Stockholm, 5 Juli 2004

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

DUNIA INTERNASIONAL & PBB AKAN MEMBUKA KEDOK PELANGGARAN HAM RI DI ACHEH
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

PEMERINTAH RI TIDAK BISA TERUS SEMBUNYIKAN KEJAHATAN PELANGGARAN HAM DI ACHEH DAN DI PAPUA DARI MATA DUNIA INTERNASIONAL DAN PBB

"Thanks for the concern, but I think they have to focus on their own internal affairs" (Terimakasih atas perhatiannya. Tetapi saya berpikir mereka (para Senator US) harus memfokuskan kepada masalah dalam negeri mereka sendiri) (Ministry of Foreign Affairs spokesman Marty Natalegawa, The Jakarta Post, Sunday, Juli 4, 2004)

"Dear Mr. Secretary General: We are writing to urge you to appoint a United Nations Special Representative to Indonesia to monitor and report on the situations in Aceh and Papua. This Special Representative would also make recommendations regarding steps the UN Security Council and General Assembly might undertake to end the troubling and deadly conflicts that continue to engulf these regions." (Tuan Sekretaris Jenderal Yang Terhormat, Kami menulis surat ini untuk mendesak Tuan supaya mengangkat seorang Wakil Khusus Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) untuk Indonesia bagi memantau dan melaporkan keadaan di Acheh dan di Papua. Wakil Khusus ini nantinya akan memberikan rekomendasi kepada Dewan Keamanan PBB (Security Council) dan Majlis Umum (General Assembly) dalam langkah-langkah yang mungkin diambil untuk menghentikan konflik yang sangat merisaukan dan banyak membawa maut yang terus membakar kawasan-kawasan tersebut itu.)(United States Senate, Washington, DC 20510, June 28, 2004)

Ternyata akhirnya terbongkar juga kejahatan pelanggaran hak asasi manusia yang telah dijalankan oleh Pemerintah RI dan TNI-nya dalam bentuk serangan terhadap masyarakat sipil tidak bersenjata, para korban dibunuh, disiksa, dilecehkan secara seksual dan diperkosa, korban-korban lainnya dari kalangan yang dinyatakan pemberontak yang belum diputuskan kedudukannya oleh pengadilan, adanya penculikan, pelecehan terhadap anak-anak, pembakaran dan perampokan.

Pihak Pemerintah Indonesia tidak bisa lagi bersembunyi dibalik Keppres No.43/2003. Mata dunia Internasional dan PBB sekarang sudah terbuka dan akan siap untuk mengirimkan Wakil Khusus Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) untuk Indonesia bagi memantau dan melaporkan keadaan di Acheh dan di Papua, yang hasilnya pantauannya itu akan dijadikan bahan rekomendasi kepada Dewan Keamanan PBB dan Majlis Umum PBB.

Apa yang dinyatakan oleh Juru Bicara Kementrian Luar Negeri RI Marty Natalegawa: "Terimakasih atas perhatiannya. Tetapi saya berpikir mereka (para Senator US) harus memfokuskan kepada masalah dalam negeri mereka sendiri)".

Itu pernyataan dari Jubir Departemen Luar Negeri RI Marty Natalegawa adalah bukan alasan yang bisa diterima oleh dunia Internasional dan DK PBB dan Majlis Umum PBB. Itu adalah merupakan pernyataan diplomasi umum yang dipakai untuk menutupi kejahatan yang dijalankan oleh pihak Pemerintah RI dalam bentuk pelanggaran HAM yang berat di Negeri Acheh dan Papua.

Akibat dari ketidak mampuan Pemerintah RI untuk menyelesaikan konflik Acheh dan akibat yang ditimbulkannya seperti kejahatan pelanggaran HAM yang dilakukan pihak TNI dan POLRI terhadap rakyat Acheh, akhirnya mata dunia Internasional dan PBB tidak bisa lagi ditutupi dengan dasar hukum Keppres No.43/2003 made in Pemerintah RI.

Apalagi dengan diperkuat oleh Tim ad-hoc Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM) Hasballah M yang menyatakan bahwa Pemerintah RI harus aktif melakukan tindakan hukum terhadap pelanggaran HAM di Acheh, karena kalau tidak bisa melakukan tindakan hukum nyata terhadap para pelanggar HAM di Acheh, pihak Pemerintah RI tidak bisa mencegah campur tangan dunia Internasional.

Dan kenyataanya sampai detik ini pihak Pemerintah RI tidak mampu menyelesaikan secara tuntas dan adil kejahatan tindakan pelanggaran HAM di Acheh yang telah dilakukan oleh pihak TNI, POLRI, juga pejabat tinggi militer dan sipil terhadap rakyat sipil Acheh dan rakyat sipil Acheh yang dituduh GAM. Bahkan sebaliknya pihak Pemerintah menyalahkan kesalahan kepada pihak ASNLF atau GAM dan TNA yang dituduh melakukan pemberontakan dan tindakan makar.

Masalah konflik Acheh bukan lagi masalah dalam negeri Pemerintah RI, tetapi masalah konflik Acheh telah menjadi masalah dunia Internasional dan masalah PBB.

Apapun alasan yang dimajukan oleh pihak Pemerintah RI untuk menutupi kejahatan pelanggaran HAM di Acheh dan Papua tidak bisa dijadikan benteng dari pandangan mata pihak dunia Internasional dan PBB.

Kalau pihak Pemerintah RI ingin dengan jujur, adil, dan bijaksana menyelesaikan konflik Acheh, maka saatnya sekarang. Buka pintu Acheh besar-besar, persilahkan pihak Internasional untuk mengetahui keadaan sebenarnya di Negeri Acheh. Persilahkan pihak Internasional bebas berbicara dengan siapapun di Negeri Acheh tanpa dikawal oleh pihak TNI dan POLRI. Kalau perlu dengan pihak GAM dan TNA bisa diberikan kebebasan untuk berkomunikasi. Tarik semua pasukan TNI dan POLRI dari Acheh. Biarkan rakyat Acheh mengenyam keamanan tanpa ditakut-takuti dengan propaganda bohong TNI bahwa GAM akan membunuh rakyat Acheh. Biarkan seluruh rakyat Acheh yang akan menentukan masa depan di Negerinya sendiri. Cabut itu dasar hukum yang memberikan ruang gerak sempit bagi rakyat Acheh, seperti dasar hukum Keppres No.43/2003 dan Keppres No.43/2004.

Dunia Internasional sudah terlalu lama berdiam diri dalam menghadapi konflik Acheh dan Papua dan para pelaku kejahatan pelanggaran HAM yang tidak pernah dituntaskan penyelesaiannya secara hukum.

Jadi, inilah saatnya bagi pihak Pemerintah RI, DPR dan MPR untuk dengan sungguh-sungguh menyelesaikan konflik di Acheh dan Papua, dan kalau memang pihak RI, DPR dan MPR ingin segera menyelesaikan konflik Acheh secara adil, jujur, dan damai. Bukakan lebar-lebar pintu Acheh bagi pihak Internasional untuk melihat secara jelas dan nyata apa yang terjadi di Negeri Acheh. Biarkan rakyat Acheh dimanapun tinggal bisa berbicara mengungkapkan isi hatinya secara bebas tanpa merasa takut diintimidasi oleh pihak TNI dan POLRI.

Tetapi, kalau memang pihak RI, DPR dan MPR menganggap masyarakat Internasional yang ingin memantau dan melaporkan keadaan di Acheh dan Papua dianggap sebagai ikut campur urusan dalam negeri RI, maka itu tandanya pihak RI, DPR dan MPR tidak ingin konflik Acheh ini diselesaikan secara jujur, adil, dan damai.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad.swaramuslim.net
ahmad@dataphone.se
----------

http://www.thejakartapost.com/detailheadlines.asp?fileid=20040705.A05&irec=4

Indonesia tells U.S. senators to mind own business
Tiarma Siboro, Jakarta

The government told United States senators on Sunday to mind their own business and not to interfere in Indonesia's internal affairs.

Twenty U.S. senators sent a letter to UN Secretary General Kofi Annan last week urging the latter to appoint a special envoy to monitor and report on the situation in Papua and Aceh where troops are fighting against secessionist movements.

Ministry of Foreign Affairs spokesman Marty Natalegawa said on Sunday that U.S. lawmakers should focus on their own domestic problems.

"Thanks for the concern, but I think they have to focus on their own internal affairs," Marty told The Jakarta Post on Sunday.

The senators had suggested the UN assign a special envoy to monitor and recommend steps the UN Security Council and its General Assembly might pursue "to end the troubling and deadly conflicts that continue to engulf these regions".

They argued that the international community has remained silent for too long over the continued conflict in Aceh and Papua where the scale of human rights violations warrant special attention.

"In Aceh, the year-long period of martial law that ended in May with the imposition of a civil emergency has had an extraordinary human cost. While it is impossible to verify the precise number of extra-judicial incarcerations and killings, accounts suggest that more than 2,000 people have been killed in the past year, the majority of whom have been civilians," the senators said in their letter.

They cited a recent report by the National Commission on Human Rights (Komnas HAM) which said that even the Aceh martial court failed to prove whether the unarmed civilians killed, tortured, raped and sexually abused were GAM members.

"Komnas HAM alleged that most violations were committed by the Indonesian security forces, including both high-level political and military authorities, though some deaths have been attributed to GAM," they said.

While in Papua, where the separatist Free Papua Movement (OPM) has engaged in a low-level armed struggle for decades, the number of civilian casualties are inestimable following a military campaign in the territory, the senators said, citing recent reports documented by the UN Special Rapporteur on Violence Against Women and the Working Group on Arbitrary Detention.

Separately, Komnas HAM member Hasballah M. Saad told Indonesia that any violence could no longer be hidden from international eyes and that "the country should have anticipated it by taking stern legal action against violence."

"If we (Indonesia) fail to handle the violence by ourselves, we cannot prevent international interference," Hasballah said.

He said the Attorney General's Office and other law enforcers must immediately take the initiative to file cases of rights abuses in the two provinces, so that Indonesia would not lose face when the UN assembly asked about the cases.

The UN assigned last year special envoy Malaysian Tansri Razali Ismail to Myanmar to meet with the country's opposition leader and Nobel laureate Aung San Suu Kyi who is being held under house arrest by the Myanmar junta.
----------

Senat Amerika Serikat
WASHINGTON, DC 20510
28 Juni, 2004

Yang Teramat Mulia Tuan Kofi Annan
Sekretaris Jenderal
Persatuan Bangsa Bangsa (PBB)
New York, New York 10017

Tuan Sekretaris Jenderal Yang Terhormat,

Kami menulis surat ini untuk mendesak Tuan supaya mengangkat seorang Wakil Khusus Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) untuk Indonesia bagi memantau dan melaporkan keadaan di Acheh dan di Papua. Wakil Khusus ini nantinya akan memberikan rekomendasi kepada Dewan Keamanan PBB (Security Council) dan Majlis Umum (General Assembly) dalam langkah-langkah yang mungkin diambil untuk menghentikan konflik yang sangat merisaukan dan banyak membawa maut yang terus membakar kawasan-kawasan tersebut itu.

Di Acheh, sejak pemberlakukan Darurat Militer selama setahun yang berakhir bulan Mei lalu dan dilanjutkan dengan Darurat Sipil, telah jatuh korban jiwa yang sangat luar biasa.

Walaupun sangat sulit sekali untuk mengetahui jumlah pasti korban penahanan dan pembunuhan sewenang-wenang yang terjadi, laporan-laporan saksi menunjukkan bahwa lebih dari 2000 orang telah terbunuh sejak tahun lalu, kebanyakannya penduduk sipil. Tim ad-hoc Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM) untuk Acheh baru-baru ini melaporkan bahwa "adanya serangan terhadap masyarakat sipil tidak bersenjata, para korban dibunuh, disiksa, dilecehkan secara seksual dan diperkosa, terdapat juga korban-korban lainnya dari kalangan yang dinyatakan pemberontak yang belum diputuskan kedudukannya oleh pengadilan". Laporan itu juga menjelaskan adanya penculikan, pelecehan terhadap anak-anak, pembakaran dan perampokan. Tim ad-hoc Komnas HAM menuduh bahwa kekerasan ini sebagian besar dilakukan oleh Tentara dan
Polisi Indonesia, termasuk oleh pejabat tinggi militer dan sipil, walaupun beberapa kematian dituduhkan juga kepada Gerakan Acheh Merdeka. Konflik Acheh juga telah menyebabkan terjadinya aliran pengungsian secara besar-besaran ke negara-negara tentangga, sementara beribu-ribu lainnya tetap berada sebagai pengungsi di dalam negeri mereka sendiri. Walaupun Darurat Militer secara resmi telah dicabut, namun kehadiran tentara dalam jumlah yang sangat besar masih berlanjut, demikian pula dengan larangan-larangan yang diberlakukan selama Darurat Militer.

Pemerintah dan tentara Indonesia telah menutup habis Acheh dari dunia luar, melarang dengan keras segala kegiatan lembaga bantuan kemanusian dan organisasi hak asasi manusia Indonesia maupun internasional. Ramai aktivis kemanusiaan dan hak asasi manusia terpaksa lari bersembunyi untuk menyelamatkan diri. Media internasional juga telah dilarang sama sekali memasuki Acheh, sedangkan media Indonesia mendapat ancaman dan intimidasi. Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) sendiri telah dihina oleh Indonesia, dengan dipaksanya oleh militer Indonesia Lembaga Bantuan Kemanusian PBB untuk menghentikan segala kegiatannya selama beberapa bulan pada tahun 2003.
Walaupun Lembaga Bantuan Kemanusiaan PBB dan Lembaga Palang Merah Internasional (ICRC) telah dibolehkan beroperasi kembali di Acheh, namun berbagai halangan masih dikenakan ke atas mereka, terutama sekali dalam mengunjungi daerah-daerah luarbandar dalam berhubungan dengan penduduk sipil setempat.

Di Papua, Pelapor Khusus PBB untuk Kekerasan terhadap Perempuan dan Kelompok Kerja untuk Penangkapan Sewenang-wenang telah melaporkan sejak sangat lama adanya berbagai pelanggaran hak asasi manusia di sana. Pembentukan milisi bersenjata oleh militer Indonesia di Papua baru-baru ini telah menyebabkan semakin memburuknya ketegangan antara masyarakat asli Papua dengan pendatang. Operasi militer di dataran tinggi tengah Papua telah menyebabkan jatuhnya korban yang tak terkira ramainya dari rakyat Papua dan terjadinya pengungsian besar-besaran. Nasib rakyat yang menyelamatkan diri ke hutan-hutan itu sampai sekarang masih tidak diketahui, dan penguasa militer di sana telah melarang penyaluran bantuan-bantuan kemanusiaan kepada para korban.
Lembaga-lembaga hak asasi manusia telah ditakut-takuti dan diancam oleh aparat militer pemerintah Indonesia yang beroperasi dengan tidak mengindahkan norma-norma hukum.

Pelanggaran hak asasi manusia di Papua telah menyebabkan terjadinya arus pengungsian hingga keluar perbatasan negara. Dialog damai antara Pemerintah Indonesia dan pemuka masyarakat di Papua baru-baru ini telah gagal oleh karena gencarnya usaha pemerintah Indonesia yang terus menerus untuk membagi Papua menjadi beberapa provinsi baru, hal yang berlawanan dengan keinginan rakyat Papua.

Masyarakat internasional telah berdiam diri terlalu lama dalam menghadapi konflik di Acheh dan Papua. Tingkat pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia di kedua wilayah di Indonesia itu sangat besar sehingga memerlukan perhatian internasional. Dengan demikian, kami menyeru Tuan untuk segera mengangkat seorang Wakil Khusus (Special Representative) PBB untuk Indonesia guna memantau dan melaporkan situasi di Acheh dan Papua.

Kami menantikan balasan dari Tuan menyangkut hal yang sangat penting ini.

Hormat Kami,

Senator Frank R. Lautenberg (NJ/New Jersey)
Senator Chris Dodd (CT/Connecticut)
Senator Patrick J. Leahy (VT/Vermont)
Senator Ron Wyden (OR/Oregon)
Senator Dianne Feinstein (CA/California)
Senator Russell D. Feingold (WI/Wisconsin)
Senator Deborah Ann Stabenow (MI/Michigan)
Richard J. Durbin (IL/Illinois)
Senator Jon S. Corzine (NJ/New Jersey)
Senator Herb Kohl (WI/Wisconsin)
Senator Barbara Boxer (CA/California)
Senator Barbara Mikulski (MD/Maryland)
Senator Carl Levin (MI/Michigan)
Senator Byron L. Dorgan (ND/North Dakota)
Senator Patty Murray (WA/Washington)
Senator Jeff Bingaman (NM/New Mexico)
Senator Paul S. Sarbanes (MD/Maryland)
Senator Jack Reed (RI/Rhode Island)
Senator Daniel K. Akaka (HI/Hawaii)
Senator Edward M. Kennedy (MA/Massachusetts)

cc: James B. Cunningham, Acting U.S. Representative to the United Nations
----------

United States Senate
WASHINGTON, DC 20510
June 28, 2004

Honorable Kofi Annan
Secretary General
United Nations
New York, New York 10017

Dear Mr. Secretary General:

We are writing to urge you to appoint a United Nations Special Representative to Indonesia to monitor and report on the situations in Aceh and Papua. This Special Representative would also make recommendations regarding steps the UN Security Council and General Assembly might undertake to end the troubling and deadly conflicts that continue to engulf these regions.

In Aceh, the year-long period of martial law that ended in May with the imposition of a "civil emergency" has had an extraordinary human cost.

While it is impossible to verify the precise number of extra-judicial incarcerations and killings, accounts suggest that more than 2000 people have been killed in the past year, the majority of whom have been civilians. Indonesia's National Commission on Human Rights' (Komnas HAM) ad-hoc team for Aceh recently reported on the "attacks against unarmed civilians, including victims who were murdered, tortured, sexually abused or raped, or others who the court had not yet proved were rebels." The report also cited kidnapping, child abuse, arson, and robbery. The Komnas HAM team alleged that most violations were committed by the Indonesian security forces, including
both high level political and military authorities, though some deaths have been attributed to the rebel Free Aceh Movement. The conflict has also generated massive refugee flows across international borders, with thousands of others displaced internally. Although martial law has formally ended, the massive troop presence in Aceh continues, as do most of the restrictions imposed under martial law.

The Indonesian government and security forces have effectively shut off Aceh from the rest of the world, severely restricting the activities of Indonesian and international humanitarian and human rights organizations. Many non-governmental organization workers and activists have been forced into hiding. International media have been effectively barred from entering the province and the Indonesian press has been intimidated. In an affront to the United Nations itself, Indonesian authorities forced the UN to curtail its humanitarian activities in Aceh for several months in 2003. While the UN and the International Committee of the Red Cross are now allowed to operate there, significant constraints remain imposed on internal travel and contact with the civilian population.

In Papua, the UN Special Rapporteur on Violence Against Women and the Working Group on Arbitrary Detention have long documented human rights violations. Recently, the Indonesian military's creation of militia has exacerbated tensions between indigenous Papuans and migrants. A military campaign in the Central Highlands has led to an inestimable number of civilian deaths and significant population displacement. The fate of those hiding in the Papuan forests remains unknown, as military authorities have prohibited provision of humanitarian assistance. Human rights organizations have endured intimidation and threats by government security forces operating with impunity.

Human rights violations in Papua have instigated a refugee flow across international borders. Dialogue between the Indonesian national government and Papuan local leaders has recently broken down, as demonstrated by Jakarta's ultimately deadly attempt to divide the province into smaller provinces against the will of the people.

The international community has remained too quiet for too long regarding the conflicts in Aceh and Papua. The scale of human rights violations in these two Indonesian provinces warrants special international attention. Therefore, we urge you to appoint a Special Representative to Indonesia to monitor and report on the situations in Aceh and Papua.

We look forward to hearing from you regarding these concerns.

Sincerely,

Senator Frank R. Lautenberg (NJ)
Senator Chris Dodd (CT)
Senator Patrick J. Leahy (VT)
Senator Ron Wyden (OR)
Senator Dianne Feinstein (CA)
Senator Russell D. Feingold (WI)
Senator Deborah Ann Stabenow (MI)
Richard J. Durbin (IL)
Senator Jon S. Corzine (NJ)
Senator Herb Kohl (WI)
Senator Barbara Boxer (CA)
Senator Barbara Mikulski (MD)
Senator Carl Levin (MI)
Senator Byron L. Dorgan (ND)
Senator Patty Murray (WA).
Senator Jeff Bingaman (NM)
Senator Paul S. Sarbanes (MD)
Senator Jack Reed (RI)
Senator Daniel K. Akaka (HI)
Senator Edward M. Kennedy (MA)

cc: James B. Cunningham, Acting U.S. Representative to the United Nations
----------