Stockholm, 9 Agustus 2005
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
BANGSA PAPUA MENUNTUT SELF-DETERMINATION
BERDASARKAN PERJANJIAN NEW YORK 15 AGUSTUS 1962
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
YANG
DITUNTUT BANGSA PAPUA BUKAN PEPERA 14 JULI - 4 AGUSTUS 1969 MODEL JENDERAL
SOEHARTO, MELAINKAN MENURUT PERJANJIAN NEW YORK 15 AGUSTUS 1962 ARTICLE XVIII
"Salam
Tuan Ahmad, Terimakasi atas berita yang Bapak naikan di Web-site melanesianews,
bahwa berita itu mendukung kemerdekaan Papua Barat. Namun sangat jelas dan tak
dapat dipungkiri bahwa Papua tetap suatu saat akan mengalami satu alam
kebebasan. Masalah Papua yang diangkat dan dimasalahkan DPR Amerika Serikat
adalah satu langkah majuh dan mungkin pintuh menujuh Papua lepas dari Ikatan
dengan kaum neo-kolonial Indonesia. Terimakasih" (David Goo, lembah_kamuu@yahoo.com , Mon, 8 Aug 2005
20:08:57 -0700 (PDT))
Baiklah
saudara David Goo di Jayapura, Papua.
Perjuangan
bangsa Papua yang tanah negerinya diduduki dan dijajah Belanda kemudian
diteruskan oleh RI dibawah Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid,
Megawati dan sekarang Susilo Bambang Yudhoyono tidak henti-hentinya, dan bahkan
makin menggelora. Generasi muda bangsa Papua terus tampil melanjutkan
perjuangan yang telah dilakukan oleh nenek moyangnya.
Di
mimbar bebas ini telah sering dibahas tentang penganeksasian, pendudukan dan
penjajahan yang dilakukan pihak RI terhadap Papua. Dan dari sekian akar
penyebab timbulnya kebangkitan bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri
adalah adanya usaha pencaplokan wilayah Tanah Papua yang dilakukan Soekarno dan
penelanan yang dilakukan oleh Jenderal Soeharto dengan pepera model Jenderal
Soeharto 14 Juli-4 Agustus 1969-nya.
Nah,
masalah pepera atau penentuan pendapat rakyat bangsa Papua yang dilakukan oleh
Jenderal Soeharto yang pada tanggal 27 Maret 1968 dilantik menjadi Presiden RI
dalam Sidang Umum V MPRS yang berlangsung dari 21 sampai 30 Maret 1968, yang
sebelumnya menduduki kursi Pejabat Presiden, setelah menyingkirkan Soekarno
pada tanggal 20 Februari 1967 dengan bantuan Jenderal Abdul Haris Nasution
dengan MPRS-nya.
Pepera
model Jenderal Soeharto inilah yang menjadi akar utama bangkitnya perjuangan
bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri melalui jalur plebisit atau
referendum atau penentuan pendapat rakyat. Mengapa ?
Karena
kalau menggali lagi apa yang tertuang dalam isi Perjanjian New york 15 Agustus
1962 yang tertuang dalam Article XVIII
yang berisikan:
“Indonesia
will make arrangements, with the assistance and participation of the United
Nation Representative and his staff, to give the people of the territory the
opportunity to exercise freedom of choice. Such arrangements will include:
(a)
Consultations (Musyawarah) with the representative councils on procedures l and
appropriate methods to be followed for ascertaining the freely expressed will
of the population;
(b)
The determination of the actual date of the exercise of free choice within the
period established by the present Agreement;
(c)
Formulation of the questions in such a way as to permit the inhabitants to
decide (a) whether they wish to remain with Indonesia; or (b) whether they wish
to sever their ties with Indonesia;
(d)
The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals, to
participate in the act of self-determination to be carried out in accordance
with international practice, who are resident at the time of the signing of the
present Agreement and at the time of the act of self-determination, including
those residents who departed after 1945 and who return to the territory to
resume residence after the termination of Netherlands administration."
Nah,
dalam Perjanjian New York 15 Agustus 1962 pihak RI telah menyepakati akan
melaksanakan hak kebebasan memilih bagi seluruh bangsa Papua guna menentukan
sikap apakah mereka akan tetap bersama Indonesia atau mereka memutuskan
hubungan dengan Indonesia.
Kemudian,
seluruh orang dewasa, baik laki-laki atau perempuan memiliki hak pilih untuk
berpartisipasi dalam penentuan nasib sendiri yang akan dijalankan sesuai dengan
aturan internasional. Dimana mereka yang punya hak pilih itu adalah mereka yang
tinggal di Papua saat Perjanjian New York ditandatangani dan mereka yang berada
di Papua ketika pepera dilaksanakan, termasuk mereka penduduk Papua yang
meninggalkan Papua setelah 1945 dan kembali ke Papua dan menguruskan kembali kependudukannya
setelah berakhirnya pemerintahan Belanda (1 Mei 1963).
Ternyata
dalam prakteknya, pepera yang dijalankan oleh Pemerintah Jenderal Soeharto
tidak mengikuti apa yang telah disepakati dalam Perjanjian New York Article
XVIII (d).
Jenderal
Soeharto tidak memberikan hak pilih kepada seluruh bangsa Papua sebagaimana
tercantum dalam Perjanjian New York Article XVIII (d), melainkan melakukan
pepera berdasarkan metode pemilihan dan penunjukkan wakil-wakil yang didudukkan
dalam Dewan Musyawarah Pepera yang berjumlah 1026 anggota dari delapan
kabupaten, yang terdiri dari 983 pria dan 43 wanita.
Nah,
pembentukan, penunjukkan wakil-wakil yang duduk dalam Dewan Musyawarah Pepera
itu didasarkan kepada hasil konsultasi dengan Dewan-Dewan Kabupaten di Jayapura
tentang tatacara penyelenggaraan Pepera pada tanggal 24 Maret 1969. Kemudian
pada bulan Juni 1969 berakhir pemilihan anggota Dewan Musyawarah Pepera yang
berjumlah 1026 anggota dari delapan kabupaten. Inilah cara penunjukkan
wakil-wakil rakyat Papua dalam Dewan Musyawarah Pepera.
Selanjutnya,
dilangsungkan pepera itu sendiri, dimulai di Kabupaten-Kabupaten di Merauke
pada tanggal 14 Juli 1969. Misalnya di Kabupaten Pegunungan Jayawijaya
dilakukan pepera pada tanggal 16 Juli 1969. Kemudian di Kabupaten Sorong
dilakukan pepera pada tanggal 26 Juli 1969. Dan berakhir di Kabupaten yang ada
di Jayapura pada tanggal 4 Agustus 1969.
Caranya
pepera itu sendiri bukan seperti yang dilakukan menurut aturan internasional,
dimana setiap orang dengan bebas dan rahasia menentukan pilihannya, yaitu mau
tetap bersama RI atau mau keluar dari RI. Melainkan, ketika pepera dilakukan di
tiap Kabupaten, itu wakil-wakil dari Kabupaten tersebut, melakukan Sidang Dewan
Musyawarah pepera. Misalnya Sidang Dewan Musyawarah pepera Kabupaten Sorong. Lalu dipilih Ketua Sidang, wakil Ketua sidang, Sekretaris
Sidang. Dan diputuskanlah dalam Sidang
Dewan Musyawarah pepera Kabupaten Sorong ya masuk RI atau tidak masuk
RI.
Tentu saja dalam cara pepera model
begini, hak pilih dengan cara bebas dan rahasia tidak berlaku. Karena itulah memang
masuk akal kalau anggota Kongres Amerika Serikat dalam Sidang Kongres ke 109
yang membicarakan Rancangan UU atau H.R. 2601 yang menyangkut "Foreign
Relations Authorization Act, Fiscal Years 2006 and 2007" menyatakan bahwa
"4) In the New York Agreement, Indonesia formally recognized ``the
eligibility of all adults [in Papua] . . . to participate in [an] act of
self-determination to be carried out in accordance with international
practice'', and pledged ``to give the people of the territory the opportunity
to exercise freedom of choice . . . before the end of 1969''. (5) In July and
August 1969, Indonesia conducted an ``Act of Free Choice'', in which 1,025
selected Papuan elders voted unanimously to join Indonesia, in circumstances
that were subject to both overt and covert forms of manipulation."
Dimana
anggota Kongres Amerika Serikat tersebut mempertanyakan keabsahan dari cara
pepera model Jenderal Soeharto dalam bentuk Sidang Dewan Musyawarah pepera
Kabupaten per Kabupaten, yang membuka peluang adanya bentuk manipulasi secara
terangan-terangan dan secara tertutup.
Memang,
dilihat dari salah satu syarat dilangsungkannya pepera itu harus disaksikan
oleh utusan Sekjen PBB, sebagaimana yang tertuang dalam Perjanjian New York
Article XVII. Dan Sekjen PBB mengangkat Duta Besar Ortiz Sanz selaku utusan
Sekjen PBB untuk menyaksikan dan melaksanakan freedom of choice bagi seluruh
rakyat dewasa di Papua sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam
Perjanjian New York Article XVIII (d).
Tetapi,
ketika masuk kedalam metode pepera itu sendiri, telah bertentangan dengan
aturan internasional tentang pepera itu sendiri.
Nah,
cara dan metode freedom of choice yang harus dilakukan oleh seluruh rakyat
dewasa Papua baik laki-laki atau perempuan sebagaimana ditentukan dalam
Perjanjian New York Article XVIII (d) ternyata dilanggar oleh Jenderal Soeharto
inilah yang merupakan akar utama bangkitnya seluruh bangsa Papua untuk menuntut
kembali pepera yang sesuai dengan aturan internasional dan dasar hukum
Perjanjian New York Article XVIII (d).
Selama
bangsa Papua tidak diberikan hak pilihnya untuk menentukan nasib mereka sendiri
secara bebas dan rahasia dengan disaksikan oleh utusan PBB, maka selama itu di
Papua tetap akan terus bergejolak jiwa-jiwa perjuangan bangsa Papua untuk
menentukan nasib mereka sendiri (self-determination).
Bagi
yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada
waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung
tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan
artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan
dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
----------
Date:
Mon, 8 Aug 2005 20:08:57 -0700 (PDT)
From:
david goo <lembah_kamuu@yahoo.com>
Subject:
Makasih
Salam
Tuan Ahmad,
Terimakasi
atas berita yang Bapak naikan di Web-site melanesianews, bahwa berita itu
mendukung kemerdekaan Papua Barat. Namun sangat jelas dan tak dapat dipungkiri
bahwa Papua tetap suatu saat akan mengalami satu alam kebebasan. Masalah Papua
yang diangkat dan dimasalahkan DPR Amerika Serikat adalah satu langka majuh dan
mungkin pintuh menujuh Papua lepas dari Ikatan dengan kaum neo-kolonial
Indonesia. Terimakasih daaaaaaaaaaaaaaaaaaa.
David Goo
lembah_kamuu@yahoo.com
Jayapura, Papua
----------
New
York Agreement 15 August 1962
……….
Article
XVI
At
the time of the transfer of full administrative responsibility to Indonesia a
number of United Nations experts, as deemed adequate by the Secretary-General
after consultation with Indonesia, will be designated to remain wherever their
duties require their presence. Their duties will, prior to the arrival of the
United Nations Representative, who will participate at the appropriate time in
the arrangements for self-determination, be limited to advising on, and
assisting in, preparations for carrying out the provisions for
self-determination except in so far as Indonesia and the Secretary-General may
agree upon their performing other expert functions. They will be responsible to
the Secretary-General for the carrying out of their duties.
Article
XVII
Indonesia
will invite the Secretary-General to appoint a Representative who, together
with a staff made up, inter alia, of experts referred to in article XVI, will
carry out the Secretary-General's responsibilities to advise, assist and participate
in arrangements which are the responsibility of Indonesia for the act of free
choice. The Secretary-General will, at the proper time, appoint the United
Nations Representative in order that he and his staff may assume their duties
in the territory one year prior to the date of self-determination. Such
additional staff as the United Nations Representative might feel necessary will
be determined by the Secretary-General after consultations with Indonesia. The
United Nations Representative and his staff will have the same freedom of
movement as provided for the personnel referred to in article XVI.
Article
XVIII
Indonesia
will make arrangements, with the assistance and participation of the United
Nation Representative and his staff, to give the people of the territory the
opportunity to exercise freedom of choice. Such arrangements will include:
(a)
Consultations (Musyawarah) with the representative councils on procedures l and
appropriate methods to be followed for ascertaining the freely expressed will
of the population;
(b)
The determination of the actual date of the exercise of free choice within the
period established by the present Agreement;
(c)
Formulation of the questions in such a way as to permit the inhabitants to
decide (a) whether they wish to remain with Indonesia; or (b) whether they wish
to sever their ties with Indonesia;
(d)
The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals, to
participate in the act of self-determination to be carried out in accordance
with international practice, who are resident at the time of the signing of the
present Agreement and at the time of the act of self-determination, including
those residents who departed after 1945 and who return to the territory to
resume residence after the termination of Netherlands administration.
Article
XIX
The
United Nations Representative will report to the Secretary-General on the
arrangements arrived at for freedom of choice.
Article
XX
The
act of self-determination will be completed before the end of 1969.
Article
XXI
1.
After the exercise of the right of self-determination, Indonesia and the United
Nations Representative will submit final reports to the Secretary-General who
will report to the General Assembly on the conduct of the act of self-determination
and the results thereof.
2.
The Parties to the present Agreement will recognize and abide, by the results
of the act of self-determination.
……….
(New
York Agreement. Agreement Between the Republic of Indonesia and the Kingdom of
the Netherlands Concerning West New Guinea (West Irian) (Signed at the
Headquarters of the United Nations, New York, on 15 August 1962) (Signed)
SUBANDRIO for the Republic of Indonesia. (Signed) J.Herman. VAN ROUEN for the
Kingdom of the Netherlands. (Signed) C. W.A. SCHURMANN for the Kingdom of the
Netherlands.
----------