Stockholm, 22 Maret 2005

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

KELEMAHAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA MELIHAT ACHEH DAN NII
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

KEPINCANGAN DAN KELEMAHAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA KETIKA MELIHAT ACHEH DAN MELIHAT NII IMAM SM KARTOSOEWIRJO

"Sebagai negeri kaum Muslim yang terbesar, Indonesia tentu mempunyai potensi yang sangat besar sebagai bagian dalam perjuangan penegakan Khilafah. Apalagi dalam sejarahnya, Islam masuk ke Indonesia kan berjalan dengan smart, bukan melalui peperangan. Ini jelas merupakan potensi yang luar biasa dari masyarakat Indonesia dalam menerima Islam; meski itu bukan berarti tanpa hambatan. Hambatannya, saya kira, justru terletak pada sejumlah penyesatan intelektual dan politik yang didesain sedemikian rupa sehingga masyarakat di negeri ini menjadi 'tak sadarkan diri'" (Ketua DPP HTI Hafidz Abdurrahman)

Baiklah saudara Syabab Muslim atau aktivis Muslim atau saudara Abdullah Alpadangi di Jeddah, Makkah , Saudi Arabia

Setelah membaca hasil wawancara dengan Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia Hafidz Abdurrahman yang dilampirkan oleh saudara Syabab Muslim atau aktivis Muslim, atau saudara Abdullah Alpadangi, ternyata ada beberapa hal yang perlu diberi garis bawah.

Karena saudara Ketua Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia Abdurrahman orang Indonesia, tentu saja ia seharusnya mengenal dan mengetahui secara mendalam mengenai pertumbuhan dan perkembangan Negara-Negara yang ada di Nusantara ini.

Nah, menyinggung masalah Negara Acheh, NII di Acheh dan NII di Jawa Barat, kelihatan itu saudara Abdurrahman sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia sangat minim sekali. Mengapa ?

Karena, ketika saudara Abdurrahman menyinggung masalah Indonesia dan Acheh, ia hanya menyatakan: "Sebagai negeri kaum Muslim yang terbesar, Indonesia tentu mempunyai potensi yang sangat besar sebagai bagian dalam perjuangan penegakan Khilafah. Apalagi dalam sejarahnya, Islam masuk ke Indonesia kan berjalan dengan smart, bukan melalui peperangan. Seperti sekarang, untuk membangun kembali Aceh, misalnya, Indonesia tidak perlu ngutang ke negara-negara imperialis, karena seluruh kekayaan negeri kaum Muslim adalah satu. Mereka diikat oleh satu akidah, bukan nasionalisme."

Nah, dari apa yang dilambungkan saudara Abdurrahman ini, memang kelihatan bahwa walaupun saudara Abdurrahman orang Indonesia, dan sekarang menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia, tetapi dalam hal pengetahuan tentang sejarah jalur pertumbuhan dan perkembangan Negara-Negara di Nusantara ini sangatlah lemah, apalagi mengenai konflik Acheh ini.

Dengan saudara Abdurrahman menyatakan bahwa Indonesia sebagai negeri kaum Muslim yang terbesar, itu berarti telah menunjukkan kelemahan dari pihak saudara Abdurrahman melihat Negara RI ini.

Dimana ternyata saudara Abdurrahman hanya melihat secara kwantatif rakyat yang ada di RI yang kebetulan berlabelkan Islam, maka lahirlah nama atau istilah negeri kaum muslim. Atau dengan kata lain Negara kaum muslim, atau negara muslim. Pengertian negara muslim inipun kalau dikenakan kepada RI adalah salah kaprah dan tidak mengena. Mengapa ?

Karena, kalau kita telusuri secara lebih mendalam apa yang ada dalam tubuh Negara RI ini, maka akan terbukti bahwa pernyataan saudara Abdurrahman tentang negeri muslim Indonesia tidak kena. Disebabkan kalau diacukan kepada apa yang dicontohkan Rasulullah saw dengan Daulah Islamiyah pertamanya di Yatsrib dan yang telah dikembangkan oleh Khulafaur Rasyidin, maka yang namanya negara RI adalah negara yang bertolak belakang dengan Daulah Islamiyah Rasulullah dan Khilafah Islamiyah Khulafaur Rasyidin.

Artinya, Negara RI adalah bukan Negara muslim melainkan Negara yang telah memisahkan Agama dari kehidupan masyarakat, pemerintahan dan negara. Atau dengan kata lain, Negara RI adalah Negara sekuler RI atau Negara sekuler Pancasila RI.

Nah, disinilah kelihatan itu saudara Abdurrahman tidak mampu dan mungkin tidak berani menyatakan hal yang sebenarnya tentang Negara RI ini, melainkan hanya berlindung dibalik kedok nama atau label negeri kaum muslim terbesar. Inilah kemunafikan yang nyata.

Kalau pihak partai politik pembebasan atau Hizbut Tahrir Indonesia ini berani secara jujur melihat mengenai Negara RI itu sendiri, maka tidaklah mungkin lahir pernyataan saudara Abdurrahman yang menyatakan Indonesia sebagai negeri muslim terbesar. Padahal kenyataannya adalah Negeri atau Negara sekuler terbesar di dunia dengan penduduk hampir mencapai 240 juta jiwa itu.

Bagaimana mungkin akan lahir dari Negara sekuler terbesar dunia ini Khilafah Islamiyah seperti yang dicita-citakan oleh saudara Abdurrahman, itu hanyalah mimpi saja.

Dan yang sangat membingungkan yang disampaikan oleh saudara Abdurrahman adalah: "Apalagi dalam sejarahnya, Islam masuk ke Indonesia kan berjalan dengan smart, bukan melalui peperangan. Ini jelas merupakan potensi yang luar biasa dari masyarakat Indonesia dalam menerima Islam"

Inilah pernyataan yang sama sekali salah besar. Mengapa ?

Karena, Islam tegak terutama di Acheh, Sumatera itu bukan dengan cara ongkang-ongkang duduk diatas singgasana saja, melainkan Islam ditegakkan dengan kekuatan melalui lindungan Negara. Coba perhatikan dan tengok kebelakang sejarah apa yang terjadi di Acheh, Sumatera.

Dimana ketika Samudra Pasai yang berpusat di Samudera (Kabupaten Aceh Utara sekarang) yang dikenal sebagai Kerajaan Melayu pertama yang memeluk agama Islam dibawah Penguasa Raja Merah Silu (1275-1297) yang berganti nama menjadi Sultan Malik al-Salih setelah memeluk Islam. Ketika Sultan Malik al-Salih wafat, diteruskan oleh Sultan Muhammad Malik ad-Dhahir (1297-1326), kemudian diteruskan oleh Sultan Ahmad Malik Ad-Dhahir (1326-1371).

Nah, apa yang terjadi selanjutnya. Ternyata pada tahun 1350 Kerajaan hindu Majapahit dibawah Raja Hayam Wuruk dengan gelar Rajasanegara dengan dibantu oleh Patih Gajah Mada menyerang Kesultanan Samudra Pasai. Dan Kesultanan Samudra Pasai dapat ditundukkan. Walaupun Kesultanan Samudra Pasai berada dibawah kekuasaan Kerajaan hindu Majapahit, tetapi Kesultanan Samudra Pasai masih tetap diakui kedaulatannya hanya diharuskan membayar upeti kepada Prabu Majapahit, tidak boleh mengadakan hubungan dagang dengan luar negeri, dan tidak boleh mengadakan hubungan dengan luar negeri yang bisda membahayakan Kerajaan Majapahit. Kemudian setelah Sultan Ahmad Malik Ad-Dhahir mangkat digantikan oleh Sultan Zainal Abidin Malik (1371-1405), selanjutnya diteruskan oleh Sultan Hidayah Malik, dan Nahrisyah.

Tetapi apa yang terjadi selanjutnya. Ternyata hampir bersamaan dengan munculnya Kesultanan Samudra Pasai, diwilayah sebelah ujung utara Sumatra (Banda Acheh sekarang) lahir Kesultanan Acheh yang dipimpin oleh Sultan Johan Syah sekitar tahun 601 H / 1205 M, setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Hindu Indra Purba yang beribukota di Bandar Lamuri.

Dimana Kesultanan Acheh yang dibangun oleh Sultan Johan Syah ini beribu kota di Banda Acheh. Ketika Sultan Ali Mughayat Syah (1514 - 1528) memegang kekuasaan di Kesultanan Acheh ini, ternyata Kesultanan Samudra Pasai pada tahun 1524 dapat dikuasainya, setahun sebelum Kerajaan Majapahit dihancurkan oleh Kesultanan Demak pada tahun 1525. Dan Banda Acheh dijadikan sebagai Ibu Kota Kesultanan Acheh yang daerah kekuasaannya makin meluas setelah Kesultanan Samudra Pasai berada dibawah kendalinya.

Dan pada tahun 1521, armada laut Kesultanan Acheh menghancurkan kekuatan Portugis pimpinan Jorge de Brito. Sepeninggal Sultan Ali Mughayat Syah, Kesultanan Acheh dipegang oleh putranya, Sultan Salahuddin (1528 - 1537) yang menyerang Malaka pada tahun 1537 tetapi serangannya gagal. Ketika Sultan Salahuddin wafat digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah (1537 - 1568) yang digelari al Kahar yang berarti penakluk.

Ketika Sultan Alauddin Riayat Syah al Kahar wafat pada tanggal 28 September 1571, timbullah perebutan kekuasaan, sampai seorang tua bernama Sayyid Al-Mukammil disepakati menjadi raja. Kemudian Sultan Ali Riayat Syah (1568 - 1573) menggantikan Al-Mukammil. Tidak lama setelah itu Kesultanan Acheh diserbu oleh pasukan perang Portugis. Dan Sultan Ali Riayat Syah wafat dalam serbuan itu. Seterusnya digantikan oleh Sultan Seri Alam (1576 - 1604), kemudian dilanjutkan oleh Sultan Muda (1604 - 1607).

Disaat Kesultanan Acheh berada dibawah pendudukan Portugis, bangkitlah Iskandar Muda memimpin perlawanan dan mampu mengusir Portugis. Dan pada tanggal 6 Dzulkhijjah 1015 H / 3 April 1607 M, Iskandar Muda dinobatkan sebagai Sultan.

Dibawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda Benteng Deli dijebol. Johor (1613), Pahang (1618), Kedah (1619) dan Tuah (1620) ditundukkan oleh Sultan Iskandar Muda. Sultan Iskandar Muda wafat pada 29 Rajab 1046 H / 27 Desember 1636. Kemudian ia digantikan menantunya, Sultan Iskandar Tsani (1636 - 1641). Ketika Sultan Iskandar Tsani wafat digantikan oleh istrinya, Sri Sultan Taju al Alam Syafiatuddin Syah (1641-1675). Dan setelah itu, tiga perempuan memegang kekuasaan di Kesultanan Acheh. Dimana mereka itu ialah Sultanah Nurul Alam Zakiatuddin Syah (1675-1677). Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (1677-1688), dan Ratu Kamalat. (1688-1699).

Kesultanan Aceh terus berjalan. Namun, ternyata kekuasaannya makin menyurut. Pertentangan didalam terus berlangsung. Sedangkan pusat kegiatan ekonomi dan politik bergeser ke wilayah Riau, Johor, dan Malaka.

Selama hampir dua abad Kesultanan Acheh tenang, dan baru mucul kembali pada akhir abad 19, ketika Sultan Machmud Syah ( - 26 Januari 1874) muncul kegelanggang, dan Belanda mendeklarkan perang terhadap Kesultanan Acheh pada tanggal 26 Maret 1873. Ketika Sultan Machmud Syah wafat pada tangal 26 Januari 1874. Kekuasaan diserahkan kepada Tuanku Muhammad Dawot yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri.

Nah sekarang dari apa yang diungkapkan secara ringkas mengenai sejarah Kesultanan Acheh diatas, menggambarkan bahwa dari sejak berdirinya Acheh bukan dengan cara ongkang-ongkang sambil isap cerutu, melainkan ditegakkan dengan kekuatan dan perjuangan umat Islam di Acheh dan di Sumatera.

Apakah model perjuangan yang ditunjukkan oleh rakyat muslim Acheh dan Sumatera ini, dikatakan dengan masuknya Islam ke Nusantara dengan aman, tentram, smart, tanpa kekuatan atau tanpa peperangan oleh saudara Abdurrahman ?

Justru yang sekarang dipertanyakan adalah apakah saudara Abdurrahman sedang bermimpi atau tidak, ketika menjelaskan bagaimana sejarah jalur proses pertumbuhan dan perkembangan Islam di Nusantara ini, sehingga saudara Abdurrahman dengan berani menyatakan bahwa "Islam masuk ke Indonesia kan berjalan dengan smart, bukan melalui peperangan."

Selanjutnya, saudara Abdurrahman menyatakan: "Seperti sekarang, untuk membangun kembali Aceh, misalnya, Indonesia tidak perlu ngutang ke negara-negara imperialis, karena seluruh kekayaan negeri kaum Muslim adalah satu. Mereka diikat oleh satu akidah, bukan nasionalisme"

Nah, dari apa yang dinyatakan saudara Abdurrahman ini kelihatan bahwa itu saudara Abdurrahman tidak mengenal dan tidak mengetahui secara mendalam mengenai konflik Acheh. Dimana saudara Abdurrahman menganggap itu Acheh adalah bagian RI. Jadi, dengan menganggap itu Acheh bagian RI, maka lahirlah pernyataan saudara Abdurrahman: "untuk membangun kembali Aceh, misalnya, Indonesia tidak perlu ngutang ke negara-negara imperialis"

Saudara Abdurrahman coba saudara tampilkan di mimbar bebas ini, apakah melalui saudara Syabab atau saudara Abdullah alpadangi, untuk memberikan penjelasan berdasarkan pengetahuan saudara Abdurrahman, bahwa itu Acheh adalah legal dan sah milik RI. Sebelum saudara Abdurahman berbicara melantur mengenai Acheh dan dihubungkan dengan RI.

Kemudian kalau saudara Abdurrahman telah menjelaskan sejarah jalur proses pertumbuhan Acheh dihubungkan dengan RI dengan jelas, terang dan terperinci, maka baru kita akan berdiskusi lebih panjang lagi tentang Acheh hubungannya dengan RI atau Negara sekuler RI.

Kemudian terakhir saudara Abdurrahman menyatakan: "tetap harus dicatat, bahwa Khilafah bukan tujuan perjuangan HT, tetapi metode untuk merealisasikan tujuan untuk memulai kembali kehidupan Islam (Isti'naf al-hayah al-Islamiyah)."

Memang benar, membangun dan menegakkan Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamiyah bukan tujuan, melainkan itu alat untuk menuju kepada keridhaan Allah SWA. Dimana Daulah Islamiyah adalah sebagai tempat memberikan perlindungan kepada kaum muslimin, sebagai tempat untuk mengaplikasikan hukum-hukum Islam, sebagai alat untuk menyebarkan risalah Islam keseluruh penjuru dunia, sebagai benteng pertahanan bagi ummat Islam dari ancaman dan serangan dari pihak luar, dan sebagai tempat untuk beribadah dan untuk mendapat ridha Allah SWT. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw ketika Rasulullah saw membangun Daulah Islamiyah pertama di Yatsrib pada tahun 1 H / 622 M.

Dan tentu saja, di Indonesia sudah berdiri Negara Islam Indonesia yang diproklamasikan oleh Imam NII SM Kartoseowirjo pada tanggal 12 Syawal 1368 / 7 Agustus 1949 di daerah Jawa Barat yang ditinggalkan oleh TNI ke Yogyakarta berdasarkan hasil Perjanjian Renville 17 Januari 1948. Dan wilayah NII secara de-facto sampai sekarang masih dijajah oleh pihak RI.

Jadi, sebenarnya, kalau pihak Hizbut Tahrir Indonesia memang memperjuangkan tegaknya Khilafah Islamiyah dan disuarakan dari Jakarta, maka cobalah pelajari itu bagaimana dengan Negara Islam Indonesia yang sekarang sedang dijajah oleh RI dibawah Susilo Bambang Yudhoyono. Apakah saudara Abdurrahman mau membela Susilo Bambang Yudhoyono atau membela NII dan Negara Acheh yang dijajah oleh pihak RI ?

Kalau saudara Abdurrahman hanya menyuarakan Indonesia saja, itu sama saja dengan saudara Abdurrahman melanggengkan penjajahan di Acheh dan penjajahan wilayah NII Imam SM Kartosoewirjo oleh RI.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
www.ahmad-sudirman.com
ahmad@dataphone.se
---------

Date: Tue, 22 Mar 2005 09:32:01 +0000 (GMT)
From: syabab muslim syabab_hizb_islamiy@yahoo.com
Subject: Ketua DPP HTI Hafidz Abdurrahman: KHILAFAH WAJIB DAN URGEN
To: PPDI@yahoogroups.com, oposisi-list@yahoogroups.com, mimbarbebas@egroups.com, politikmahasiswa@yahoogroups.com, fundamentalis@eGroups.com, Lantak@yahoogroups.com, kuasa_rakyatmiskin@yahoogroups.com, achehnews@yahoogroups.com, asnlfnorwegia@yahoo.com, ahmad@dataphone.se, Serikat-Kaum-Terkutuk@yahoogroups.com, Al Chaidar <alchaidar@yahoo.com>, titinpatrick@plasa.com, mohd_alkhori@qatar.net.qa, bimo_tejokusumo@yahoo.co.uk, Enny.Martono@hm.com, tgk_maat@yahoo.co.uk, inongbale_aceh@yahoo.com, mbzr00@yahoo.com, webmaster@detik.com, redaksi@gatra.com, surat@gatra.com, yuhe1st@yahoo.com, newsletter@waspada.co.id, waspada@waspada.co.id, suparmo@tjp.toshiba.co.jp, solopos@bumi.net.id, serambi_indonesia@yahoo.com, sea@swipnet.se, redaksi@waspada.co.id

Ketua DPP HTI Hafidz Abdurrahman: KHILAFAH WAJIB DAN URGEN

Syabab Muslim

syabab_hizb_islamiy@yahoo.com
Jeddah, Makkah , Saudi Arabia
----------

Wawancara Khusus Al-Wa'ie Edisi 55
Ketua DPP HTI Hafidz Abdurrahman: KHILAFAH WAJIB DAN URGEN

Pengantar Redaksi:
Bagi sebagian kalangan, gagasan untuk memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah Islamiyah di era modern ini adalah gagasan yang tidak rasional dan utopis, di samping tidak relevan di tengah kondisi banyaknya negara yang sudah memiliki sekat-sekat ideologis dan geografis masing-masing, termasuk di Dunia Islam. Wajar jika ungkapan 'tidak rasional', 'utovis', atau 'tidak relevan' sering juga ditujukan ke tubuh Hizbut Tahrir (HT), yang memang merupakan salah satu partai dakwah yang konsisten memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah.

Untuk mengetahui alasan, mengapa HT dari sejak kemunculannya sampai sekarang tetap konsisten memperjuangkan Khilafah, berikut ini kami mewancarai Ustadz Hafidz Abdurrahman, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

HT termasuk di Indonesia selama ini dikenal konsisten memperjuangkan tegaknya Khilafah. Mengapa harus Khilafah?

Setidak-tidaknya ada beberapa alasan: Pertama, karena menegakkan Khilafah hukumnya wajib, bahkan bisa disebut sebagai kewajiban paling agung (a'zham wajibati ad-din). Kewajiban ini telah dinyatakan dengan jelas dalam al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma Sahabat. Nash al-Quran, misalnya, memerintahkan agar kita menaati uli al-amri (pemimpin) dari kalangan kita, yang dalam bahasa al-Quran, uli al-amri minkum. Konteks uli al-amri minkum adalah pemimpin yang wajib ditaati karena ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatannya itu kemudian diwujudkan dalam kebijakannya, yaitu ketika dia mengimplementasikan syariat Islam dalam seluruh aspek pemerintahannya. Jika pemimpin seperti itu tidak ada maka harus diadakan agar ketaatan tersebut bisa diwujudkan. Sebab, tidak mungkin ada perintah untuk menaati ulΠal-amri minkum, sementara ulΠal-amri minkum tidak ada.

Di samping itu, Nabi saw. dengan tegas juga menyatakan: Man Mata walaysa fŒ unuqihi bay'ah mata mitatan jƒhiliyah (Siapa saja yang mati, sedangkan di atas pundaknya tidak ada baiat, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliah). Agar baiat itu ada di atas pundak setiap kaum Muslim, maka harus ada khalifah, karena memang baiat itu hanya untuk khalifah, bukan yang lain. Sekalipun hadis ini isinya berita, ia berkonotasi perintah, yang intinya agar Khalifah (Khilafah) itu diadakan sehingga kita tidak dinyatakan mati jahiliah.

Selain itu, Ijma Sahabat juga telah menyatakan kewajiban mengangkat pemimpin yang menggantikan Nabi saw. dalam ihwal pemerintahan. Semuanya ini menjadi landasan syar'i, mengapa kaum Muslim harus menegakkan Khilafah.

Kedua, karena Khilafah adalah penjaga (haris) Islam dan umatnya. Tanpanya, kata Imam al-Ghazali, Islam dan umatnya akan lenyap. Inilah yang dilukiskan Nabi saw., bahwa imam/khalifah itu sebagai junnah (perisai). Karenanya, para ulama kaum Muslim, baik Syiah, Sunni, Muktazilah maupun Khawarij, telah sepakat atas kewajiban tersebut. Jadi, sangat logis jika persoalan ini dinyatakan sebagai perkara ma'lum min ad-dŒn bi ad-dharurah.

Ketiga, selain fakta sejarah, kenyataan empirik saat ini juga membuktikan urgensi Khilafah dalam membela kepentingan Islam dan kaum Muslim. Saat Islam dicap terorisme, siapa yang membela? Nggak ada. Saat kaum Muslim dinodai kehormatannya, negeri mereka dijajah, kekayaan mereka dijarah, siapa yang membela dan mempertahankannya? Nggak ada. Bandingkan keadaannya dengan saat Khilafah masih ada.

Sekalipun demikian, tetap harus dicatat, bahwa Khilafah bukan tujuan perjuangan HT, tetapi metode untuk merealisasikan tujuan untuk memulai kembali kehidupan Islam (Isti'naf al-hayah al-Islamiyah).

Bisa diperjelas, Ustadz, apa yang dimaksud dengan memulai kembali kehidupan Islam (Isti'naf al-hayah al-Islamiyah)?

Memulai kembali kehidupan Islam (Isti'naf al-hayah al-Islamiyah) artinya kita mengembalikan kehidupan yang pernah dibangun oleh Rasulullah saw. setelah berhasil diwujudkan seiring dengan berdirinya negara di Madinah, yang kemudian setelah beliau wafat, dipertahankan oleh Khulafaur Rasyidin hingga terjadinya revolusi yang dilakukan oleh Kamal Attaturk pada tanggal 3 Maret 1924 M. Revolusi itu telah berhasil menghancurleburkan kehidupan Islam, bersamaan dengan keberhasilannya menghancurkan Khilafah.

Karena itu, perjuangan untuk mewujudkan kehidupan Islam saat ini tidak harus dimulai dari nol, sebab pondasinya masih ada. Ketika Nabi saw. di utus, umat Islam ketika itu memang belum ada, kemudian beliaulah yang membidani kelahirannya. Sejak saat itu hingga sekarang umat Islam tetap eksis dengan Islam yang diajarkan oleh Nabi. Akidah Islam yang menjadi pondasinya pun masih berdiri kokoh di dalam diri mereka; meskipun ada sejumlah perkara yang harus dibersihkan sehingga keyakinan mereka bisa connect dengan hukum-hukum yang dihasilkannya.

Demikian halnya kehidupan yang hendak diwujudkan HT di tengah-tengah masyarakat juga sama sekali bukan hal yang baru, karena sebelumnya sudah dicontohkan pada zaman Nabi saw. dan para khalifah setelahnya. Inilah yang disebut Isti'naf al-hayah al-Islamiyah. Tentu, ini lebih mudah diwujudkan oleh umat Islam ketimbang membangun kehidupan yang sama sekali baru, dan tidak pernah mereka kenal sebelumnya, baik kehidupan yang bercorak kapitalis maupun sosialis.

Artinya, dulu Khilafah pernah tegak?
Ya, bahkan lebih lama daripada usia sistem pemerintahan kapitalis maupun sosialis.

Bisa ustadz memberikan bukti-bukti historis tentang ini.

Bukti-bukti historis adanya Khilafah telah banyak diabadikan oleh ulama kaum Muslim dalam buku-buku sejarah, seperti TƒrŒkh al-Khulafa' karya as-Suyuthi. Fakta tersebut juga telah dituturkan oleh para sejarahwan Muslim secara mutawƒtir sehingga fakta keberadaannya tak terbantahkan oleh siapapun. Akan tetapi, bukti yang paling otentik adalah apa yang tertuang dalam kitab-kitab fikih dan ushuluddin. Kitab-kitab fikih dan usuluddin dipenuhi pembahasan tentang imam (khalifah) dan imamah (khilafah). Kitab-kitab tersebut tidak saja menjelaskan tentang kedudukan imam dan imamah, tetapi juga tentang struktur di bawahnya; seperti wazir tafwidh dan tanfidz, wali, qadhi, dan sebagainya. Mengapa pembahasan tersebut dianggap sebagai bukti otentik? Karena apa yang dibahas di dalamnya adalah fakta yang memang secara real terjadi pada saat itu; fakta itu kemudian dijelaskan hukumnya. Artinya, semua yang dibahas di dalamnya merupakan fakta yang memang ada pada saat itu; bukan hipotesis, yang faktanya tidak ada, selain asumsi yang diada-adakan.

Tapi, ustadz, banyak yang tidak mengerti, bagaimana langkah-langkah HT sehingga kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah bisa kembali tegak?

Memang, karena perjuangan HT itu merupakan perjuangan ideologis, bukan pragmatis. Perjuangan ideologis itu kan sama artinya dengan mengubah kehidupan saat ini, yang notabene bukan kehidupan Islam, hingga menjadi kehidupan Islam. Artinya, realitas kehidupan saat inilah yang harus disesuaikan dengan Islam, dan bukan sebaliknya. Itulah esensi perjuangan ideologis.

Karena itu, ibarat orang yang hendak membangun rumah, harus ada arsitek yang menggambar maket rumah yang hendak dibangun hingga tergambar dengan jelas bentuk, ukuran, bahan, jumlah SDM yang dibutuhkan dan biayanya; termasuk saluran air, listrik, telpon, dan lingkungan di sekitarnya. Maket kehidupan Islam yang hendak diwujudkan oleh HT itu jelas sudah tergambar dengan sangat deskriptif, yang semuanya itu telah dituangkan dalam buku- bukunya; baik berkaitan dengan sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, peradilan, maupun politik luar negeri dan hubungan internasionalnya. Semuanya itu bisa terwujud kalau ada SDM yang qualifide.

Karena itu, HT juga menyiapkan buku-buku untuk mencetak SDM yang dibutuhkan, baik dengan buku-buku yang menjelaskan maket di atas maupun buku-buku yang berkaitan dengan pembentukan SDM, seperti as-Syakhsiyyah al-Islamiyyah. Setelah SDM-nya tersedia, SDM tersebut tinggal di-drive agar bisa mewujudkan apa yang tertuang di dalam maket tadi supaya sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah digariskan; dimulai dengan pembangunan pondasi (marhalah ta'sis), yang dilakukan pada fase tatsqif (pembinaan); dilanjutkan dengan pembudayaan ide dan gagasan yang ingin diwujudkan, dengan cara membangun interaksi ideologis dengan umat, yang dilakukan pada fase tafa'ul ma'a al-ummah. Setelah itu berhasil, yang ditandai, misalnya, dengan perubahan pemahaman, standarisasi, dan keyakinan umat maka umatlah yang akan memberikan mandat kepada siapa saja yang mereka kehendaki untuk mengimplementasikan pemahaman, standarisasi, dan keyakinan mereka. Inilah yang disebut fase istilam al-hukm. Ini bisa terjadi jika ada nushrah (pertolongan) yang diberikan oleh mereka yang memiliki (ahl an-nushrah)-nya.

Uniknya, semuanya tadi berlangsung secara alamiah. Itulah yang dicontohkan oleh Nabi saw.; sebuah perubahan fundamental, tetapi smart, dan tanpa pertumpahan darah. Subhanallah!

Dari penjelasan ustadz, aspek fikriyyah (pemikiran) demikian menonjol dalam perjuangan HT. Mengapa ini penting?

Oh, iya. Karena pemikiran itulah yang menjadi ruh, yang menentukan hidup dan matinya perjuangan. Inilah yang sekaligus membedakan HT dengan kelompok lain.

Tadi Ustadz menyinggung thalab an-nusrah. Bisa Ustadz perjelas maksudnya?

Thalab an-nushrah itu secara harfiah berarti mencari pertolongan (memobilisasi dukungan). Untuk apa? Tentu untuk dakwah; supaya dakwah yang diemban tetap eksis, sekaligus memberikan ruang kepada para pengembannya agar bisa mengemban dakwah.

Nushrah (dukungan/pertolongan) itu bisa dibedakan menjadi dua: Pertama, dalam konteks himayah (perlindungan), seperti himayah Abu Thalib kepada Nabi saw., Abu Daghanah kepada Abu Bakar, Wail as-Sahami kepada Umar, dan sebagainya. Tuntunan Nabi saw. menyatakan, bahwa himayah ini bisa diberikan oleh orang non-Muslim. Kedua, dalam konteks istilam al-hukm (penyerahan mandat), seperti penolakan Nabi saw. atas mandat kekuasaan yang diberikan oleh kaum Kafir Quraisy, sebaliknya beliau menerima mandat dari kaum Muslim Anshar. Tuntunan ini menegaskan, bahwa nushrah dalam konteks istilam al-hukm itu hanya bisa diterima jika yang memberikan adalah kaum Muslim.

Metode HT seperti itu sering disebut utopis. Bagaimana komentar Ustadz?

Semuanya tadi kan proses politik. Ingat, dalam proses politik tidak ada yang utopis. Sebab, tidak ada yang tetap dalam kamus politik. Mengapa? Karena politik itu kan seni kemungkinan. Jadi, semuanya serba mungkin. Apa yang tidak mungkin saat ini, dengan izin Allah, bisa menjadi kemungkinan pada waktu yang akan datang.

Tidak perlu dikhawatirkan, karena proses tadi tidak mengubah apapun kecuali pemikiran. So, yang berubah itu kan hanya pemikirannya, bukan fisiknya. Itu artinya, siapa saja yang menjadi tokoh atau pemimpin pada zaman Jahiliah toh tetap bisa menjadi tokoh dan pemimpin setelah zaman Islam, setelah pemikiran mereka berubah menjadi pemikiran Islam. Ya, kan? Coba, siapa yang menafikan ketokohan Umar, Abu Bakar, dan Hamzah sebelum dan setelah masuk Islam. Nah, jadi semuanya tadi membuktikan, bahwa perubahan seperti ini justru alami, dan smart.

Bisa Ustadz berikan bukti-bukti historis 'keberhasilan' metode seperti itu?
Ya, perjuangan Rasulullah itu.

Kembali ke Khilafah, Ustadz. Apa mungkin Khilafah merupakan solusi terhadap seluruh persoalan umat manusia sekarang?

Ya, Khilafahlah solusinya, meski persoalannya tidak sesederhana yang kita bayangkan. Artinya, Khilafah sebagai solusi memang iya. Tetapi, bagaimana Khilafah menyelesaikan seluruh persoalan umat manusia saat ini, itu kan masih harus dirinci lagi.

Bisa Ustadz memberikan contoh sederhana, bahwa Khilafah adalah solusi?

Sebagai negara kesatuan, Khilafah bisa mengerahkan potensi dana, logistik, SDM dari seluruh negeri untuk membantu daerah bencana di salah satu negerinya. Bencana di Indonesia, misalnya, tidak seharusnya diselesaikan oleh penduduk Indonesia sendiri, karena mereka merupakan satu-kesatuan. Bisa saja logistiknya dari Malaysia, dananya dari Saudi, SDM-nya dari yang lain. Seperti sekarang, untuk membangun kembali Aceh, misalnya, Indonesia tidak perlu ngutang ke negara-negara imperialis, karena seluruh kekayaan negeri kaum Muslim adalah satu. Mereka diikat oleh satu akidah, bukan nasionalisme.

Ada kritikan lain tentang sistem Khilafah ini, yaitu kekhawatiran bahwa Khilafah hanya memberikan kebaikan untuk kaum Muslim. Bagaimana menurut pendapat Ustadz.

Oh, tidak. Justru dengan Khilafah, Islam sebagai rahmatan li al-'alamin yang notabene berlaku untuk Muslim dan non-Muslim secara nyata bisa diwujudkan. Orang non-Muslim bisa hidup di dalam negara Khilafah, tetap sebagai orang non-Muslim; sementara mereka bebas menjalankan agamanya, tradisi pernikahan, termasuk makan dan minum mereka. Mereka juga mempunyai hak hidup yang sama dengan orang Muslim, baik dalam bidang ekonomi maupun pendidikan.

Terakhir, Ustadz. Dalam konteks Indonesia, bisa Ustadz memberikan gambaran harapan dan tantangan untuk tegaknya Khilafah?

Sebagai negeri kaum Muslim yang terbesar, Indonesia tentu mempunyai potensi yang sangat besar sebagai bagian dalam perjuangan penegakan Khilafah. Apalagi dalam sejarahnya, Islam masuk ke Indonesia kan berjalan dengan smart, bukan melalui peperangan. Ini jelas merupakan potensi yang luar biasa dari masyarakat Indonesia dalam menerima Islam; meski itu bukan berarti tanpa hambatan. Hambatannya, saya kira, justru terletak pada sejumlah penyesatan intelektual dan politik yang didesain sedemikian rupa sehingga masyarakat di negeri ini menjadi 'tak sadarkan diri'. []

http://www.hizbut-tahrir.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=428
----------