Stockholm, 2 Juni 2005

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Assalamu'alaikum wr wbr.


MUBA, ITU KOMISI I DPR & PARA JENDERAL TNI-JAWA YANG TIDAK MAU DAMAI DI ACHEH

Ahmad Sudirman

Stockholm - SWEDIA.



MUBA DIJON, ITU KOMISI I DPR & PARA JENDERAL TNI-JAWA YANG TIDAK MAU DAMAI DI ACHEH

 

""Perundingan" ini tidak mungkin menyebabkan NAD lepas dari RI. GAM dan RI sejak semula sepakat dengan prinsip "all or nothing", artinya semuanya disepakati atau tidak satupun disepakati. Keduanya, GAM dan RI, pada akhirnya akan mengungkapkan "all" atau "nothing" terhadap "perundingan" ini. Sadar akan prinsip "all or nothing" itu, GAM melakukan sebuah "terobosan" dengan menyingkirkan issue kemerdekaan dan menggantinya dengan istilah karet "self government". "Terobosan" itu actually hanyalah main-main. Dalam berbagai press releasenya GAM mengatakan "tidak membuang cita-cita kemerdekaan itu". Juga seperti disampaikan Ahmad Sudirman dalam berbagai kesempatan, istilah karet "self government" adalah "umpan bagi pihak RI". Masuk akal sih jika "terobosan" itu hanya main-main, toh GAM dapat menarik kembali umpan itu dan kembali ke tuntutannya merdeka, cukup dengan mengatakan "nothing".” (Muba Zir , mbzr00@yahoo.com , Thu, 2 Jun 2005 03:31:20 -0700 (PDT))

 

Baiklah Muba di Dijon, Bourgogne, Perancis.

 

Muba Dijon, kalau kalian melihat dari sudut garis pagar buatan sendiri yang berbentuk UU No.18/2001 dengan kerangka unfinal NKRI-nya, memang kelihatan, itu tuntutan ASNLF dalam hal kebebasan membentuk partai-partai lokal di Acheh dianggap aneh dan asing. Mengapa ?

 

Karena, dengan lahirnya partai-partai lokal di Acheh akan merupakan penutup jalan bagi partai-partai politik RI lainnya, seperti Golkar, PDI-P, PAN, PKS, PKB, PD, PPP dan partai politik lainnya untuk menancapkan kakinya di Acheh. Dan dengan lahirnya partai-partai lokal di Acheh untuk secara bersama-sama membangun dan mengatur wilayah teritorial Negeri Acheh sendiri oleh rakyat Acheh akan memberikan kesulitan bagi pihak partai politik yang ada di RI untuk tetap menancapkan kakinya di bumi Acheh, sebagaimana yang dilakukan dan terjadi berdasarkan payung hukum undang-undang kepartaian dan undang undang pemilihan legislatif di RI yang berlaku sekarang ini.

 

Dengan lahirnya partai-partai lokal di Acheh akan memberikan secara penuh bagi seluruh rakyat Aheh hanya untuk menfokuskan membangun Negeri Acheh, tanpa harus memikirkan dan dipusingkan dengan kegiatan di luar wilayah teritorial Negeri Acheh. Dan seluruh rakyat di Acheh dengan berbagai suku yang ada di Acheh secara bersama hanya membangun dan mengembangkan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada di Acheh tanpa harus mendapat dan mengimpor dari luar Acheh.

 

Nah, dengan alasan dan dasar inilah mengapa itu pihak DPR, Eksekutif, Partai-partai politik di RI, dan para Jenderal TNI secara mentah-mentah menolak usulan dan kartu yang dosodorkan oleh ASNLF dalam Perundingan di Vantaa, Finlandia itu.

 

Tentu saja, pihak DPR, Eksekutif, Partai-partai politik di RI, dan para Jenderal TNI dengan memakai cara apapun akan menyetop usaha dari seluruh rakyat Acheh yang ingin membangun wilayah teritorial Negeri Acheh oleh rakyat Acheh sendiri secara penuh. Contohnya seperti yang dilambungkan oleh Ketua DPR Agung Laksono yang dengan emosional melambungkan emosinya: “Kami akan segera berkirim surat kepada Presiden untuk segera setop perundingan” (Ketua DPR Agung Laksono, Jakarta, Rabu, 1 Juni 2005)

 

Dengan dilambungkannya emosi Agung Laksono atas jalannya Perundingan ASNLF-RI di Vantaa, Finlandia itu, menggambarkan secara jelas bahwa memang pihak DPR sudah sedemikian khawatir apabila keinginan seluruh rakyat Acheh untuk mengatur wilayah teritorial Negeri Acheh oleh rakyat Acheh diatas kaki sendiri akan terlaksana.

 

Kekhawatiran Laksono memang tidak sampai disitu saja, melainkan juga berusaha untuk memaksakan secara sepihak keinginan untuk terus menganeksasi dan menduduki wilayah teritorial negeri Acheh dengan hanya menyodorkan satu opsi saja, yaitu terima otonomi khusus dalam sangkar NKRI. Titik. Kan, budek dan gompal, itu Laksono Jawa satu ini.

 

Disamping itu pihak DPR, Eksekutif, Partai-partai politik di RI, dan para Jenderal TNI terus berusaha untuk menjadikan mitos dan lambang garuda dan untaian bhineka tunggal ika-nya mpu Tantular sebagai tali buhul ikatan. Padahal tali buhul mitos sebagai tali pengikat itu pemakaiannya harus diserahkan kepada kesediaan seluruh rakyat Acheh. Dan kalau rakyat Acheh yang sudah 400 tahun lebih telah memiliki tali ikatan untuk dipakai dalam kehiduapn rakyat Acheh, yang merupakan simbol-simbol tradisi rakyat Acheh seperti lagu, bahasa, bendera, lambang, maka simbol-simbol tradisi rakyat Acheh ini tidak bisa dengan mudah digantikan dengan begitu saja dengan simbol yang asal usulnya tidak ada hubungannya dengan asal usul rakyat Acheh di wilayah Negeri Acheh.

 

Nah, pemaksaan untuk menerapkan dan melaksanakan simbol simbol baru yang tidak tentu asal usulnya itu, seperti tali buhul bhineka tunggal ika yang tidak ada hubungannya dengan sejarah bangsa Acheh, dan juga pancasila yang sangat jauh dari nilai-nilai yang sudah tertanam ratusan tahun di wilayah Acheh, jelas itu merupakan suatu usaha pemusnahan dan penghancuran nilai-nilai dan norma-norma yang sudah tertanam ratusan tahun di bumi Negeri Acheh ini.

 

Kemudian masalah imigrasi yang merupakan badan yang akan mengatur orang-orang keluar dan masuk Acheh dan mengatur pemberian pasilitas seperti masalah paspor dan visa. Itu semuanya adalah merupakan kewenangan pemerintah Acheh sebagai pemerintahan sendiri di Acheh. Kalau ada alasan bahwa yang berhak mengeluarkan paspor adalah pihak RI, itu hanya merupakan alasan kalau Acheh statusnya sebagaimana yang ada dan berlaku sekarang ini. Adapun kalau di Acheh berlaku Pemerintahan Sendiri, jelas itu tanggung jawab Pemerintah Acheh untuk mengatur dan mengeluarkan paspor bagi warga Acheh untuk dipakai sebagai alat formalitas identitas warga Acheh yang akan keluar dari Acheh untuk menuju ke Negara-Negara lain.

 

Jadi, tidak ada alasan kalau pihak RI menolak kepada pihak Pemerintahan Sendiri di Acheh untuk mengeluarkan paspor bagi warga Acheh dan visa bagi orang yang akan masuk ke Acheh.

 

Dalam membicarakan Pemerintahan sendiri di Acheh ini bukan merupakan main-main, tetapi uasaha dari pihak ASNLF melalui jalur politik dalam bentuk perundingan guna mencapai perdamaian dan keamanan di Acheh.

 

Dalam setiap kata, kalimat, yang didalamnya berisikan usulan, pendapat, pemikiran, pemecahan, itu semuanya telah digodok secara matang. Jadi pembicaran point-point dalam perundingan di Vantaa itu bukan hanya main-main, melainkan merupakan usaha yang sungguh-sungguh untuk mencari penyelesaian damai di Acheh.

 

Kalau dalam setiap point sudah digodok secara matang dan masih-masing pihak telah mencapai kesepahaman atas point-point itu, bagaimana bisa dikatakan penggodokan itu sebagai suatu langkah dan cara main-main.

 

Disini bisa diuji pada akhirnya nanti, yaitu siapa yang sebenarnya tidak ingin berdamai di Acheh. Suatu hal yang tidak masuk akal apabila dalam setiap pembicaraan, diskusi, perdebatan tentang point-point tertentu, kemudian dicapai kesepahaman, tetapi pada akhirnya dibuang begitu saja atau dijilat kembali apa yang sudah dipahami bersama itu.

 

Dan berdasarkan dari point-point yang telah mencapai kesepahaman inilah yang akan dituangkan kedalam dokumen dasar yang akan dibuat oleh pihak Presiden Martti Ahtisaari untuk dijadikan landasan pembicaraan dalam perundingan yang akan datang, 12 Juli 2005 guna mencapai kesepakatan dan penandatanganan perundingan damai ini.

 

Nah sekarang, apakah pihak DPR, Eksekutif, Partai-partai politik di RI, dan para Jenderal TNI akan menjilat ludah kembali atas apa yang telah dicapai kesepahaman dalam masalah point-point yang telah dibicarakan, didiskusikan, dibaca secara telili, dianalisa, diulang-ulang pembacaannya, dan disimpulkan oleh tim juru rundingnya yang dipimpin oleh Hamid Awaluddin itu ?.

 

Kalau pihak DPR, Eksekutif, Partai-partai politik di RI, dan para Jenderal nantinya akan menolak secara keseluruhan dari apa yang telah dirundingkan di Vantaa, Finlandia itu, maka itu menunjukkan bahwa pihak RI memang secara sadar tidak ingin menciptakan kedamaian dan keamanan di Acheh.

 

Lihat saja buktinya sekarang, bagaimana pihak DPR khususnya dari Komisi I dan dari Ketua DPR Agung Laksono sudah melambungkan sikap negatif atas langkah dan sikap yang telah dicapai dalam perundingan di Vantaa, Finlandia itu.

 

Jadi, sampai sejauh ini, sudah bisa ditebak bahwa sebenarnya justru dari pihak RI, khususnya dari pihak DPR yang tidak ingin timbulnya perdamaian dan keamanan di Acheh. Dengan hanya menyodorkan satu pilihan, seperti kerangka burung garuda pancasila NKRI dan undang undang otonomi khususnya No.18/2001 untuk disuapkan kemulut-mulut tim juru runding ASNLF adalah menunjukkan bagaimana pihak DPR, khususnya Agung Laksono merasa kegerahan dan kebakaran jenggot melihat adanya kemajuan yang telah dicapai dari perundingan di Vantaa, Finlandia yang sudah mencapai ronde ke-4 ini.

 

Seharusnya itu Agung laksono menyadari bahwa kedamaian dan keamanan di Acheh adalah lebih penting daripada hanya ingin terus mendekap tanah Negeri Acheh dan membiarkan pasukan non-organik TNI budek-Jawa-nya  membunuh rakyat muslim Acheh yang telah sadar untuk menentukan nasib sendiri.

 

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad


Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*


Wassalam.


Ahmad Sudirman


http://www.dataphone.se/~ahmad

www.ahmad-sudirman.com

ahmad@dataphone.se

----------

 

Date: Thu, 2 Jun 2005 03:31:20 -0700 (PDT)

From: muba zir mbzr00@yahoo.com

Subject: Re: BAKHTIAR ABDULLAH: LAPORAN RINGKAS PERUNDINGAN GAM-RI RONDE KE-4, HELSINKI, FINLANDIA, 26-31 MEI, 2005

To: Ahmad Sudirman ahmad@dataphone.se

Cc: AcehA_yoosran <a_yoosran@yahoo.com>, Acehabu_dipeureulak <abu_dipeureulak@yahoo.com>, AcehAhmad_mattulesy <ahmad_mattulesy@yahoo.com>, AcehAhmadGPK <ahmad@dataphone.se>, Acehalasytar_acheh <alasytar_acheh@yahoo.com>, acehalchaidar <alchaidar@yahoo.com>, Acehapalambak2000 <apalambak2000@yahoo.ca>, AcehBambang bambang_hw@rekayasa.co.id

 

Adalah aneh memang jika di sebuah provinsi dari sebuah negara kesatuan seperti Republik Indonesia terdapat "partai politik lokal". Akan tidak aneh jika itu terjadi di negara federal. Bagaimanapun, Indonesia bukanlah negara otoriter. SBY-JK tentu tidak akan mampu menerima usulan "partai politik lokal" itu. Kekuatan politik nasional besar seperti Golkar, PDIP, PK, PD, PP, PAN, PKB, dan lainnya melalui DPR/MPR tentu akan menolak usulan menggelikan itu, hi hi...

 

"Perundingan" ini tidak mungkin menyebabkan NAD lepas dari RI. GAM dan RI sejak semula sepakat dengan prinsip "all or nothing", artinya semuanya disepakati atau tidak satupun disepakati. Keduanya, GAM dan RI, pada akhirnya akan mengungkapkan "all" atau "nothing" terhadap "perundingan" ini.

 

Sadar akan prinsip "all or nothing" itu, GAM melakukan sebuah "terobosan" dengan menyingkirkan issue kemerdekaan dan menggantinya dengan istilah karet "self government". "Terobosan" itu actually hanyalah main-main. Dalam berbagai press releasenya GAM mengatakan "tidak membuang cita-cita kemerdekaan itu". Juga seperti disampaikan Ahmad Sudirman dalam berbagai kesempatan, istilah karet "self government" adalah "umpan bagi pihak RI". Masuk akal sih jika "terobosan" itu hanya main-main, toh GAM dapat menarik kembali umpan itu dan kembali ke tuntutannya merdeka, cukup dengan mengatakan "nothing". Penyataan "nothing" dapat keluar begitu saja dari mulut Bakhtiar Abdullah karena

masalah yang sangat sepele, misalnya jika Hamid Awaluddin bicara tentang Dora yang Yahudi, ha ha... Tapi, alasan apapun memang diperlukan agar umpan berbentuk istilah karet "self government" itu dapat ditarik dan kembali ke posisi ngotot dan tidak masuk akal semula, merdeka, ha ha... Itu tidak aneh, GAM kan sudah terbiasa menjilat ludah sendiri... Hiiiyyy...

jijay...

 

Ini memang hanya sebuah upaya RI menyadarkan GAM untuk tidak terus-terusan merusak kedamaian rakyat NAD. Jauh sebelum akhir "perundingan" putaran ke-4 ini aku sudah bilang: "Terima otonomi nggak? Kalau nggak, ya sudah...". Terlalu lugu memang Hamid dkk ini mau saja masuk dalam arena main-main ini... Seperti yang nggak punya kerjaan lain aja yang lebih bermaslahat... Itulah sebabnya banyak anggota DPR atau pemerhati politik yang bilang: "Hentikan perundingan itu", atau yang lebuh lunak: "Perundingan dengan GAM harus ada batas waktunya", atau yang jengkel: "Emangnya GAM/ASNLF itu representasi rakyat NAD? Kate siape itu...? Pale lu bau menyan...?". He he...

 

Muba ZR

 

mbzr00@yahoo.com
Dijon, Bourgogne, Perancis

----------