Stockholm,
2 Agustus 2005
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum
wr wbr.
KABAYAN, ITU DILIBATKAN RAKYAT DALAM MENENTUKAN POLITIK
& PERTAHANAN TIDAK BERTENTANGAN DENGAN ISLAM
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
MANG KABAYAN, ITU DILIBATKAN
RAKYAT DALAM MENENTUKAN POLITIK & PERTAHANAN TIDAK BERTENTANGAN DENGAN
ISLAM
“Salam, Basmalah 3x, Mang Ahmad,
kumaha damang? Kelihatannya masih
seger, syukurlah. Mang, ini hanya untuk pengetahuan sayah sajah. Sayah teh tertarik dengan pernyataan Mang
Ahmad yang berkaitan dengan demokrasi, " ... itu merupakan suatu proses
yang adil dan demokratis untuk bangsa Acheh guna berpartisipasi politik
...dst." Menurut Mang Ahmad, kriteria demokrasi seperti apa yang dimaksud
itu, karena, sepengetahuan sayah, di Negara Islam (misalnya Arab Saudi, dan
mungkin nanti Aceh), perempuan itu tidak boleh ini, tidak boleh itu, yang pada hakekatnya
tidak sama haknya dengan laki-laki; padahal, sepengetahuan sayah juga, di
negara yang bersistem demokrasi tertentu, hak antara pria dan wanita itu bisa
dikatakan sama. Dan, kalau seandainya nanti Acheh mendapat kesempatan menjadi
salah satu Negara Islam, bentuk demokrasinya seperti apa. Karena, sepengetahuan sayah juga, bahwa
dalam hukum Islam, perempuan itu tidak berhak untuk menjadi Imam atau pemimpin
yang membawahi pria.” (Kabayan kabayan, kabayan555@yahoo.com
, Mon, 1
Aug 2005 19:09:46 +0100 (BST))
Baiklah
mang Kabayan di Monterey, California, US.
Rupanya
mang Kabayan masih belum selesai pendidikan Angkatan Lautnya, kelihatan masih
berenang-renang dengan pakaian ampibinya, di sekitar pantai Monterey, dekat
tempat pendidikan Naval Postgraduate School.
Itu
tentang pernyataan mang Ahmad: “... itu merupakan suatu proses yang adil dan
demokratis untuk bangsa Acheh guna berpartisipasi politik ...dst.”.
Menyinggung demokratis dihubungkan
dengan partisipasi politik, memang dalam Islam tidak dilarang. Dan hal ini
dikaitkan kepada kebijaksanaan politik dan pertahanan yang telah dijalankan
Rasulullah saw, ketika dalam menghadapai perang Uhud pada tahun ke tiga Hijrah.
Rasulullah saw telah memintakan partisipasinya pasukan Islam guna memberikan
pendapat dalam hal menentukan sikap, taktik, strategi pertahanan menghadapi
pihak musuh yang datang dari Mekkah. Dimana dalam mengambil keputusan untuk
menentukan kebijaksanaan politik dan pertahanan itu, ternyata sebagian berpendapat,
bahwa sebaiknya mempertahankan Yatsrib dan berperang dari dalam, dan pendapat
ini lebih disenangi Rasulullah saw. Sedangkan sebagian besar berpendapat, bahwa
untuk pergi keluar dan berperang di medan terbuka. Nah, karena adanya desakan
dan keinginan sebagian besar dari para sahabat Rasulullah saw ini, maka
Rasulullah saw memutuskan dengan didasarkan pada sebagian besar pendapat mereka
yang mayoritas itu (Ibnu Sa'd, Ath-Thabaqat al-Kubra, Beirut, 1960).
Nah, disini kelihatan bahwa Islam
tidak melarang rakyat dalam satu negara untuk ikut berpartisipasi dalam
mengambil kebijaksanaan politik, dan keamanan negara. Hanya dalam masalah
kebijaksanaan penetapan dan pengangkatan hukum yang dijadikan pondasi hukum
negara, itu semuanya harus diacukan kepada apa yang telah diturunkan Allah SWT
dan dicontohkan Rasulullah saw.
Sebagaimana yang dicontohkan
Rasulullah saw ketika menentukan taktik strategi politik dan keamanan
menghadapi pihak musuh dalam perang Uhud, yang melibatkan rakyat, dalam hal ini
angkatan perang negara. Dimana penentuan yang dimintakan Rasulullah saw dari
rakyat bukan untuk menetapkan hukum perang, melainkan untuk menentukan
kebijaksanaan politik dan keamanan dalam rangka menghadapi musuh. Karena dasar
hukum perang telah diacukan kepada apa yang telah ditetapkan Allah SWT: ”Dan
perangilah dijalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah
kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampui batas” (QS Al Baqarah, 2: 190).
Nah disinilah perbedaan, antara
mengangkat hukum dengan menerapkan hukum dalam Islam.
Jadi yang dinamakan partisipasi
politik yang diikuti oleh rakyat, memang dalam Islam tidak dilarang. Adapun
yang dinamakan rakyat ini tidak memandang pada genetiknya, apakah itu laki-laki
atau perempuan.
Kemudian soal kepemimpinan,
terutama menyangkut kepemimpinan negara dihubungkan dengan perempuan, memang
dalam Islam ada aturan bakunya. Dan aturan baku ini yang harus dijadikan dasar
hukum dalam satu negara yang konstitusinya mengacu kepada aturan yang
diturunkan Allah SWT dan dicontohkan Rasulullah saw. Adapun dalam masalah
partisipasi dalam kelembagaan negara yang dihubungkan dengan perempuan, itu
tidak ada aturan baku yang dicontohkan Rasulullah saw. Tentu saja, dalam
masalah siapa yang memiliki tanggung jawab teratas, itu memang telah ada aturan
bakunya, misalnya "Arrijalu
qowwamuuna ’alannisaa…” Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita..."( QS An Nisaa', 4: 34).
Nah,
yang dimaksudkan dalam dasar hukum diatas, ditujukan dalam kehidupan pembinaan
keluarga. Artinya, dalam satu bangunan keluarga itu, hanya ada satu pemimpin
rumah tangga, yaitu pihak laki-laki. Sedangkan tanggung jawabnya dalam membina
dan membangun keluarga diserahkan kepada dua belah pihak. Pihak laki-laki
bertanggung jawab keluar, mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Sedangkan
pihak perempuan bertanggung jawab kedalam, mengatur rumah tangga dan menjaga
anggota keluarga di rumah.
Kalau
dalam satu kelembagaan negara yang berada dibawah tanggung jawab pimpinan
negara, maka tidak ada perbedaan yang memisahkan diatas atau dibawah dalam
tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Karena
lembaga negara itu berada dibawah kepemimpinan pimpinan tertinggi negara. Jadi,
kalau pimpinan negara seorang laki-laki, maka dibawahnya tidak ada aturan baku
siapa yang akan memegang jabatan tertentu.
Nah, dalam Islam, yang telah ada
aturan baku yang menyangkut kepemimpinan negara. Artinya pemimpin tertinggi
dalam satu negara, bukan lembaga negara, yang diacukan kepada dasar hukum: ”Aku
mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah..." (QS An Naml, 27: 24).
"...Berkata Balkis:"Ya, Tuhan-ku, sesungguhnya aku telah berbuat
zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah,
Tuhan semesta Alam" (QS An Naml, 27: 44).
Disini
kelihatan dengan jelas, bahwa ketika Ratu Balkis masih berkuasa dan tidak ada
hubungannya dengan Islam, maka ia berdiri diatas negeri sebagai Ratu pemimpin
tertinggi negeri. Tetapi, ketika ia telah menyatu kedalam Islam, maka ia berada
dibawah kepemimpinan Nabi Sulaiman.
Jadi
disini, telah digambarkan bahwa aturan baku dalam Islam, adalah pemimpin
tertinggi dipegang oleh pihak laki-laki. Inilah
aturan baku dalam hal kepemimpinan dalam Islam. Sedangkan untuk lembaga dibawahnya,
tidak ada aturan baku. Karena itu, Ratu Balkis, ketika telah bergabung dengan
Kerajaan Nabi Sulaiman, ia berada dibawah kepemimpinan Raja dan sekaligus Nabi
Sulaiman.
Begitu juga acuan hukum tentang
kepemimpinan tertinggi dalam Islam telah dinyatakan Rasulullah saw: ”Tidak akan
pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka
kepada seorang wanita” (HR. Bukhari).
Nah,
dari kedua dasar acuan hukum naqli diatas, yang dipakai dalam negara yang
konstitusi negaranya mengacu kepada apa yang diturunkan Allah SWT dan
Rasulullah saw, maka kelihatan dengan jelas, bahwa sebagai pemimpin tertinggi
dalam satu negara dipegang oleh kaum laki-laki. Inilah
aturan baku dalam Islam tentang kepemimpinan tertinggi dalam satu negara.
Adapun untuk lembaga-lembaga negara yang ada dibawahnya, itu dipegang oleh
siapapun, tanpa memandang kepada jenis genetik, apakah itu laki-laki atau perempuan.
Begitu juga yang menyangkut
masalah ibadah, seperti shalat berjamaah baik di dalam rumah, atau di masjid,
maka perlu mengacu kepada dasar hukum yang telah baku. Misalnya shalat
berjamaah di rumah, itu pihak kepala keluarga yang menjadi imam shalat
berjamaah. Begitu juga dalam shalat berjamaah di masjid, itu mengacu kepada
dasar hukum pemimpin negara, dimana pihak laki-laki yang menjadi imam shalat
berjamaah di masjid. Tetapi, kalau dalam jamaah itu hanya terdiri dari
sekumpulan kaum perempuan, dan tidak ada laki-laki, maka diantara perempuan itu
dipilih siapa yang akan menjadi imam untuk memimpin shalat berjamaah dalam
kumpulan perempuan itu.
Jadi, dalam Islam hak-hak politis
yang dimiliki oleh rakyat dalam satu negara untuk diterapkan dalam kegiatan
politis tidak ditentang oleh Islam dan tidak bertentangan dengan aturan baku
yang ada dalam Islam.
Nah hak-hak politis yang
dihubungkan dengan demokratis inilah yang dimaksudkan dengan pernyataan mang
Ahmad diatas: ”merupakan suatu proses yang adil dan demokratis untuk bangsa
Acheh guna berpartisipasi politik”
Bagi yang ada minat untuk
menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada
saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu
yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan
lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya kepada
Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk,
amin *.*
Wassalam.
Ahmad Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
----------
Date:
Mon, 1 Aug 2005 19:09:46 +0100 (BST)
From: kabayan kabayan kabayan555@yahoo.com
Subject:
Demokrasi dan Islam
To:
Ahmad Sudirman ahmad@dataphone.se
Salam,
Basmalah 3x,
Mang Ahmad, kumaha damang? Kelihatannya masih seger, syukurlah.
Mang, ini hanya untuk pengetahuan
sayah sajah. Sayah teh tertarik dengan
pernyataan Mang Ahmad yang berkaitan dengan demokrasi, " ... itu merupakan
suatu proses yang adil dan demokratis untuk bangsa Acheh guna berpartisipasi
politik ...dst."
Menurut Mang Ahmad, kriteria
demokrasi seperti apa yang dimaksud itu, karena, sepengetahuan sayah, di Negara
Islam (misalnya Arab Saudi, dan mungkin nanti Aceh), perempuan itu tidak boleh
ini, tidak boleh itu, yang pada hakekatnya tidak sama haknya dengan laki-laki;
padahal, sepengetahuan sayah juga, di negara yang bersistem demokrasi tertentu,
hak antara pria dan wanita itu bisa dikatakan sama.
Dan, kalau seandainya nanti Acheh
mendapat kesempatan menjadi salah satu Negara Islam, bentuk demokrasinya
seperti apa. Karena, sepengetahuan
sayah juga, bahwa dalam hukum Islam, perempuan itu tidak berhak untuk menjadi
Imam atau pemimpin yang membawahi pria.
Hatur
nuhun Mang,
Hamdalah,
wassalam.
Kabayan.
Naval
Postgraduate School
Monterey,
California, US
----------