaku
terdaftar dan bertempat tinggal di wilayah-wilayah yang ada di Aceh
BAB II
PEMBAGIAN WILAYAH
Pasal 2
(1)
Aceh mencakup seluruh wilayah
yang merujuk kepada perbatasan tanggal 1 Juli 1956.
(2)
Batas-batas geografis Aceh adalah di timur berbatasan
dengan Provinsi Sumatera Utara, di sebelah barat dan selatan berbatasan
dengan Samudera India dan di sebelah
utara berbatasan dengan Selat Malaka.
Pasal 3
(1) Pemerintahan
Aceh dibagi dalam Kabupaten/Kota.
(2) Kabupaten/kota terdiri atas kecamatan-kecamatan.
(3) Kecamatan terdiri atas mukim-mukim.
(4) Mukim terdiri
atas gampong-gampong.
Pasal 4
(1)
Pemerintah Aceh bersama-sama pemerintahan
daerah provinsi berbatasan dapat membentuk kawasan-kawasan strategis
yang menunjang pertubuhan ekonomi.
(2)
Pemerintah Aceh dan atau bersama-sama
Kabupaten/Kota dapat mengusulkan
pembentukan kawasan-kawasan strategis untuk kebutuhan pengembangan ekonomi,
konservasi dan lingkungan hidup, cagar budaya dan kebutuhan-kebutuhan strategis
lainnya.
(3)
Pembentukan kawasan-kawasan strategis
pada ayat (1) dan (2) ditetapkan dengan undang-undang.
BAB III
KEWENANGAN
PEMERINTAHAN ACEH
Pasal 5
(1)
Kewenangan Pemerintah Aceh mencakup kewenangan dalam semua
sektor publik, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar,
keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan
kebebasan beragama, dimana kewenangan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah
Indonesia.
(2)
Persetujuan-persetujuan internasional yang
diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait dengan hal ikhwal
kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
(3)
Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan konsultasi
dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
(4)
Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil
oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan
konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh.
(5)
Pemerintah Aceh dapat mengadakan
kerjasama yang saling menguntungkan
dengan negara lain atau
lembaga/badan luar negeri yang diatur dengan keputusan bersama.
(6)
Pemerintah Aceh berwenang untuk melakukan
perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik
investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh.
(7)
Pemerintah Aceh berwenang untuk
melakukan perdagangan bebas dengan semua daerah bagian Republik Indonesia tanpa hambatan pajak, tarif ataupun
hambatan lainnya.
(8)
Pemerintah Aceh berwenang untuk
mengakses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing, melalui laut dan
udara.
(9)
Pemerintah Aceh berwenang untuk
melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan
udara dalam wilayah Aceh.
(10)Pemerintah Aceh
berwenang untuk mengelola sumber daya alam baik yang terdapat di darat maupun
di laut teritorial di Aceh.
(11)Pemerintah Aceh
berwenang untuk membentuk kawasan pembangunan ekonomi terpadu dan kawasan
pembangunan industri terpadu dalam pemberdayaan ekonomi rakyat.
(12)Pemerintah Aceh
berwenang untuk membentuk Majelis
Permusyawaratan Ulama, Lembaga Pendidikan Daerah, Majelis Adat Aceh dan
Lembaga-lembaga lain sesuai dengan kebutuhan.
(13)Kewenangan
Pemerintah Aceh yang tidak diatur dalam undang-undang ini akan diatur dalam
qanun.
BAB IV
PEMBAGIAN URUSAN
PEMERINTAHAN
Pasal 6
(1)
Pemerintah Aceh menjalankan kekuasaan
pemerintahan sendiri dalam menyelenggarakan semua sektor publik yang menjadi
kewenangannya.
(2)
Kewenangan Pemerintah Indonesia yang
tidak termasuk kewenangan pemerintah Aceh dapat:
a.
Diselenggarakan sendiri oleh
Pemerintah Indonesia;
b.
Dilimpahkan kepada Pemerintah Aceh.
Pasal 7
(1)
Penyelenggaraan urusan pemerintahan
dibagi berdasarkan kriteria efisiensi, efektivitas, akuntabilitas dan
transparansi dengan memperhatikan keserasian hubungan antara susunan
pemerintahan.
(2)
Penyelenggaraan urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan
antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh dan antara Daerah di wilayah
Aceh yang saling terkait dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan.
(3)
Urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Aceh yang diselenggarakan berdasarkan kriteria
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan urusan
pilihan.
Pasal 8
(1)
Urusan pemerintahan yang diserahkan
oleh pemerintah Indonesia kepada Pemerintah Aceh disertai dengan sumber
pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, kepegawaian dan lainnya
(2)
Urusan pemerintahan yang dilimpahkan
kepada Pemerintah Aceh disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang
dilimpahkan.
Pasal 9
(1)
Urusan wajib yang menjadi kewenangan
Pemerintah Aceh meliputi:
(2)
Urusan wajib lainnya yang menjadi
kewenangan khusus Pemerintah Aceh antara lain meliputi:
a.
penyelenggaraan kehidupan beragama
dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar-umat beragama;
b.
penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah
haji;
c.
penyelenggaraan kehidupan adat dan
budaya;
d.
penyelenggaraan pendidikan yang
berkualitas, bermoral serta menghargai nilai-nilai hak-hak asasi manusia;
(3)
Urusan pemerintahan Aceh yang bersifat
pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata berpotensi meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi, industri, perdagangan dan
jasa-jasa yang dapat menembus pasar dunia.
Pasal 10
(1)
Urusan wajib yang menjadi kewenangan
Pemerintah Kabupaten/Kota meliputi:
(2)
Urusan wajib lainnya yang menjadi
kewenangan khusus Kabupaten/Kota antara lain meliputi:
(3)
Urusan pemerintah Kabupaten/Kota yang
bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan, dan potensi unggulan Daerah yang bersangkutan.
(4)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4, pasal 5, pasal 6, pasal 7, dan pasal 8 ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Qanun.
BAB V
SISTIM DAN SUSUNAN
PENYELENGGARA
PEMERINTAHAN
UMUM
Pasal 11
(1)
Pemerintahan Aceh berbentuk
pemerintahan sendiri dalam wilayah Acheh berdasarkan perbatasan tanggal 1
Juli 1956.
(2)
Penyelenggara Pemerintahan Aceh adalah
Kepala Pemerintahan Aceh, Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dan perangkat
Pemerintahan Aceh.
(3)
Penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten
atau nama lain adalah Bupati atau nama lain, Wakil Bupati dan perangkat
pemerintah Kabupaten.
(4)
Penyelenggara Pemerintahan Kota atau
nama lain adalah Walikota atau nama lain, Wakil Walikota dan perangkat
pemerintah Kota.
(5)
Susunan penyelenggara pemerintahan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (3) dan (4) ditetapkan dengan Qanun Aceh.
DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT ACEH, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DAN MAJELIS PERWAKILAN DAERAH ACEH
Pasal 12
(1)
Kekuasaan Legislatif Aceh dilaksanakan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota yang anggotanya dipilih
oleh rakyat secara langsung.
(2)
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota mempunyai fungsi legislasi, penganggaran,
pengawasan kebijakan Aceh dan daerah serta penyalur aspirasi rakyat.
(3)
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota mempunyai hak untuk membentuk alat-alat
kelengkapannya sesuai dengan kebutuhan dan kekhususan daerah.
(4)
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota mempunyai hak untuk membentuk
fraksi-fraksi atau gabungan antar fraksi sesuai hasil pemilihan umum.
(5)
Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH DAN DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
Pasal 13
(1) Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai tugas dan wewenang sebagai
berikut:
a.
menetapkan Qanun setelah melalui
proses pembahasan bersama dengan eksekutif;
b.
membahas dan menetapkan Qanun tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Pemerintahan Aceh bersama dengan eksekutif;
c.
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
Qanun dan peraturan perundang-undangan
lainnya yang berlaku di Aceh;
d.
melaksanakan dengan sungguh-sungguh
amanat aspirasi rakyat;
e.
mengusulkan pengangkatan dan
pemberhentian Kepala Pemerintahan Aceh serta Wakil Kepala Pemerintahan Aceh kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh serta Majelis Perwakilan Daerah Aceh;
Bupati/Walikota serta Wakil Bupati/Walikota kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah serta kepala pemerintah Aceh;
f.
memberitahukan kepada Kepala
Pemerintahan Aceh, Bupati/Walikota dan Komisi Pemilihan (KP) tentang akan
berakhirnya masa jabatan Kepala dan Wakil Kepala Daerah;
g.
memilih Wakil Kepala Pemerintahan
Aceh, Bupati/Walikota dalam hal terjadinya kekosongan jabatan Wakil Kepala
Daerah;
h.
memberikan pendapat, pertimbangan, dan
persetujuan kepada Pemerintah Aceh terhadap rencana persetujuan internasional;
i.
memberikan persetujuan terhadap
keputusan pemerintah Indonesia tentang persetujuan-persetujuan Internasional
yang terkait dengan hal ikhwal kepentingan khusus Aceh;
j.
memberikan pertimbangan dan
persetujuan terhadap keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang
terkait dengan Aceh;
k.
memberikan pertimbangan terhadap
rencana kerjasama antar daerah dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat
dan daerah;
l.
meminta laporan pertanggungjawaban
Kepala Pemerintahan Aceh dan/atau Bupati/Walikota dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah;
m.
membentuk Komisi Pemilihan (KP);
n.
melakukan pengawasan dan meminta
laporan kegiatan dan penggunaan anggaran kepada KP dalam penyelenggaraan
pemilihan Kepala pemerintahan dan Kepala daerah.
o.
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh akan
merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip
universal Hak-hak Asasi Manusia sebagaimana tercantum dalam konvenan
internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan
mengenai Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya.
p.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hasil
pemilihan umum tahun 2004 untuk masa sidang sampai dengan tahun 2009 tidak berwenang untuk mengesahkan peraturan
perundang-undangan apapun tanpa persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.
(2) Melaksanakan kewenangan lainnya yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
HAK DAN KEWAJIBAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH DAN DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
Pasal 14
(1)
Setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah didalam menjalankan tugas mempunyai
hak:
a.
interpelasi;
b.
angket;
c.
budget;
d.
mengajukan rancangan qanun;
e.
mengajukan pertanyaan;
f.
menyampaikan usul dan pendapat;
g.
protokoler;
h.
immunitas;
i.
memilih dan dipilih;
j.
keuangan dan administratif;
k.
hak membela diri.
(2)
Hak-hak sebagaimana dimaksud ayat (1)
huruf a, b dan c hanya berlaku untuk Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
(3)
Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Aceh.
pasal 15
(1)
Setiap anngota Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di dalam menjalankan tugas mempunyai
kewajiban:
a.
mengamalkan nilai-nilai Islam;
b.
membangun, mengembangkan dan mendorong
kemajuan demokrasi;
c.
menghormati, melindungi dan menegakkan
hak-hak asasi manusia sesuai dengan prinsip-prinsip universal hak-hak asasi
manusia, termasuk konvenan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya;
d.
menerima dan memperjuangkan aspirasi
rakyat;
e.
meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan rakyat;
f.
mencerdaskan kehidupan rakyat Aceh;
g.
menghormati dan memberdayakan tradisi atau
norma adat dalam masyarakat.
(2) pelaksanaan kewajiban dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh.
MAJELIS PERWAKILAN
DAERAH ACEH
Pasal 16
(1)
MPDA adalah bagian dari Legislatif
Aceh yang anggotanya dipilih oleh rakyat secara langsung untuk mewakili
daerah-daerah kabupaten/kota di Aceh.
(2)
MPDA mempunyai fungsi legislasi,
penganggaran, pengawasan kebijakan Aceh dan penyalur aspirasi daerah-daerah
asal pemilihan.
(3)
Sumber keuangan MPDA berasal dari
sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh.
(4)
MPDA mempunyai hak untuk membentuk
alat-alat kelengkapannya sesuai dengan kebutuhan.
(5)
Jumlah anggota MPDA untuk
masing-masing daerah kabupaten/kota sebanyak 2 (dua) orang.
TUGAS DAN WEWENANG
MAJELIS PERWAKILAN DAERAH ACEH
Pasal 17
MPDA mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
a.
mengajukan usulan pembuatan Qanun
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh;
b.
menunjuk wakil-wakilnya untuk ikut di dalam
proses pembuatan Qanun di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh;
c.
menunjuk wakil-wakilnya untuk ikut
didalam proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh;
d.
melakukan pengawasan pelaksanaan
pembangunan Aceh;
e.
melakukan pengawasan atas
pemasukan/penerimaan dan pengeluaran/ penggunaan hasil pajak dan hak bagi
hasil;
f.
hasil pemeriksaan Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan dilaporkan kepada MPDA untuk dibahas dan dianalisa
untuk digunakan sebagai data pengawasan keuangan Pemerintah Aceh.
HAK DAN KEWAJIBAN
MAJELIS PERWAKILAN DAERAH ACEH
Pasal 18
(1)
MPDA mempunyai hak:
a.
menyatakan pendapat;
b.
mengajukan rancangan qanun;
c.
mempunyai hak suara untuk memilih Wali
Nanggroe;
d.
mengirim wakil-wakilnya di dalam
penyusunan qanun dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh di Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh.
(2)
Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam peraturan tata tertib MPDA sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Aceh.
Pasal 19
(1)
Setiap anggota MPDA di dalam
menjalankan tugas mempunyai kewajiban:
a.
mengamalkan nilai-nilai Islam;
b.
membangun, mengembangkan dan mendorong kemajuan
demokrasi;
c.
menghormati, melindungi dan menegakkan hak-hak
asasi manusia sesuai dengan prinsip-prinsip universal hak-hak asasi manusia, termasuk
konvenan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan
Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya;
d.
menerima dan memperjuangkan aspirasi rakyat asal daerah pemlihannya;
e.
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat;
f.
mencerdaskan kehidupan rakyat Aceh;
g.
menghormati dan memberdayakan tradisi atau norma
adat dalam masyarakat.
(2) Pelaksanaan hak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan tata tertib Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Aceh.
BADAN EKSEKUTIF
Pasal 20
(1)
Pemerintah Aceh dan pemerintah
Kabupaten/Kota dipimpin oleh seorang
Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati/Walikota dan Wakil Kepala Pemerintahan Aceh
serta Wakil Bupati/Walikota sebagai pemegang kekuasaan eksekutif.
(2)
Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil
Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil
Walikota dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat daerah.
(3)
Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil
Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil
Walikota bertanggung jawab dalam penetapan kebijakan daerah termasuk keamanan,
ketertiban, ketenteraman masyarakat dan kesejahteraan sosial.
(4)
Kepala Pemerintahan Aceh bertanggung
jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya.
(5)
Wakil Kepala Pemerintahan Aceh
bertanggung jawab kepada Kepala Pemerintahan Aceh dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya.
(6)
Bupati dan Walikota bertanggung jawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugas
dan kewenangannya.
(7)
Wakil Bupati dan Wakil Walikota
bertanggung jawab kepada Bupati dan Walikota dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya.
Pasal 21
(1)
Tugas dan wewenang Kepala Pemerintahan
Aceh adalah:
a.
menyelenggarakan pemerintahan Aceh
sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan sendiri;
b.
memberi persetujuan terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintahan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia yang
berkaitan dengan Aceh setelah terlebih dahulu dikonsultasikan dengan pemerintah
Aceh;
c.
mengkoordinasi badan-badan daerah
dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya masing-masing;
d.
di dalam hal tertentu dan apabila
dibutuhkan dapat mengeluarkan dan menetapkan peraturan-peraturan pemerintah
Aceh dan instruksi-instruksi pemerintah Aceh sebagai pengganti Qanun.
(2)
Pelaksanaan tugas dan wewenang Kepala
Pemerintahan Aceh selain dimaksud pada
ayat (1) sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Aceh tetap berlaku.
Pasal 22
Wakil Kepala Pemerintahan Aceh mempuyai
tugas:
a.
membantu Kepala Pemerintahan Aceh dalam melaksanakan kewajibannya;
b.
membantu
mengkoordinasikan kegiatan instansi pemerintah Aceh dan pemerintah
Kabupaten/Kota;
c.
melaksanakan
tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala
Pemerintahan Aceh.
Pasal 23
Kepala Pemerintahan Aceh mempunyai kewajiban:
a.
mengamalkan nilai-nilai Islam;
b.
menghormati kedaulatan rakyat;
c.
menghormati, melindungi, memenuhi dan menegakkan
hak asasi manusia sesuai dengan prinsip-prinsip universal hak-hak asasi
manusia;
d.
menegakkan dan melaksanakan seluruh
peraturan perundang-undangan;
e.
meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan rakyat;
f.
mencerdaskan kehidupan rakyat Aceh;
g.
menghormati dan memberdayakan tradisi
atau norma adat dalam masyarakat;
h.
memelihara ketentraman dan ketertiban
masyarakat;
i.
mengajukan Rancangan Qanun
bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh;
j.
menetapkannya sebagai Qanun setelah
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh;
k.
menyelenggarakan pemerintahan dan
melaksanakan pembangunan sesuai dengan rancangan pembangunan Aceh secara bersih, jujur, dan bertanggung jawab;
l.
mengawasi setiap kegiatan
eksplorasi/eksploitasi sumber daya alam Aceh dengan membentuk Badan khusus
untuk itu;
m. mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi rakyat Aceh.
KECAMATAN
Pasal 24
(1)
Kecamatan dibentuk di Kabupaten/Kota
dengan Qanun.
(2)
Kecamatan dipimpin oleh Camat yang
dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang Bupati atau
Walikota untuk menangani urusan pemerintahan di tingkat kecamatan.
(3)
Selain tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) Camat juga menyelengarakan tugas umum pemerintahan meliputi:
a.
mengkoordinasikan kegiatan
pemberdayaan masyarakat;
b.
mengkoordinasikan upaya
penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum;
c.
mengkoordinasikan penerapan dan
penegakan peraturan perundang-undangan;
d.
mengkoordinasikan pemeliharaan
prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
e.
mengkoordinasikan penyelenggaraan
kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan;
f.
melaksanakan pelayanan masyarakat yang
menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan
pemerintahan mukim dan gampong;
g.
mendorong kegiatan-kegiatan yang menunjang pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
(4)
Camat diangkat oleh Bupati/Walikota
atas usul Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota dari pegawai negeri sipil yang
memenuhi syarat sesuai perundang-undangan yang berlaku di Aceh untuk dipilih
oleh Dewan Kecamatan.
(5)
Camat dalam menjalankan tugas-tugasnya
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dibantu oleh perangkat
Kecamatan dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota.
(6)
Perangkat Kecamatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) bertanggung jawab kepada Camat.
(7)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) ditetapkan dengan
peraturan Bupati atau Walikota dengan berpedoman pada Qanun.
TATA CARA PEMILIHAN CAMAT
Pasal 25
(1)
Seorang Camat dipilih setiap lima
tahun sekali melalui pemilihan langsung yang demokratis, bebas, rahasia serta
dilaksanakan secara jujur dan adil oleh Dewan kecamatan.
(2)
Dewan kecamatan adalah kumpulan Mukim
dalam satu kecamatan.
(3)
Seorang Camat hanya dapat dipilih
secara berturut-turut untuk dua periode masa jabatan.
(4)
Seseorang yang dapat ditetapkan
menjadi calon Camat adalah rakyat Aceh yang memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut.
a.
Beragama Islam;
b.
berpendidikan sekurang-kurangnya
sarjana muda atau D3 atau sederajat;
c.
berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga
puluh) tahun;
d.
sehat jasmani dan rohani berdasarkan
hasil pemeriksaan kesehatan dari tim dokter;
e.
tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan tindak pidana korupsi;
f.
tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau lebih;
g.
telah memperoleh amnesti atau abolisi
dari pemerintah Indonesia bagi orang yang pernah dihukum penjara karena makar
atau karena alasan-alasan politik;
h.
tidak sedang dicabut hak pilihnya
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(5)
Tata cara pemilihan ditetapkan dengan
Qanun sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan
yang berlaku di Aceh.
MUKIM
Pasal 26
(1)
Dalam pemerintahan daerah
Kabupaten/Kota dibentuk pemerintahan Mukim dan Badan Permusyawaratan Mukim.
(2)
Imum Mukim atau nama lain adalah
Kepala Pemerintahan Mukim yang dibantu oleh Tuha Peuet Mukim yang dipilih
melalui musyawarah Mukim untuk masa jabatan 5 (lima) tahun.
(3)
Kedudukan, tugas dan fungsi,
organisasi dan kelengkapan Mukim diatur lebih lanjut dengan Qanun.
GAMPONG
Pasal 27
(1)
Dalam pemerintahan daerah
Kabupaten/Kota dibentuk pemerintahan Gampong dan badan permusyawaratan Gampong.
(2)
Pembentukan, penghapusan, dan/atau
penggabungan Gampong dengan memperhatikan asal-usul dan atas prakarsa
masyarakat.
(3)
Ketentuan lebih lanjut tentang
kedudukan, fungsi, pembiayaan,
organisasi dan perangkat pemerintahan Gampong diatur dengan Qanun.
BAB VI
PERANGKAT DAN KEPEGAWAIAN
PERANGKAT
Pasal 28
(1)
Perangkat pemerintah Aceh terdiri atas
sekretariat pemerintah, sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Aceh,
departemen dan lembaga teknis.
(2)
Segala sesuatu mengenai perangkat pemerintah
Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan qanun.
Pasal 29
Perangkat
Kabupaten/Kota terdiri atas Sekretariat daerah, Sekretariat Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, Mukim dan
Gampong.
LEMBAGA OPERASIONAL STRATEGIS DAN TEKNIS
Pasal 30
(1)
Lembaga operasional strategis dan
teknis merupakan unsur pendukung tugas Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil
Kepala Pemerintahan Aceh dalam
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan Pemerintahan Aceh yang bersifat spesifik
berbentuk badan dan kantor.
(2)
Lembaga teknis daerah merupakan unsur
pendukung tugas Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dalam
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik berbentuk
badan dan kantor.
(3)
Badan dan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh kepala
badan, kepala kantor yang diangkat oleh
Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati dan Walikota dari pegawai negeri sipil yang
memenuhi syarat atas usul Sekretaris
Daerah.
(4)
Kepala badan dan kantor sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2)
bertanggung jawab kepada Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati/Walikota melalui
sekretaris pemerintah Aceh/sekretaris Daerah.
KEPEGAWAIAN
Pasal 31
(1)
Pemerintah Aceh melaksanakan pembinaan
manajemen pegawai negeri sipil Aceh.
(2)
Segala sesuatu yang terkait dengan
kepegawaian negeri sipil diatur sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Aceh.
BAB VII
PEMILIHAN KEPALA DAN WAKIL KEPALA PEMERINTAHAN ACEH
Pasal 32
Pemilih adalah orang Aceh
atau penduduk Aceh yang berdomisili di Aceh yang berumur 17 (tujuh belas) tahun
ke atas atau yang sudah pernah menikah dan tidak sedang dicabut oleh pengadilan
hak pilihnya.
Pasal 33
(1)
Pemilih di Aceh, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31, mempunyai hak:
a.
memilih Kepala Pemerintahan Aceh dan
Bupati/Walikota, serta Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil
Bupati/Walikota;
b.
mengawasi proses pemilihan Kepala
Pemerintahan Aceh dan Bupati/Walikota, serta Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dan
Wakil Bupati/Walikota;
c.
mengajukan usulan kebijakan
pelaksanaan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
d.
mengajukan usulan penyempurnaan dan
perubahan qanun; dan
e.
mengawasi penggunaan anggaran.
(2) Hak-hak pemilih
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan qanun.
Pasal 34
(1)
Kepala Pemerintahan Aceh dan wakil Kepala Pemerintahan
Aceh, dan Bupati/Walikota, dapat berhenti atau diberhentikan sesuai dengan
peraturan perundangan-undangan yang berlaku di Aceh.
(2)
Seorang Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil Kepala
Pemerintahan Aceh, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota hanya dapat dipilih
secara berturut-turut untuk dua periode masa jabatan.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan qanun.
Pasal
35
(1)
Calon Kepala Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota dan
calon Wakil Kepala Pemerintahan Aceh atau Wakil Bupati/Walikota, yang ikut
dalam pemilihan berasal dari partai politik, gabungan partai politik, partai
politik lokal dan unsur independen.
(2)
Pemilihan Calon Kepala Pemerintahan Aceh atau
Bupati/Walikota dan calon Wakil Kepala Pemerintahan Aceh atau Wakil
Bupati/Walikota, dipilih dalam satu pasangan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
(3)
Calon Kepala Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota dan
calon Wakil Kepala Pemerintahan Aceh atau Wakil Bupati/Walikota dengan
syarat-syarat:
a.
Mengamalkan nilai-nilai Islam;
b.
Orang Aceh atau rakyat Aceh;
c.
berpendidikan sekurang-kurangnya
sarjana (S-1) atau sederajat;
d.
berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga
puluh) tahun pada saat pendaftaran;
e.
sehat jasmani dan rohani berdasarkan
hasil pemeriksaan kesehatan dari tim dokter;
f.
tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan tindak pidana korupsi.
g.
tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau lebih kecuali dalam perkara tindak pidana makar atau politik;
h.
telah memperoleh amnesti atau abolisi
dari pemerintah Indonesia bagi orang yang pernah dihukum penjara karena makar
atau karena alasan-alasan politik;
i.
tidak sedang dicabut hak pilihnya
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 36
(1)
Partai politik atau gabungan partai
politik atau partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 ayat (1)
dan ayat (2) dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan
sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh atau 15% (lima belas
persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.
(2)
Calon independen sebagaimana dimaksud pada Pasal
45 ayat (1) dan ayat (2) harus didukung setiap pasangan bakal calon dengan dukungan
sekurang-kurangnya 1 % (satu persen) dari jumlah penduduk di daerah pemilihan.
(3)
Dukungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diberikan dalam bentuk daftar dukungan yang ditandatangani oleh
pemilih di wilayah pemilihannya dengan melampirkan foto copy Kartu Tanda
Penduduk yang sah.
(4)
Dukungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus tersebar sekurang-kurangnya;
a.
setengah (1/2) dari jumlah
Kabupaten/Kota untuk pemilihan Kepala Pemerintahan Aceh/Wakil Kepala
Pemerintahan Aceh; dan
b.
setengah (1/2) dari jumlah Kecamatan
untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota.
(5)
Tata
cara perolehan dukungan, diatur dengan Qanun.
Pasal 37
(1)
Komisi Pemilihan (KP) menyelenggarakan
pemilihan Calon Kepala Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota dan calon Wakil
Kepala Pemerintahan Aceh atau Wakil Bupati/Walikota, dan bertanggung jawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
(2)
Komisi Pemilihan (KP) menyampaikan
laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
tentang penyelenggaraan pemilihan Calon Kepala Pemerintahan Aceh atau
Bupati/Walikota dan calon Wakil Kepala Pemerintahan Aceh atau Wakil
Bupati/Walikota.
(3)
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah membentuk Komisi Pengawas Pemilihan untuk mengawasi
penyelenggaraan pemilihan Calon Kepala Pemerintahan Aceh serta Wakil Kepala
Pemerintahan Aceh dan Bupati/Walikota serta calon Wakil Bupati/Walikota, yang keanggotaannya terdiri atas unsur
kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, lembaga non pemerintah/lembaga
swadaya masyarakat dan tokoh masyarakat.
(4)
Anggota Komisi Pengawas Pemilihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah 7 (tujuh) orang untuk pemilihan
pemerintah Aceh, 7 (tujuh) orang untuk pemilihan bupati/walikota dan 3 (tiga)
orang untuk pemilihan camat.
(5)
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
menetapkan Panitia Pengawas Kecamatan berdasarkan usul Panitia Pengawas
Kabupaten/Kota.
(6)
Dalam hal tidak didapatkan unsur
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), panitia pengawas kabupaten/kota/kecamatan
dapat diisi oleh unsur tokoh agama atau tokoh masyarakat.
(7)
Panitia pengawas pemilihan Kepala
Pemerintahan Aceh dan Wakil Kepala Pemerintahan Aceh atau Panitia pengawas pemilihan
Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota, dibentuk oleh dan bertanggung jawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/ Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
berkewajiban menyampaikan laporannya.
(8)
Proses pengawasan jalannya pemilihan
Kepala Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota dan calon Wakil Kepala
Pemerintahan Aceh atau Wakil Bupati/Walikota selain dilakukan oleh Komisi
Pengawasan Pemilihan, juga dapat dilakukan oleh pemantau asing yang telah
mendapat akreditasi di Komisi Pemilihan (KP) Aceh.
Pasal 38
(1)
Pemilihan Calon Kepala Pemerintahan
Aceh serta calon Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dan calon Bupati/Walikota serta
calon Wakil Bupati/Walikota dilaksanakan melalui masa persiapan dan tahap
pelaksanaan.
(2)
Masa persiapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
Pemberitahuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kepada Kepala Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota mengenai berakhirnya masa
jabatan;
a.
Pemberitahuan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah kepada Komisi Pemilihan Umum
Daerah mengenai berakhirnya masa jabatan Kepala Pemerintahan Aceh atau
Bupati/Walikota;
b.
Perencanaan penyelenggaraan, meliputi
penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan;
c.
Pembentukan Panitia Pengawas, Panitia
Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemilihan Gampong dan Panitia Pemungutan Suara.
d.
Pemberitahuan dan pendaftaran
pemantau;
e.
Tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
f.
Penetapan daftar pemilih;
g.
Pendaftaran dan Penetapan Calon Kepala
Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota dan calon Wakil Kepala Pemerintahan Aceh
atau Wakil Bupati/Walikota;
h.
Kampanye;
i.
Pemungutan suara;
j.
Penghitungan suara;
k.
Penetapan pasangan Calon Kepala
Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota dan calon Wakil Kepala Pemerintahan Aceh
atau Wakil Bupati/Walikota terpilih, pengesahan, dan pelantikan;
l.
Tata cara pelaksanaan masa persiapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf e diatur Komisi Pemilihan Umum Daerah dengan berpedoman
pada Qanun.
Pasal 39
Tugas, wewenang dan kewajiban Komisi Pemilihan (KP) dalam
penyelenggaraan Pemilihan Kepala Pemerintahan Aceh serta Wakil Kepala
Pemerintahan Aceh dan Bupati/Walikota serta Wakil Bupati/Walikota adalah sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku di Aceh.
Pasal 40
Biaya untuk pemilihan
Kepala pemerintahan Aceh serta Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dan Kepala
Pemerintahan Daerah serta Wakil Kepala Pemerintaan Daerah dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Dearah
Kabupaten/Kota.
Pasal 41
(1)
Pemilihan Kepala Pemerintahan Aceh serta Wakil Kepala
Pemerintahan Aceh dan Bupati/Walikota serta Wakil Bupati/Walikota dilaksanakan
melalui tahap-tahap: pencalonan, kampanye, pelaksanaan pemilihan, pengesahan
hasil pemilihan dan pelantikan.
(2)
Tahap pencalonan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilaksanakan melalui:
a.
pendaftaran dan seleksi
administratif pasangan bakal calon oleh Komisi Pemilihan (KP);
b.
pemaparan visi dan misi pasangan bakal
calon di depan Komisi Pemilihan (KP);
c.
penetapan pasangan bakal calon oleh
Komisi Pemilihan (KP);
d.
penetapan pasangan calon oleh Komisi
Pemilihan (KP);
e.
pendaftaran pemilih oleh Komisi
Pemilihan (KP) bersama dengan Pemerintah Aceh dan Kabupaten/kota.
Pasal 42
Pelaksanaan
Kampanye:
a.
dilaksanakan selama 14 (empat belas)
hari dan berakhir 1 (satu) minggu sebelum hari pemungutan suara;
b.
diselenggarakan oleh tim kampanye yang
dibentuk oleh pasangan calon dan didaftarkan pada Komisi Pemilihan (KP);
c.
jadwal pelaksanaan kampanye ditetapkan
oleh Komisi Pemilihan (KP) dengan memperhatikan usul dari pasangan calon;
d.
dapat dilaksanakan melalui: pertemuan
terbatas; tatap muka dan dialog; media cetak dan elektronik; rapat umum; debat
publik/debat terbuka antar calon; dan/atau dalam bentuk kegiatan lain yang
tidak melanggar ketentuan perundang-undangan;
e.
penyampaian materi kampanye yang
berisi visi, misi dan program pasangan calon kepada masyarakat.
Pasal 43
(1)
Kepala Pemerintahan Aceh serta Wakil
Kepala Pemerintahan Aceh dan Bupati/Walikota serta Wakil Bupati/Walikota dipilih
secara langsung oleh rakyat.
(2)
Penghitungan suara secara transparan
dan terintegrasi dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan (KP).
(3)
Komisi Pemilihan (KP) Aceh menyerahkan
ketetapan tentang hasil pemilihan pasangan Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil
Kepala Pemerintahan Aceh kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh untuk diproses
pengesahan pengangkatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Aceh.
(4)
Komisi Pemilihan (KP) kabupaten/kota
menyerahkan ketetapan tentang hasil pemilihan pasangan Bupati/Walikota dan
Wakil Bupati/Walikota kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota
untuk diproses pengesahan pengangkatannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Aceh.
Pasal 44
(1)
Pengesahan pengangkatan pasangan calon
Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil Kepala Pemerintahan Aceh terpilih dilakukan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari.
(2)
Pengesahan pengangkatan pasangan
Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota oleh Kepala Pemerintahan Aceh
selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari.
(3)
Pasangan calon kepala Daerah dan wakil
kepala Daerah kabupaten/kota diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kabupaten/kota, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari, kepada Kepala
Pemerintahan Aceh berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih
dari Komisi Pemilihan (KP) kabupaten/kota untuk mendapatkan pengesahan
pengangkatan.
BAB VIII
PARTAI POLITIK
Pasal 45
(1)
Rakyat Aceh yang berdomisili di Aceh
dapat membentuk dan mendirikan
partai-partai politik yang berbasis Aceh serta berkriteria nasional.
(2)
Rakyat Aceh yang berdomisili di Aceh
dapat membentuk dan mendirikan partai-partai politik lokal.
(3) Partai-partai politik sebagaimana disebut dalam ayat (1) dan
(2) didirikan dengan akta notaris yang memuat anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga disertai susunan kepengurusan dan selajutnya didaftarkan pada Departemen
Hukum dan HAM untuk partai politik sebagaimana disebut dalam ayat (1) dan
partai politik sebagaimana disebut dalam ayat (2) didaftarkan pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM
Aceh.
(4)
Partai politik berbasis Aceh serta
berkriteria Nasional sebagaimana dimaksud ayat (1) diatas harus memenuhi
syarat-syarat sebagaimana ketentuan yang berlaku bagi partai yang bersifat
nasional dan memiliki kantor Dewan Pimpinan Pusat di Aceh.
(5)
Partai politik lokal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus berkedudukan di Aceh dengan syarat-syarat sebagai
berikut:
a.
Mempunyai kepengurusan
sekurang-kurangnya 50 % (lima puluh persen) dari jumlah Kabupaten/Kota pada
Aceh dan 50 % (lima puluh persen) dari jumlah Kecamatan pada setiap
Kabupaten/Kota yang bersangkutan;
b.
Memiliki nama, lambang, dan tanda
gambar yang ciri-cirinya tidak mempunyai persamaan dengan nama, lambang, dan
tanda gambar partai politik lain;
c.
Mempunyai alamat kantor yang tetap dan
dapat diverifikasi di tingkat pemerintahan Aceh dan Kabupaten/Kota.
Pasal 46
(1) Pengesahan
partai politik lokal sebagai badan hukum dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan HAM Aceh selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
penerimaan pendaftaran.
(2) Pengesahan
partai politik lokal diumumkan dalam Berita Acara Pemerintahan Aceh (BAPA).
Pasal 47
Dalam hal terjadi perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, nama,
lambang, dan tanda gambar partai politik lokal atau ciri-ciri lainnya maka
partai yang bersangkutan harus melakukan pendaftaran kembali ke Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan HAM Aceh.
ASAS DAN CIRI
Pasal 48
Asas partai politik dimaksud pasal 46
ayat (1) dan (2) diatas memiliki dasar:
a. Demokrasi;
b. Keadilan;
c. Kesejahteraan;
d. Perdamaian;
e. Islam.
TUJUAN PARTAI
POLITIK LOKAL
Pasal 49
(1) Tujuan partai politik lokal
adalah:
a.
Memajukan demokrasi bagi Aceh;
b.
Mewujudkan keadilan sosial bagi Aceh;
c.
Meningkatkan kesejahteraan rakyat
Aceh;
d.
Memajukan perdamaian;
e.
Menegakkan Hak-hak Asasi Manusia;
f.
Mewujudkan masyarakat yang bernilaikan
Islam.
(2) Tujuan partai politik
lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara damai, jujur,
adil dan demokratis.
HAK DAN KEWAJIBAN
PARTAI POLITIK LOKAL
Pasal 50
(1)
Partai politik lokal berhak :
a.
Memperoleh perlakuan yang sederajat
dan adil dari pemerintahan Aceh dan pemerintah Indonesia;
b.
Mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi
secara mandiri;
c.
Memperoleh hak cipta atas nama,
lambang, dan tanda gambar partainya dari Kantor Wilayah Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia (HAM) Aceh;
d.
Ikut serta dalam pemilihan umum untuk
pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah;
e.
Mengajukan calon untuk mengisi
keanggotaan di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
f.
Mengusulkan pergantian atau
pemberhentian antar waktu anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah; dan
g.
Mengusulkan pasangan calon Kepala
Pemerintahan Aceh dan Wakil Kepala
Pemerintahan Aceh, calon Bupati/Walikota dan
wakil Bupati/wakil Walikota di Aceh, baik secara mandiri maupun
berafiliasi dengan partai politik dan partai politik lokal lain.
(2)
Mekanisme tentang pengajuan pasangan
calon Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil
Kepala Pemerintahan Aceh, calon Bupati/Walikota dan wakil Bupati/wakil Walikota serta calon anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari partai politik lokal diatur dengan qanun.
Pasal 51
Partai
politik lokal berkewajiban:
a.
Memajukan kehidupan demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan Aceh dan pemerintahan daerah;
b.
Memperjuangkan kesejahteraan rakyat
Aceh;
c.
Memperjuangkan keadilan sosial;
d.
Memperjuangkan aspirasi rakyat Aceh;
e.
Memelihara dan memajukan perdamaian;
f.
Berpartisipasi dalam pembangunan Aceh
di semua sektor;
g.
Menjunjung tinggi supremasi hukum,
demokrasi, dan hak asasi manusia;
h.
Melakukan pendidikan politik;
i.
Mensukseskan pemilihan umum di Aceh
pada semua tingkat;
j.
Melakukan pendaftaran dan memelihara
ketertiban data anggota;
k.
Membuat laporan keuangan secara
berkala satu tahun sekali kepada Komisi Pemilihan (KP) Aceh dan Komisi
Pemilihan (KP) Daerah setelah di audit oleh akuntan publik;
l.
Memiliki rekening khusus dana kampanye
pemilihan umum dan menyerahkan laporan neraca keuangan hasil audit akutan
publik kepada Komisi Pemilihan (KP) Aceh dan Komisi Pemilihan (KP) Daerah
paling lambat 6 (enam) bulan setelah hari pemungutan suara.
LARANGAN BAGI PARTAI POLITIK
Pasal 52
(1) Partai
Politik dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan:
a.
Bendera atau lambang Republik
Indonesia;
b.
Lambang lembaga atau lambang
Pemerintah Indonesia dan Pemerintahan Aceh;
c.
Nama, bendera, atau lambang negara
lain dan nama, bendera, atau lambang lembaga/badan internasional;
d.
Nama dan gambar seseorang; atau
e.
Yang mempunyai persamaan pada pokoknya
atau keseluruhannya dengan partai politik lokal dan partai politik berbasis
Aceh berkriteria nasional lain.
(2) Partai
politik dilarang:
a.
Melakukan kegiatan yang bertentangan
dengan Undang Undang ini;
b.
Melakukan kegiatan yang membahayakan
keamanan;
c.
Menerima atau memberikan kepada pihak
asing sumbangan dalam bentuk apa pun, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Aceh;
d.
Menerima sumbangan dari perseorangan
dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan;
e.
Meminta atau menerima dana dari badan
usaha milik negara, badan usaha milik pemerintahan Aceh, badan usaha milik daerah,
badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya, koperasi, yayasan, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi kemanusian;
f.
Mendirikan badan usaha dan/atau
memiliki saham suatu badan usaha.
Pasal 53
Hal-hal mengenai
keanggotaan dan kedaulatan anggota, kepengurusan, keuangan, pengawasan,
pembubaran dan penggabungan, sanksi, serta peradilan partai politik lokal
diatur lebih lanjut dengan Qanun.
Pasal 54
(1)
Dalam pelaksanaan pemilihan umum dan
pemilihan kepala pemerintahan di Aceh akan diundang pemantau asing yang bebas
untuk menjamin penyelenggaraan proses demokrasi sesuai dengan prinsip-prinsip
jujur dan adil.
(2)
Dalam pelaksanaan pemilihan umum lokal
pemerintah Aceh dapat meminta bantuan teknis dari pihak asing.
(3)
Dalam dana kampanye
harus dinyatakan secara transparan penuh.
(4)
Ketentuan pelaksanaan sebagaimana
dimaksud di atas diatur lebih lanjut dengan Qanun.
BAB IX
PERENCANAAN PEMBANGUNAN ACEH
Pasal 55
(1)
Dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan Aceh disusun perencanaan pembangunan Aceh dengan memperhatikan:
a.
Nilai-nilai islami;
b.
Sejarah, adat dan budaya;
c.
Pemberdayaan sumberdaya manusia;
d.
Pelayaanan kesehatan;
e.
Pengembangan pertanian;
f.
Pelestarian lingkungan hidup;
g.
Aspirasi dan partisipasi rakyat;
h.
Kesejahteraan sosial;
i.
Kebutuhan sosial kemasyarakatan;
j.
Pengembangan wilayah;
k.
Pembangunan ekonomi,
l.
Pengembangan industri;
m.
Pengembangan perdagangan;
n.
Pengaturan tata ruang;
o.
Pengembangan sarana dan prasarana.
(2)
Tatacara penyusunan perencanaan pembangunan
Aceh sebagaimana dimaksudkan ayat (1) diatur dengan Qanun.
Pasal 56
(1)
Penyusunan Rencana Pembangunan Aceh
dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan.
(2)
Tahapan, tata cara penyusunan,
pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan Aceh diatur lebih
lanjut dengan Qanun.
(3) Dalam melaksanakan rekonstruksi pasca-tsunami wakil-wakil
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dilibatkan untuk berpartisipasi dalam komisi Badan
Rehabilitasi dan Rekontruksi.
BAB
X
TENAGA
KERJA
TENAGA
KERJA ACEH
Pasal
57
(1)
Pemerintah Aceh akan memfasilitasi pengembangan dan pemberdayaan
tenaga kerja dengan mendirikan sentra-sentra pelatihan tenaga kerja
profesional.
(2)
Pemerintah Aceh akan menciptakan
lapangan kerja dengan mempercepat pertumbuhan industri dan pembangunan di berbagai
sektor.
(3)
Pemerintah Aceh berwenang mengeluarkan
izin pendirian badan usaha jasa tenaga kerja Aceh untuk pengiriman tenaga kerja
profesional ke luar negeri.
(4)
Pemerintah Aceh akan memberi
perlindungan bagi tenaga kerja Aceh yang bekerja di luar negeri bekerjasama
dengan pemerintah negara di mana tenaga kerja Aceh tersebut bekerja.
(5)
Pemerintah Aceh akan bekerjasama
dengan badan usaha jasa tenaga kerja Aceh untuk memberi perlindungan bagi
tenaga kerja Aceh yang bekerja diluar negeri.
(6)
Ketentuan pelaksanaan sebagaimana
dimaksud di atas diatur lebih lanjut dengan Qanun.
TENAGA KERJA ASING
Pasal 58
(1)
Pemerintah
Aceh berwenang untuk mengeluarkan izin tenaga kerja asing yang akan bekerja di
Aceh.
(2)
Penempatan
tenaga kerja asing di Aceh hanya
diperbolehkan untuk posisi jabatan atau pekerjaan tertentu yang tenaga atau
keahlian dibidang pekerjaan tertentu tersebut masih terbatas di Aceh.
(3)
Pemerintah
Aceh akan memberi perlindungan bagi tenaga kerja asing yang bekerja di Aceh,
bekerja sama dengan Pemerintah asing negara asal pekerja asing tersebut.
(4)
Ketentuan
pelaksanaan sebagaimana dimaksud di atas diatur lebih lanjut dengan Qanun.
TENAGA KERJA LUAR ACEH
Pasal 59
(1)
Tenaga
kerja luar Aceh adalah tenaga kerja yang berasal dari wilayah-wilayah Indonesia
di luar Aceh.
(2)
Setiap
tenaga kerja yang dimaksud dalam ayat (1) di atas harus terdaftar pada
departemen tenaga kerja Aceh.
(3)
Pemerintah
Aceh akan memberi perlindungan bagi tenaga kerja luar Aceh yang bekerja di
Aceh, bekerja sama dengan Pemerintah provinsi asal tenaga kerja tersebut.
(4)
Ketentuan
pelaksanaan sebagaimana dimaksud di atas diatur dengan Qanun.
ORGANISASI TENAGA KERJA
Pasal 60
(1)
Pemerintah
Aceh menjamin hak pekerja di Aceh untuk mendirikan organisasi-organisasi
pekerja di Aceh.
(2)
Anggota
organisasi pekerja sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat terdiri dari tenaga
kerja Aceh, tenaga kerja luar Aceh dan tenaga kerja asing.
(3)
Organisasi-organisasi
pekerja di Aceh dapat secara bersama membentuk organisasi yang bersifat pusat
di Aceh.
BAB X
KEUANGAN
Pasal 61
(1)
Penyelenggaraan tugas Pemerintah Aceh
dan pemerintahan daerah Kabupaten/kota dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Republik Indonesia.
(2)
Penyelenggaraan tugas Pemerintah Aceh
dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Aceh.
(3)
Penyelenggaraan tugas Pemerintah
Kabupaten/kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dibiayai atas beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
PAJAK
Pasal 62
(1)
Pemerintah Aceh berhak menetapkan
jenis-jenis pajak yang berlaku di Aceh.
(2)
Pemerintah Aceh berhak menetapkan
nilai setiap jenis pajak yang berlaku di Aceh.
(3)
Pemerintah Aceh berhak memungut setiap
jenis pajak yang ditetapkan.
(4)
Pemerintah Aceh berhak menggnakan hasil
pajak yang dipungut untuk membiayai kegiatan-kegiatan pembangunan Aceh.
Pasal 63
(1)
Sumber penerimaan Pemerintah Aceh
meliputi :
a.
Pendapatan asli Aceh dan daerah
kabupaten/kota;
b. Dana bagi hasil;
c.
Penerimaan Pemerintah Aceh dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan Aceh;
d.
Pinjaman pemerintah Aceh;
e.
Lain-lain penerimaan yang sah.
(2)
Sumber Pendapatan Asli Aceh dan Daerah
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri dari:
a.
Pajak Aceh;
b.
Retribusi Aceh;
c.
Hasil perusahaan milik Aceh dan penyertaan
modal Aceh;
d.
Hasil pengelolaan kekayaan Aceh lainnya; dan lain-lain pendapatan Aceh
yang sah.
(3) Dana bagi hasil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah dana bagi hasil bagian Pemerintah Aceh
dan daerah Kabupaten/Kota, terdiri atas:
m.
Bagi hasil pajak;
n. Pajak bumi dan
bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen);
o. Biaya perolehan
hak atas tanah dan bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen);
p. Pajak
penghasilan pribadi dan badan usaha sebesar 40% (empat puluh persen);
q. Bagi hasil sumber
daya alam, pemerintah Aceh mendapat;
1)
Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
2)
Kelautan dan perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
3)
Pertambangan minyak bumi sebesar 70% (tujuh puluh persen)
4)
Pertambangan gas alam sebesar 70% (tujuh puluh persen)
5)
Pertambangan lain sebesar 80% (delapan puluh persen) dari hasil
bersih eksplorasi/eksploitasi sumber daya alam dimaksud.
r. Pemerintah Aceh
berhak mendapatkan dana alokasi umum sekurang-kurangnya 25% (dua puluh
lima persen) dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN Republik
Indonesia;
s. Pemerintah Aceh
berhak mendapatkan dana alokasi khusus yang dialokasikan dari APBN
Republik Indonesia termasuk dana reboisasi sebesar 40% (empat puluh persen).
Pasal
64
(1)
Pemerintah Aceh dapat menerima
bantuan dari luar negeri secara langsung setelah mendapat persetujuan dari
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
(2)
Pemerintah Aceh dapat melakukan
pinjaman dari sumber dalam negeri dan atau luar negeri untuk membiayai sebagian
anggarannya.
(3)
Pinjaman dari sumber dalam negeri
harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
(4)
Pinjaman dari sumber luar negeri
untuk pemerintah Aceh harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
(5)
Pemerintah Aceh berhak menetapkan
tingkat suku bunga yang berbeda dengan yang ditetapkan Bank Sentral Indonesia.
(6)
Pemerintah Aceh berhak mendapat
bunga maksimal 5% (lima persen) pertahun baik dari sumber pemerintah Indonesia
maupun dari luar negeri.
(7)
Pemerintah Aceh melakukan
pengumpulan dan pengalokasian pendapatan antara Aceh dan Pemerintah Indonesia
secara transparan yang diverifikasi oleh auditor independen serta profesional
yang diminta oleh Pemerintah Aceh dan menyampaikan hasil-hasilnya kepada
pemerintah Indonesia.
(8)
Hasil sumberdaya alam Aceh dikumpulkan
dan dikelola oleh Pemerintah Aceh.
(9)
Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam qanun.
Pasal 65
Penerimaan, pengelolaan serta penyaluran zakat, infaq, wakaf dan sedekah
dikelola oleh Baital Mal yang diatur dalam qanun.
Pasal 66
Tata cara
penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh dan Daerah, perubahan, perhitungan,
pertanggungjawaban dan pengawasannya diatur dengan Qanun.
Pasal 67
Pemerintah Indonesia berkewajiban
menyampaikan data dan informasi mengenai penerimaan pajak dan penerimaan negara
bukan pajak yang berasal dari Aceh kepada Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh setiap tahun anggaran.
PENANAMAN
MODAL
Pasal 68
(1)
Pemerintah Aceh dapat melakukan
penanaman modal pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Republik Indonesia
berbasis sumber daya alam dan perusahaan-perusahaan swasta yang berdomisili
dan/atau beroperasi di wilayah Aceh melalui anggaran sendiri dan/atau dana
hibah.
(2)
Pemerintah Aceh dapat melakukan
kerjasama penanaman modal dengan pemerintah asing maupun swasta asing baik yang
beroperasi di Aceh, dalam negeri maupun di negara asing.
(3)
Pemerintah Aceh dapat memasukkan hak
penguasaan atas sumber daya alam sebagai saham untuk mengekplorasi sumber daya
alam dengan mempertimbangkan hal-hal yang menguntungkan.
(4)
Penanaman modal dengan sumber dana
hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemberian hibah
saham pemerintah pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Republik Indonesia kepada
Pemerintah Aceh.
(5)
Pemerintah Indonesia setiap tahun
memberikan sebagian keuntungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Republik
Indonesia yang hanya beroperasi di wilayah Aceh yang besarnya ditetapkan
bersama antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Aceh.
(6)
Setiap Penanaman modal oleh Pemerintah
Aceh harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
(7)
Tata cara penanaman modal pemerintah
Aceh diatur dengan Qanun.
Pasal 69
Pengelolaan
belanja oleh pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota dari sumber Anggaran
Pendapatan dan Belanja Aceh/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan dari
sumber luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh / Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Pasal 70
Masyarakat
dan/atau perorangan dapat berperan dalam pengawasan atas pengelolaan pendapatan
dan belanja oleh pemerintah Aceh dan pemerintah daerah Kabupaten/Kota.
BAB XI
PEREKONOMIAN
Pasal
71
(1)
Perekonomian Aceh diarahkan untuk mewujudkan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, keadilan,
pemerataan, partisipasi rakyat dan
efisiensi.
(2)
Usaha-usaha perekonomian di Aceh yang memanfaatkan sumber daya
alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak rakyat, memberikan jaminan
kepastian hukum bagi pengusaha, pembangunan berkelanjutan dan pelestarian
lingkungan.
(3)
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh menerapkan secara
sungguh-sungguh prinsip-prinsip transparansi dalam pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya yang ada di Aceh.
(4)
Setiap pelaku bisnis di Aceh dapat membentuk organisasi, asosiasi
profesi, dan asosiasi bisnis yang berbasis lokal dan mandiri.
(5)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (4) diatur dengan qanun.
Pasal
72
(1) Setiap pengelolaan sumber daya alam Aceh harus mendapat
izin dari Pemerintah Aceh.
(2)
Pemerintah Aceh berkewenangan sepenuhnya dalam menentukan kebijakan-kebijkan
tentang pengelolaan sumber daya alam.
(3)
Eksploitasi sumber daya alam yang tak terbarui
wajib dikompensasi dengan melakukan investasi yang seimbang
nilainya oleh Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Aceh untuk pembangunan bidang ekonomi rakyat, pendidikan dan
kesehatan.
Pasal
73
(1) Pemerintah
Indonesia dan Pemerintah Aceh mengalokasikan dana yang cukup untuk pembangunan
bidang energi di Aceh.
(2) Pemerintah
Indonesia dan Pemerintah Aceh mengalokasikan dana yang cukup untuk riset,
pembangunan dan pengembangan energi alternatif yang bersih dan berkelanjutan
dengan memanfaatkan secara optimal potensi yang ada.
PERIKANAN DAN KELAUTAN
Pasal 74
(1)
Pemerintah Aceh mengelola sumber daya
alam yang terdapat di permukaan dan bawah permukaan laut, di dasar laut dan di
bawah dasar laut dalam kawasan laut pedalaman, laut teritorial, zona tambahan,
landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE).
(2)
Pemerintah Aceh memiliki kewenangan
penuh untuk mengelola sumber daya alam di wilayah laut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi: eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan
kekayaan laut.
(3)
Pemerintah Aceh memiliki kewenangan
untuk mengatur administrasi dan perizinan penangkapan dan/ atau pembudidayaan
ikan.
(4)
Pemerintah Aceh memiliki kewenangan
dalam hal pengaturan tata ruang wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil.
(5)
Pemerintah Aceh memiliki kewenangan
dalam hal penegakkan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan atas wilayah
laut yang menjadi kewenangannya.
(6)
Pemerintah Aceh memiliki kewenangan
memelihara hukum adat laut dan keamanan laut.
(7)
Pemerintah Aceh memiliki kewenangan
menerbitkan izin penangkapan ikan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
(8)
Pengelolaan sumber daya alam di
wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan
memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup.
(9)
Tata cara mengenai Kelautan dan perikanan diatur lebih lanjut
dalam Qanun.
PERDAGANGAN
DAN INVESTASI
Pasal
75
(1) Pemerintah Aceh
dan Rakyat Aceh berhak untuk melakukan perdagangan bebas dengan daerah-daerah
lain yang berada dalam wilayah negara Republik Indonesia melalui darat, laut
dan udara, tanpa hambatan pajak, tarif atau hambatan lainnya.
(2) Pemerintah Aceh
dan Rakyat Aceh berhak melakukan perdagangan dengan negara asing melalui darat,
laut dan udara.
(3) Pemerintah Aceh
dan Rakyat Aceh dapat melakukan hubungan perdagangan langsung tanpa hambatan
dengan negara-negara asing.
(4) Pemerintah Aceh
dapat secara langsung bergabung dalam organisasi-organisasi perdagangan
Internasional.
(5) Perusahaan-perusahaan
dan badan-badan usaha yang didirikan di Aceh dengan semua klasifikasinya disertifikasi
oleh Pemerintah Aceh
(6) Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud di atas diatur
lebih lanjut dengan Qanun
Pasal
76
(1) Pemerintah Aceh
berwenang sepenuhnya untuk mengatur dan mengelola Kawasan Bebas Sabang
sebagai Kawasan Perdagangan yang bebas dari pengenaan bea masuk, pajak
pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah dan cukai;
(2) Pemerintah Aceh
berhak atas fasilitas perdagangan bebas terhadap barang-barang tertentu dari
Kawasan Sabang.
(3) Penentuan jenis
dan jumlah barang tertentu untuk kebutuhan Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan bersama oleh Kepala Pemerintahan Aceh dan Pemerintah setelah
mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
(4) Pemerintah Aceh
dapat membuka kawasan-kawasan perdagangan bebas lain dalam Wilayah Aceh untuk
memajukan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan Rakyat.
(5) Pemerintah Aceh
berwenang sepenuhnya untuk mengatur dan mengelola kepariwisataan di wilayah
Aceh
(6) Peraturan
pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Qanun.
Pasal
77
(1)
Pemerintah Aceh dapat membangun pelabuhan laut dan pelabuhan udara
beserta sarananya dalam wilayah Aceh.
(2)
Pemerintah Aceh mempunyai kewenangan penuh dalam hal pengaturan
dan pengelolaan pelabuhan laut dan pelabuhan udara beserta sarananya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
Pasal 78
(1)
Pemerintah Aceh berhak mengeluarkan
semua izin yang terkait dengan investasi dalam bentuk Penanaman Modal Asing
(PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Aceh.
(2)
Pemerintah Aceh berwenang untuk
mengatur:
a.
Hak eksplorasi dan eksploitasi
sumber daya hidrokarbon dan pertambangan umum lainnya;
b.
Hak pengelolaan hasil hutan;
c.
Izin pemanfaatan kayu;
d.
Hak pengusahaan hutan (HPH);
e.
Hak guna usaha (HGU);
f.
Izin hak pelepasan kawasan hutan;
g.
Izin penangkapan ikan;
h.
Izin penggunaan operasional kapal ikan dalam segala jenis dan
ukuran;
i.
Hak guna bangunan (HGB);
j.
Hak penggunaan air permukaan dan
air laut;
k.
Penggunaan frekuensi komunikasi;
l.
Penggunaan wilayah udara;
m.
Penggunaan wilayah laut.
(3)
Pemberian izin dan kewenangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan
prinsip-prinsip pelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan,
serta berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Majelis Perwakilan
Daerah Aceh.
(4)
Ketentuan peraturan perundang-undangan
Republik Indonesia yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam sebagaimana
diatur dalam ayat (2) dinyatakan tidak berlaku di Aceh.
(5)
Ketentuan pelaksanaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Qanun.
BAB
XII
KERJASAMA DAN PARTISIPASI INTERNASIONAL
Pasal 79
(1)
Pemerintah Aceh dapat bekerjasama
secara langsung dengan badan-badan Perserikatan Bangsa-bangsa tertentu dan
badan-badan dunia lainnya.
(2)
Pemerintah Aceh dapat menjadi anggota
dari badan-badan Perserikatan Bangsa-bangsa tertentu dan badan-badan dunia
lainnya.
(3)
Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi
secara langsung dalam event-event seni, kebudayaan dan olah raga internasional.
(4)
Ketentuan pelaksanaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Qanun.
BAB
XII
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN LINGKUNGAN
HIDUP
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Pasal
80
(1)
Pembangunan Aceh dilaksanakan secara
berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup serta kemakmuran
rakyat Aceh.
(2)
Pemerintah Aceh dan Pemerintah
Kabupaten/Kota dalam menyusun dan melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan
harus selalu memperhatikan, menghormati, melindungi dan memenuhi serta
menegakkan hak-hak rakyat Aceh.
(3)
Rakyat Aceh berhak untuk terlibat
secara aktif dalam penyelenggaraan pembangunan yang berkelanjutan di Aceh.
(4)
Tata cara keterlibatan rakyat Aceh
dalam penyelenggaraan pembangunan yang berkelanjutan di Aceh diatur lebih
lanjut dalam qanun.
Pembangunan di Aceh dilakukan dengan berpedoman
pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan,
manfaat, keadilan dan kesejahteraan
dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.
(1)
Kedaulatan pengelolaan lingkungan
hidup dan sumber daya alam berada di tangan rakyat Aceh.
(2)
Pemerintah Indonesia, Pemerintah Aceh
dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan
memenuhi serta menegakkan hak-hak rakyat Aceh terkait pengelolaan lingkungan
hidup dan sumber daya alam.
(3)
Rakyat Aceh berhak untuk terlibat
secara aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam di Aceh.
(4)
Tata cara keterlibatan rakyat Aceh
dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam di Aceh diatur dalam qanun.
(1)
Pemerintah Aceh berkewajiban melakukan
pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan penataan
ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati, sumber
daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya,
dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak
masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk.
(2)
Pemerintah Aceh berkewajiban mengelola
kawasan lindung untuk melindungi keanekaragaman hayati dan proses ekologi
terpenting.
(3)
Pemerintah Aceh wajib mengikutsertakan
lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat dalam pengelolaan dan
perlindungan lingkungan hidup.
(4)
Pemerintah Aceh dapat membentuk
lembaga yang berdiri sendiri untuk penyelesaian sengketa lingkungan.
(5)
Penyelesaian sengketa lingkungan dapat
ditempuh melalui jalur pengadilan atau diluar pengadilan
(6)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Qanun
BAB XIII
KERJASAMA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Pasal 84
(1)
Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja
sama dengan daerah lain yang ada dalam wilayah Republik Indonesia dalam
menyelesaikan perselisihan bersifat kepentingan publik.
(2)
Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota wajib
mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk
kepentingan masyarakat dengan menciptakan efisiensi.
(3)
Tata cara pelaksanaan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Qanun.
BAB XIV
PENDIDIKAN
Pasal 85
(1)
Pendidikan
Aceh diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,
nilai budaya dan kemajemukan bangsa.
(2)
Setiap
penduduk Aceh berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(3)
Pendidikan
diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan
multimakna serta sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(4)
Pendidikan
diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran
serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Pasal 86
(1)
Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota
bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur,
dan jenis pendidikan yang islami.
(2)
Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota
menetapkan kebijakan umum tentang pendidikan formal dan lembaga pendidikan
dayah dalam hal kurikulum inti dan standar mutu bagi semua jenjang, jalur dan
jenis pendidikan.
(3)
Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota
menetapkan kebijakan pengembangan perguruan tinggi, kurikulum dan standar
kualitas pada semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan.
(4)
Pemerintah Aceh dapat bekerjasama
secara langsung dengan pemerintah/lembaga pendidikan asing secara langsung.
(5)
Setiap rakyat Aceh berhak memperoleh
pendidikan yang bermutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 87
(1)
Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota
mengalokasikan dana bagi penyelenggaraan pendidikan formal dan dayah/pesantren minimal
30% (tiga puluh persen) dari pendapatan publik atau belanja pembangunan setiap
tahun anggaran yang diatur dalam Qanun.
(2)
Dana pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dialokasikan untuk peningkatan tunjangan fungsional guru, tenaga
pendidik dan dosen sebesar 30% (tiga puluh persen).
(3)
Alokasi dana pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak diperuntukkan untuk pendidikan kedinasan dan
pendidikan-pendidikan lain diluar
pendidikan formal dan dayah.
(4)
Laporan pertanggungjawaban alokasi
dana pendidikan harus dilakukan dalam suatu pertanggungjawaban khusus di luar
pertanggungjawaban anggaran belanja publik atau belanja pembangunan, sebagai
laporan pertanggungjawaban khusus kepala Pemerintahan Aceh.
Pasal 88
(1)
Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota
memberikan kesempatan luas kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat
dan dunia usaha yang memenuhi syarat untuk mengembangkan dan menyelenggarakan
pendidikan yang bermutu.
(2)
Untuk mengembangkan dan
menyelenggarakan pendidikan bermutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pemerintah Aceh membentuk Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan.
(3)
Bahasa Aceh, bahasa Arab dan bahasa
Inggris disamping bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa yang dipakai di
semua jenjang pendidikan di Acheh.
Pasal 89
(1)
Penyelenggara pendidikan di Aceh wajib
memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang pendidikan.
(2)
Penyelenggara pendidikan
dayah/pesantren wajib memenuhi standar akreditasi yang ditetapkan oleh
pemerintah Aceh.
(3)
Penetapan standar akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan qanun.
Pasal 90
(1)
Pemerintah
Indonesia dan Pemerintah Aceh memberi akses kepada peserta didik untuk
mendapatkan pelayanan pendidikan oleh tenaga-tenaga profesional dari dalam dan
luar negeri.
(2)
Penyelenggara pendidikan di Aceh dapat bekerjasama dengan lembaga
pendidikan dari dalam dan luar negeri.
Pasal
91
(1) Pemerintah Aceh
wajib memperkuat fungsi dan peran
Majelis Pendidikan Daerah.
(2) Majelis
Pendidikan Daerah menjalankan fungsi-fungsi:
a.
berpartisipasi aktif dalam perencanaan pembangunan pendidikan di Aceh;
b.
menetapkan standar akreditasi dan
melakukan evaluasi terhadap mutu pendidikan di Aceh.
Pasal 92
(1)
Rakyat Aceh yang berusia 7 (tujuh)
sampai 15 (lima belas) tahun berhak memperoleh pendidikan dasar dan menengah
hingga sekolah lanjutan tingkat pertama tanpa pungutan biaya apapun.
(2)
Pemerintah Aceh dan Pemerintah
Kabupaten/Kota wajib mengalokasikan dana yang cukup untuk membiayai pendidikan
dasar dan menengah hingga sekolah lanjutan tingkat pertama.
(3)
Pemerintah
Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengutamakan pelayanan pendidikan gratis
kepada kelompok masyarakat yang tidak mampu sampai jenjang pendidikan sekolah
menengah atas.
(4)
Pengelolaan dana pendidikan gratis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Qanun.
Pasal 93
Pemerintah
Aceh mengkoordinasikan penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan tinggi
swasta di Aceh.
Pasal 94
(1)
Pemerintah Aceh membangun dan
mengembangkan lembaga penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2)
Pemerintah Aceh wajib mengalokasikan
dana untuk menyelenggarakan penelitian, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
setiap tahun anggaran.
Pasal 95
(1)
Pemerintah Aceh akan selalu
memperhatikan dan meningkatkan standar mutu pendidikan pada semua jenjang,
jalur dan jenis pendidikan meliputi standar isi, standar proses, standar
kompetensi lulusan, standar pembiayaan, standar pendidik dan tenaga
kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar penilaian pendidikan dan
standar pengelolaan.
(2)
Pengembangan standar pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan organisasi profesi yang relevan,
dunia usaha, lembaga masyarakat dan unsur lembaga kependidikan yang terkait.
(3)
Rincian standar pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun.
Pasal 96
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh
memberi akses ke luar negeri untuk mendapatkan tenaga-tenaga ekspatriat,
konsultan pendidikan internasional dan membangun sekolah-sekolah internasional.
BAB XV
KESEHATAN
Pasal 97
(1)
Pemerintah Aceh dan Pemerintah
Kabupaten/Kota menetapkan dan meningkatkan standar mutu kesehatan dan
memberikan pelayanan kesehatan rakyat Aceh secara baik.
(2)
Pemerintah Aceh dan Pemerintah
Kabupaten/Kota mencegah dan menanggulangi segala jenis penyakit endemi dan/atau
penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk.
(3)
Pemerintah Aceh berkewajiban untuk
berupaya memberikan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma kepada rakyat Aceh.
(4)
Pemerintah Aceh memberi pelayanan
kesehatan cuma-Cuma kepada rakyat yang tidak mampu.
(5)
Pemerintah Aceh dan Pemerintah
Kabupaten/Kota melaksanakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), (2) dan (3) dengan memberikan peran kepada lembaga keagamaan, lembaga
pendidikan, lembaga swadaya masyarakat serta dunia usaha yang memenuhi persyaratan
untuk itu.
(6)
Pemerintah Aceh dan Pemerintah
Kabupaten/Kota mengalokasikan pembiayaan kesehatan minimal 15% (lima belas
persen) dari jumlah pendapatan daerah.
(7)
Dana kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dialokasikan untuk peningkatan tunjangan fungsional paramedis
sebesar 30% (tiga puluh persen).
(8)
Pelaksanaan pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud diatas di atur lebih lanjut dengan qanun.
Pasal 98
(1)
Pemerintah Aceh dan Pemerintah
Kabupaten/Kota merencanakan dan melaksanakan program-program perbaikan dan
peningkatan gizi penduduk dan pelaksanaannya dapat melibatkan lembaga
keagamaan, lembaga pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha
yang memenuhi persyaratan.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam qanun.
Pasal 99
(1)
Standar mutu kesehatan pada semua
tingkatan meliputi standar administrasi, informasi dan menajemen, standar
pelayanan dan obat, standar pembiayaan, standar sarana dan prasarana serta
standar kualifikasi dan kompetensi tenaga medis.
(2)
Pengembangan standar kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan organisasi profesi yang relevan,
dunia usaha, lembaga masyarakat dan unsur lembaga kesehatan yang terkait.
(3)
Rincian standar kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan qanun.
BAB XVI
Pasal 100
PERTAHANAN KEAMANAN
(1) Tentara Nasional Indonesia (TNI) bertanggung jawab untuk
menjaga pertahanan eksternal Aceh.
(2) Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Aceh terdiri
dari TNI organik.
(3) Penempatan Tentara Nasional Indonesia di Aceh dilakukan
dengan terlebih dahulu dikonsultasikan dengan pemerintah Aceh.
(4) Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Aceh
berkewajiban menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal hak-hak asasi manusia
yang tercantum dalam Kovenan
Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan
mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta menghormati budaya dan adat istiadat
Aceh.
BAB XVII
IDENTITAS DAN KEPENDUDUKAN
Pasal 101
(1)
Orang Aceh adalah orang yang berasal
dari berbagai bangsa dan etnik yang telah menetap di Aceh secara turun-temurun
dan atau telah bertempat tinggal di luar Aceh.
(2)
Rakyat Aceh adalah orang-orang yang berasal
dari berbagai bangsa dan etnik yang telah menetap di Aceh secara turun-temurun
dan atau telah bertempat tinggal di luar Aceh.
(3)
Orang yang salah satu orang tuanya
orang Aceh adalah orang Aceh.
(4)
Orang yang bukan orang Aceh atau
rakyat Aceh yang telah menetap secara terus menerus selama 20 (dua puluh) tahun
di Aceh adalah orang Aceh atau rakyat Aceh.
(5)
Penduduk Aceh adalah setiap orang yang
bertempat tinggal secara menetap di Aceh.
(6)
Setiap penduduk Aceh yang telah dewasa
akan diberikan kartu identitas.
(7)
Pengaturan tentang identitas dan
kependudukan diatur dalam qanun.
BAB XVIII
PERTANAHAN
Pasal 102
(1)
Orang Aceh berhak untuk memiliki hak
milik atas tanah di Aceh.
(2)
Penduduk Aceh yang bukan orang Aceh
hanya memiliki hak guna usaha dan guna bangunan atas tanah di Aceh.
(3)
Penduduk Aceh yang bukan orang Aceh
atau rakyat Aceh baru dapat memiliki hak milik atas tanah apabila setelah
menetap secara terus–menerus selama 20 (dua puluh ) tahun di Aceh.
(4)
Pengaturan selanjutnya akan diatur
dalam qanun.
BAB XIX
KEHUTANAN
Pasal 103
(1)
Pemerintah Aceh berkewajiban
memelihara dan melestarikan hutan dan segala jenis satwa di dalamnya.
(2)
Pemerintah Aceh berkewajiban melakukan
reboisasi hutan di Aceh secara berkesinambungan.
(3)
Pemerintah Aceh berhak memberi izin
pengelolaan hutan dengan memperhatikan dan mematuhi ketentuan tentang
lingkungan hidup.
(4)
Ketentuan tentang pengelolaan hutan
lebih lanjut akan diatur dalam qanun.
BAB XX
PERKEBUNAN
Pasal 104
(1)
Pemerintah Aceh akan mengembangkan
usaha perkebunan rakyat, swasta, koperasi dan sentra-sentra usaha kecil
menengah lainnya.
(2)
Pemerintah Aceh mendorong percepatan
usaha perkebunan swasta.
(3)
Pemerintah Aceh akan mendorong
investor swasta untuk menanamkan modal dibidang perkebunan.
(4)
Investor swasta memprioritaskan
penglibatan masyarakat setempat sebagai bagian dari usahanya.
(5)
Pemerintah Aceh berwenang memberi
dan mengeluarkan izin usaha perkebunan
dengan memperhatikan aspek-aspek lingkungan hidup.
(6)
Ketentuan tentang pengelolaan
perkebunan dimaksud diatur lebih lanjut dalam qanun.
.
BAB XXI
PERTANIAN
Pasal 105
(1)
Pemerintah Aceh melakukan pengembangan
zona pertanian di Aceh.
(2)
Dalam rangka pengembangan zona
pertanian pemerintah Aceh akan mendorong pertumbuhan industri pertanian.
(3)
Pemerintah Aceh akan mendorong
investor swasta untuk menanamkan modal dibidang pertanian.
(4)
Investor swasta memprioritaskan
penglibatan masyarakat setempat sebagai bagian dari usahanya.
(5)
Pemerintah Aceh akan membangun
infrastruktur untuk mendukung percepatan pengembangan zona pertanian.
(6)
Ketentuan tentang pengelolaan dan
pengembangan zona pertanian dimasud akan diatur lebih lanjut dalam qanun.
BAB
XXII
PERHUBUNGAN
PERHUBUNGAN LAUT
Pasal 106
(1)
Pemerintah Aceh berhak untuk
melaksanakan pembangunan semua pelabuhan laut di Aceh.
(2)
Pemerintah Aceh berhak sepenuhnya untuk
menjalankan dan mengelola pelabuhan-pelabuhan laut di Aceh.
(3)
Pemerintah Aceh dapat melakukan
kerjasama dengan pemerintah atau investor swasta asing di dalam membangun dan
mengelola pelabuhan laut di Aceh.
(4)
Pembangunan dan pengembangan pelabuhan
laut di Aceh untuk memajukan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan rakyat
Aceh.
(5) Pemerintah Aceh
berwenang mengelola dan menjalankan administrasi pengapalan.
(6) Pemerintah Aceh
di dalam mengelola pelabuhan-pelabuhan laut di Aceh dapat melakukan hubungan
internasional secara langsung.
(7) Pemerintah Aceh
berhak membuka jalur pelayaran internasional.
(8) Ketentuan
mengenai perhubungan laut dimaksud akan diatur dalam qanun.
PERHUBUNGAN UDARA
Pasal 107
(1)
Pemerintah Aceh berhak untuk
melaksanakan pembangunan semua pelabuhan udara
di Aceh.
(2)
Pemerintah Aceh berhak sepenuhnya
untuk menjalankan dan mengelola pelabuhan-pelabuhan udara di Aceh.
(3)
Pemerintah Aceh dapat melakukan
kerjasama dengan pemerintah atau investor swasta asing di dalam membangun dan
mengelola pelabuhan udara di Aceh.
(4)
Pembangunan dan pengembangan pelabuhan
udara di Aceh untuk memajukan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat Aceh.
(5) Pemerintah Aceh
berwenang mengelola dan menjalankan administrasi penerbangan.
(6) Pemerintah Aceh
di dalam mengelola pelabuhan-pelabuhan udara di Aceh dapat melakukan hubungan
internasional secara langsung.
(7) Pemerintah Aceh
berhak membuka jalur penerbangan internasional.
(8)
Ketentuan mengenai perhubungan laut dimaksud akan diatur lebih
lanjut dengan qanun.
BAB
XXIII
SEJARAH, SOSIAL DAN BUDAYA
SEJARAH
Pasal 108
(1)
Pemerintah Aceh melindungi dan
melestarikan situs, literatur, dokumen sejarah, kebudayaan dan peradaban Aceh.
(2)
Pemerintah Aceh berkewajiban menyusun
ulang dokumentasi sejarah Aceh yang musnah akibat usia, bencana alam dan
merawatnya sebagai warisan Aceh.
(3)
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah
Aceh berkewajiban mencari kembali dan mengembalikan ke Aceh benda-benda sejarah
Aceh yang hilang atau dipindahkan dari Aceh dan merawatnya sebagai warisan
sejarah Aceh.
(4)
Pemerintah Aceh dapat membentuk badan
atau lembaga khusus yang bertugas menjaga, melindungi dan melestarikan
situs-situs, dokumen-dokumen dan seluruh kepentingan sejarah, kebudayan dan
peradaban.
(5)
Pemerintah Aceh berkewajiban menyusun
data-data korban konflik bersenjata di Aceh dan merawat data-data itu sebagai
dokumen sejarah.
(6)
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah
Aceh berkewajiban membangun dan merawat kuburan massal korban konflik
bersenjata di Aceh sebagai monumen sejarah.
(7)
Pemerintah Aceh berkewajiban membangun
dan merawat kuburan massal korban tsunami sebagai monumen sejarah.
(8)
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah
Aceh berkewajiban membangun dan merawat mesium konflik bersenjata di Aceh
sebagai monumen sejarah tragedi kemanusiaan di Aceh.
(9)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), ayat (6) dan ayat (8) akan diatur dalam Qanun.
SOSIAL
Pasal 109
(1)
Pemerintah Indonesia bekerjasama
dengan Pemerintah Aceh berkewajiban merehabilitasi terhadap korban konflik.
(2)
Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan
Pemerintah Aceh berkwajiban merehabilitasi harta benda publik dan perorangan
yang hancur atau rusak akibat konflik.
(3)
Pemerintah Indonesia bekerjasama
dengan Pemerintah Aceh berkewajiban melindungi korban-korban konflik.
(4)
Pemerintah Indonesia bekerjasama
dengan Pemerintah Aceh berkewajiban merehabilitasi terhadap korban tsunami.
(5)
Pemerintah Indonesia bekerjasama
dengan Pemerintah Aceh berkewajiban merehabilitasi harta benda publik dan
perorangan yang hancur atau rusak akibat tsunami.
(6)
Pemerintah Aceh dapat bekerjasama
dengan pemerintahan atau lembaga asing dalam merehabilitasi korban dan harta
publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik.
(7)
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah
Aceh akan membangunan fasilitas-fasilitas sosial bagi anak-anak korban konflik
dan tsunami.
(8)
Pemerintah Aceh akan membangun
fasilitas-fasilitas sosial bagi penyandang cacat dan melakukan pemberdayaan
secara khusus terhadap mereka.
(9)
Pemerintah Aceh akan membangun
fasilitas rehabilitasi bagi korban ketergantungan nakotika dan obat-obat
terlarang dan bagi orang yang mengalami masalah sosial lain.
(10)Pemerintah Aceh
akan membangun panti-panti sosial bagi manusia lanjut usia.
(11)Pemerintah Aceh
akan memberdayakan fakir miskin dan anak yatim yang tidak mampu.
(12)Ketentuan
sebagaimana dimaksud akan diatur lebih lanjut dengan Qanun.
BUDAYA
Pasal 110
(1)
Pemerintah Aceh melindungi dan
melestarikan adat, kebudayaan dan peradaban Aceh yang hidup dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat.
(2)
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh
berkewajiban mencari kembali dan mengembalikan ke Aceh benda-benda kebudayaan
milik Aceh yang hilang atau dipindahkan dari Aceh dan merawatnya sebagai
warisan kebudayaan dan peradaban Aceh.
(3)
Pemerintah Aceh akan memfasilitasi
kegiatan-kegiatan adat, kebudayaan dan peradaban Aceh.
(4)
Pemerintah Aceh dapat mempromosikan
adat, kebudayaan dan peradaban Aceh.
(5)
Pemerintah Aceh dapat mendirikan
pusat-pusat kebudayan dan peradaban Aceh di luar Aceh.
(6)
Ketentuan sebagaimana dimaksud akan
diatur lebih lanjut dengan Qanun.
BAB XXIV
WALI
NANGGROE
Pasal 111
Wali Nanggroe merupakan lembaga kepemimpinan rakyat yang berdiri sendiri
dan berwibawa untuk pelestarian dan penyelenggaraan kehidupan adat dan Budaya
Aceh serta pemersatu Rakyat Aceh.
Pasal 112
(1) Wali Nanggroe adalah orang yang dipilih dan diangkat
oleh Majelis Perwakilan Daerah Aceh (MPDA) dan perwakilan para ulama dari
daerah-daerah kabupaten/kota dalam wilayah Aceh
(2) Kriteria calon Wali Nanggroe:
a.
Beragama Islam;
b.
Orang Aceh;
c.
Dalam perjalanan hidupnya terlibat
atau mendukung perjuangan Aceh;
d.
Mempunyai wawasan yang luas serta
kuat tentang sejarah, adat, budaya dan peradaban Aceh;
e.
telah berusia sekurang-kurangnya 40
(empat puluh) tahun;
f.
berpendidikan SLTA/sederajat;
g.
sehat jasmani dan rohani.
(3) Tata cara pemilihan dan pengangkatan, masa jabatan,
serta keuangan lembaga Wali Nanggroe ditetapkan dengan qanun.
PERANGKAT WALI NANGGROE
Pasal 113
(1) Wali Nanggroe dibantu oleh para Wakil Wali Nanggroe
dan Sekretaris Wali Nanggroe.
(2) Wakil-wakil Wali Nanggroe ditetapkan MPDA dan
perwakilan para ulama daerah-daerah kabupaten/kota.
(3) Sekretariat Wali Nanggroe dibentuk oleh Kepala
Pemerintahan Aceh.
(4) Tatacara pemilihan dan pengangkatan, masa jabatan
serta keuangan lembaga wakil Wali Nanggroe ditetapkan dengan qanun.
HAK DAN KEWENANGAN
Pasal 114
Wali Nanggroe berwenang :
Pasal 115
Wali Nanggroe memiliki hak:
BAB XXV
BENDERA, LAMBANG, DAN HIMNE
Pasal 116
Pemerintahan
sendiri di Aceh berhak mempunyai bendera, lambang daerah dan himne yang
menunjukkan jati diri dan semangat perjuangan Aceh.
Pasal 117
Penetapan
bendera, lambang dan himne Aceh dilakukan oleh Wali Nanggroe yang pertama.
BAB XXVI
AGAMA
Pasal 118
(1)
Setiap penganut agama Islam
berkewajiban mengamalkan/ menjalankan syari’at Islam.
(2)
Pemerintah Aceh melindungi penganut
agama non Islam yang menetap di Aceh.
(3)
Setiap penduduk Aceh dan penganut agama
non Islam wajib menghormati orang atau masyarakat muslim di Aceh yang
mengamalkan/ menjalankan syari’at Islam.
(4)
Setiap penduduk Aceh dan penganut
agama Islam wajib menghormati penganut agama non Islam yang menetap di Aceh.
(5)
Ketentuan sebagaimana dimaksud akan
diatur lebih lanjut dengan Qanun.
BAB XXVII
MAJELIS
PERMUSYARAWATAN ULAMA
Pasal 119
(1)
Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota membentuk lembaga keulamaan yang anggotanya
terdiri atas para ulama yang diberi nama Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).
(2)
Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bersifat berdiri sendiri yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap
kebijakan daerah, pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta tatanan
ekonomi yang islami.
(3)
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)
berperan untuk melakukan pengontrolan terhadap kebiajakan-kebijakan pemerintah
Aceh.
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud diatur
dengan Qanun.
Pasal 120
(1)
Anggota Majelis Permusyawaratan Ulama
terdiri dari para Ulama.
(2)
Tatacara pemilihan Anggota Majelis
Permusyawaratan Ulama diatur dengan qanun.
Pasal 121
Tugas dan wewenang Majelis
Permusyawaratan Ulama:
a.
Memberi fatwa hukum, baik diminta atau
tidak diminta terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan.
b.
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) berperan
untuk melakukan pengontrolan terhadap kebiajakan-kebijakan pemerintah Aceh.
c.
Memberi bimbingan dan arahan terhadap
perbedaan pendapat di masyarakat dalam masalah keagamaan.
d.
Membina kerukunan hidup antar umat beragama.
Pasal 122
Struktur keorganisasian dan keuangan
lembaga Majelis Permusyawaratan Ulama diatur dengan qanun.
BAB XXVIII
KEPOLISIAN ACEH
Pasal 123
(1)
Kepolisian Aceh bertanggung jawab
menjaga keamanan dan penegakan hukum dalam Wilayah Aceh.
(2)
Kepolisian Aceh berkewajiban menjunjung tinggi
prinsip-prinsip universal hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan
Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik serta menghormati budaya dan adat istiadat Aceh.
(3)
Kepolisian Aceh melaksanakan kebijakan
teknis kepolisian di bidang keamanan dan ketertiban serta penegakan hukum untuk
mewujudkan ketentraman masyarakat.
(4)
Kebijakan Kepala Kepolisian Aceh
mengenai keamanan, ketertiban dan ketentraman masyarakat di Aceh
dikoordinasikan dengan Kepala Pemerintahan Aceh.
(5)
Pelaksanaan tugas kepolisian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipertanggungjawabkan oleh Kepala Kepolisian
Aceh kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Kepala Pemerintahan Aceh.
(6)
Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh membentuk Komisi Kepolisian Aceh yang tugas, fungsi, struktur dan
keanggotaannya diatur lebih lanjut
dengan qanun.
(7)
Ketentuan sebagaimana dimaksud diatas
diatur dengan Qanun.
PEMILIHAN,
PENGANGKATAN DAN PENGESAHAN KEPALA KEPOLISIAN ACEH
Pasal 124
(1)
Pengangakatan Kepala Kepolisian Aceh
harus mendapat persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh.
(2)
Pengangakatan Kepala Kepolisian Aceh
dilakukan setelah melalui mekanisme fit
and proper test oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
(3)
Pemberhentian Kepala Kepolisian Aceh
dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan berkonsultasi
dengan Kepala Pemerintahan Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud diatas
diatur dengan Qanun.
Pasal 125
(1)
Penerimaan untuk menjadi bintara dan
perwira Kepolisian Aceh dilakukan dengan berkonsultasi dan atas persetujuan
Kepala Pemerintahan Aceh.
(2)
Pendidikan dasar dan pelatihan umum
bagi bintara Kepolisian Negara Republik Indonesia di Aceh diberi kurikulum
muatan lokal, dan lulusannya diutamakan untuk penugasan di Aceh.
(3)
Kepolisian Aceh dilatih di Aceh dan
luar negeri dengan penekanan pada penghormatan terhadap Hak-hak Asasi Manusia.
(4)
Pemerintah Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia bekerjasama dengan Pemerintah Aceh mendirikan Sekolah
Perwira Kepolisian Aceh di Aceh untuk
mendidik dan membina perwira-perwira kepolisian yang akan bertugas di
Aceh.
BAB XXIX
KEJAKSAAN ACEH
Pasal 126
(1)
Kejaksaan Aceh bertangung jawab untuk
melaksanakan tugas-tugas kejaksaan di Aceh dalam rangka penegakkan hukum di
Aceh.
(2)
Kepolisian Aceh berkewajiban menjunjung tinggi
prinsip-prinsip universal hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan
Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik serta menghormati budaya dan adat istiadat Aceh.
(3)
Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh membentuk Komisi Kejaksaan Aceh yang tugas, fungsi, struktur dan
keanggotaannya diatur lebih lanjut
dengan qanun.
(4)
Pemerintah Indonesia dan Kejaksaan
Agung bekerjasama dengan Pemerintah Aceh mendirikan Sekolah Pendidikan
Kejaksaan Aceh di Aceh untuk mendidik
dan membina jaksa-jaksa yang akan bertugas di Aceh.
(5)
Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh membentuk Komisi Kejaksaan Aceh yang tugas, fungsi, struktur dan
keanggotaannya diatur dengan qanun.
(6)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diatur dengan Qanun.
Pasal 127
(1) Pengangakatan Kepala Kejaksaan Aceh harus mendapat persetujuan
Kepala Pemerintah Aceh.
(2)
Pengangakatan Kepala Kejaksaan Aceh
dilakukan setelah melalui mekanisme fit
and proper test oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
(3)
Pemberhentian Kepala Kejaksaan Aceh
dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negara Republik Indonesia dengan berkonsultasi
dengan Kepala Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dengan Qanun.
BAB XXX
SISTEM PERADILAN
Pasal 128
(1)
Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi Aceh bertangung jawab untuk melaksanakan tugas-tugas peradilan dalam
rangka penegakkan Hukum di Aceh.
(2)
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas-tugas peradilan sesuai syariat
Islam.
(3)
Kasasi, Peninjauan Kembali dan lainnya
yang sesuai dengan undang-undang
diajukan ke Mahkamah Agung.
(4)
Kewenangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.
(5)
Pemerintah dan Mahkamah Agung
bekerjasama dengan Pemerintah Aceh mendirikan Sekolah Pendidikan Hakim Aceh di
Aceh untuk mendidik dan membina Hakim
yang akan bertugas di Aceh.
(6)
Kewenangan pada ayat (2) dapat
diberlakukan kepada pemeluk agama non-Islam yang melakukan tindak pidana atau
sengketa perdata bersama-sama dengan pemeluk agama Islam jika mereka memilih
untuk diadili pada Pengadilan Agama.
Pasal 129
(1)
Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh anggota Tentara
Nasional Indonesia di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil, baik pada
tingkat pertama, banding dan kasasi berdasarkan hukum pidana yang berlaku bagi
warga sipil.
(2)
Dengan disahkan undang-undang ini maka kompetensi absolut
pengadilan militer untuk mengadili perkara-perkara kejahatan sipil yang
dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia dialihkan ke pengadilan sipil
dan ketentuan perundang-undangan sejauh yang mengatur kompetensi absolut
pengadilan militer untuk mengadili perkara-perkara kejahatan sipil yang
dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia dinyatakan tidak berlaku
lagi.
(3)
Pengalihan kompetensi mengadili sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur lebih lanjut oleh
Mahkamah Agung.
Pasal 130
(1)
Hakim
diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
(2)
Mahkamah Agung dapat mengusulkan
pengangkatan hakim ad-hoc yang dibiayai oleh Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Aceh.
Pasal 131
(1)
Pembinaan teknis peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.
(2)
Penyediaan sarana dan prasarana serta
penyelenggaraan kegiatan peradilan dibiayai oleh Mahkamah Agung, Pemerintah
Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
BAB XXXI
HAK ASASI MANUSIA
Pasal 132
(1)
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah
Aceh tanpa diskrimasi menjamin, melindungi dan menghormati hak untuk hidup,
kemerdekaan dan keamanan pribadi, pengakuan didepan hukum, kebebasan berekpresi
dan berkumpul/berorganisasi, berdemonstrasi, mendapatkan dan megeluarkan
informasi, beribadah menurut Agama masing-masing bagi seluruh rakyat dan
penduduk Aceh.
(2)
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah
Aceh menjamin, melindungi dan menghormati hak-hak kebendaan setiap rakyat dan
penduduk Aceh.
(3)
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah
Aceh berkewajiban menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal hak-hak asasi
manusia yang tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan
Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
(4)
Untuk melaksanakan prinsip-prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pemerintah Indonesia membentuk Pengadilan
Hak Asasi Manusia untuk Aceh.
Pasal 133
(1)
Pemerintah Indonesia, Pemerintah Aceh,
Rakyat dan Penduduk Aceh berkewajiban memajukan dan melindungi hak-hak
perempuan dan anak serta melakukan upaya-upaya pemberdayaan yang bermartabat.
(2)
Pemajuan, perlindungan dan
pemberdayaan hak-hak perempuan dan anak yang disebut pada ayat (1) masing-masing diatur dengan Qanun.
KOMISI KEBENARAN
DAN REKONSILIASI
Pasal 134
(1) Pemerintah Indonesia membentuk Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi di Aceh paling lambat satu tahun setelah
pengesahan undang-undang ini dengan tugas untuk merumuskan dan menentukan
rekonsiliasi dan melakukan klarifikasi terhadap pelanggaran hak asasi manusia
di masa lalu.
(2) Mekanisme pembentukan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi di Aceh diatur dengan Qanun.
BAB XXXII
KOMISI-KOMISI YANG BERDIRI SENDIRI
Pasal 135
(1)
Pemerintah Aceh selain membentuk
komisi-komisi yang berdiri sendiri sebagaimana tersebut dalam pasal 116 (6),
119 (5), 126 (1) 138 (2) juga membentuk komisi-komisi yang berdiri sendiri
sebagai berikut:
a.
Komisi Yudisial Review Aceh;
b.
Komisi Persaingan Usaha dan
Perdagangan Aceh;
c.
Komisi Hak-hak Asasi Manusia Aceh;
d.
Komisi Pendidikan Aceh;
e.
Komisi Anti Korupsi Aceh;
f.
Komisi kesehatan Aceh;
g.
Komisi legislatif Aceh.
(2) Ketentuan-ketentuan
tentang hal-hal dimaksud pada ayat (1) diatur dalam qanun.
BAB
XXXIII
QANUN DAN PERATURAN KEPALA PEMERINTAHAN ACEH,
BUPATI/WALIKOTA
UMUM
Pasal 136
(1)
Qanun ditetapkan oleh Kepala
Pemerintahan Aceh, Bupati/Walikota setelah mendapat persetujuan bersama Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh / Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penjabaran
lebih lanjut dari Undang-Undang Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di
Aceh.
(2)
Qanun sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum.
(3)
Qanun sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1), berlaku setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah.
PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 137
(1)
Masyarakat berhak terlibat memberi
masukan secara lisan atau tulisan
dalam rangka atau pembahasan
rancangan Qanun.
(2)
Persiapan pembentukan, pembahasan, dan
pengesahan rancangan Qanun berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Aceh.
(3)
Tatacara keterlibatan masyarakat dalam
persiapan atau pembahasan Qanun ditetapkan dengan Qanun.
Pasal 138
Tata cara
mempersiapkan rancangan Qanun yang berasal dari Kepala Pemerintahan Aceh,
Bupati/Walikota diatur dengan Qanun tentang Penyusunan Qanun.
Pasal 139
(1)
Rancangan Qanun disampaikan oleh anggota
komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh /
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menangani bidang legislasi.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara mempersiapkan rancangan Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 140
(1)
Penyebarluasan rancangan Qanun yang
berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh / Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dilaksanakan oleh sekretariat
(2)
Penyebarluasan rancangan Qanun yang
berasal dari Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati/Walikota dilaksanakan oleh
sekretariat daerah.
Pasal 141
(1)
Qanun dapat memuat ketentuan tentang
pembebanan biaya paksaan penegakkan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh.
(2)
Qanun dapat memuat ancaman pidana
kurungan atau denda.
(3)
Qanun dapat memuat ancaman pidana atau
denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh.
Pasal 142
(1)
Untuk melaksanakan Qanun Kepala
Pemerintahan Aceh dapat menetapkan peraturan atau keputusan Kepala Pemerintahan
Aceh.
(2)
Untuk melaksanakan Qanun
Bupati/Walikota dapat menetapkan peraturan atau keputusan Bupati/Walikota.
(3)
Keputusan atau peraturan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan qanun.
BAB XXXIV
MEDIA DAN INFORMATIKA
Pasal 143
(1)
Pemerintah Aceh menjamin kebebasan
media dan akses publik bagi informasi untuk kesejahteraan rakyat Aceh, sesuai
dengan kewenangan yang ada.
(2)
Pemerintah Aceh membentuk Komisi Penyiaran yang berdiri sendiri.
(3)
Komisi Penyiaran yang berdiri sendiri
yang dimaksud menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya sesuai peraturan yang
dibuat tersendiri tentang media dan informatika di Aceh sesuai dengan
kewenangan yang ada di samping peraturan perundang-undangan yang telah ada.
(4)
Komisi Penyiaran yang berdiri sendiri
mengatur penempatan media dan informatika di
Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh.
(5)
Ketentuan lebih lanjut tentang media dan informasi akan diatur dalam Qanun
Aceh.
Pasal 144
(1)
Komisi Penyiaran yang berdiri sendiri
melaksanakan tugas, kewenangan dan fungsi untuk mengatur kegiatan media dan informatika
bidang penyiaran di Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Aceh serta kewenangan lain yang tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan sebelumnya yang berlaku di Aceh.
(2)
Komisi Penyiaran yang berdiri sendiri
mempunyai hak dan kewajiban dalam menetapkan sanksi selain sanksi yang telah
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh, sesuai
kewenangan Pemerintah Aceh.
Pasal 145
(1)
Komisi Penyiaran yang berdiri sendiri
Pemerintahan Aceh dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh.
(2)
Komisi Penyiaran yang berdiri sendiri
sebagai lembaga yang berdiri sendiri mengatur hal-hal penyiaran di Aceh.
(3)
Komisi Penyiaran yang berdiri sendiri
dibantu oleh sebuah sekretariat yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan
Belanja Aceh.
(4)
Pelaksanaan ketentuan ayat (1), (2),
dan (3) diatur dengan Qanun.
Pasal 146
(1)
Lembaga Penyiaran yang ada di Aceh
wajib membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi dan biaya Izin
Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) kepada Pemerintah Aceh, sebagai bagian dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh.
(2)
Pelaksanaan ketentuan ayat (1) diatur
dalam Qanun.
BAB
XXXV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 147
(1). Nama Aceh dan gelar pejabat senior yang
dipilih akan ditentukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh setelah pemilihan
umum yang akan datang.
(2). Pelaksanaan
ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Qanun.
BAB XXXVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 148
(1)
Berbagai perjanjian kerja sama antara pemerintah
Indonesia dengan negara-negara asing
atau pihak lainnya, yang berkenaan dengan perjanjian kontrak bagi hasil minyak
bumi dan gas alam (Migas) yang berlokasi di Aceh dinyatakan tetap berlaku
sampai masa kontrak tahap dimaksud berakhir.
(2)
Setiap pembahasan rencana tahunan dan
budget yang diajukan oleh semua Contract Production Sharing (KPS) kepada Badan Pengelola minyak bumi dan gas alam (BP
Migas) harus mengikutsertakan dan dengan persetujuan pemerintah Aceh dan Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh.
(3)
Setiap perpanjangan kontrak yang
dimaksud dalam ayat (1) harus mengikutsertakan dan dengan persetujuan
pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
Pasal 149
Susunan
organisasi, perangkat daerah, jabatan dalam pemerintahan daerah, dan
peraturan perundang-undangan yang ada
tetap berlaku hingga dibentuk Qanun Aceh sesuai dengan Undang-Undang ini.
BAB XXXVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 150
(1)
Semua peraturan perundang-undangan
yang ada sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku di Aceh.
(2)
Semua ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan hak-hak Pemerintah
Aceh wajib mendasarkan dan menyesuaikan
pengaturannya pada undang-undang ini.
Pasal 151
Ketentuan pelaksanaan
undang-undang ini secara bertahap disusun paling lambat dalam masa 3 (tiga)
bulan setelah undang-undang ini diundangkan.
Pasal 152
Dengan
berlakunya undang-undang ini, undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 153
Undang-undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkankan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
HAMID
AWALUDDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
NOMOR
----------