Stockholm, 14 Februari 2005

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

DHARMINTA, ITU OTONOMI PUTUSANNYA DISERAHKAN PADA SELURUH RAKYAT ACHEH BUKAN DITENTUKAN YUDHOYONO & DPR
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

MATIUS DHARMINTA ITU OTONOMI PUTUSANNYA DISERAHKAN PADA SELURUH RAKYAT ACHEH BUKAN DITENTUKAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO & DPR DENGAN UU NO.18/2001

"Jurang perbedaan kepentingan politik antara RI dan GAM sangat jauh. Misalnya, tujuan berunding serta pemahaman mengenai perdamaian. Bagi RI damai di Aceh berarti tiada kontak senjata, GAM harus menerima otonomi khusus Aceh, serta mereka kembali ke pangkuan RI. Aceh sebagai bagian dari RI adalah mutlak dan final. GAM mengartikan perdamaian juga tiada kontak senjata, tetapi tujuan akhir perdamaian itu harus diwujudkan berupa pemisahan Aceh dari RI. Kalaupun mau menerima otonomi khusus, itu hanyalah transisi menuju Aceh merdeka sebagai negara berdiri sendiri. Dari sini saja mustahil perdamaian bisa diwujudkan melalui kesamaan pemahaman kedua belah pihak - RI dan GAM." (Matius Dharminta, mr_dharminta@yahoo.com ,Sun, 13 Feb 2005 23:07:24 -0800 (PST))

Baiklah Matius Dharminta di Surabaya, Indonesia.

Memang kelihatan kalau membaca apa yang dilontarkan Saudara Matius Dharminta ini, itu Dharminta adalah seorang yang hanya terpaku dan terbelenggu oleh adanya dua masalah yang sangat berbeda dan berjauhan. Dimana timbulnya perbedaan yang jauh itu karena akibat dari adanya dua benteng yang kedua-keduanya memiliki kekuatan strategis untuk dijadikan sebagai tampat pertahanan. Tetapi Dharminta tidak mampu mencari jalur lain untuk memperoleh hasil positif dari adanya dua kekuatan strategi, melainkan Dharminta hanya sanggup berdiri ditengah jalan sambil mengguman: "mustahil perdamaian bisa diwujudkan melalui kesamaan pemahaman kedua belah pihak - RI dan GAM"

Padahal kalau saja itu Dharminta mau belajar dari sejarah dan mau mengetahui mengapa timbul konflik di Negeri Acheh yang terus berkepanjangan, maka adanya perbedaan pandangan dan posisi dalam hal Acheh antara RI dan ASNLF adalah suatu hal sangat wajar, dan justru dengan adanya perbedaan yang sangat tajam antara RI dan ASNLF dalam hal pengklaiman Negeri Acheh ini, justru pihak Rakyat Achehlah yang paling bisa menentukan dan memutuskan mengenai masa depan mereka dan mengenai masa depan Negeri Acheh ini.

Suatu hal yang sangat bodoh, kalau dari pihak RI yang tidak memiliki dasar fakta, bukti, sejarah dan dasar hukum yang kuat mengenai Negeri Acheh merupakan bagian wilayah RI, masih juga terus berkeras untuk mempertahankan Negeri Acheh dengan melalui cara penekanan, pemaksaan kepada rakyat Acheh dan pihak ASNLF untuk menelan peraturan dan Undang-Undang yang dibuat secara sepihak untuk menyatakan dan mengakui bahwa Acheh merupakan bagian RI yang final.

Kalau Dharminta dan orang-orang di RI menyadari bahwa kalau memang ada perbedaan yang sangat jauh dan dalam antara RI dan ASNLF dalam hal Negeri Acheh, maka pemecahannya adalah berusaha untuk mencari poin-poin yang ada persamaan terutama dalam masalah kemanusiaan dan keamanan bagi rakyat Acheh dan bagi usaha pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi rakyat korban gempa dan tsunami dan infra-struktur di Acheh. Adapun masalah-masalah yang kelihatannya sangat jauh dan sulit untuk dipecahkan oleh pihak RI dan ASNLF dalam perundingan, maka jalan yang paling bijaksana adalah pemecahan yang melibatkan seluruh rakyat Acheh. Artinya seluruh rakyat Acheh yang dimintakan pendapat dan sikapnya atas masalah-masalah yang tidak mungkin bisa diselesaikan oleh RI dan ASNLF.

Nah, cara penyelesaian melalui seluruh rakyat Acheh-lah, merupakan langkah dan cara terbaik, kalau memang ada perbedaan yang sangat prinsipil yang tidak bisa dipecahkan melalui perundingan antara RI-ASNLF. Jadi, seperti masalah otonomi dan UU No.18/2001-nya, penyelesaian dan pemutusannya diserahkan kepada seluruh rakyat Acheh.

Seandainya Dharminta dan orang-orang di RI yang menganggap bahwa "Perundingan perdamaian RI-GAM, buang-buang waktu & sia-sia", itu menunjukkan bahwa mereka masih terbelenggu oleh idealisme Soekarno yang terus masih melekat dalam kepala-kepala mereka yang berhubungan dengan politik, taktik dan strategi ekspansi dan penguasaan wilayah-wilayah yang ada diluar wilayah Negara RI yang diproklamasikan Soekarno.

Karena itu, yang paling utama dan mendasar untuk pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi rakyat dan Negeri Acheh ini adalah adanya situasi dan kondisi yang aman di Acheh, sehingga pihak militer dan sipil asing dan pihak nasional merasa aman dan bebas dalam usaha mereka membangun kembali Acheh.

Adapun, masalah yang masih tetap tidak bisa diselesaikan dalam meja perundingan, seperti masalah otonomi dengan payung hukumnya UU No.18/2001 maka penyelesaiannya yang paling adil dan bijaksana adalah diserahkan kepada seluruh rakyat Acheh untuk menetapkan dan memutuskannya melalui langkah plebisit yang disaksikan oleh pihak PBB dan lembaga internasional lainnya.

Jadi, bukan suatu alasan, seperti yang dikemukakan oleh Dharminta bahwa "karena adanya jurang perbedaan kepentingan politik antara RI dan GAM yang sangat jauh, maka mustahil perdamaian bisa diwujudkan melalui kesamaan pemahaman kedua belah pihak."

Permasalahannya sekarang adalah, apakah pihak RI mau benar-benar menyelesaikan konflik Acheh dengan cara aman dan damai atau tidak ?. Kalau memang pihak RI mau menyelesaikan konflik Acheh dengan cara aman dan damai, maka langkah yang paling utama yang perlu segera dilakukan adalah melakukan gencatan senjata untuk memberikan kebebasan, keamanan dan ketentraman bagi usaha pemulihan rehabilitasi, dan rekonstrusi di Acheh yang memerlukan waktu yang lama dan panjang. Adapun masalah otonomi dikesampingkan untuk sementara ini dan akan dibicarakan nanti setelah usaha pengembalian Negeri Acheh berhasil, dengan cara melibatkan seluruh rakyat Acheh dalam bentuk plebisit. Amerika telah melakukan plebisit di Hawai. Canada telah melakukan plebisit di Quebec. RI telah juga melakukan plebisit di Timor Timur. Dan tentu saja, adalah sangat mudah bagi RI untuk melakukan plebisit di Acheh juga. Karena memang contohnya sudah ada di RI, ketika plebisit dilakukan di Timor Timur tanggal 30 Agustus 1999.

Terakhir, kalau memang Dharminta dan orang-orang di RI mau belajar dari sejarah dan pengalaman-pengalaman yang lalu, dan dari negara-negara lainnya sebagaimana yang telah dikemukakan Ahmad Sudirman diatas, maka sudah jelas apa yang dikemukakan Dharminta seperti: "agaknya nasib perundingan kedua RI-GAM kurang lebih serupa dengan yang pertama. Tidak banyak hasil konkret. Bahkan sangat mungkin sia-sia saja ", tidaklah akan terjadi. Karena jalan yang bisa ditempuh masih ada, yaitu penyelesaian konflik Acheh yang menyangkut otonomi diserahkan pemutusan dan penetapannya kepada seluruh rakyat Acheh melalui plebisit, sebagaimana yang dilakukan rakyat Hawai di Hawai, rakyat Quebec di Quebec, dan rakyat Timor Timur di Timor Timur.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
www.ahmad-sudirman.com
ahmad@dataphone.se
----------

Date: Sun, 13 Feb 2005 23:07:24 -0800 (PST)
From: "matius dharminta" mr_dharminta@yahoo.com
Subject: KOMISI I DPR & WIRAJUDA VS YUDHOYONO & KALLA TENTANG PERUNDINGAN RI-GAM
To: "Ahmad Sudirman" <ahmad@dataphone.se>, "Serambi Indonesia" <serambi_indonesia@yahoo.com>, "Habe Arifin" <habearifin@yahoo.com>, "Yuhendra" <yuhe1st@yahoo.com>, "Ditya Soedarsono" <dityaaceh_2003@yahoo.com>, "ahmad jibril" <ahmad_jibril1423@yahoo.com>, "Hassan Wirajuda" <hassan.wirajuda@ties.itu.int>, "Megawati" <megawati@gmx.net>, "Al Chaidar" <alchaidar@yahoo.com>, surat@gatra.com, a_yoosran@yahoo.com, se_dayu@yahoo.com, fzn_1@yahoo.com, wartadephan@dephan.go.id

Perundingan perdamaian RI-GAM, buang-buang waktu & sia-sia.

Mengkaji dan berguru pada pengalaman lebih baik. Paling tidak, hal itu masih berlaku bagi perundingan perdamaian di Aceh antara pemerinta RI - GAM untuk kali yang kesekian.

Kalau sekian kali perundingan yang pernah dilakukan - dan sekian banyak pula pengalaman yang harus menjadi guru yang baik itu - tak banyak membuahkan hasil signifikan, lalu untuk apa berunding lagi ?

Sebab, jurang perbedaan kepentingan politik antara RI dan GAM sangat jauh. Misalnya, tujuan berunding serta pemahaman mengenai perdamaian. Bagi RI damai di Aceh berarti tiada kontak senjata, GAM harus menerima otonomi khusus Aceh, serta mereka kembali ke pangkuan RI. Aceh sebagai bagian dari RI adalah mutlak dan final.

GAM mengartikan perdamaian juga tiada kontak senjata, tetapi tujuan akhir perdamaian itu harus diwujudkan berupa pemisahan Aceh dari RI. Kalaupun mau menerima otonomi khusus, itu hanyalah transisi menuju Aceh merdeka sebagai negara berdiri sendiri.

Dari sini saja mustahil perdamaian bisa diwujudkan melalui kesamaan pemahaman kedua belah pihak - RI dan GAM. Kalaupun, misalnya, dari perundingan 21 Februari 2005 nanti dicapai kesepakatan untuk tidak ada kontak senjata, itu sifatnya sementara. Dalam hal ini ukuran sementara itu terbatas pada tiadanya kontak senjata selama proses recovery Aceh agar pembangunan dan penataan Aceh dari puing-puing bencana tsunami berlajalan aman.

Setelah itu tidak ada jaminan bahwa kontak senjata akan terus reda atau berhenti sama sekali. Bagi GAM mustahil tidak melanjutkan perjuangan politiknya untuk meraih cita-citanya mendirikan negara Nanggroe Aceh. Dan sebaliknya, bagi RI mustahil membiarkan ada kelompok bersenjata yang berjuang untuk memisahkan diri dari wilayah RI. Membiarkan kelompok itu melakukan perjuangan politik untuk memisahkan diri dari RI, sama artinya dengan mengakui eksistensi GAM.

Apalagi, petinggi TNI sudah mengingatkan bahwa menciptakan keamanan dan melindungi semua rakyat Indonesia tidak terkait dengan perundingan RI-GAM. Ada atau tidak perundingan itu, menjadi tugas TNI untuk menciptakan rasa aman bagi segenap bangsa Indonesia.

Dengan kata lain, operasi keamanan akan tetap berjalan, tidak terkecuali di Aceh, apalagi jika jelas-jelas ada gangguan dari kelompok bersenjata. ''Kita melakukan operasi keamanan untuk negara sendiri kok dilarang. Siapa mereka itu (GAM, Red),'' ujar KSAD Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu.

Dari gambaran seperti itu, agaknya nasib perundingan kedua RI-GAM kurang lebih serupa dengan yang pertama. Tidak banyak hasil konkret. Bahkan sangat mungkin sia-sia saja.

Matius Dharminta

mr_dharminta@yahoo.com
Surabaya, Indonesia
----------