Stockholm, 11 Maret 2006

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Assalamu'alaikum wr wbr.

 

 

RUU TENTANG PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN SENDIRI DI ACHEH YANG MENGACU KEPADA MOU HELSINKI 15 AGUSTUS 2005.

Ahmad Sudirman

Stockholm - SWEDIA.

 

 

SEKILAS CONTOH RUU TENTANG PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN SENDIRI DI ACHEH YANG MENGACU KEPADA MOU HELSINKI 15 AGUSTUS 2005.

 

"Akang Ahmad Sudirman Yth. Sering email akang difawder ke email saya. Akang adalah seorang putra Parahiyangan, sedang saya seorang Putroe Acheh Asli. Sebagai seorang dafter RUU PA versi GAM bersama Nazar, Cs, sekaligus sebagai drafter RUUPA versi Civil Society, saya dibikin bingung oleh pernyataan-pernyataan akang. Saya tahu persis kalau Depdagri bersama Setneg telah memangkas dan menambah draft RUU PA yang diajukan rakyat Acheh. Dan perbuatan mareka telah membuat RUUPA itu menjadi tidak sejalan dan bertentangan dengan dengan MoU. Saya juga tahu persis bahwa apa yang diajukan rakyat Acheh dan dibuat team perumus GAM  bukan konsep Self Goverment yang maksimal atau murni 100 %. Tapi itu adalah konsep Self Government yang menurut kami tidak bertentangan dengan MoU Helsinki. Kami juga telah mengkonsultasikannya dengan beberapa ahli hukum self government dari beberapa negara sperti John Packer dari Kanada, Julian Hottinger dati Swiss, dan dengan Damien Kingbury dari Australia, yang akang sendiri telah kenal siapa mareka mareka. Konsultasi itu dilakukan di Kuala Lumpur bulan Desember lalu. Oke. Akang Ahmad, kalau semua itu bukan konsep Self Government, maka saya minta agar akang mengirim konsep yang benar-benar Self Goverment kepada saya untuk kami bandingkan" (Mary Aty, mary_aam2003@yahoo.com , Thu, 9 Mar 2006 20:58:03 -0800 (PST))

 

Saudara Mary Aty,

 

Dibawah ini ada satu draft RUU Pemerintahan Sendiri di Acheh yang masuk ke email box Ahmad Sudirman lima bulan yang lalu, yang telah diteliti, dipelajari, dianalisa dan dirobah disesuaikan dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 15 Agustus 2005.

 

Semua butir-butir yang terkandung dalam MoU Helsinki sudah tertuang dalam draft RUU Pemerintahan Sendiri di Acheh hasil perobahan dibawah ini.

 

Dasar yang paling penting yang perlu dijelaskan disini adalah karena Pemerintahan Sendiri di Acheh baru pertama kali ini dilahirkan, dibentuk dan dibangun sejak sejarah pertumbuhan dan perkembangan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, Republik Indonesia Serikat  27 Desember 1949, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan UUD Sementara 1950 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan UUD 1945 5 Juli 1959, maka tidak satupun Undang-Undang yang berlaku sekarang termasuk UUD 1945 yang mengatur secara hukum Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di Acheh. Jadi wujudnya Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di Acheh ini adalah karena telah ditandatanganinya MoU Helsinki 15 Agustus 2005 dan berdasarkan dasar hukum MoU inilah  RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di Acheh dibuat yang selanjutnya ditetapkan dan diundangkan di Acheh.

 

Berdasarkan MoU Helsinki  Pemerintahan sendiri di Aceh yang disebut pemerintahan Acheh adalah Pemerintahan sendiri di wilayah Aceh berdasarkan perbatasan 1 Juli 1956 dan menurut apa yang terjadi pada 1 Juli 1956, itu  Acheh adalah bukan provinsi dan Acheh bukan bersifat otonomi, melainkan Acheh merupakan daerah yang dimasukkan kedalam wilayah propinsi Sumatra Utara.

 

Dimana dasar hukumnya adalah karena Undang Undang Nomor 24 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara ditetapkan pada tanggal 29 Nopember 1956 oleh Presiden Republik Indonesia, Soekarno dan diundangkan pada tanggal 7 Desember 1956 oleh Menteri Kehakiman, Muljatno dan Menteri Dalam Negeri, Sunarjo.

 

Jadi, Acheh pada tanggal 1 Juli 1956 masih berada dalam wilayah Propinsi Sumatera Utara, sebab Acheh baru dipisahkan dari Propinsi Sumatera Utara menjadi Propinsi Acheh yang otonom pada tanggal 29 Nopember 1956.

 

Nah, berdasarkan dasar hukum inilah mengapa Acheh pada tanggal 1 Juli 1956 bukan propinsi dan bukan otonomi.

 

Ketika Ahmad Sudirman mempelajari RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di Acheh ini, yang paling penting adalah:

 

Pertama, RUU tersebut harus mengacu kepada MoU Helsinki 15 Agustus 2005 sebagai Self-Government atau Pemerintahan Sendiri di Acheh yang bukan propinsi dan tidak bersifat otonomi khusus atau otonomi istimewa.

 

Kedua, RUU tersebut tidak mengacukan kepada UU yang ada sekarang di RI, karena UU yang ada tidak punya referensi hukum tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di Acheh.

 

Ketiga, RUU tersebut tidak mengacu kepada UUD 1945, karena dalam UUD 1945 tidak ada dasar hukum untuk membangun  Pemerintahan Sendiri di Acheh, karena yang ada dalam UUD 1945 adalah seperti yang tertuang dalam Pasal 18B ayat (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Nah, yang dimaksud dengan satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa menurut UUD 1945 adalah satuan pemerintahan daerah oronomi, bukan  Pemerintahan sendiri  sebagaimana yang telah disepakati dalam MoU Helsinki.

 

Jadi, berdasarkan dasar hukum inilah mengapa Ahmad Sudirman membuang semua yang menjadi dasar "Mengingat" dari mulai pasal-pasal dalam UUD 1945 sampai UU lainnya dan untuk gantinya dimasukkan  MoU Helsinki sebagai acuan hukum pembuatan RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di Acheh.

 

Karena kalau ada saja satu UU yang dijadikan referensi  dalam pembuatan RUU  Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri, maka menyimpanglah RUU tersebut dari isi MoU Helsinki yang telah disepakati oleh pihak GAM dan Pemerintah RI.

 

Kemudian Pemerintahan Sendiri di Acheh ini masih punya hubungan dengan Pemerintah Indonesia adalah karena masih adanya enam kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah RI, yaitu kewenangan dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama. Diluar itu Pemerintahan Acheh ini memiliki kewenangan penuh kedalam ditambah kewenangan keluar, kecuali kewenangan keluar dalam hal hubungan luar negeri, misalnya kalau mau mengadakan perjalanan keluar negeri, masih tetap mempergunakan travel dokumen yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI.

 

Sekarang, walaupun Acheh masih kehilangan enam kewenangan, tetapi Acheh sudah merupakan satu negara yang berdiri dengan diatur oleh Pemerintahan Acheh-nya di daerah menurut perbatasan 1 Juli 1956 yang bukan bersifat otonomi dan juga bukan berbentuk propinsi.

 

Jadi bisa dikatakan bahwa Acheh adalah satu negara yang hidup dan berdampingan dengan Negara RI dalam satu wadah yang masih diikat dengan enam tali kewenangan Pemerintah Indonesia, yang bisa juga dikatakan sebagai tali ikatan federasi.

 

Pemerintah Indonesia dan DPR RI tidak lagi bebas untuk mengatur, mengontrol dan menetapkan sesuatu yang ada hubungannya dengan Acheh dan tentang kewenangan diluar enam kewenangan yang dimiliki Pemerintah Indonesia tanpa adanya persetujuan dan kesepakatan dari pihak Pemerintahan Acheh dan Lembaga legislatif Acheh.

 

Nah sekarang, kalau masih ada orang Acheh yang menyatakan bahwa karena pihak Pemerintah Indonesia yang masih menguasai enam kewenangan atas Acheh, sehingga Acheh tetap sebagai daerah yang bersifat otonomi dengan status bentuk propinsi, maka orang Acheh tersebut masih berjalan ditempat dan tidak memahami isi dari MoU Hlsinki.

 

Dan kalau pihak Pemerintah RI dan DPR RI memangkas isi RUU Tentang Pemerintahan Sendiri di Acheh yang mengacu kepada MoU Helsinki ini, maka itu membuktikan bahwa pihak RI memang tidak memiliki alasan fakta, bukti, sejarah dan dasar hukum yang kuat untuk terus memeluk Acheh. Atau dengan kata lain, pihak kelompok unitaris RI takut kehilangan Acheh kalau Acheh benar-benar menjadi bentuk Self-Government atau Pemerintahan Sendiri di Acheh atau Pemerintahan Acheh yang kedudukannya sama dengan RI dan yang mengarah kepada bentuk federasi. Dan nama federasi adalah dianggap sebagai hantu yang menakutkan oleh para pendukung unitaris RI.

 

Inilah penjelasan RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di Acheh yang telah dipelajari dan dirobah oleh Ahmad Sudirman.

 

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

 

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

 

Wassalam.

 

Ahmad Sudirman

 

http://www.dataphone.se/~ahmad

ahmad@dataphone.se

----------

 

Date: Thu, 9 Mar 2006 20:58:03 -0800 (PST)

From: mary aty mary_aam2003@yahoo.com

Subject: Yang Paleng Berhak

To: ahmad@dataphone.se, muzakkir_hamid@yahoo.com, djuli@streamyx.com, bakhtiar59@yahoo.com, teuku@aol.com, beuransah@hotmail.com, shadmar12@yahoo.com, tang_ce@yahoo.com, peusangansb@hotmail.com, husaini54daud@yahoo.com, warzain@yahoo.com

 

Ass. Wr. Wb.

 

Akang Ahmad Sudirman Yth.

 

Sering email akang difawder ke email saya. Akang adalah seorang putra Parahiyangan, sedang saya seorang Putroe Acheh Asli. Sebagai seorang dafter RUU PA versi GAM bersama Nazar, Cs, sekaligus sebagai drafter RUUPA versi Civil Society, saya dibikin bingung oleh pernyataan-pernyataan akang. Saya tahu persis kalau Depdagri bersama Setneg telah memangkas dan menambah draft RUU PA yang diajukan rakyat Acheh. Dan perbuatan mareka telah membuat RUUPA itu menjadi tidak sejalan dan bertentangan dengan dengan MoU. Saya juga tahu persis bahwa apa yang diajukan rakyat Acheh dan dibuat team perumus GAM  bukan konsep Self Goverment yang maksimal atau murni 100 %. Tapi itu adalah konsep Self Government yang menurut kami tidak bertentangan dengan MoU Helsinki. Kami juga telah mengkonsultasikannya dengan beberapa ahli hukum self government dari beberapa negara sperti John Packer dari Kanada, Julian Hottinger dati Swiss, dan dengan Damien Kingbury dari Australia, yang akang sendiri telah kenal siapa mareka mareka. Konsultasi itu dilakukan di Kuala Lumpur bulan Desember lalu.

 

Oke. Akang Ahmad, kalau semua itu bukan konsep Self Government, maka saya minta agar akang mengirim konsep yang benar-benar Self Goverment kepada saya untuk kami bandingkan.

 

Tahukah akang, bahwa ketika rakyat Acheh ajukan konsep SG yang minimal diaduk-aduk Jakarta? Konon lagi jika diajukan konsep yang murni seperti dinginkan akang. Selamat merumuskan RUUPA dengan konsep Self Government murni dan kami rakyat Acheh menunggu kirimannya dan akan kami ajukan ke Jakarta, kepada pemerintah RI, dan

ke DPR RI. Tentu saja setelah dikonsultasikan dengan para Pemimpin Nanggroe dan para pakar SG dari berbagai negara.

 

Teurimeng Geunaseh ateuh perhatian

 

Wassalam

 

Mar

 

mary_aam2003@yahoo.com

Faisalabad, Punjab, Pakistan

----------

 

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR    TAHUN 2006

 

TENTANG

PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN SENDIRI DI ACEH

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.

 

Menimbang       :   a.  Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangi pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia;

b.      bahwa penyelenggaraan pemerintahan sendiri di Aceh baru pertama kali ini wujud sejak sejarah pertumbuhan dan perkembangan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, Republik Indonesia Serikat 27 Desember 1949,  Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar UUDSementara 1950 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar UUD 1945 5 Juli 1959;

c.      bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan sendiri di Aceh, dipandang perlu diberikan kewenangan Pemerintahan sendiri di Aceh sesuai dengan semangat dan butir-butir yang terkandung dalam Nota Kesepahaman Helsinki 15 Agustus 2005 yang diatur dengan undang-undang;

d.      bahwa salah satu karakter khas yang alami di dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh adalah adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi yang bersumber pada pandangan hidup dan karakter sosial kemasyarakatan dengan budaya Islam yang kuat;

e.     bahwa berdasarkan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, dan d, maka perlu ditetapkan Undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di Aceh;

 

Mengingat :

 

Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan  Aceh Merdeka:

1. Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh.

1.1. Undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh

1.1.1. Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006.

 

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

MEMUTUSKAN:

 

Menetapkan :    UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELENGGARAAN

PEMERINTAHAN SENDIRI DI ACEH

 

BAB I

KETENTUAN UMUM

 

Pasal 1

Dalam Undang Undang ini yang dimaksudkan dengan :

1.        Pemerintah Republik Indonesia selanjutnya disebut Pemerintah Indonesia adalah pemegang kekuasaan eksekutif Negara Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden serta para Menteri.

2.       Pemerintahan sendiri di Aceh selanjutnya disebut pemerintahan Acheh adalah Pemerintahan sendiri di wilayah Aceh berdasarkan perbatasan 1 Juli 1956 yang diwujudkan melalui suatu proses demokratis yang jujur dan adil.

3.        Pemerintah Aceh adalah pemegang kekuasaan eksekutif Aceh yang terdiri atas Kepala Pemerintahan Aceh dan perangkat-perangkatnya.

4.        Pemerintah Aceh terdiri dari Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan daerah Kabupaten/Kota.

5.        Kepala Pemerintahan Aceh adalah pemegang kekuasaan eksekutif di Aceh yang menjalankan kekuasaan Pemerintahan sendiri di Aceh.

6.        Kabupaten, adalah Daerah yang berada di bawah Pemerintahan Aceh yang dipimpin oleh Bupati/Kepala Pemerintahan Daerah.

7.        Kota  adalah Daerah yang berada di bawah Pemerintahan Aceh yang dipimpin oleh Walikota. 

8.        Kecamatan adalah perangkat daerah Kabupaten/Kota, yang dipimpin oleh Camat.

9.        Mukim adalah kesatuan masyarakat yang merupakan organisasi pemerintahan  dalam Kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, yang dipimpin oleh Imum Mukim. 

10.    Gampong   adalah kesatuan masyarakat  yang merupakan organisasi pemerintahan terendah yang berada langsung di bawah Mukim  dan menempati wilayah tertentu, yang dipimpin oleh Geuchik serta berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.

11.   Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan rakyat yang berdiri sendiri untuk pelestarian dan penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya serta pemersatu rakyat Aceh.

12.    Legislatif Aceh untuk selanjutnya disebut Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota yang anggota-anggotanya  dipilih melalui pemilihan umum.

13.    Majelis Perwakilan Daerah Aceh selanjutnya disebut MPDA adalah lembaga legislatif Aceh  perwakilan daerah yang berada di wilayah Pemerintahan Aceh yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

14.    Departemen adalah lembaga operasional strategis dan teknis  yang bertugas membantu kepala pemerintahan Aceh

15.    Dinas adalah lembaga operasional teknis yang bertugas membantu kepala daerah kabupaten/kota

16.    Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama adalah lembaga peradilan yang mengadili perkara-perkara yang berkenaan dengan Agama Islam.

17.    Qanun Aceh adalah  peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dengan persetujuan bersama Kepala Pemerintahan Aceh sebagai peraturan pelaksanaan undang-undang ini.

18.   Qanun pada tingkat Kabupaten/Kota adalah produk perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota untuk mengatur hal ikhwal penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat dalam lingkungan Kabupaten/Kota itu.

19.   Partai Politik yang memenuhi persyaratan Nasional dan ada basisnya di Aceh adalah partai  politik nasional sebagai sarana partisipasi politik secara damai dan demokratis melalui pemilihan umum.

20.    Partai Politik Lokal adalah partai politik yang berbasis di Aceh dan hanya untuk di Aceh yang dibentuk dan didirikan di Aceh oleh Rakyat Aceh, sebagai sarana partisipasi politik secara damai dan Demokratis melalui pemilihan umum.  

21.   Rakyat Aceh adalah rakyat yang berasal dari berbagai bangsa yang telah menetap di Aceh secara turun temurun

22.    Penduduk Aceh adalah semua orang yang menurut ketentuan yang  berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di wilayah-wilayah yang ada di Aceh

 

 

BAB II

PEMBAGIAN WILAYAH

Pasal 2

 

(1)    Aceh mencakup seluruh wilayah yang merujuk kepada perbatasan tanggal 1 Juli 1956.

(2)    Batas-batas geografis Aceh adalah di timur berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara, di sebelah barat dan selatan berbatasan dengan  Samudera India dan di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka.

 

Pasal 3

 

(1)      Pemerintahan Aceh dibagi dalam  Kabupaten/Kota.

(2)      Kabupaten/kota  terdiri atas kecamatan-kecamatan.

(3)      Kecamatan  terdiri atas mukim-mukim. 

(4)      Mukim terdiri atas gampong-gampong.

 

 

Pasal 4

 

(1)       Pemerintah Aceh bersama-sama pemerintahan daerah provinsi berbatasan dapat membentuk kawasan-kawasan strategis yang menunjang pertubuhan ekonomi.

(2)       Pemerintah Aceh dan atau bersama-sama Kabupaten/Kota  dapat mengusulkan pembentukan kawasan-kawasan strategis untuk kebutuhan pengembangan ekonomi, konservasi dan lingkungan hidup, cagar budaya dan kebutuhan-kebutuhan strategis lainnya.

(3)       Pembentukan kawasan-kawasan strategis pada ayat (1) dan (2) ditetapkan dengan undang-undang.

 

BAB III

KEWENANGAN PEMERINTAHAN ACEH

 

Pasal 5

 

(1)    Kewenangan Pemerintah Aceh mencakup kewenangan dalam semua sektor publik, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kewenangan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Indonesia.

(2)    Persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait dengan hal ikhwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

(3)    Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

(4)    Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh.

(5)    Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerjasama yang saling menguntungkan  dengan negara lain  atau lembaga/badan luar negeri yang diatur dengan keputusan bersama.

(6)    Pemerintah Aceh berwenang untuk melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh.

(7)    Pemerintah Aceh berwenang untuk melakukan perdagangan bebas dengan semua daerah  bagian Republik Indonesia tanpa hambatan pajak, tarif ataupun hambatan lainnya.

(8)    Pemerintah Aceh berwenang untuk mengakses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing, melalui laut dan udara.

(9)    Pemerintah Aceh berwenang untuk melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh.

(10)Pemerintah Aceh berwenang untuk mengelola sumber daya alam baik yang terdapat di darat maupun di laut teritorial di Aceh.

(11)Pemerintah Aceh berwenang untuk membentuk kawasan pembangunan ekonomi terpadu dan kawasan pembangunan industri terpadu dalam pemberdayaan ekonomi rakyat.

(12)Pemerintah Aceh berwenang untuk membentuk Majelis  Permusyawaratan Ulama, Lembaga Pendidikan Daerah, Majelis Adat Aceh dan Lembaga-lembaga lain sesuai dengan kebutuhan.

(13)Kewenangan Pemerintah Aceh yang tidak diatur dalam undang-undang ini akan diatur dalam qanun.

 

BAB IV

PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN

Pasal 6

 

(1)    Pemerintah Aceh menjalankan kekuasaan pemerintahan sendiri dalam menyelenggarakan semua sektor publik yang menjadi kewenangannya.

(2)    Kewenangan Pemerintah Indonesia yang tidak termasuk kewenangan pemerintah Aceh dapat:

a.   Diselenggarakan sendiri oleh Pemerintah Indonesia;

b.   Dilimpahkan kepada Pemerintah Aceh.

 

Pasal 7

 

(1)    Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria efisiensi, efektivitas, akuntabilitas dan transparansi dengan memperhatikan keserasian hubungan antara susunan pemerintahan.

(2)    Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh dan antara Daerah di wilayah Aceh yang saling terkait dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan.

(3)    Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Aceh yang diselenggarakan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.

 

Pasal 8

 

(1)    Urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah Indonesia kepada Pemerintah Aceh disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, kepegawaian dan lainnya

(2)    Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Pemerintah Aceh disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang dilimpahkan.

 

Pasal 9

 

(1)     Urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Aceh meliputi:

  1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
  2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang.
  3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
  4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
  5. Penanganan bidang kesehatan;
  6. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
  7. Penanggulangan masalah sosial;
  8. Pelayanan bidang penyediaan lapangan kerja dan ketenagakerjaan;
  9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;
  10. Pengendalian lingkungan hidup;
  11. Pelayanan pertanahan;
  12. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
  13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
  14. Pelayanan administrasi penanaman modal;
  15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota; dan
  16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

(2)     Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan khusus Pemerintah Aceh antara lain meliputi:

a.        penyelenggaraan kehidupan beragama dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar-umat beragama;

b.        penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji;

c.        penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya;

d.        penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas, bermoral serta menghargai nilai-nilai hak-hak asasi manusia;

(3)     Urusan pemerintahan Aceh yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata berpotensi meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi, industri, perdagangan dan jasa-jasa yang dapat menembus pasar dunia.

 

Pasal 10

(1)     Urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota meliputi:

  1. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
  2. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
  3. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
  4. penyediaan sarana dan prasarana umum;
  5. penanganan bidang kesehatan;
  6. penyelenggaraan pendidikan;
  7. penanggulangan masalah sosial;
  8. pelayanan bidang penyediaan lapangan kerja dan ketenagakerjaan;
  9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;
  10. pengendalian lingkungan hidup;
  11. pelayanan pertanahan;
  12. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
  13. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
  14. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk;
  15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
  16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

 

(2)     Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan khusus Kabupaten/Kota antara lain meliputi:

  1. penyelenggaraan kehidupan beragama dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar-umat beragama;
  2. penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya;
  3. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas, bermoral dan menghargai nilai-nilai hak-hak asasi manusia;

(3)     Urusan pemerintah Kabupaten/Kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan Daerah yang bersangkutan.

(4)     Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, pasal 5, pasal 6, pasal 7, dan pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Qanun.

 

BAB V

SISTIM DAN SUSUNAN PENYELENGGARA

 PEMERINTAHAN

 

UMUM

Pasal 11

 

(1)    Pemerintahan Aceh berbentuk pemerintahan sendiri dalam wilayah Acheh berdasarkan perbatasan tanggal 1 Juli 1956.

(2)    Penyelenggara Pemerintahan Aceh adalah Kepala Pemerintahan Aceh, Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dan perangkat Pemerintahan Aceh.

(3)    Penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten atau nama lain adalah Bupati atau nama lain, Wakil Bupati dan perangkat pemerintah Kabupaten.

(4)    Penyelenggara Pemerintahan Kota atau nama lain adalah Walikota atau nama lain, Wakil Walikota dan perangkat pemerintah Kota.

(5)    Susunan penyelenggara pemerintahan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (3) dan (4) ditetapkan dengan Qanun Aceh.  

 

 

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DAN MAJELIS PERWAKILAN DAERAH ACEH

Pasal 12

 

(1)    Kekuasaan Legislatif Aceh dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota yang anggotanya dipilih oleh rakyat secara langsung.

(2)    Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota mempunyai fungsi legislasi, penganggaran, pengawasan kebijakan Aceh dan daerah serta penyalur aspirasi rakyat.

(3)    Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota mempunyai hak untuk membentuk alat-alat kelengkapannya sesuai dengan kebutuhan dan kekhususan daerah.

(4)    Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota mempunyai hak untuk membentuk fraksi-fraksi atau gabungan antar fraksi sesuai hasil pemilihan umum.

(5)    Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

 

 

TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

Pasal 13

 

(1)  Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:

a.                               menetapkan Qanun setelah melalui proses pembahasan bersama dengan eksekutif;

b.                               membahas dan menetapkan Qanun  tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintahan Aceh bersama dengan eksekutif;

c.                               melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun  dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di Aceh;

d.                               melaksanakan dengan sungguh-sungguh amanat aspirasi rakyat;

e.                               mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Pemerintahan Aceh serta Wakil Kepala Pemerintahan Aceh kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh serta Majelis Perwakilan Daerah Aceh; Bupati/Walikota serta Wakil Bupati/Walikota kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta kepala pemerintah Aceh;

f.                                memberitahukan kepada Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati/Walikota dan Komisi Pemilihan (KP) tentang akan berakhirnya masa jabatan Kepala dan Wakil Kepala Daerah;

g.                               memilih Wakil Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati/Walikota dalam hal terjadinya kekosongan jabatan Wakil Kepala Daerah;

h.                               memberikan pendapat, pertimbangan, dan persetujuan kepada Pemerintah Aceh terhadap rencana persetujuan internasional;

i.                                 memberikan persetujuan terhadap keputusan pemerintah Indonesia tentang persetujuan-persetujuan Internasional yang terkait dengan hal ikhwal kepentingan khusus Aceh;

j.         memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh;

k.       memberikan pertimbangan terhadap rencana kerjasama antar daerah dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;

l.         meminta laporan pertanggungjawaban Kepala Pemerintahan Aceh dan/atau Bupati/Walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah;

m.     membentuk Komisi Pemilihan (KP);

n.       melakukan pengawasan dan meminta laporan kegiatan dan penggunaan anggaran kepada KP dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala pemerintahan dan Kepala daerah.

o.       Dewan Perwakilan Rakyat Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal Hak-hak Asasi Manusia sebagaimana tercantum dalam konvenan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya.

p.       Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hasil pemilihan umum tahun 2004 untuk masa sidang sampai dengan tahun 2009  tidak berwenang untuk mengesahkan peraturan perundang-undangan apapun tanpa persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.

(2) Melaksanakan kewenangan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

 

 

HAK DAN KEWAJIBAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

Pasal 14

 

(1)     Setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah didalam menjalankan tugas mempunyai hak:

a.        interpelasi;

b.        angket;

c.        budget;

d.        mengajukan rancangan qanun;

e.        mengajukan pertanyaan;

f.         menyampaikan usul dan pendapat;

g.        protokoler;

h.        immunitas;

i.          memilih dan dipilih;

j.          keuangan dan administratif;

k.        hak membela diri.

(2)     Hak-hak sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a, b dan c hanya berlaku untuk Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

(3)     Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh.

 

pasal 15

(1)    Setiap anngota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di dalam menjalankan tugas mempunyai kewajiban:

a.       mengamalkan nilai-nilai Islam;

b.       membangun, mengembangkan dan mendorong kemajuan demokrasi;

c.       menghormati, melindungi dan menegakkan hak-hak asasi manusia sesuai dengan prinsip-prinsip universal hak-hak asasi manusia, termasuk konvenan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya;

d.       menerima dan memperjuangkan aspirasi rakyat;

e.       meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat;

f.        mencerdaskan kehidupan rakyat Aceh;

g.       menghormati dan memberdayakan tradisi atau norma adat dalam masyarakat.

(2)    pelaksanaan kewajiban dimaksud pada ayat (1) diatur dalam tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh.

 

 

MAJELIS PERWAKILAN DAERAH ACEH

Pasal 16

 

(1)    MPDA adalah bagian dari Legislatif Aceh yang anggotanya dipilih oleh rakyat secara langsung untuk mewakili daerah-daerah kabupaten/kota di Aceh.

(2)    MPDA mempunyai fungsi legislasi, penganggaran, pengawasan kebijakan Aceh dan penyalur aspirasi daerah-daerah asal pemilihan.

(3)    Sumber keuangan MPDA berasal dari sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh.

(4)    MPDA mempunyai hak untuk membentuk alat-alat kelengkapannya sesuai dengan kebutuhan.

(5)    Jumlah anggota MPDA untuk masing-masing daerah kabupaten/kota sebanyak 2 (dua) orang.

 

TUGAS DAN WEWENANG MAJELIS PERWAKILAN DAERAH ACEH

Pasal 17

 

MPDA mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:

a.        mengajukan usulan pembuatan Qanun kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh;

b.        menunjuk wakil-wakilnya untuk ikut di dalam proses pembuatan Qanun di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh;

c.        menunjuk wakil-wakilnya untuk ikut didalam proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh;

d.        melakukan pengawasan pelaksanaan pembangunan Aceh;

e.        melakukan pengawasan atas pemasukan/penerimaan dan pengeluaran/ penggunaan hasil pajak dan hak bagi hasil;

f.         hasil pemeriksaan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan dilaporkan kepada MPDA untuk dibahas dan dianalisa untuk digunakan sebagai data pengawasan keuangan Pemerintah Aceh.

 

 

HAK DAN KEWAJIBAN MAJELIS PERWAKILAN DAERAH ACEH

Pasal 18

 

(1)    MPDA mempunyai hak:

a.        menyatakan pendapat;

b.        mengajukan rancangan qanun;

c.        mempunyai hak suara untuk memilih Wali Nanggroe;

d.        mengirim wakil-wakilnya di dalam penyusunan qanun dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

(2)    Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan tata tertib MPDA sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh.

 

Pasal 19

 

(1)    Setiap anggota MPDA di dalam menjalankan tugas mempunyai kewajiban:

a.       mengamalkan nilai-nilai Islam;

b.       membangun, mengembangkan dan mendorong kemajuan demokrasi;

c.       menghormati, melindungi dan menegakkan hak-hak asasi manusia sesuai dengan prinsip-prinsip universal hak-hak asasi manusia, termasuk konvenan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya;

d.       menerima dan memperjuangkan aspirasi rakyat  asal daerah pemlihannya;

e.       meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat;

f.        mencerdaskan kehidupan rakyat Aceh;

g.       menghormati dan memberdayakan tradisi atau norma adat dalam masyarakat.

(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh.

 

 

BADAN EKSEKUTIF

Pasal 20

 

(1)     Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota  dipimpin oleh seorang Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati/Walikota dan Wakil Kepala Pemerintahan Aceh serta Wakil Bupati/Walikota sebagai pemegang kekuasaan eksekutif.

(2)     Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat daerah.

(3)     Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota bertanggung jawab dalam penetapan kebijakan daerah termasuk keamanan, ketertiban, ketenteraman masyarakat dan kesejahteraan sosial.

(4)     Kepala Pemerintahan Aceh bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.

(5)     Wakil Kepala Pemerintahan Aceh bertanggung jawab kepada Kepala Pemerintahan Aceh dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.

(6)     Bupati dan Walikota bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.

(7)     Wakil Bupati dan Wakil Walikota bertanggung jawab kepada Bupati dan Walikota dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.

 

Pasal 21

(1)     Tugas dan wewenang Kepala Pemerintahan Aceh adalah:

a.        menyelenggarakan pemerintahan Aceh sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan sendiri;

b.        memberi persetujuan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan Aceh setelah terlebih dahulu dikonsultasikan dengan pemerintah Aceh;

c.        mengkoordinasi badan-badan daerah dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya masing-masing; 

d.        di dalam hal tertentu dan apabila dibutuhkan dapat mengeluarkan dan menetapkan peraturan-peraturan pemerintah Aceh dan instruksi-instruksi pemerintah Aceh sebagai pengganti Qanun.

(2)     Pelaksanaan tugas dan wewenang Kepala Pemerintahan Aceh selain  dimaksud pada ayat (1) sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh tetap berlaku.

 

Pasal  22

Wakil Kepala Pemerintahan Aceh mempuyai tugas:

a.        membantu Kepala Pemerintahan Aceh dalam melaksanakan kewajibannya;

b.        membantu mengkoordinasikan kegiatan instansi pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota;

c.        melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Pemerintahan Aceh.

 

Pasal  23

Kepala Pemerintahan Aceh mempunyai kewajiban:

a.        mengamalkan nilai-nilai Islam;

b.        menghormati kedaulatan rakyat;

c.        menghormati, melindungi, memenuhi dan menegakkan hak asasi manusia sesuai dengan prinsip-prinsip universal hak-hak asasi manusia;

d.        menegakkan dan melaksanakan seluruh peraturan perundang-undangan;

e.        meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat;

f.          mencerdaskan kehidupan rakyat Aceh;

g.        menghormati dan memberdayakan tradisi atau norma adat dalam masyarakat;

h.        memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;

i.          mengajukan Rancangan Qanun bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh;

j.          menetapkannya sebagai Qanun setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh;

k.        menyelenggarakan pemerintahan dan melaksanakan pembangunan sesuai dengan rancangan pembangunan Aceh  secara bersih, jujur, dan bertanggung jawab;

l.          mengawasi setiap kegiatan eksplorasi/eksploitasi sumber daya alam Aceh dengan membentuk Badan khusus untuk itu;

m.      mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi rakyat Aceh.

 

 

KECAMATAN

Pasal 24

 

(1)     Kecamatan dibentuk di Kabupaten/Kota dengan Qanun.

(2)     Kecamatan dipimpin oleh Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang Bupati atau Walikota untuk menangani urusan pemerintahan di tingkat kecamatan.

(3)     Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Camat juga menyelengarakan tugas umum pemerintahan meliputi:

a.        mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;

b.        mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum;

c.        mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan;

d.        mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;

e.        mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan;

f.         melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan mukim dan gampong;

g.        mendorong kegiatan-kegiatan  yang menunjang pertumbuhan ekonomi dan  kesejahteraan rakyat.

(4)     Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat sesuai perundang-undangan yang berlaku di Aceh untuk dipilih oleh Dewan Kecamatan.

(5)     Camat dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dibantu oleh perangkat Kecamatan dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris  Daerah Kabupaten/Kota.

(6)     Perangkat Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bertanggung jawab kepada Camat.

(7)     Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) ditetapkan dengan peraturan Bupati atau Walikota dengan berpedoman pada Qanun.

 

TATA CARA PEMILIHAN CAMAT

Pasal 25

 

(1)     Seorang Camat dipilih setiap lima tahun sekali melalui pemilihan langsung yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil oleh Dewan kecamatan.

(2)     Dewan kecamatan adalah kumpulan Mukim dalam satu kecamatan.

(3)     Seorang Camat hanya dapat dipilih secara berturut-turut untuk dua periode masa jabatan.

(4)     Seseorang yang dapat ditetapkan menjadi calon Camat adalah rakyat Aceh yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

a.        Beragama Islam;

b.        berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana muda atau D3 atau sederajat;

c.        berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;

d.        sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dari tim dokter;

e.        tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan tindak pidana korupsi;

f.         tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih;

g.        telah memperoleh amnesti atau abolisi dari pemerintah Indonesia bagi orang yang pernah dihukum penjara karena makar atau karena alasan-alasan politik;

h.        tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

 

(5)     Tata cara pemilihan ditetapkan dengan Qanun  sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Aceh.

 

MUKIM

Pasal 26

 

(1)    Dalam pemerintahan daerah Kabupaten/Kota dibentuk pemerintahan Mukim dan Badan Permusyawaratan Mukim.

(2)    Imum Mukim atau nama lain adalah Kepala Pemerintahan Mukim yang dibantu oleh Tuha Peuet Mukim yang dipilih melalui musyawarah Mukim untuk masa jabatan 5 (lima) tahun.

(3)    Kedudukan, tugas dan fungsi, organisasi dan kelengkapan Mukim diatur lebih lanjut dengan Qanun.

 

GAMPONG

Pasal 27

 

(1)    Dalam pemerintahan daerah Kabupaten/Kota dibentuk pemerintahan Gampong dan badan permusyawaratan Gampong.

(2)    Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Gampong dengan memperhatikan asal-usul dan atas prakarsa masyarakat.

(3)    Ketentuan lebih lanjut tentang kedudukan,  fungsi, pembiayaan, organisasi dan perangkat pemerintahan Gampong diatur dengan Qanun.

 

 

BAB VI

PERANGKAT DAN KEPEGAWAIAN

 

PERANGKAT

Pasal 28

 

(1)     Perangkat pemerintah Aceh terdiri atas sekretariat pemerintah, sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, departemen  dan lembaga teknis.

(2)     Segala sesuatu mengenai perangkat pemerintah Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan qanun.

 

Pasal 29

 

Perangkat Kabupaten/Kota terdiri atas Sekretariat daerah, Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, Mukim dan Gampong.

 

LEMBAGA OPERASIONAL STRATEGIS DAN TEKNIS

Pasal 30

 

(1)     Lembaga operasional strategis dan teknis merupakan unsur pendukung tugas Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan Pemerintahan Aceh yang bersifat spesifik berbentuk badan dan kantor.

(2)     Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik berbentuk badan dan kantor.

(3)     Badan dan  kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh kepala badan, kepala kantor  yang diangkat oleh Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati dan Walikota dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris  Daerah.

(4)     Kepala badan dan kantor  sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab kepada Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati/Walikota melalui sekretaris pemerintah Aceh/sekretaris Daerah.

 

 

KEPEGAWAIAN

Pasal 31

 

(1)    Pemerintah Aceh melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil Aceh.

(2)    Segala sesuatu yang terkait dengan kepegawaian negeri sipil diatur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh.

 

 

BAB VII

PEMILIHAN KEPALA DAN WAKIL KEPALA  PEMERINTAHAN ACEH

 

Pasal 32

 

Pemilih adalah orang Aceh atau penduduk Aceh yang berdomisili di Aceh yang berumur 17 (tujuh belas) tahun ke atas atau yang sudah pernah menikah dan tidak sedang dicabut oleh pengadilan hak pilihnya.

 

Pasal 33

 

(1)                                                                                      Pemilih di Aceh, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, mempunyai hak:

a.        memilih Kepala Pemerintahan Aceh dan Bupati/Walikota, serta Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil Bupati/Walikota;

b.        mengawasi proses pemilihan Kepala Pemerintahan Aceh dan Bupati/Walikota, serta Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil Bupati/Walikota;

c.        mengajukan usulan kebijakan pelaksanaan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan daerah kabupaten/kota;

d.        mengajukan usulan penyempurnaan dan perubahan qanun; dan

e.        mengawasi penggunaan anggaran.

 

(2) Hak-hak pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan qanun.

 

Pasal 34

 

(1)    Kepala Pemerintahan Aceh dan wakil Kepala Pemerintahan Aceh, dan Bupati/Walikota, dapat berhenti atau diberhentikan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku di Aceh.

(2)    Seorang Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota  dan Wakil Walikota hanya dapat dipilih secara berturut-turut untuk dua periode masa jabatan.

(3)    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan qanun.

 

 Pasal  35

 

(1)    Calon Kepala Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota dan calon Wakil Kepala Pemerintahan Aceh atau Wakil Bupati/Walikota, yang ikut dalam pemilihan berasal dari partai politik, gabungan partai politik, partai politik lokal dan unsur independen.

(2)    Pemilihan Calon Kepala Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota dan calon Wakil Kepala Pemerintahan Aceh atau Wakil Bupati/Walikota, dipilih dalam satu pasangan secara langsung,  umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

(3)    Calon Kepala Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota dan calon Wakil Kepala Pemerintahan Aceh atau Wakil Bupati/Walikota dengan syarat-syarat:

a.        Mengamalkan nilai-nilai Islam;

b.        Orang Aceh atau rakyat Aceh;

c.        berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana (S-1) atau sederajat;

d.        berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun pada saat pendaftaran;

e.        sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dari tim dokter;

f.          tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan tindak pidana korupsi.

g.        tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih kecuali dalam perkara tindak pidana makar atau politik;

h.        telah memperoleh amnesti atau abolisi dari pemerintah Indonesia bagi orang yang pernah dihukum penjara karena makar atau karena alasan-alasan politik;

i.          tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

 

Pasal 36

 

(1)     Partai politik atau gabungan partai politik atau partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh  atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.

(2)     Calon  independen sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) harus didukung setiap pasangan bakal calon dengan dukungan sekurang-kurangnya 1 % (satu persen) dari jumlah penduduk di daerah pemilihan.

(3)     Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam bentuk daftar dukungan yang ditandatangani oleh pemilih di wilayah pemilihannya dengan melampirkan foto copy Kartu Tanda Penduduk yang sah.

(4)     Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus tersebar sekurang-kurangnya;

a.        setengah (1/2) dari jumlah Kabupaten/Kota untuk pemilihan Kepala Pemerintahan Aceh/Wakil Kepala Pemerintahan Aceh; dan

b.        setengah (1/2) dari jumlah Kecamatan untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota.

(5)     Tata cara perolehan dukungan, diatur dengan Qanun.

 

Pasal 37

 

(1)    Komisi Pemilihan (KP) menyelenggarakan pemilihan Calon Kepala Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota dan calon Wakil Kepala Pemerintahan Aceh atau Wakil Bupati/Walikota, dan bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

(2)    Komisi Pemilihan (KP) menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang penyelenggaraan pemilihan Calon Kepala Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota dan calon Wakil Kepala Pemerintahan Aceh atau Wakil Bupati/Walikota.

(3)    Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membentuk Komisi Pengawas Pemilihan untuk mengawasi penyelenggaraan pemilihan Calon Kepala Pemerintahan Aceh serta Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dan Bupati/Walikota serta calon Wakil Bupati/Walikota,  yang keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, lembaga non pemerintah/lembaga swadaya masyarakat dan tokoh masyarakat.

(4)    Anggota Komisi Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah 7 (tujuh) orang untuk pemilihan pemerintah Aceh, 7 (tujuh) orang untuk pemilihan bupati/walikota dan 3 (tiga) orang untuk pemilihan camat.

(5)    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan Panitia Pengawas Kecamatan berdasarkan usul Panitia Pengawas Kabupaten/Kota.

(6)    Dalam hal tidak didapatkan unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), panitia pengawas kabupaten/kota/kecamatan dapat diisi oleh unsur tokoh agama atau tokoh masyarakat.

(7)    Panitia pengawas pemilihan Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil Kepala Pemerintahan Aceh atau Panitia pengawas pemilihan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota, dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/ Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan berkewajiban menyampaikan laporannya.

(8)    Proses pengawasan jalannya pemilihan Kepala Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota dan calon Wakil Kepala Pemerintahan Aceh atau Wakil Bupati/Walikota selain dilakukan oleh Komisi Pengawasan Pemilihan, juga dapat dilakukan oleh pemantau asing yang telah mendapat akreditasi di Komisi Pemilihan (KP) Aceh.

 

Pasal 38

 

(1)         Pemilihan Calon Kepala Pemerintahan Aceh serta calon Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dan calon Bupati/Walikota serta calon Wakil Bupati/Walikota dilaksanakan melalui masa persiapan dan tahap pelaksanaan.

(2)         Masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

Pemberitahuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada Kepala Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota mengenai berakhirnya masa jabatan;

a.       Pemberitahuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada Komisi Pemilihan Umum  Daerah mengenai berakhirnya masa jabatan Kepala Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota;

b.       Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan;

c.       Pembentukan Panitia Pengawas, Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemilihan Gampong dan Panitia Pemungutan Suara.

d.       Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau;

e.       Tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

f.        Penetapan daftar pemilih;

g.       Pendaftaran dan Penetapan Calon Kepala Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota dan calon Wakil Kepala Pemerintahan Aceh atau Wakil Bupati/Walikota; 

h.       Kampanye;

i.         Pemungutan suara;

j.         Penghitungan suara;

k.       Penetapan pasangan Calon Kepala Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota dan calon Wakil Kepala Pemerintahan Aceh atau Wakil Bupati/Walikota terpilih, pengesahan, dan pelantikan;

l.         Tata cara pelaksanaan masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e diatur Komisi Pemilihan Umum Daerah dengan berpedoman pada Qanun.

 

Pasal 39

 

Tugas, wewenang dan kewajiban Komisi Pemilihan (KP) dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Pemerintahan Aceh serta Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dan Bupati/Walikota serta Wakil Bupati/Walikota adalah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Aceh.

 

Pasal 40

 

Biaya untuk pemilihan Kepala pemerintahan Aceh serta Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dan Kepala Pemerintahan Daerah serta Wakil Kepala Pemerintaan Daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Dearah Kabupaten/Kota.

 

Pasal 41

 

(1)    Pemilihan Kepala Pemerintahan Aceh serta Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dan Bupati/Walikota serta Wakil Bupati/Walikota dilaksanakan melalui tahap-tahap: pencalonan, kampanye, pelaksanaan pemilihan, pengesahan hasil pemilihan dan pelantikan.

(2)    Tahap pencalonan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui:

a.        pendaftaran dan seleksi administratif pasangan bakal calon oleh Komisi Pemilihan (KP);

b.        pemaparan visi dan misi pasangan bakal calon di depan Komisi Pemilihan (KP);

c.        penetapan pasangan bakal calon oleh Komisi Pemilihan (KP);

d.        penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan (KP);

e.        pendaftaran pemilih oleh Komisi Pemilihan (KP) bersama dengan Pemerintah Aceh dan Kabupaten/kota.

 

Pasal 42

 

Pelaksanaan Kampanye:

a.        dilaksanakan selama 14 (empat belas) hari dan berakhir 1 (satu) minggu sebelum hari pemungutan suara;

b.        diselenggarakan oleh tim kampanye yang dibentuk oleh pasangan calon dan didaftarkan pada Komisi Pemilihan (KP);

c.        jadwal pelaksanaan kampanye ditetapkan oleh Komisi Pemilihan (KP) dengan memperhatikan usul dari pasangan calon;

d.        dapat dilaksanakan melalui: pertemuan terbatas; tatap muka dan dialog; media cetak dan elektronik; rapat umum; debat publik/debat terbuka antar calon; dan/atau dalam bentuk kegiatan lain yang tidak melanggar ketentuan perundang-undangan;

e.        penyampaian materi kampanye yang berisi visi, misi dan program pasangan calon kepada masyarakat.

 

Pasal 43

 

(1)    Kepala Pemerintahan Aceh serta Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dan Bupati/Walikota serta Wakil Bupati/Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat.

(2)    Penghitungan suara secara transparan dan terintegrasi dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan (KP).

(3)    Komisi Pemilihan (KP) Aceh menyerahkan ketetapan tentang hasil pemilihan pasangan Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil Kepala Pemerintahan Aceh kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh untuk diproses pengesahan pengangkatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh.

(4)    Komisi Pemilihan (KP) kabupaten/kota menyerahkan ketetapan tentang hasil pemilihan pasangan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota untuk diproses pengesahan pengangkatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh.

 

Pasal 44

 

(1)     Pengesahan pengangkatan pasangan calon Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil Kepala Pemerintahan Aceh terpilih dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari.

(2)     Pengesahan pengangkatan pasangan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota oleh Kepala Pemerintahan Aceh selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari.

(3)     Pasangan calon kepala Daerah dan wakil kepala Daerah kabupaten/kota diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari, kepada Kepala Pemerintahan Aceh berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari Komisi Pemilihan (KP) kabupaten/kota untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan.

 

 

BAB VIII

PARTAI POLITIK

 

Pasal 45

 

(1)    Rakyat Aceh yang berdomisili di Aceh dapat membentuk dan mendirikan  partai-partai politik yang berbasis Aceh serta berkriteria nasional.

(2)    Rakyat Aceh yang berdomisili di Aceh dapat membentuk dan mendirikan partai-partai politik lokal.

(3)    Partai-partai politik sebagaimana disebut dalam ayat (1) dan (2) didirikan dengan akta notaris yang memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga disertai susunan kepengurusan dan selajutnya didaftarkan pada Departemen Hukum dan HAM untuk partai politik sebagaimana disebut dalam ayat (1) dan partai politik sebagaimana disebut dalam ayat (2) didaftarkan pada  Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Aceh.

(4)    Partai politik berbasis Aceh serta berkriteria Nasional sebagaimana dimaksud ayat (1) diatas harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ketentuan yang berlaku bagi partai yang bersifat nasional dan memiliki kantor Dewan Pimpinan Pusat di Aceh.

(5)    Partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus berkedudukan di Aceh dengan syarat-syarat sebagai berikut:

a.       Mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50 % (lima puluh persen) dari jumlah Kabupaten/Kota pada Aceh dan 50 % (lima puluh persen) dari jumlah Kecamatan pada setiap Kabupaten/Kota yang bersangkutan;

b.       Memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang ciri-cirinya tidak mempunyai persamaan dengan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik lain; 

c.       Mempunyai alamat kantor yang tetap dan dapat diverifikasi di tingkat pemerintahan Aceh dan Kabupaten/Kota.

 

Pasal 46

 

(1)     Pengesahan partai politik lokal sebagai badan hukum dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Aceh selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah penerimaan pendaftaran.

(2)     Pengesahan partai politik lokal diumumkan dalam Berita Acara Pemerintahan Aceh (BAPA).

 

Pasal 47

 

Dalam hal terjadi perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, nama, lambang, dan tanda gambar partai politik lokal atau ciri-ciri lainnya maka partai yang bersangkutan harus melakukan pendaftaran kembali ke Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Aceh.

 

 

ASAS DAN CIRI

Pasal 48

 

Asas partai politik dimaksud pasal 46 ayat (1) dan (2) diatas memiliki dasar:

a. Demokrasi;

b. Keadilan;

c. Kesejahteraan;

d. Perdamaian;

e. Islam.

TUJUAN PARTAI POLITIK LOKAL

Pasal 49

 

(1)     Tujuan partai politik lokal adalah:

a.       Memajukan demokrasi bagi Aceh;

b.       Mewujudkan keadilan sosial bagi Aceh;

c.       Meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh;

d.       Memajukan perdamaian;

e.       Menegakkan Hak-hak Asasi Manusia;

f.        Mewujudkan masyarakat yang bernilaikan Islam.

 (2)    Tujuan partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara damai, jujur, adil dan demokratis.

 

 

HAK DAN KEWAJIBAN PARTAI POLITIK LOKAL

Pasal 50

 

(1)     Partai politik lokal berhak :

a.        Memperoleh perlakuan yang sederajat dan adil dari pemerintahan Aceh dan pemerintah Indonesia;

b.        Mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri;

c.        Memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar partainya dari Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Aceh;

d.        Ikut serta dalam pemilihan umum untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

e.        Mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

f.         Mengusulkan pergantian atau pemberhentian antar waktu anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan

g.        Mengusulkan pasangan calon Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil  Kepala Pemerintahan Aceh, calon Bupati/Walikota dan  wakil Bupati/wakil Walikota di Aceh, baik secara mandiri maupun berafiliasi dengan partai politik dan partai politik lokal lain.

(2)     Mekanisme tentang pengajuan pasangan calon Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil  Kepala Pemerintahan Aceh, calon Bupati/Walikota dan  wakil Bupati/wakil Walikota serta calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari partai politik lokal diatur dengan qanun.

 

Pasal 51

 

Partai politik lokal berkewajiban:

a.        Memajukan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh dan pemerintahan daerah;

b.        Memperjuangkan kesejahteraan rakyat Aceh;

c.        Memperjuangkan keadilan sosial;

d.        Memperjuangkan aspirasi rakyat Aceh;

e.        Memelihara dan memajukan perdamaian;

f.         Berpartisipasi dalam pembangunan Aceh di semua sektor;

g.        Menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia;

h.        Melakukan pendidikan politik;

i.          Mensukseskan pemilihan umum di Aceh pada semua tingkat;

j.          Melakukan pendaftaran dan memelihara ketertiban data anggota;

k.        Membuat laporan keuangan secara berkala satu tahun sekali kepada Komisi Pemilihan (KP) Aceh dan Komisi Pemilihan (KP) Daerah setelah di audit oleh akuntan publik;

l.          Memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum dan menyerahkan laporan neraca keuangan hasil audit akutan publik kepada Komisi Pemilihan (KP) Aceh dan Komisi Pemilihan (KP) Daerah paling lambat 6 (enam) bulan setelah hari pemungutan suara.

 

LARANGAN BAGI PARTAI POLITIK

Pasal 52

 

(1)     Partai Politik dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan:

a.       Bendera atau lambang Republik Indonesia;

b.       Lambang lembaga atau lambang Pemerintah Indonesia dan Pemerintahan Aceh;

c.       Nama, bendera, atau lambang negara lain dan nama, bendera, atau lambang lembaga/badan internasional;

d.       Nama dan gambar seseorang; atau

e.       Yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan partai politik lokal dan partai politik berbasis Aceh berkriteria nasional lain.

(2)     Partai politik dilarang:

a.       Melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang Undang ini;

b.       Melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan;

c.       Menerima atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apa pun, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh;

d.       Menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan;

e.       Meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik pemerintahan Aceh, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya, koperasi, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi kemanusian;

f.        Mendirikan badan usaha dan/atau memiliki  saham suatu badan usaha.

 

Pasal 53

 

Hal-hal mengenai keanggotaan dan kedaulatan anggota, kepengurusan, keuangan, pengawasan, pembubaran dan penggabungan, sanksi, serta peradilan partai politik lokal diatur lebih lanjut dengan Qanun.

 

Pasal 54

 

(1)    Dalam pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan kepala pemerintahan di Aceh akan diundang pemantau asing yang bebas untuk menjamin penyelenggaraan proses demokrasi sesuai dengan prinsip-prinsip jujur dan adil.

(2)    Dalam pelaksanaan pemilihan umum lokal pemerintah Aceh dapat meminta bantuan teknis dari pihak asing.

(3)   Dalam dana kampanye harus dinyatakan secara transparan penuh.

(4)    Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud di atas diatur lebih lanjut dengan Qanun.

 

BAB IX

PERENCANAAN PEMBANGUNAN ACEH

 

Pasal 55

 

(1)    Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Aceh disusun perencanaan pembangunan Aceh dengan memperhatikan:

 

a.        Nilai-nilai islami;

b.        Sejarah, adat dan budaya;

c.        Pemberdayaan sumberdaya manusia;

d.        Pelayaanan kesehatan;

e.        Pengembangan pertanian;

f.         Pelestarian lingkungan hidup;

g.        Aspirasi dan partisipasi rakyat;

h.        Kesejahteraan sosial;

i.          Kebutuhan sosial kemasyarakatan;

j.          Pengembangan wilayah;

k.        Pembangunan ekonomi,

l.          Pengembangan industri;

m.      Pengembangan perdagangan;

n.        Pengaturan tata ruang;

o.        Pengembangan sarana dan prasarana.

 

(2)    Tatacara penyusunan perencanaan pembangunan Aceh sebagaimana dimaksudkan ayat (1) diatur dengan Qanun.

 

Pasal 56

 

(1)    Penyusunan Rencana Pembangunan Aceh dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan.

(2)    Tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan Aceh diatur lebih lanjut dengan Qanun.

(3)    Dalam melaksanakan rekonstruksi pasca-tsunami wakil-wakil Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dilibatkan untuk berpartisipasi dalam komisi Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi.

 

BAB X

TENAGA KERJA

 

TENAGA KERJA ACEH

Pasal 57

(1)    Pemerintah Aceh akan memfasilitasi pengembangan dan pemberdayaan tenaga kerja dengan mendirikan sentra-sentra pelatihan tenaga kerja profesional.

(2)    Pemerintah Aceh akan menciptakan lapangan kerja dengan mempercepat pertumbuhan industri dan pembangunan di berbagai sektor.

(3)    Pemerintah Aceh berwenang mengeluarkan izin pendirian badan usaha jasa tenaga kerja Aceh untuk pengiriman tenaga kerja profesional ke luar negeri.

(4)    Pemerintah Aceh akan memberi perlindungan bagi tenaga kerja Aceh yang bekerja di luar negeri bekerjasama dengan pemerintah negara di mana tenaga kerja Aceh tersebut bekerja.

(5)    Pemerintah Aceh akan bekerjasama dengan badan usaha jasa tenaga kerja Aceh untuk memberi perlindungan bagi tenaga kerja Aceh yang bekerja diluar negeri.

(6)    Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud di atas diatur lebih lanjut dengan Qanun.

 

TENAGA KERJA ASING

Pasal 58

 

(1)                                                                                                                Pemerintah Aceh berwenang untuk mengeluarkan izin tenaga kerja asing yang akan bekerja di Aceh.

(2)                                                                                                                Penempatan tenaga kerja asing  di Aceh hanya diperbolehkan untuk posisi jabatan atau pekerjaan tertentu yang tenaga atau keahlian dibidang pekerjaan tertentu tersebut masih terbatas di Aceh.

(3)                                                                                                                Pemerintah Aceh akan memberi perlindungan bagi tenaga kerja asing yang bekerja di Aceh, bekerja sama dengan Pemerintah asing negara asal pekerja asing tersebut.

(4)                                                                                                                Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud di atas diatur lebih lanjut dengan Qanun.

 

TENAGA KERJA LUAR ACEH

Pasal 59

 

(1)                                        Tenaga kerja luar Aceh adalah tenaga kerja yang berasal dari wilayah-wilayah Indonesia di luar Aceh.

(2)                                        Setiap tenaga kerja yang dimaksud dalam ayat (1) di atas harus terdaftar pada departemen tenaga kerja Aceh.

(3)                                        Pemerintah Aceh akan memberi perlindungan bagi tenaga kerja luar Aceh yang bekerja di Aceh, bekerja sama dengan Pemerintah provinsi asal tenaga kerja tersebut. 

(4)                                        Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud di atas diatur dengan Qanun.

 

ORGANISASI TENAGA KERJA

Pasal 60

 

(1)    Pemerintah Aceh menjamin hak pekerja di Aceh untuk mendirikan organisasi-organisasi pekerja di Aceh.

(2)    Anggota organisasi pekerja sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat terdiri dari tenaga kerja Aceh, tenaga kerja luar Aceh dan tenaga kerja asing.

(3)   Organisasi-organisasi pekerja di Aceh dapat secara bersama membentuk organisasi yang bersifat pusat di Aceh.

  

 

BAB X

 

KEUANGAN

Pasal 61

 

(1)     Penyelenggaraan tugas Pemerintah Aceh dan pemerintahan daerah Kabupaten/kota dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Republik Indonesia.

(2)     Penyelenggaraan tugas Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh.

(3)     Penyelenggaraan tugas Pemerintah Kabupaten/kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

 

PAJAK

Pasal 62

 

(1)     Pemerintah Aceh berhak menetapkan jenis-jenis pajak yang berlaku di Aceh.

(2)     Pemerintah Aceh berhak menetapkan nilai setiap jenis pajak yang berlaku di Aceh.

(3)     Pemerintah Aceh berhak memungut setiap jenis pajak yang ditetapkan.

(4)     Pemerintah Aceh berhak menggnakan hasil pajak yang dipungut untuk membiayai kegiatan-kegiatan pembangunan Aceh.

 

Pasal 63

 

(1)     Sumber penerimaan Pemerintah Aceh meliputi :

a.       Pendapatan asli Aceh dan daerah kabupaten/kota;

b.       Dana bagi hasil;

c.       Penerimaan Pemerintah Aceh dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Aceh;

d.       Pinjaman pemerintah Aceh;

e.       Lain-lain penerimaan yang sah.

(2)     Sumber Pendapatan Asli Aceh dan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri dari:

a.       Pajak Aceh;

b.       Retribusi Aceh;

c.       Hasil perusahaan milik Aceh dan penyertaan modal Aceh;

d.       Hasil pengelolaan kekayaan  Aceh lainnya; dan lain-lain pendapatan Aceh yang sah.

(3) Dana bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah dana bagi hasil bagian Pemerintah Aceh dan daerah Kabupaten/Kota, terdiri atas:

m.     Bagi hasil pajak;

n.       Pajak bumi dan bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen);

o.       Biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen);

p.       Pajak penghasilan pribadi dan badan usaha sebesar 40% (empat puluh persen);

q.       Bagi hasil sumber daya alam, pemerintah Aceh mendapat;

                        1)      Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen)

                        2)      Kelautan dan perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen)

                        3)      Pertambangan minyak bumi sebesar 70% (tujuh puluh persen)

                        4)      Pertambangan gas alam sebesar 70% (tujuh puluh persen)

                        5)      Pertambangan lain sebesar 80% (delapan puluh persen) dari hasil bersih eksplorasi/eksploitasi sumber daya alam dimaksud.

r.       Pemerintah Aceh berhak mendapatkan dana alokasi umum sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN Republik Indonesia; 

s.       Pemerintah Aceh berhak mendapatkan dana alokasi khusus yang dialokasikan dari APBN Republik Indonesia termasuk dana reboisasi sebesar 40% (empat puluh persen).

 

Pasal 64

 

(1)    Pemerintah Aceh dapat menerima bantuan dari luar negeri secara langsung setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

(2)    Pemerintah Aceh dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri dan atau luar negeri untuk membiayai sebagian anggarannya.

(3)    Pinjaman dari sumber dalam negeri harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

(4)    Pinjaman dari sumber luar negeri untuk pemerintah Aceh harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

(5)    Pemerintah Aceh berhak menetapkan tingkat suku bunga yang berbeda dengan yang ditetapkan Bank Sentral Indonesia.

(6)    Pemerintah Aceh berhak mendapat bunga maksimal 5% (lima persen) pertahun baik dari sumber pemerintah Indonesia maupun dari luar negeri.

(7)    Pemerintah Aceh melakukan pengumpulan dan pengalokasian pendapatan antara Aceh dan Pemerintah Indonesia secara transparan yang diverifikasi oleh auditor independen serta profesional yang diminta oleh Pemerintah Aceh dan menyampaikan hasil-hasilnya kepada pemerintah Indonesia. 

(8)    Hasil sumberdaya alam Aceh dikumpulkan dan dikelola oleh Pemerintah Aceh.

(9)    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam qanun.

 

Pasal 65

 

Penerimaan, pengelolaan serta penyaluran zakat, infaq, wakaf dan sedekah dikelola oleh Baital Mal yang diatur dalam qanun.

 

Pasal 66

 

Tata cara penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh  dan Daerah, perubahan, perhitungan, pertanggungjawaban dan pengawasannya diatur dengan Qanun.

 

Pasal 67

 

Pemerintah Indonesia berkewajiban menyampaikan data dan informasi mengenai penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari Aceh kepada Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh setiap tahun anggaran.

 

PENANAMAN MODAL

Pasal 68

 

(1)     Pemerintah Aceh dapat melakukan penanaman modal pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Republik Indonesia berbasis sumber daya alam dan perusahaan-perusahaan swasta yang berdomisili dan/atau beroperasi di wilayah Aceh melalui anggaran sendiri dan/atau dana hibah.

(2)     Pemerintah Aceh dapat melakukan kerjasama penanaman modal dengan pemerintah asing maupun swasta asing baik yang beroperasi di Aceh, dalam negeri maupun di negara asing.

(3)     Pemerintah Aceh dapat memasukkan hak penguasaan atas sumber daya alam sebagai saham untuk mengekplorasi sumber daya alam dengan mempertimbangkan hal-hal yang menguntungkan.

(4)     Penanaman modal dengan sumber dana hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemberian hibah saham pemerintah pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Republik Indonesia kepada Pemerintah Aceh.

(5)     Pemerintah Indonesia setiap tahun memberikan sebagian keuntungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Republik Indonesia yang hanya beroperasi di wilayah Aceh yang besarnya ditetapkan bersama antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Aceh.

(6)     Setiap Penanaman modal oleh Pemerintah Aceh harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

(7)     Tata cara penanaman modal pemerintah Aceh diatur dengan Qanun.

 

Pasal 69

 

Pengelolaan belanja oleh pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota dari sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan dari sumber luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh / Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Pasal 70

 

Masyarakat dan/atau perorangan dapat berperan dalam pengawasan atas pengelolaan pendapatan dan belanja oleh pemerintah Aceh dan pemerintah daerah Kabupaten/Kota.

 

 

BAB XI

PEREKONOMIAN

 

Pasal 71

 

(1)          Perekonomian Aceh diarahkan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, keadilan, pemerataan, partisipasi rakyat  dan efisiensi.

(2)          Usaha-usaha perekonomian di Aceh yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak rakyat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan.

(3)          Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh menerapkan secara sungguh-sungguh prinsip-prinsip transparansi dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya yang ada di Aceh.

(4)          Setiap pelaku bisnis di Aceh dapat membentuk organisasi, asosiasi profesi, dan asosiasi bisnis yang berbasis lokal dan mandiri.

(5)          Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan qanun.

Pasal 72

 

(1) Setiap pengelolaan sumber daya alam Aceh harus mendapat izin dari Pemerintah Aceh.

(2) Pemerintah Aceh berkewenangan sepenuhnya dalam menentukan kebijakan-kebijkan tentang pengelolaan sumber daya alam.

(3) Eksploitasi sumber daya alam yang tak terbarui  wajib dikompensasi dengan melakukan investasi yang seimbang nilainya  oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh untuk pembangunan bidang ekonomi rakyat, pendidikan dan kesehatan.

 

Pasal 73

 

(1)    Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh mengalokasikan dana yang cukup untuk pembangunan bidang energi di Aceh.

(2)    Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh mengalokasikan dana yang cukup untuk riset, pembangunan dan pengembangan energi alternatif yang bersih dan berkelanjutan dengan memanfaatkan secara optimal potensi yang ada.

 

PERIKANAN DAN KELAUTAN

Pasal 74

 

(1)                                                                                                                Pemerintah Aceh mengelola sumber daya alam yang terdapat di permukaan dan bawah permukaan laut, di dasar laut dan di bawah dasar laut dalam kawasan laut pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif  (ZEE).

(2)                                                                                                                Pemerintah Aceh memiliki kewenangan penuh untuk mengelola sumber daya alam di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut.

(3)                                                                                                                Pemerintah Aceh memiliki kewenangan untuk mengatur administrasi dan perizinan penangkapan dan/ atau pembudidayaan ikan.

(4)                                                                                                                Pemerintah Aceh memiliki kewenangan dalam hal pengaturan tata ruang wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil.

(5)                                                                                                                Pemerintah Aceh memiliki kewenangan dalam hal penegakkan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan atas wilayah laut  yang menjadi kewenangannya.

(6)                                                                                                                Pemerintah Aceh memiliki kewenangan memelihara hukum adat laut dan keamanan laut.

(7)                                                                                                                Pemerintah Aceh memiliki kewenangan menerbitkan izin penangkapan ikan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

(8)                                                                                                                Pengelolaan sumber daya alam di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup.

(9)                                                                                                                Tata cara mengenai Kelautan dan perikanan diatur lebih lanjut dalam  Qanun.

 

 

PERDAGANGAN DAN INVESTASI

Pasal 75

 

(1)     Pemerintah Aceh dan Rakyat Aceh berhak untuk melakukan perdagangan bebas dengan daerah-daerah lain yang berada dalam wilayah negara Republik Indonesia melalui darat, laut dan udara, tanpa hambatan pajak, tarif atau hambatan lainnya.

(2)     Pemerintah Aceh dan Rakyat Aceh berhak melakukan perdagangan dengan negara asing melalui darat, laut dan udara.

(3)     Pemerintah Aceh dan Rakyat Aceh dapat melakukan hubungan perdagangan langsung tanpa hambatan dengan negara-negara asing.

(4)     Pemerintah Aceh dapat secara langsung bergabung dalam organisasi-organisasi perdagangan Internasional.

(5)     Perusahaan-perusahaan dan badan-badan usaha yang didirikan di Aceh dengan semua klasifikasinya disertifikasi oleh Pemerintah Aceh

(6)     Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud di atas diatur lebih lanjut dengan Qanun

 

Pasal 76

 

(1)     Pemerintah Aceh berwenang sepenuhnya untuk mengatur dan mengelola Kawasan Bebas Sabang sebagai  Kawasan Perdagangan  yang bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah dan cukai;

(2)     Pemerintah Aceh berhak atas fasilitas perdagangan bebas terhadap barang-barang tertentu dari Kawasan Sabang.

(3)     Penentuan jenis dan jumlah barang tertentu untuk kebutuhan Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan bersama oleh Kepala Pemerintahan Aceh dan Pemerintah setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

(4)     Pemerintah Aceh dapat membuka kawasan-kawasan perdagangan bebas lain dalam Wilayah Aceh untuk memajukan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan Rakyat.

(5)     Pemerintah Aceh berwenang sepenuhnya untuk mengatur dan mengelola kepariwisataan di wilayah Aceh 

(6)     Peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Qanun.

 

Pasal 77

 

(1)                                                               Pemerintah Aceh dapat membangun pelabuhan laut dan pelabuhan udara beserta sarananya dalam wilayah Aceh.

(2)                                                               Pemerintah Aceh mempunyai kewenangan penuh dalam hal pengaturan dan pengelolaan pelabuhan laut dan pelabuhan udara beserta sarananya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

 

Pasal 78

 

(1)     Pemerintah Aceh berhak mengeluarkan semua izin yang terkait dengan investasi dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Aceh.

(2)     Pemerintah Aceh berwenang untuk mengatur:

a.        Hak eksplorasi dan eksploitasi sumber daya hidrokarbon dan pertambangan umum lainnya;

b.        Hak pengelolaan hasil hutan;

c.        Izin pemanfaatan kayu;

d.        Hak pengusahaan hutan (HPH);

e.        Hak guna usaha (HGU);

f.         Izin hak pelepasan kawasan hutan;

g.        Izin penangkapan ikan;

h.        Izin penggunaan operasional kapal ikan dalam segala jenis dan ukuran;

i.          Hak guna bangunan (HGB);

j.          Hak penggunaan air permukaan dan air laut;

k.        Penggunaan frekuensi komunikasi;

l.          Penggunaan wilayah udara;

m.      Penggunaan wilayah laut.

(3)     Pemberian izin dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan, serta berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Majelis Perwakilan Daerah Aceh.

(4)     Ketentuan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam sebagaimana diatur dalam ayat (2) dinyatakan tidak berlaku di Aceh.

(5)     Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Qanun.

 

 

BAB  XII

KERJASAMA DAN PARTISIPASI INTERNASIONAL

 

Pasal 79

 

(1)    Pemerintah Aceh dapat bekerjasama secara langsung dengan badan-badan Perserikatan Bangsa-bangsa tertentu dan badan-badan dunia lainnya.

(2)    Pemerintah Aceh dapat menjadi anggota dari badan-badan Perserikatan Bangsa-bangsa tertentu dan badan-badan dunia lainnya.

(3)    Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam event-event seni, kebudayaan dan olah raga internasional.

(4)    Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Qanun.

 

BAB  XII

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN LINGKUNGAN HIDUP

 

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Pasal  80

 

(1)    Pembangunan Aceh dilaksanakan secara berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup serta kemakmuran rakyat Aceh.

(2)    Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyusun dan melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan harus selalu memperhatikan, menghormati, melindungi dan memenuhi serta menegakkan hak-hak rakyat Aceh.

(3)    Rakyat Aceh berhak untuk terlibat secara aktif dalam penyelenggaraan pembangunan yang berkelanjutan di Aceh.

(4)    Tata cara keterlibatan rakyat Aceh dalam penyelenggaraan pembangunan yang berkelanjutan di Aceh diatur lebih lanjut dalam qanun.

 

Pasal 81

 

Pembangunan di Aceh dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, manfaat, keadilan dan kesejahteraan  dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.

 

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAN SUMBER DAYA ALAM

Pasal  82

 

(1)    Kedaulatan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam berada di tangan rakyat Aceh.

(2)    Pemerintah Indonesia, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi serta menegakkan hak-hak rakyat Aceh terkait pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam.

(3)    Rakyat Aceh berhak untuk terlibat secara aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam di Aceh.

(4)    Tata cara keterlibatan rakyat Aceh dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam di Aceh diatur dalam qanun.

 

Pasal  83

 

(1)          Pemerintah Aceh berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk.

(2)          Pemerintah Aceh berkewajiban mengelola kawasan lindung untuk melindungi keanekaragaman hayati dan proses ekologi terpenting.

(3)          Pemerintah Aceh wajib mengikutsertakan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.

(4)          Pemerintah Aceh dapat membentuk lembaga yang berdiri sendiri untuk penyelesaian sengketa lingkungan.

(5)          Penyelesaian sengketa lingkungan dapat ditempuh melalui jalur pengadilan atau diluar pengadilan

(6)          Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Qanun

 

BAB XIII

 

KERJASAMA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Pasal 84

 

(1)            Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama dengan daerah lain yang ada dalam wilayah Republik Indonesia dalam menyelesaikan perselisihan bersifat kepentingan publik.

(2)            Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat dengan menciptakan efisiensi.

(3)            Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Qanun.

 

 

BAB XIV

 

PENDIDIKAN

Pasal 85

 

 (1)            Pendidikan Aceh diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai budaya dan kemajemukan bangsa.

 (2)            Setiap penduduk Aceh berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

 (3)            Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna serta sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

 (4)            Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

 

Pasal 86

 

 (1)            Pemerintah Aceh  dan Kabupaten/Kota bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis  pendidikan yang islami. 

 (2)            Pemerintah Aceh  dan Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan umum tentang pendidikan formal dan lembaga pendidikan dayah dalam hal kurikulum inti dan standar mutu bagi semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan.

 (3)            Pemerintah Aceh  dan Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan pengembangan perguruan tinggi, kurikulum dan standar kualitas pada semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan.

 (4)            Pemerintah Aceh dapat bekerjasama secara langsung dengan pemerintah/lembaga pendidikan asing secara langsung.

 (5)            Setiap rakyat Aceh berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Pasal 87

 

(1)     Pemerintah Aceh  dan Kabupaten/Kota mengalokasikan dana bagi penyelenggaraan pendidikan formal dan dayah/pesantren minimal 30% (tiga puluh persen) dari pendapatan publik atau belanja pembangunan setiap tahun anggaran yang diatur dalam Qanun.

(2)     Dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan untuk peningkatan tunjangan fungsional guru, tenaga pendidik dan dosen sebesar 30% (tiga puluh persen).

(3)     Alokasi dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperuntukkan untuk pendidikan kedinasan dan pendidikan-pendidikan lain diluar  pendidikan formal dan dayah.

(4)     Laporan pertanggungjawaban alokasi dana pendidikan harus dilakukan dalam suatu pertanggungjawaban khusus di luar pertanggungjawaban anggaran belanja publik atau belanja pembangunan, sebagai laporan pertanggungjawaban khusus kepala Pemerintahan Aceh.

 

Pasal 88

 

(1)     Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan kesempatan luas kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha yang memenuhi syarat untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu.

(2)     Untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan bermutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Aceh membentuk Lembaga Penelitian dan Pengembangan  Pendidikan.

(3)     Bahasa Aceh, bahasa Arab dan bahasa Inggris disamping bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa yang dipakai di semua jenjang pendidikan di Acheh.

 

Pasal 89

 

(1)          Penyelenggara pendidikan di Aceh wajib memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang pendidikan.

(2)          Penyelenggara pendidikan dayah/pesantren wajib memenuhi standar akreditasi yang ditetapkan oleh pemerintah Aceh.

(3)                                        Penetapan standar akreditasi  sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan qanun.

Pasal 90

 

(1)                Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh memberi akses kepada peserta didik untuk mendapatkan pelayanan pendidikan oleh tenaga-tenaga profesional dari dalam dan luar negeri.

(2)                Penyelenggara pendidikan di Aceh dapat bekerjasama dengan lembaga pendidikan dari dalam dan luar negeri.

 

Pasal 91

 

(1)     Pemerintah Aceh wajib  memperkuat fungsi dan peran Majelis Pendidikan Daerah.

(2)     Majelis Pendidikan Daerah menjalankan fungsi-fungsi:

a.        berpartisipasi aktif dalam  perencanaan pembangunan pendidikan di Aceh;

b.        menetapkan standar akreditasi dan melakukan evaluasi terhadap mutu pendidikan di Aceh.

 

Pasal 92

 

(1)        Rakyat Aceh yang berusia 7 (tujuh) sampai 15 (lima belas) tahun berhak memperoleh pendidikan dasar dan menengah hingga sekolah lanjutan tingkat pertama tanpa pungutan biaya apapun.

(2)        Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mengalokasikan dana yang cukup untuk membiayai pendidikan dasar dan menengah hingga sekolah lanjutan tingkat pertama.

(3)        Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengutamakan pelayanan pendidikan gratis kepada kelompok masyarakat yang tidak mampu sampai jenjang pendidikan sekolah menengah atas.

(4)        Pengelolaan dana pendidikan gratis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Qanun.

 

Pasal 93

 

Pemerintah Aceh mengkoordinasikan penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan tinggi swasta di Aceh.

Pasal 94

(1)    Pemerintah Aceh membangun dan mengembangkan lembaga penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2)    Pemerintah Aceh wajib mengalokasikan dana untuk menyelenggarakan penelitian, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam setiap tahun anggaran.

 

Pasal 95

 

(1)     Pemerintah Aceh akan selalu memperhatikan dan meningkatkan standar mutu pendidikan pada semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pembiayaan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar penilaian pendidikan dan standar pengelolaan.

(2)     Pengembangan standar pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan organisasi profesi yang relevan, dunia usaha, lembaga masyarakat dan unsur lembaga kependidikan yang terkait.

(3)     Rincian standar pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun.

 

Pasal 96

 

Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh  memberi akses ke luar negeri untuk mendapatkan tenaga-tenaga ekspatriat, konsultan pendidikan internasional dan membangun sekolah-sekolah internasional.

 

BAB XV

KESEHATAN

 

Pasal 97

 

(1)          Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota menetapkan dan meningkatkan standar mutu kesehatan dan memberikan pelayanan kesehatan rakyat Aceh secara baik.

(2)          Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota mencegah dan menanggulangi segala jenis penyakit endemi dan/atau penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk.

(3)          Pemerintah Aceh berkewajiban untuk berupaya memberikan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma kepada rakyat Aceh.

(4)          Pemerintah Aceh memberi pelayanan kesehatan cuma-Cuma kepada rakyat yang tidak mampu.

(5)          Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota melaksanakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2) dan (3) dengan memberikan peran kepada lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat serta dunia usaha yang memenuhi persyaratan untuk itu.

(6)          Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengalokasikan pembiayaan kesehatan minimal 15% (lima belas persen) dari  jumlah pendapatan daerah.

(7)          Dana kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dialokasikan untuk peningkatan tunjangan fungsional paramedis sebesar 30% (tiga puluh persen).

(8)          Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud diatas di atur lebih lanjut dengan qanun.

 

Pasal 98

 

(1)          Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota merencanakan dan melaksanakan program-program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk dan pelaksanaannya dapat melibatkan lembaga keagamaan, lembaga pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan.

(2)          Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam qanun.

 

Pasal 99

 

(1)    Standar mutu kesehatan pada semua tingkatan meliputi standar administrasi, informasi dan menajemen, standar pelayanan dan obat, standar pembiayaan, standar sarana dan prasarana serta standar kualifikasi dan kompetensi tenaga medis.

(2)    Pengembangan standar kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan organisasi profesi yang relevan, dunia usaha, lembaga masyarakat dan unsur lembaga kesehatan yang terkait.

(3)    Rincian standar kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan qanun.

 

 

BAB XVI

 

Pasal 100

PERTAHANAN KEAMANAN

 

(1)    Tentara Nasional Indonesia (TNI) bertanggung jawab untuk menjaga pertahanan eksternal Aceh.

(2)    Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Aceh terdiri dari TNI organik.

(3)    Penempatan Tentara Nasional Indonesia di Aceh dilakukan dengan terlebih dahulu dikonsultasikan dengan pemerintah Aceh.

(4)    Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Aceh berkewajiban menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta menghormati budaya dan adat istiadat Aceh.

                            

 

BAB XVII

 

IDENTITAS DAN KEPENDUDUKAN

Pasal 101

 

(1)    Orang Aceh adalah orang yang berasal dari berbagai bangsa dan etnik yang telah menetap di Aceh secara turun-temurun dan atau telah bertempat tinggal di luar Aceh.

(2)    Rakyat Aceh adalah orang-orang yang berasal dari berbagai bangsa dan etnik yang telah menetap di Aceh secara turun-temurun dan atau telah bertempat tinggal di luar Aceh.

(3)    Orang yang salah satu orang tuanya orang Aceh adalah orang Aceh.

(4)    Orang yang bukan orang Aceh atau rakyat Aceh yang telah menetap secara terus menerus selama 20 (dua puluh) tahun di Aceh adalah orang Aceh atau rakyat Aceh.

(5)    Penduduk Aceh adalah setiap orang yang bertempat tinggal secara menetap di Aceh.

(6)    Setiap penduduk Aceh yang telah dewasa akan diberikan kartu identitas.

(7)    Pengaturan tentang identitas dan kependudukan diatur dalam qanun.

 

   

BAB XVIII

 

PERTANAHAN

Pasal 102

 

(1)    Orang Aceh berhak untuk memiliki hak milik atas tanah di Aceh.

(2)    Penduduk Aceh yang bukan orang Aceh hanya memiliki hak guna usaha dan guna bangunan atas tanah di Aceh.

(3)    Penduduk Aceh yang bukan orang Aceh atau rakyat Aceh baru dapat memiliki hak milik atas tanah apabila setelah menetap secara terus–menerus selama 20 (dua puluh ) tahun di Aceh.

(4)    Pengaturan selanjutnya akan diatur dalam qanun.

 

 

BAB XIX

 

KEHUTANAN

Pasal 103

 

(1)    Pemerintah Aceh berkewajiban memelihara dan melestarikan hutan dan segala jenis satwa di dalamnya.

(2)    Pemerintah Aceh berkewajiban melakukan reboisasi hutan di Aceh secara berkesinambungan.

(3)    Pemerintah Aceh berhak memberi izin pengelolaan hutan dengan memperhatikan dan mematuhi ketentuan tentang lingkungan hidup.

(4)    Ketentuan tentang pengelolaan hutan lebih lanjut akan diatur dalam qanun.

 

 

BAB XX

 

PERKEBUNAN

Pasal 104

 

(1)                Pemerintah Aceh akan mengembangkan usaha perkebunan rakyat, swasta, koperasi dan sentra-sentra usaha kecil menengah lainnya.

(2)                Pemerintah Aceh mendorong percepatan usaha perkebunan swasta.

(3)                Pemerintah Aceh akan mendorong investor swasta untuk menanamkan modal dibidang perkebunan.

(4)                Investor swasta memprioritaskan penglibatan masyarakat setempat sebagai bagian dari usahanya.

(5)                Pemerintah Aceh berwenang memberi dan  mengeluarkan izin usaha perkebunan dengan memperhatikan aspek-aspek lingkungan hidup.

(6)                Ketentuan tentang pengelolaan perkebunan dimaksud diatur lebih lanjut dalam qanun.

.

BAB XXI

 

PERTANIAN

Pasal 105

 

(1)    Pemerintah Aceh melakukan pengembangan zona pertanian di Aceh.

(2)    Dalam rangka pengembangan zona pertanian pemerintah Aceh akan mendorong pertumbuhan industri pertanian.

(3)    Pemerintah Aceh akan mendorong investor swasta untuk menanamkan modal dibidang pertanian.

(4)    Investor swasta memprioritaskan penglibatan masyarakat setempat sebagai bagian dari usahanya.

(5)    Pemerintah Aceh akan membangun infrastruktur untuk mendukung percepatan pengembangan zona pertanian.

(6)    Ketentuan tentang pengelolaan dan pengembangan zona pertanian dimasud akan diatur lebih lanjut dalam qanun. 

 

 

BAB  XXII

PERHUBUNGAN

 

PERHUBUNGAN LAUT

Pasal 106

 

(1)    Pemerintah Aceh berhak untuk melaksanakan pembangunan semua pelabuhan laut di Aceh.

(2)    Pemerintah Aceh berhak sepenuhnya untuk menjalankan dan mengelola pelabuhan-pelabuhan laut di Aceh.

(3)    Pemerintah Aceh dapat melakukan kerjasama dengan pemerintah atau investor swasta asing di dalam membangun dan mengelola pelabuhan laut di Aceh.

(4)    Pembangunan dan pengembangan pelabuhan laut di Aceh untuk memajukan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh.

(5)    Pemerintah Aceh berwenang mengelola dan menjalankan administrasi pengapalan.

(6)    Pemerintah Aceh di dalam mengelola pelabuhan-pelabuhan laut di Aceh dapat melakukan hubungan internasional secara langsung.

(7)    Pemerintah Aceh berhak membuka jalur pelayaran internasional.

(8)    Ketentuan mengenai perhubungan laut dimaksud akan diatur dalam qanun.

 

PERHUBUNGAN UDARA

Pasal 107

 

(1)    Pemerintah Aceh berhak untuk melaksanakan pembangunan semua pelabuhan udara  di Aceh.

(2)    Pemerintah Aceh berhak sepenuhnya untuk menjalankan dan mengelola pelabuhan-pelabuhan udara di Aceh.

(3)    Pemerintah Aceh dapat melakukan kerjasama dengan pemerintah atau investor swasta asing di dalam membangun dan mengelola pelabuhan udara di Aceh.

(4)    Pembangunan dan pengembangan pelabuhan udara di Aceh untuk memajukan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh.

(5)    Pemerintah Aceh berwenang mengelola dan menjalankan administrasi penerbangan.

(6)    Pemerintah Aceh di dalam mengelola pelabuhan-pelabuhan udara di Aceh dapat melakukan hubungan internasional secara langsung.

(7)    Pemerintah Aceh berhak membuka jalur penerbangan internasional.

(8)    Ketentuan mengenai perhubungan laut dimaksud akan diatur lebih lanjut dengan qanun.

 

BAB  XXIII

SEJARAH, SOSIAL DAN BUDAYA

 

SEJARAH

Pasal 108

 

(1)     Pemerintah Aceh melindungi dan melestarikan situs, literatur, dokumen sejarah, kebudayaan dan peradaban Aceh.

(2)     Pemerintah Aceh berkewajiban menyusun ulang dokumentasi sejarah Aceh yang musnah akibat usia, bencana alam dan merawatnya sebagai warisan  Aceh.

(3)     Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh berkewajiban mencari kembali dan mengembalikan ke Aceh benda-benda sejarah Aceh yang hilang atau dipindahkan dari Aceh dan merawatnya sebagai warisan sejarah Aceh.

(4)     Pemerintah Aceh dapat membentuk badan atau lembaga khusus yang bertugas menjaga, melindungi dan melestarikan situs-situs, dokumen-dokumen dan seluruh kepentingan sejarah, kebudayan dan peradaban.

(5)     Pemerintah Aceh berkewajiban menyusun data-data korban konflik bersenjata di Aceh dan merawat data-data itu sebagai dokumen sejarah.

(6)     Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh berkewajiban membangun dan merawat kuburan massal korban konflik bersenjata di Aceh sebagai monumen sejarah.

(7)     Pemerintah Aceh berkewajiban membangun dan merawat kuburan massal korban tsunami sebagai monumen sejarah.

(8)     Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh berkewajiban membangun dan merawat mesium konflik bersenjata di Aceh sebagai monumen sejarah tragedi kemanusiaan di Aceh.

(9)     Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (6) dan ayat (8) akan diatur dalam Qanun.

 

 

SOSIAL

Pasal 109

 

(1)    Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan Pemerintah Aceh berkewajiban merehabilitasi terhadap korban konflik.

(2)    Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan Pemerintah Aceh berkwajiban merehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik.

(3)    Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan Pemerintah Aceh berkewajiban melindungi korban-korban konflik.

(4)    Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan Pemerintah Aceh berkewajiban merehabilitasi terhadap korban tsunami.

(5)    Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan Pemerintah Aceh berkewajiban merehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat tsunami.

(6)    Pemerintah Aceh dapat bekerjasama dengan pemerintahan atau lembaga asing dalam merehabilitasi korban dan harta publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik.

(7)    Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh akan membangunan fasilitas-fasilitas sosial bagi anak-anak korban konflik dan tsunami.

(8)    Pemerintah Aceh akan membangun fasilitas-fasilitas sosial bagi penyandang cacat dan melakukan pemberdayaan secara khusus terhadap mereka.

(9)    Pemerintah Aceh akan membangun fasilitas rehabilitasi bagi korban ketergantungan nakotika dan obat-obat terlarang dan bagi orang yang mengalami masalah sosial lain.

(10)Pemerintah Aceh akan membangun panti-panti sosial bagi manusia lanjut usia.

(11)Pemerintah Aceh akan memberdayakan fakir miskin dan anak yatim yang tidak mampu.

(12)Ketentuan sebagaimana dimaksud akan diatur lebih lanjut dengan Qanun.

 

 

BUDAYA

Pasal 110

 

(1)    Pemerintah Aceh melindungi dan melestarikan adat, kebudayaan dan peradaban Aceh yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.

(2)    Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh berkewajiban mencari kembali dan mengembalikan ke Aceh benda-benda kebudayaan milik Aceh yang hilang atau dipindahkan dari Aceh dan merawatnya sebagai warisan kebudayaan dan peradaban Aceh.

(3)    Pemerintah Aceh akan memfasilitasi kegiatan-kegiatan adat, kebudayaan dan peradaban Aceh.

(4)    Pemerintah Aceh dapat mempromosikan adat, kebudayaan dan peradaban Aceh.

(5)    Pemerintah Aceh dapat mendirikan pusat-pusat kebudayan dan peradaban Aceh di luar Aceh.

(6)    Ketentuan sebagaimana dimaksud akan diatur lebih lanjut dengan Qanun.

 

BAB XXIV

 

WALI  NANGGROE

Pasal 111

 

Wali Nanggroe merupakan lembaga kepemimpinan rakyat yang berdiri sendiri dan berwibawa untuk pelestarian dan penyelenggaraan kehidupan adat dan Budaya Aceh serta pemersatu Rakyat Aceh.

 

 

Pasal 112

 

(1)    Wali Nanggroe adalah orang yang dipilih dan diangkat oleh Majelis Perwakilan Daerah Aceh (MPDA) dan perwakilan para ulama dari daerah-daerah kabupaten/kota dalam wilayah Aceh

(2)    Kriteria calon Wali Nanggroe:

a.        Beragama Islam;

b.        Orang Aceh;

c.        Dalam perjalanan hidupnya terlibat atau mendukung perjuangan Aceh;

d.        Mempunyai wawasan yang luas serta kuat tentang sejarah, adat, budaya dan peradaban Aceh;

e.        telah berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun;

f.         berpendidikan SLTA/sederajat;

g.        sehat jasmani dan rohani.

(3)    Tata cara pemilihan dan pengangkatan, masa jabatan, serta keuangan lembaga Wali Nanggroe ditetapkan dengan qanun.

 

PERANGKAT WALI NANGGROE

Pasal 113

 

(1)    Wali Nanggroe dibantu oleh para Wakil Wali Nanggroe dan Sekretaris Wali Nanggroe.

(2)    Wakil-wakil Wali Nanggroe ditetapkan MPDA dan perwakilan para ulama daerah-daerah kabupaten/kota.

(3)    Sekretariat Wali Nanggroe dibentuk oleh Kepala Pemerintahan Aceh.

(4)    Tatacara pemilihan dan pengangkatan, masa jabatan serta keuangan lembaga wakil Wali Nanggroe ditetapkan dengan qanun.

 

HAK DAN KEWENANGAN

Pasal 114

 

Wali Nanggroe berwenang :

  1. Memberikan gelar/derajat adat kepada perorangan atau lembaga baik di dalam maupun luar negeri;
  2. Memberikan gelar kepahlawanan kepada perorangan baik di dalam maupun luar negeri;
  3. Memberikan nasehat-nasehat, saran-saran dan pertimbangan-pertimbangan kepada Pemerintah Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam hal kebijakan yang terkait dengan adat dan budaya;
  4. Memberikan nasehat-nasehat, saran-saran dan pertimbangan-pertimbangan yang berhubungan dengan kebijakan atau pelaksanaan kebijakan pemerintahan Aceh kepada kepala/wakil kepala pemerintahan Aceh, kepala/wakil kepala pemerintahan daerah kabupaten/kota, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, MPDA, kepala kejaksaan Aceh, kepala kepolisian Aceh, kepala Pengadilan Agama dan kepala Pengadilan Tinggi Agama baik diminta maupun tidak diminta;
  5. Melaksanakan upacara-upacara adat sesuai dengan adat dan budaya Aceh;
  6. Memberikan nasehat-nasehat, saran-saran dan pertimbangan-pertimbangan, dan persetujuan, berkenaan  dengan perjanjian antara Pemerintah dan/atau Kepala Pemerintahan Aceh dengan pihak lain yang menyangkut dengan perlindungan hak-hak rakyat Aceh.

 

Pasal 115

 

Wali Nanggroe memiliki hak:

  1. Immunitas dalam melaksanakan hak dan kewenangannya;
  2. Protokoler;
  3. Keuangan;
  4. Mengajukan usul/pendapat dan pertanyaan;
  5. Meminta penjelasan kepada Pemerintah Aceh dan DPRD Aceh tentang hal-hal yang terkait dengan kebijakan yang menyangkut dengan kepentingan umum.

 

BAB XXV

 

BENDERA, LAMBANG, DAN HIMNE

Pasal 116

 

Pemerintahan sendiri di Aceh berhak mempunyai bendera, lambang daerah dan himne yang menunjukkan jati diri dan semangat perjuangan Aceh.

 

Pasal 117

 

Penetapan bendera, lambang dan himne Aceh dilakukan oleh Wali Nanggroe yang pertama.

 

BAB XXVI

 

AGAMA

Pasal 118

 

(1)    Setiap penganut agama Islam berkewajiban mengamalkan/ menjalankan syari’at Islam.

(2)    Pemerintah Aceh melindungi penganut agama non Islam yang menetap di Aceh.

(3)    Setiap penduduk Aceh dan penganut agama non Islam wajib menghormati orang atau masyarakat muslim di Aceh yang mengamalkan/ menjalankan syari’at Islam.

(4)    Setiap penduduk Aceh dan penganut agama Islam wajib menghormati penganut agama non Islam yang menetap di Aceh.

(5)    Ketentuan sebagaimana dimaksud akan diatur lebih lanjut dengan Qanun.

 

 

BAB XXVII

 

MAJELIS PERMUSYARAWATAN ULAMA

Pasal 119

 

 (1)            Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota membentuk lembaga keulamaan yang anggotanya terdiri atas para ulama yang diberi nama Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).

 (2)            Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat berdiri sendiri yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah, pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang islami.

 (3)            Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) berperan untuk melakukan pengontrolan terhadap kebiajakan-kebijakan pemerintah Aceh.

 (4)            Ketentuan sebagaimana dimaksud diatur dengan Qanun.

 

Pasal 120

 

 (1)            Anggota Majelis Permusyawaratan Ulama terdiri dari para Ulama.

 (2)            Tatacara pemilihan Anggota Majelis Permusyawaratan Ulama diatur dengan qanun.

 

Pasal 121

 

Tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Ulama:

a.        Memberi fatwa hukum, baik diminta atau tidak diminta terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan.

b.        Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) berperan untuk melakukan pengontrolan terhadap kebiajakan-kebijakan pemerintah Aceh.

c.        Memberi bimbingan dan arahan terhadap perbedaan pendapat di masyarakat dalam masalah keagamaan.

d.        Membina kerukunan hidup  antar umat beragama.

 

 

Pasal 122

 

Struktur keorganisasian dan keuangan lembaga Majelis Permusyawaratan Ulama diatur dengan qanun.

 

BAB XXVIII

 

KEPOLISIAN ACEH

Pasal 123

 

(1)    Kepolisian Aceh bertanggung jawab menjaga keamanan dan penegakan hukum dalam Wilayah Aceh.

(2)    Kepolisian Aceh  berkewajiban menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik serta menghormati budaya dan adat istiadat Aceh.

(3)    Kepolisian Aceh melaksanakan kebijakan teknis kepolisian di bidang keamanan dan ketertiban serta penegakan hukum untuk mewujudkan ketentraman masyarakat.

(4)    Kebijakan Kepala Kepolisian Aceh mengenai keamanan, ketertiban dan ketentraman masyarakat di Aceh dikoordinasikan dengan Kepala Pemerintahan Aceh.

(5)    Pelaksanaan tugas kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipertanggungjawabkan oleh Kepala Kepolisian Aceh kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia  dan Kepala Pemerintahan Aceh.

(6)    Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh membentuk Komisi Kepolisian Aceh yang tugas, fungsi, struktur dan keanggotaannya  diatur lebih lanjut dengan qanun.

(7)    Ketentuan sebagaimana dimaksud diatas diatur dengan Qanun.

 

 

PEMILIHAN, PENGANGKATAN DAN PENGESAHAN KEPALA KEPOLISIAN ACEH

Pasal 124

 

(1)    Pengangakatan Kepala Kepolisian Aceh harus mendapat persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh.

(2)    Pengangakatan Kepala Kepolisian Aceh dilakukan  setelah melalui mekanisme fit and proper test oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

(3)    Pemberhentian Kepala Kepolisian Aceh dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan berkonsultasi dengan Kepala Pemerintahan Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

(4)    Ketentuan sebagaimana dimaksud diatas diatur dengan Qanun.

 

Pasal 125

 

(1)    Penerimaan untuk menjadi bintara dan perwira Kepolisian Aceh dilakukan dengan berkonsultasi dan atas persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh.

(2)    Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi bintara Kepolisian Negara Republik Indonesia di Aceh diberi kurikulum muatan lokal, dan lulusannya diutamakan untuk penugasan di Aceh.

(3)    Kepolisian Aceh dilatih di Aceh dan luar negeri dengan penekanan pada penghormatan terhadap Hak-hak Asasi Manusia.

(4)    Pemerintah Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia bekerjasama dengan Pemerintah Aceh mendirikan Sekolah Perwira Kepolisian Aceh di Aceh untuk   mendidik dan membina perwira-perwira kepolisian yang akan bertugas di Aceh.

 

 

BAB XXIX

 

KEJAKSAAN ACEH

Pasal 126

 

(1)     Kejaksaan Aceh bertangung jawab untuk melaksanakan tugas-tugas kejaksaan di Aceh dalam rangka penegakkan hukum di Aceh.

(2)     Kepolisian Aceh  berkewajiban menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik serta menghormati budaya dan adat istiadat Aceh.

(3)     Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh membentuk Komisi Kejaksaan Aceh yang tugas, fungsi, struktur dan keanggotaannya  diatur lebih lanjut dengan qanun.

(4)     Pemerintah Indonesia dan Kejaksaan Agung bekerjasama dengan Pemerintah Aceh mendirikan Sekolah Pendidikan Kejaksaan Aceh di Aceh untuk   mendidik dan membina jaksa-jaksa yang akan bertugas di Aceh.

(5)     Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh membentuk Komisi Kejaksaan Aceh yang tugas, fungsi, struktur dan keanggotaannya diatur dengan qanun.

(6)     Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Qanun. 

 

 

Pasal 127

(1) Pengangakatan Kepala Kejaksaan Aceh harus mendapat persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.

(2)    Pengangakatan Kepala Kejaksaan Aceh dilakukan  setelah melalui mekanisme fit and proper test oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

(3)    Pemberhentian Kepala Kejaksaan Aceh dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negara Republik Indonesia dengan berkonsultasi dengan Kepala Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

(4)    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Qanun.

 

 

BAB XXX

 

SISTEM PERADILAN

Pasal 128

 

(1)    Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Aceh bertangung jawab untuk melaksanakan tugas-tugas peradilan dalam rangka penegakkan Hukum di Aceh.

(2)    Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas-tugas peradilan sesuai syariat Islam.

(3)    Kasasi, Peninjauan Kembali dan lainnya yang sesuai dengan undang-undang  diajukan ke Mahkamah Agung.

(4)    Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.

(5)    Pemerintah dan Mahkamah Agung bekerjasama dengan Pemerintah Aceh mendirikan Sekolah Pendidikan Hakim Aceh di Aceh untuk   mendidik dan membina Hakim yang akan bertugas di Aceh.

(6)    Kewenangan pada ayat (2) dapat diberlakukan kepada pemeluk agama non-Islam yang melakukan tindak pidana atau sengketa perdata bersama-sama dengan pemeluk agama Islam jika mereka memilih untuk diadili pada Pengadilan Agama.

 

Pasal 129

 

(1)         Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil, baik pada tingkat pertama, banding dan kasasi berdasarkan hukum pidana yang berlaku bagi warga sipil.

(2)         Dengan disahkan undang-undang ini maka kompetensi absolut pengadilan militer untuk mengadili perkara-perkara kejahatan sipil yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia dialihkan ke pengadilan sipil dan ketentuan perundang-undangan sejauh yang mengatur kompetensi absolut pengadilan militer untuk mengadili perkara-perkara kejahatan sipil yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia dinyatakan tidak berlaku lagi.

(3)         Pengalihan kompetensi mengadili sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut  oleh Mahkamah Agung.

 

Pasal 130

 

(1)        Hakim  diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung.

(2)        Mahkamah Agung dapat mengusulkan pengangkatan hakim ad-hoc yang dibiayai oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh. 

 

Pasal 131

 

(1)    Pembinaan teknis peradilan  dilakukan oleh Mahkamah Agung.

(2)    Penyediaan sarana dan prasarana serta penyelenggaraan kegiatan peradilan dibiayai oleh Mahkamah Agung, Pemerintah Aceh dan  Pemerintah Kabupaten/Kota.

 

BAB XXXI

 

HAK ASASI MANUSIA

Pasal 132

 

(1)                                        Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh tanpa diskrimasi menjamin, melindungi dan menghormati hak untuk hidup, kemerdekaan dan keamanan pribadi, pengakuan didepan hukum, kebebasan berekpresi dan berkumpul/berorganisasi, berdemonstrasi, mendapatkan dan megeluarkan informasi, beribadah menurut Agama masing-masing bagi seluruh rakyat dan penduduk Aceh.

(2)                                        Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh menjamin, melindungi dan menghormati hak-hak kebendaan setiap rakyat dan penduduk Aceh.

(3)                                        Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh  berkewajiban menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

(4)                                        Untuk melaksanakan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pemerintah Indonesia membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk Aceh.

 

Pasal 133

 

(1)                Pemerintah Indonesia, Pemerintah Aceh, Rakyat dan Penduduk Aceh berkewajiban memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak serta melakukan upaya-upaya pemberdayaan yang bermartabat.

(2)                Pemajuan, perlindungan dan pemberdayaan hak-hak perempuan dan anak yang disebut  pada ayat (1) masing-masing diatur dengan Qanun.

 

KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI

Pasal 134

 

(1)    Pemerintah Indonesia membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi  di  Aceh paling lambat satu tahun setelah pengesahan undang-undang ini dengan tugas untuk merumuskan dan menentukan rekonsiliasi dan melakukan klarifikasi terhadap pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.

(2)    Mekanisme pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi  di  Aceh diatur dengan Qanun.

 

BAB XXXII

 

KOMISI-KOMISI YANG BERDIRI SENDIRI

Pasal 135

 

(1)    Pemerintah Aceh selain membentuk komisi-komisi yang berdiri sendiri sebagaimana tersebut dalam pasal 116 (6), 119 (5), 126 (1) 138 (2) juga membentuk komisi-komisi yang berdiri sendiri sebagai berikut:

a.       Komisi Yudisial Review Aceh;

b.       Komisi Persaingan Usaha dan Perdagangan Aceh;

c.       Komisi Hak-hak Asasi Manusia Aceh;

d.       Komisi Pendidikan Aceh;

e.       Komisi Anti Korupsi Aceh;

f.        Komisi kesehatan Aceh;

g.       Komisi legislatif  Aceh.

(2) Ketentuan-ketentuan tentang hal-hal dimaksud pada ayat (1) diatur dalam qanun.

     

 

BAB  XXXIII

 

QANUN DAN PERATURAN KEPALA PEMERINTAHAN ACEH, BUPATI/WALIKOTA 

 

UMUM

Pasal 136

 

(1)    Qanun ditetapkan oleh Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati/Walikota setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh / Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di Aceh.

(2)    Qanun sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum.

(3)    Qanun sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), berlaku setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah.

 

PARTISIPASI MASYARAKAT

Pasal 137

 

(1)   Masyarakat berhak terlibat memberi masukan secara lisan atau tulisan      dalam     rangka atau pembahasan rancangan Qanun.

(2)   Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Qanun berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh.

(3)   Tatacara keterlibatan masyarakat dalam persiapan atau pembahasan Qanun ditetapkan dengan Qanun.

 

 

Pasal 138

 

Tata cara mempersiapkan rancangan Qanun yang berasal dari Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati/Walikota diatur dengan Qanun tentang Penyusunan Qanun.

 

Pasal 139

 

(1)    Rancangan Qanun disampaikan oleh anggota komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh / Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menangani bidang legislasi.

(2)    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

 

Pasal 140

 

(1)    Penyebarluasan rancangan Qanun yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh / Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilaksanakan oleh sekretariat

(2)    Penyebarluasan rancangan Qanun yang berasal dari Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati/Walikota dilaksanakan oleh sekretariat daerah.

 

Pasal 141

 

(1)    Qanun dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakkan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh.

(2)    Qanun dapat memuat ancaman pidana kurungan atau denda.

(3)    Qanun dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh.

 

Pasal 142

 

(1)    Untuk melaksanakan Qanun Kepala Pemerintahan Aceh dapat menetapkan peraturan atau keputusan Kepala Pemerintahan Aceh.

(2)    Untuk melaksanakan Qanun Bupati/Walikota dapat menetapkan peraturan atau keputusan Bupati/Walikota.

(3)    Keputusan atau peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan qanun.

 

BAB XXXIV

 

MEDIA DAN INFORMATIKA

Pasal 143

 

(1)     Pemerintah Aceh menjamin kebebasan media dan akses publik bagi informasi untuk kesejahteraan rakyat Aceh, sesuai dengan  kewenangan yang ada.

(2)     Pemerintah Aceh membentuk Komisi  Penyiaran yang berdiri sendiri.

(3)     Komisi Penyiaran yang berdiri sendiri yang dimaksud menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya sesuai peraturan yang dibuat tersendiri tentang media dan informatika di Aceh sesuai dengan kewenangan yang ada di samping peraturan perundang-undangan yang telah ada.

(4)     Komisi Penyiaran yang berdiri sendiri mengatur penempatan media dan informatika di  Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh.

(5)     Ketentuan lebih lanjut tentang  media dan informasi akan diatur dalam Qanun Aceh.

 

Pasal 144

 

(1)     Komisi Penyiaran yang berdiri sendiri melaksanakan tugas, kewenangan dan fungsi untuk mengatur kegiatan media dan informatika bidang penyiaran di  Aceh  sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh serta kewenangan lain yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya yang berlaku di Aceh.

(2)     Komisi Penyiaran yang berdiri sendiri mempunyai hak dan kewajiban dalam menetapkan sanksi selain sanksi yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh, sesuai kewenangan Pemerintah Aceh.

 

Pasal 145

 

(1)     Komisi Penyiaran yang berdiri sendiri Pemerintahan Aceh dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

(2)     Komisi Penyiaran yang berdiri sendiri sebagai lembaga yang berdiri sendiri mengatur hal-hal penyiaran di Aceh.

(3)     Komisi Penyiaran yang berdiri sendiri dibantu oleh sebuah sekretariat yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh.

(4)     Pelaksanaan ketentuan ayat (1), (2), dan (3) diatur dengan Qanun.

 

Pasal 146

 

(1)    Lembaga Penyiaran yang ada di Aceh wajib membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi dan biaya Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) kepada Pemerintah Aceh, sebagai bagian dari Pendapatan Asli Daerah  (PAD) Aceh.

(2)    Pelaksanaan ketentuan ayat (1) diatur dalam Qanun.

 

 

BAB  XXXV

 

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 147

 

(1).    Nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh setelah pemilihan umum yang akan datang.

(2).    Pelaksanaan ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Qanun.

 

BAB XXXVI

 

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 148

 

(1)    Berbagai perjanjian kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan  negara-negara asing atau pihak lainnya, yang berkenaan dengan perjanjian kontrak bagi hasil minyak bumi dan gas alam (Migas) yang berlokasi di Aceh dinyatakan tetap berlaku sampai masa kontrak tahap dimaksud berakhir.

(2)    Setiap pembahasan rencana tahunan dan budget yang diajukan oleh semua Contract Production  Sharing (KPS) kepada Badan Pengelola minyak bumi dan gas alam (BP Migas) harus mengikutsertakan dan dengan persetujuan pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

(3)    Setiap perpanjangan kontrak yang dimaksud dalam ayat (1) harus mengikutsertakan dan dengan persetujuan pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

 

Pasal 149

 

Susunan organisasi, perangkat daerah, jabatan dalam pemerintahan daerah, dan peraturan  perundang-undangan yang ada tetap berlaku hingga dibentuk Qanun Aceh sesuai dengan Undang-Undang ini.

 

BAB XXXVII

 

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 150

 

(1)          Semua peraturan perundang-undangan yang ada sepanjang tidak bertentangan  dengan undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku di Aceh.

(2)          Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan hak-hak Pemerintah Aceh  wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada undang-undang ini.

 

Pasal 151

 

Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini secara bertahap disusun paling lambat dalam masa 3 (tiga) bulan setelah undang-undang ini diundangkan.

 

Pasal 152

 

Dengan berlakunya undang-undang ini, undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dinyatakan tidak berlaku lagi.

 

Pasal 153

 

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 

 

                                                                   Disahkankan di Jakarta

                                                                   pada tanggal

                                                                   

                                                                   PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

                                                                   SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

 

 

Diundangkan di Jakarta        

pada tanggal

 

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

 

HAMID AWALUDDIN

 

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR

----------