Stockholm, 8 November 2005

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Assalamu'alaikum wr wbr.


TANGGAPAN TERHADAP RUU TENTANG PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI ACHEH VERSI UNSYIAH, UNIVERSITAS MALIKUL SALEH & IAIN AR-RANIRY

Ahmad Sudirman

Stockholm - SWEDIA.

 

 

MENGUPAS ISI RUU TENTANG PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI ACHEH VERSI UNSYIAH, UNIVERSITAS MALIKUL SALEH & IAIN AR-RANIRY

 

Alhamdulillah dan terimakasih, karena hari ini Ahmad Sudirman mendapat kiriman dari salah seorang peserta mimbar bebas ini yang isinya mengenai draft Rancangan Undang Undang Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh yang dibuat oleh pihak Unsyiah, Universitas Malikul Saleh dan IAIN Ar-Raniry.

 

Setelah dibaca tiga versi draft RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh, ternyata Ahmad Sudirman menemukan beberapa poin mendasar yang sangat bertentangan dengan apa yang tertuang dalam Memorandum of Understanding Helsinki 15 Agustus 2005 dan sekaligus merupakan penipuan besar-besaran terhadap apa yang tertuang dalam MoU Helsinki dan juga sekaligus penipuan terhadap bangsa Acheh secara keseluruhan.

 

Dan yang paling mendasar kesalahan yang dibuat oleh tim Unsyiah, Universitas Malikul Saleh dan IAIN Ar-Raniry dalam RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh adalah mereka tidak memahami dan tidak mengerti apa yang tertuang dalam MoU Helsinki yang menyangkut Self-Government. Dan Self-Government inilah yang menjadi landasan berdirinya Pemerintahan sendiri di Acheh, yaitu diwilayah perbatasan 1 Juli 1956.

 

Dimana para pembuat RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh dari Unsyiah, Universitas Malikul Saleh dan IAIN Ar-Raniry terperangkap dalam jaringan dan wadah otonomi. Nah, disinilah kesalahan fatal yang dibuat oleh tim Unsyiah, Universitas Malikul Saleh dan IAIN Ar-Raniry.

 

Padahal yang telah disepakati dalam MoU Helsinki di Acheh itu adalah Self-Government, bukan otonomi. Dimana Self-Government di Acheh ini hanya berlaku di Acheh, tidak mengacu atau mereferensikan kepada Self-Government lainnya. Self-Government di Acheh adalah Self-Government di Acheh. Titik.

 

Karena Self-Government di Acheh belum pernah wujud sebelumnya dalam sejarah Negara-Negara dan Daerah-Daerah yang tergabung dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) maupun NKRI hasil leburan RIS, begitu juga dalam sejarah RI hasil jelmaan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Self-Government di Acheh tidak bisa diacukan dan direferensikan kepada UU yang ada, seperti UU No.18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam atau UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah atau UU yang lainnya.

 

Nah, disinilah kelemahan dari tim perumus RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh dari tim perumus Unsyiah, Universitas Malikul Saleh dan IAIN Ar-Raniry. Sehingga ketika para tim perumus ini menuliskan rumusannya, langsung saja membelok kepada apa yang tertuang dalam UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.18 Tahun 2001, dan akhirnya menjadi ngaco dan salah kaprah.

 

Coba saja perhatikan satu contoh, apa yang dijadikan dasar pertimbangan mereka dalam membuat RUU-nya itu, yaitu mereka mempertimbangkan kepada "satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang".

 

Nah, kan ngaco itu, mana ada disebutkan dalam MoU Helsinki istilah "bersifat istimewa ataupun khusus, dengan memakai patokan UU yang sudah ada".

 

Justru, Self-Government di Acheh adalah bentuk pemerintahan di Acheh yang pertama kali ada dalam sejarah RIS, NKRI leburan RIS dengan UUD 1950-nya dan RI alias NKRI dengan UUD 1945 gubahan Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959-nya.

 

Jadi, kalau membicarakan Self-Government di Acheh, artinya harus membuat RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh dari bawah, dari nol, yang tidak mengacu kepada UU ang ada. Mengapa ?

 

Karena UU yang ada sekarang ini adalah tidak satu patah kalimatpun mencantumkan tentang Self-Government, kecuali otonomi. Sedangkan otonomi tidak dibicarakan dan tidak disepakati dan tidak disepahami dalam MoU Helsinki, selain bentuk Self-Government. Dan Self-Government di Acheh tidak sama dengan otonomi di Acheh.

 

Nah, dengan dasar pemikiran dan titik pijakan inilah, seharusnya tim perumus RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh bekerja ketika membuat rumusannya.

 

Tetapi, kenyataannya tim perumus RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh tidak bertolak dari sudut ini, melainkan dari sudut kacamata otonomi, apakah itu kacamata otonomi khusus atau istimewa. Mereka tim perumus ini tidak memakai kacamata Self-Government di Acheh. Akhirnya, hasilnya juga sama seperti hasil rebusan otonomi made in UU No.18 Tahun 2001 atau UU No. 32 Tahun 2004. Dan inilah hasil yang ngawur dan salah kaprah yang tidak lagi mengikuti dan mengacu kepada MoU Helsinki.

 

Jadi sekarang, bisa dimengerti bahwa ketika Ahmad Sudirman membaca tiga draft RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh buatan tim perumus dari Unsyiah, Universitas Malikul Saleh dan IAIN Ar-Raniry, isinya merupakan kopi atau jiplakan dari UU No.18 Tahun 2001 dan UU No.32 Tahun 2004.

 

Kemudian, contoh lainnya lagi, dari sudut nama UU yang diajukan, dimana Unsyiah dan  Universitas Malikul Saleh sudah keluar dan melanggar MoU Helsinki, kecuali dari IAIN Ar-Raniry. Misalnya, tim Unsyiah menyodorkan nama "Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam". Jelas nama ini sudah ngaco dan menyimpang dari MoU Helsinki. Kemudian dari tim Universitas Malikul Saleh menyodorkan rumusan nama "Pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam". Nah, nama inipun sudah menyimpang dari apa yang disepakati dalam MoU Helsinki. Lalu dari tim perumus IAIN Ar-Raniry yang menyodorkan nama "Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh". Nah, nama ini baru benar dan sesuai dengan isi MoU Helsinki. Mengapa ?

 

Karena yang disepakati dalam MoU bukan nama "Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam" atau "Pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam", melainkan nama "Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh".

 

Nah sekarang, karena para tim perumus RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh dari Unsyiah, Universitas Malikul Saleh dan IAIN Ar-Raniry pijakannya adalah pijakan batu otonomi, maka hasilnya juga jadi ngaco dan menyimpang dari apa yang telah disepakati dalam MoU yaitu Self-Government di Acheh.

 

Kalau pihak tim perumus RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh berpijak diatas batu dan titian Self-Government di Acheh, maka mereka tidak terkurung dan terjepit dalam wadah UU yang sudah ada. Mengapa ? Karena UU yang sudah ada tidak memiliki dasar hukum tentang Self-Government di Acheh, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai acuan atau referensi untuk membangun RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh.

 

Self-Government di Acheh hanya berlaku di Acheh, tidak mengacu kepada Otonomi yang ada dan UU yang ada. Self-Government di Acheh mengacu kepada MoU Helsinki 15 Agustus 2005. Dimana Self-Government di Acheh bukan otonomi khusus atau istimewa di Acheh, melainkan Self-Government di Acheh, dengan wilayah Acheh berdasarkan perbatasan 1 Juli 1956, yaitu wilayah yang bukan otonomi.

 

Karena itu, yang benar dan sesuai dengan MoU Helsinki adalah Acheh berdasarkan perbatasan 1 Juli 1956 adalah daerah yang khusus bagi penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh.

 

Mengapa dinamakan daerah bukan provinsi ? Karena wilayah perbatasan Acheh pada 1 Juli 1956 adalah bukan wilayah provinsi, melainkan daerah yang dianeksasi kedalam wilayah provinsi Sumatra Utara.

 

Jadi bukan seperti yang dirumuskan oleh tim perumus dari IAIN Ar-Raniry yaitu, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah provinsi yang khusus bagi penyelenggaraan pemerintahan di Aceh dalam Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 

Jelas, rumusan yang dikemukakan pihak IAIN Ar-Raniry adalah sudah menyimpang dan tidak sesuai dengan isi MoU Helsinki.

 

Begitu juga rumusan yang disampaikan oleh pihak Universitas Malikul Saleh yaitu, Nanggroe Aceh Darusslam, selanjutnya disebut NAD yang sebelumnya disebut Provinsi Nanggroe Aceh Darusslam adalah yang berwenang mengatur pemerintahan sendiri yang berbentuk Pemerintahan NAD dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Jelas, rumusan yang dikemukakan oleh tim  Universitas Malikul Saleh adalah sudah ngaco dan menyimpang. Mengapa ? Karena nama Nanggroe Aceh Darusslam adalah tidak ada dalam MoU. Begitu juga istilah provinsi, sudah menyimpang dan tidak benar, karena tidak sesuai dengan apa yang ada pada 1 juli 1956.

 

Sama juga dengan rumusan yang disampaikan pihak tim perumus dari Unsyiah yang menyampaikan rumusan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang selanjutnya disebut Provinsi sebagai satu kesatuan sosial budaya ekonomi dan politik/pemerintahan daerah dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Jelas, disinipun pihak Unsyiah makin tambah ngaco. Mengapa ? Karena menyangkutkan nama provinsi dan Nanggroe Aceh Darussalam yang tidak ada dalam MoU, ditambah dengan embel-embel Provinsi sebagai satu kesatuan sosial budaya ekonomi dan politik/pemerintahan daerah dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dimana itu wilayah daerah Acheh berdasarkan perbatasan 1 Juli 1956 bukan bentuk provinsi, melainkan bentuk wilayah yang dimasukkan kedalam wilayah provinsi Sumatra Utara.

 

Jadi sekarang, Ahmad Sudirman baru saja membongkar bagian atasnya dari RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh sudah banyak yang ngaco dan menyimpang, belum lagi Ahmad Sudirman mengorek kedalamnya lagi.

 

Tetapi, tentu saja, karena pihak tim perumus RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh dari Unsyiah, Universitas Malikul Saleh dan IAIN Ar-Raniry kaki mereka hanya berpijak diatas pijakan batu otonomi, maka hasilnyapun otonomi, dan inilah isi yang ada dalam rumusan RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh yang melantur dan menyimpang dari apa yang ada dalam MoU Helsinki 15 Agustus 2005.

 

Seharusnya pihak tim perumus RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh ini berpijak diatas batu titian Self-Government di Acheh, bukan otonomi di Acheh. Dan kalau berpijak diatas batu titian Self-Government di Acheh, maka tidak mengacu dan tidak mereferensikan kepada UU yang sudah ada. Karena memang Self-Government menurut MoU Helsinki ini tidak pernah ada dalam UU yang ada sekarang. Kalau juga dipaksakan, maka hasilnya ngaco dan ngawur, sehingga bertentangan dengan isi MoU Helsinki. Contohnya seperti RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh yang dibuat oleh ti perumus dari Unsyiah, Universitas Malikul Saleh dan IAIN Ar-Raniry sekarang ini. Itu isinya hanyalah kopian dari UU tentang otonomi di Acheh. Kan ngaco jadinya.

 

Insya Allah untuk tulisan yang akan datang Ahmad Sudirman akan mengupas lebih mendetil tentang RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh yang dirumuskan oleh tim perumus dari Unsyiah, Universitas Malikul Saleh dan IAIN Ar-Raniry.

 

Dalam tulisan ini hanyalah memberikan dasar pijakan yang harus dipakai dalam rangka membuat rumusan RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh, agar supaya tidak bertentangan dengan isi MoU Helsinki 15 Agustus 2005.

 

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*


Wassalam.


Ahmad Sudirman


http://www.dataphone.se/~ahmad

ahmad@dataphone.se

----------