Stockholm,
6 Maret 2006
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum
wr wbr.
PERADILAN AGAMA HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM KETATANEGARAAN YANG
BERLAKU DI RI.
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
MENYOROT
PERADILAN AGAMA HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM KETATANEGARAAN RI DAN MAHKAMAH AGUNG
RI.
"Membaca
artikel pak Ahmad dan tanggapan-tanggapannya, secara objektif saya tidak
mengingkari bahwa pak Ahmad adalah orang yang ahli baik secara epistemologi,
ontologi dan axiologi dari suatu permasalahan. Dalam
kesempatan kali ini, saya ingin bertanya sekaligus minta tanggapan/jawabannya
tentang permasalahan yang sedang terjadi di negeri ini terutama di Aceh
Darussalam karena permasalahan yang terjadi di Aceh - terutama dalam hal yang berhubungan dengan ketatanegaraanya –
mendapatkan sorotan yang cukup tajam antara ahli hukum Islam dan ahli hukum
sekuler. Saya hanya ingin bertanya atas dua topik saja, yang pertama tentang
Peradilan dalam Islam. Bagaimana sistem Peradilan dalam Islam itu baik pada
masa Rosul, Khulafa Rosyidin, Abbasiah, Muawiyah, dan Ustmaniyah? Apakah sudah
ada sistem kasasi pada masa peradilan Islam tersebut? dan yang kedua tentang hukum ketatanegaraan yang berlaku di
Indonesia. Bagaimana sih sebenernya teorinya
tentang hukum sekuler itu? Apa
dibolehkan dalam satu negara yang telah menganut sistem sekuler kemudian ada
hukum lainnya yang berlaku seperti halnya yang terjadi di Indonesia? Kemudian
karena peradilan syariat Islam di Aceh adalah bahagian dari peradilan nasional
maka kalo ada orang yang terhukum yang tidak puas terhadap keputusan dari
Mahkamah Syariyah maka ia boleh kasasi ke MA" (Puja Kesuma, philos_99@hotmail.com , Mon, 06 Mar 2006 01:39:09 +0700)
Saudara Philos di Bandung,
Indonesia.
Berbicara masalah Peradilan Agama
dalam Negara pertama yang dibangun Rasulullah saw atau Daulah Islamiyah
Rasulullah (DIR) di Yatsrib (sekarang Madinah) adalah peradilan bagi seluruh
rakyat yang ada dalam lindungan DIR.
Ketika Rasulullah saw memegang
jabatan Kepala Negara DIR, jabatan Hakim yang dikenal dengan nama Qadhi dijabat
oleh Rasulullah saw sendiri. Begitupun ketika Khalifah Abu Bakar memagang
jabatan sebagai Khalifah, jabatan Qadhi dipegang atau dirangkapnya. Tetapi,
ketika Umar bin Khattab memegang jabatan Khalifah, jabatan Qadhi diserahkan
kepada orang lain, misalnya untuk jabatan Qadhi di Yatsrib diangkat Abu Darda,
untuk Qadhi di daerah Basrah diangkat Sjuraih dan untuk Qadhi di wilayah Koufah
diangkat Abu Musa Asj’ari.
Ketika Khalifah Harun Ar
Rasjid dari Abbassiyah memegang kendali
Pemerintahan, dari Qadhi-Qadhi yang ada diseluruh wilayah Negara diangkat dan
dipilih seorang Qadhi Qudhah atau Ketua Qadhi atau Ketua Mahkamah Agung, yaitu
Abu Jusuf, sahabat Imam Abu Hanifah.
Jadi Saudara Philos,
Disini kelihatan dalam pertumbuhan
dan perkembangan DIR ada pemisahan antara Pemegang Pemerintahan dan Pemegang
Peradilan, bahkan telah ada model Qadhi Qudhah atau Ketua Qadhi atau Ketua
Mahkamah Agung.
Saudara Philos,
Adapun tentang kasasi atau
pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh Mahkamah Agung terhadap putusan hakim
karena putusan itu menyalahi atau tidak sesuai benar dengan undang-undang, itu
tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw dalam DIR-nya. Hal ini pertama,
dikarenakan pada masa Rasulullah saw tidak ada Ketua Mahkamah Agung, karena
jabatan Qadhi dipegang langsung oleh Rasulullah saw. Kedua, karena dasar hukum
Islam sudah jelas, walaupun dikemudian hari adanya perbedaan pandangan karena
adanya perbedaan mazhab, tetapi hukum itu bersumberkan kepada Al Qur’an dan
Sunnah Rasulullah saw. Jadi, pandangan antara para hakim yang diberikan
wewenang untuk menjalankan peradilan dan menjatuhkan hukuman tidak akan berbeda
dengan pandangan Ketua Mahkamah Agung atau Qadhi Qudhah. Apa yang sudah
dijatuhkan vonisnya oleh Qadhi yang didasarkan kepada sumber Al Qur’an dan
Sunnah Rasulullah saw tidak akan dikasasi oleh Qadhi Qudhah atau Ketua Mahkamah
Agung.
Saudara Philos,
Sekarang kita melihat Mahkamah
Agung atau Mahkamah Tinggi yang merupakan badan kehakiman tertinggi yang juga
merupakan pengadilan terakhir di mana putusannya tidak dapat diajukan banding.
Mahkamah Agung ini melingkupi Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata
Usaha Negara, Peradilan Agama dan Pengadilan Pajak.
Nah, yang akan disorot disini
adalah Peradilan Agama yang ada dibawah ruang lingkup Mahkamah Agung. Dimana
kalau ditelusuri lebih kedalam, maka ditemukan bahwa yang ada disinggung dalam
Peradilan Agama ini adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam, yang
merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam
Undang-undang in. Kemudian Pengadilan Agama yang merupakan pelaksana dari
Kekuasaan Kehakiman bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang: a. Perkawinan, b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam, c. wakaf dan shadaqah.
Jadi saudara Philos,
Perkara-perkara yang menjadi tugas
dan wewenang Pengadilan Agama yang ada dibawah ruang lingkup Mahkamah Agung
tidak mencakup secara keseluruhan perkara yang telah ditetapkan dalam Al Qur’an
dan Sunnah Rasulullah saw, melainkan hanyalah mencakup Perkawinan, kewarisan,
wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah.
Sekarang, mengapa Peradilan Agama
dimasukkan kedalam ruang lingkup Mahkamah Agung ?
Karena, dari sejak sebelum RI
muncul diatas permukaan bumi, di Jawa dan Madura telah berlaku Peraturan
tentang Peradilan Agama yaitu Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dihubungkan
dengan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610. Juga telah berlaku Peraturan
tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan
Selatan dan Timur, sebagaimana yang tertuang dalam Staatsblad Tahun 1937 Nomor
638 dan 639.
Jadi, karena hukum yang dipakai
Belanda mengakui Peraturan tentang Peradilan Agama dan Peraturan tentang
Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar, maka ketika RI membuat dasar hukum
tentang ruang lingkup Mahkamah Agung, maka masalah Peradilan Agama yang telah
diakui sejak masa Belanda juga dimasukkan kedalam ruang lingkup Mahkamah Agung
model RI. Atau dengan kata lain, karena pada masa Belanda telah berlaku
beberapa macam Peraturan tentang Peradilan Agama di berbagai Daerah, maka pihak
RI menyatukan semua Peraturan tentang Peradilan Agama yang telah berlaku
dibawah satu undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 29 Desember 1989
Tentang Peradilan Agama.
Nah sekarang saudara Philos,
Karena dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 29 Desember 1989 Tentang Peradilan Agama yang menyangkut perkara-perkara
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah semuanya tidak
diacukan kepada apa yang tertuang dalam Al Qur’an dan Hadist Rasulullah saw,
melainkan berdasarkan pada hasil pemikiran para anggota DPR dan tim perumus
rancangan undang-undang tentang Peradilan Agama dari Departemen Kehakiman dan
Departemen Agama saja, maka Undang-Undang Nomor 7 Tahun 29 Desember 1989
Tentang Peradilan Agama tidak dimasukkan kedalam golongan dasar hukum Islam,
melainkan masuk kedalam golongan dasar hukum yang bersumberkan kepada panacsila
atau dasar hukum sekuler.
Begitu juga dengan Rancangan
Undang-Undang Tentang Pemerintahan Acheh yang sedang digodog oleh DPR yang
menyangkut Mahkamah Syariah di Acheh adalah merupakan bagian dari sistem
peradilan nasional, artinya Mahmakah Agung bisa mengkasasi apa yang telah
diputuskan oleh Mahkamah Syariah seandainya bertentangan dengan dasar hukum
yang dipakai di RI.
Juga dalam bidang kewenangan
Mahkamah Syariah hanyalah meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (perkara
perdata), mu'amalah dan jinayah (kejahatan). Dan inilah merupakan pengkebirian
Syariat Islam, alias main-main dengan syariat Islam yang kaffah. Kewenangan
Mahkamah Syariat yang kaffah bukan hanya menyangkut tiga masalah diatas,
melainkan masih ada segudang kewenangan Syariat Islam lainnya.
Saudara Philos,
Kemudian lagi yang sangat pincang dan
keropos dari isi RUU Tentang Pemerintahan Acheh tentang Mahkamah Syariah adalah
kalau memang Mahkamah Syariah memiliki kewenangan dalam hal jinayah atau
kejahatan misalnya yang menyangkut pembunuhan, maka harus diberlakukan bagi
seluruh bangsa dan seluruh rakyat yang tinggal dan menetap di Acheh, juga
mereka yang bukan warga atau penduduk Acheh tetapi tertangkap melakukan jinayah
di Acheh. Begitu juga mengenai masalah mu'amalah seperti jual-beli,
sewa-menyewa, pengupahan, serikat dagang, hak membeli, gadai, pemberian kuasa,
pemindahan hutang, tangungan, pinjaman, penuntutan hak, rampasan atau paksaan,
titipan, pailit, dll bukan hanya berlaku bagi umat Islam, melainkan siapa saja
yang tinggal dan hidup di Acheh.
Jadi saudara Philos,
Masalah penegakkan syariat Islam
di Acheh melalui Mahkamah Syariah yang telah ditarik hidungnya oleh Mahkamah
Agung RI, maka sudah jelas dan pasti itu Syariat Islam model RUU-PA-nya
departemen Dalam Negeri RI ataupun model DPRD-nya NAD akan ngaco alias ngawur
dan menyimpang dari apa yang telah dicontohkan Rasulullah saw.
Selama kewenangan Kekuasaan
Kehakiman dipegang oleh pihak RI, maka yang namanya Mahkamah Syariah di Acheh
adalah suatu kebohongan dan suatu penipuan terhadap ummat Islam di Acheh yang
dilambungkan oleh pihak pemerintah RI dan DPR RI. Karena Mahkamah Syariah di
Acheh merupakan turunan dari Mahkamah Agung RI yang mengacu kepada dasar dan
sumber hukum pancasila yang sekuler.
Saudara Philos,
Hanya ada satu pilihan, kalau
memang mau mengacu kepada apa yang dicontohkan Rasulullah saw, yaitu memilih
Mahkamah Syariah yang memiliki kewenangan melaksanakan syariat Islam secara
menyeluruh yang bebas dari Mahkamah Agung atau memilih Mahkamah Agung dengan
semua ruang likup peradilan-nya.
Jadi saudara Philos,
Dalam hal ini tidak ada istilah
solusi yang win-win solution antara sistem hukum di Acheh dan Indonesia,
melainkan hanya ada satu pilihan, yaitu Mahkamah Syariah yang bebas dari
Mahkamah Agung, atau hanya mendekap Mahkamah Agung saja.
Kemudian saudara Philos,
Menyinggung sejarah Mahkamah Agung
ini adalah Mahkamah Agung periode Yogyakarta, yaitu ketika RI berkedudukan di
Yogyakarta dari sejak bulan Juli 1946 dengan Dr. Kusumah Atmadja sebagai
Ketua-nya.
Periode 15 Negara Federasi sebelum
RI masuk menjadi anggota Negara Bagian RIS pada tanggal 14 Desember 1949,
Mahkamah Agung Negara Federasi diketuai oleh G. Wijers berkedudukan di Jl.
Lapangan Banteng Timur 1 Jakarta, disamping Istana Gubemur Jenderal (gedung
Departemen Keuangan sekarang).
Periode Republik Indonesia Serikat
(RIS), yaitu sejak 14 Desember 1949 sampai 14 Agustus 1950, Mahkamah Agung
Republik Indonesia Serikat (RIS) berdiri berdasarkan dasar hukum Undang-Undang
RIS No.1 tahun 1950 tanggal 6 Mei 1950 (I-N. tahun 1950 No. 30) Tentang Susunan
dan Kekuasaan Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat yang berlaku tanggal 9
Mei 1950. Adapun untuk 16 Negara Bagian Federasi RIS dibentuk Pengadilan
Negara-Negara Federasi dengan mengatur urusan yang ada dalam masing-masing
Negara Bagian.
Periode ketika NKRI berdiri diatas
puing-puing 15 Negara Bagian RIS, dasar hukum Mahkamah Agung masih tetap
memakai Undang-Undang RIS No.1 tahun 1950, sampai Undang-Undang No.13 Tahun
1965 Tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung
diundangkan pada tanggal 6 Juni 1965. Kemudian disusul dengan dasar hukum
Undang-Undang No.14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang ditetapkan pada tanggal 17 Desember 1970.
Terakhir saudara Philos,
Inilah Mahkamah Agung RI yang melingkupi
salah satunya Peradilan Agama yang dalam pelaksanaan Kekuasaan kehakimannya
dilakukan oleh Pengadilan Agama yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang: a. Perkawinan, b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam, c. wakaf dan shadaqah, tetapi tidak mengacu
kepada sumber hukum yang telah ditetapkan Allah SWT dan dicontohkan Rasulullah
saw. Atau dengan kata lain Peradilan Agama dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
29 Desember 1989 yang sekuler.
Bagi
yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada
ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk
membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah
Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP
http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya
kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon
petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad
Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
----------
Date:
Mon, 06 Mar 2006 01:39:09 +0700
From:
"Puja Kesuma" philos_99@hotmail.com
Subject:
tanya ttg kasasi dlm Peradilan islam...
Assalamualaikum
wr.wb.
Setelah
membaca beberapa artikel yang ada di
www.dataphone.se/~ahmad terutama mengenai fenomena yang telah dan sedang
terjadi di Aceh Darussalam kini, menarik bagi saya untuk mengetahui lebih
lanjut tentangnya.
Sebagai
catatan kecil bahwa saya adalah orang jawa dan tidaklah semua orang jawa setuju
dan mengamini tentang konsep ketatanegaraan yang telah berlaku kini dan juga
apa yang telah berlaku di Aceh selama ini. “Penganeksasian wilayah”,
ketidakadilan dibidang ekonomi, pendidikan, sarana infrastruktur dll,
pelanggaran HAM, “pencekalan” kebebasan dalam pelaksanaan syariat Islam dan
kini masalah yang sedang hangat-hangatnya yaitu RUU Pemerintahan Aceh yang seolah-olah kok njelimet banget bagi
pemerintah pusat untuk mengizinkan Aceh agar
bisa bersegera mengatur “rumah”nya sendiri sesuai dengan syariat Islam
secara totalitas.
Hal
itu semua adalah sesuatu yang nyata terlihat dan terdengar baik melalui media
televisi, radio, surat khabar dan internet bagi yang berada diluar aceh seperti
halnya saya ini, maka hanya orang buta dan tuli saja jika ia masih mengatakan
bahwa di Aceh tidak terjadi apa-apa.
Kami
sadar dan mengakui bahwa kami sangat sedih dan geram sekali melihat kenyataan
tersebut tetapi saya lebih sedih dan geram lagi kalo ada yang mengambil premis
dan konklusi bahwa semua orang jawa adalah “anjingnya” Soekarno atau pemerintah
Indonesia yang telah menganut sistem sekuler. Tidaklah bijaksana dan patut di
pertanyakan tentang kesehatan dari logikanya jika satu atau beberapa orang
berbuat keburukan kemudian satu kabilah, suku atau anggota menjadi buruk
semuanya.
Ahmad Sudirman yang terhormat
Membaca artikel pak Ahmad dan tanggapan-tanggapannya,
secara objektif saya tidak mengingkari bahwa pak Ahmad adalah orang yang ahli
baik secara epistemologi, ontologi dan axiologi dari suatu permasalahan. Dalam
kesempatan kali ini, saya tidak hendak mengomentari tentang artikel-artikel
yang ada di www.dataphone.se/~ahmad tetapi saya ingin bertanya sekaligus minta
tanggapan/jawabannya tentang permasalahan yang sedang terjadi di negeri ini
terutama di Aceh Darussalam karena permasalahan yang terjadi di Aceh - terutama dalam hal yang berhubungan dengan
ketatanegaraanya – mendapatkan sorotan yang cukup tajam antara ahli hukum Islam
dan ahli hukum sekuler.
Telah kita ketahui bahwa sejak
diberlakukannya undang-undang Nomor 44
tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh
dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
di Indonesia telah mengalami dualisme hukum yang cukup kontras antara pusat dan
daerah (Aceh).
Karena secara prinsipnya saja
antara kedua hukum tersebut sudah bertolakbelakang tentunya hal itu akan
menimbulkan permasalahan tersendiri yang harus dicarikan solusinya secara tepat
baik dari sisi hukum sekuler yang berlaku di Indonesia maupun dari sistem Islam
disisi yang lainnya sehingga bisa didapatkan solusi yang win-win solution
antara sistem hukum di Aceh dan Indonesia. Pemerintah Indonesia tidak ingin
Aceh lepas dari wilayah NKRI dan Aceh pun tidak ingin hukum Islam
dicampuradukkan dengan hukum sekuler.
Hal tersebut menurut saya sudah
menjadi “harga mati” dari kedua belah pihak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi
kecuali salah satu diantara keduanya “menyerah” pada kebenaran atau kepada
kebatilan.
Pak Ahmad, saya tidak akan
bertanya seperti halnya polisi mengintrograsi para penjahat yang bisa
menghabiskan berlembar-lembar halaman tetapi kemungkinan jawabannya yang akan
menghabiskan berlembar-lembar halaman karena saya yakin pak Ahmad akan
menjawabnya secara sistematis, historis, dan kritis sehingga saya yang bodoh
ini tidak begitu kesulitan dalam memahaminya.
Saya hanya ingin bertanya atas dua
topik saja, yang pertama tentang Peradilan dalam Islam. Bagaimana sistem
Peradilan dalam Islam itu baik pada masa Rosul, Khulafa Rosyidin, Abbasiah, Muawiyah,
dan Ustmaniyah? Apakah sudah ada sistem kasasi pada masa peradilan Islam
tersebut? dan yang kedua tentang hukum
ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia. Bagaimana sih sebenernya teorinya tentang hukum sekuler itu? Apa dibolehkan dalam satu negara yang telah
menganut sistem sekuler kemudian ada hukum lainnya yang berlaku seperti halnya
yang terjadi di Indonesia?
Kemudian karena peradilan syariat
Islam di Aceh adalah bahagian dari peradilan nasional maka kalo ada orang yang
terhukum yang tidak puas terhadap keputusan dari Mahkamah Syariyah maka ia
boleh kasasi ke MA. Bagaimana sih sejarah terbentuknya MA dari awal perjalanannya hingga saat ini dan
dimana letak-letak kebobrokannya? Dan apakah dalam teori hukum sekuler
Indonesia, keputusan dari MA dalam menetapkan dan memutuskan perkara yang
berasal dari hukum yang berbeda itu dibolehkan? Bagaimana pula kekuatan hukum dan kebsyahan dari keputusan
MA tersebut jika ditinjau dari perspektif hukum Islam dan hukum sekuler
Indonesia?
Saat ini memang belum ada kasusnya
tetapi suatu saat hal tersebut akan terjadi jika UU No. 4 dan 5 tahun 2004
tidak diamandemen ulang lagi dan juga jika hasil dari amandemen UU No. 18 tahun
2001 yaitu RUU PA tetap mencantumkan
bahwa peradilan Syariat Islam di Aceh masih menjadi bahagian dari
peradilan nasional. Jika hal tersebut sampai terjadi, maka saya khawatir hukum
Islam di Aceh hanya akan dijadikan permainan oleh oknum-oknum dari para
terhukum melalui pengacaranya untuk menghindarkan diri dari hukum Islam dengan
alasan bahwa hukum Islam di Aceh masih rancu dan belum memiliki kekuatan hukum yang jelas, tentunya
itu adalah salah satunya saja tentang yang akan terjadi di Aceh.
Saya berani mengatakan hal
tersebut karena melihat dan mendengar tentang fenomena yang terjadi saat ini di
negeri tersebut terutama dalam hal penegakkan hukumnya yang menurut saya masih
tajam pada bahagian bawahnya saja sementara bahagian atasnya masih tumpul dan
bahkan seolah-olah hukum Islam di Aceh hanya dan hanya ditujukan kepada wong
cilik saja tidak untuk para pejabat.
Saya berharap jawaban dan
tanggapannya dapat saya baca pula melalui inbox di e-mail saya.
Terimakasih
dan Wassalam.
Bandung,
Indonesia
----------