Stockholm, 19 juni 2004

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

ROKHMAWAN ITU TNI PERANG DEMI PANCASILA & UUD 1945, RAKYAT ACHEH UNTUK AGAMA & NEGERINYA
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

JELAS ROKHMAWAN ITU TNI PERANG DEMI PANCASILA & UUD 1945, RAKYAT ACHEH UNTUK AGAMA & NEGERINYA

"Solusi saya adalah tetap melalui perundingan dengan menghadirkan pihak2 diluar GAM dan RI. Saya perna dengar hadis dari Rosululloh SAW kurang lebih isinya "Apabila kaliyan bertikai maka hadirkanlah orang ke tiga untuk menyelesaikannya". Kita harus tahu kalau opsi YA atau TIDAK, mustahil di setujui pihak RI dan sebenarnya ini pun jika di lihat dari segi islam tidak dibenarkan. Saya mau bertanya kepada bapak Ahmad, apakah pemberian opsi tersebut satu-satunya jalan keluar bagi kita ? apakah opsi tersebut tidak sama saja dengan makna demokrasi yaitu suara rakyat atau suara mayoritas ? Padahal Rosululloh tidak pernah mengajarkan kita Demokrasi dan ini oleh Pak Ahmad pasti sudah mengerti. Demokrasi bukan dari islam tapi dari bangsa yunani kono. "Barang siapa yg mengikuti suatu kaum maka akan Kami bangkitkan bersama kaum tersebut ". (Rokhmawan, rokh_mawan@yahoo.com , Wed, 16 Jun 2004 23:31:12 -0700 (PDT))

Baiklah saudara Rokhmawan di Solo, Jateng.

Disini saya akan memakai kacamata dari apa yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah saw untuk melihat mengenai pelaksanaan referendum guna memilih dua opsi.

Memang, Islam tidak mengajarkan pemeluknya untuk menetapkan suatu hukum harus selalu melalui pengambilan suara mayoritas seperti yang diajarkan oleh sistem Demokrasi Barat yang diterapkan oleh hampir seluruh negara-negara sekuler di dunia sekarang ini.

Islam telah memberikan pedoman dan bimbingan untuk membuat hukum, peraturan, undang undang yaitu "..Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, mak amereka itu adalah orang-orang yang kafir" (Al Maaidah, 44). "..Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim" (Al Maaidah, 45). "..Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik" (Al Maaidah, 47).

Jadi dalam membuat dan menetapkan aturan-aturan, hukum-hukum, undang-undang yang akan diterapkan di Daulah Islam Rasulullah harus melalui musyawarah yang didasarkan pada Al Qur'an dan Hadist. Tentu saja kadang-kadang tidak dijumpai nas yang jelas, tetapi pada suatu masa telah ada kesepakatan (ijma) mujtahidin atas hukum-hukumnya, maka ijma mujtahidin itulah yang dipakai. Kemudian kalau memang tidak dijumpai nas yang jelas dan tidak dijumpai kesepakatan (ijma) mujtahidin, maka dalam hal ini dilakukan ijtihad untuk mencari hukum dengan membandingkan dan meneliti ayat-ayat dan hadist-hadist yang umum serta menyesuaikan dan mempertimbangkan dengan perkara yang sedang dibicarakan kemudian diqiaskan dengan hukum yang sudah ada yang berdekatan dengan perkara yang sedang dibicarakan itu.

Sehingga lahirlah ulama-ulama besar yang telah mampu berijtihad untuk menetapkan hukum suatu perkara. Sehingga hukum-hukum yang dihasilkan melalui ijtihadnya inilah yang melahirkan mazhabnya. Karena itu diantara ulama-ulama besar yang berhasil menetapkan hukum-hukum atas sesuatu perkara, diantaranya Imam Abu Hanifah (80 H - 150 H) yang lahir di Bagdad dengan Mazhab Hanafi-nya yang banyak tersiar di Bagdad, Parsi, Mesir, Syria dan Bukhara. Begitu juga Imam Malik bin Anas Al-Ashbahi (93 H- 170 H) dengan Mazhab Maliki-nya yang menulis kitab Al-Muwaththa yang mazhabnya banyak diikuti orang di Tunisia, Mesir, Maroko dan Libya.

Kemudian Imam Muhammad bin Idris bin Syafi'i (150 H - 204 H) yang lahir di Khuzzah dengan Mazhab Syafi'i-nya. Dimana ketika beliau masih berusia tujuh tahun sudah hapal seluruh Al Quran diluar kepala dan dalam usia sepuluh tahun hafal semua isi kitab Al Muwaththa karya gurunya, Imam Malik. Pikiran Imam Syafi'i ini banyak diikuti oleh orang-orang di Pakistan, Mekkah, Aden, Yaman, Kurdistan, Mesir, Hadramaut dan Indonesia. Lalu Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal dengan Mazhab Hambali-nya yang meninggal pada tahun 241 H. Dimana beliau adalah murid Imam Syafi'i. Pengikut mazhab Hambali ini banyak di Bagdad dan di Saudi Arabia.

Jadi tidak ada dalam Islam untuk membuat suatu hukum melalui musyawarah kemudian diputuskan melalui pengambilan suara terbanyak, melainkan peraturan-peraturan, undang-undang dan hukum-hukum semuanya harus didasarkan pada Al Qur'an dan Hadist dan kalau tidak ada nas, tetapi telah ada kesepakan (ijma) mujtahidin terhadapnya, maka ijma itulah yang wajib diakui dan dijalankan sedangkan kalau tidak ada nas, baik qath'i ataupun zhanni dan tidak ada kesepakatan mujtahidin atas hukum tersebut, maka berijtihadlah untuk memutuskan dan menetapkan hukum tersebut.

Inilah yang menjadi dasar mengapa dalam Islam tidak dikenal dan diajarkan dalam membuat dan memutuskan hukum-hukum dilakukan melalui proses pengambilan suara terbanyak atau mayoritas dalam suatu permusyawarahan seperti yang berlaku dalam negara-negara yang menerapkan sistem Demokrasi Barat.

Tetapi ada satu contoh klasik dimana Rasulullah pada tahun ke tiga hijrah, ketika kaum kaffir Mekkah akan menyerang Madinah, membuat musyawarah dengan para sahabatnya untuk mengambil keputusan dalam menghadapi serangan kaum kaffir Mekkah itu.

Dimana dalam musyawarah itu sebagian berpendapat bahwa sebaiknya mempertahankan Yatsrib dan berperang dari dalam dan pendapat ini lebih disenangi Rasulullah, sedangkan sebagian besar atau mayoritas berpendapat untuk pergi keluar dan berperang di medan terbuka. Karena dengan adanya desakan dan keinginan mayoritas dari para sahabatnya, maka Rasulullah memutuskan untuk mengikuti keinginan mereka yang mayoritas itu (Ibnu Sa'd, Ath-Thabaqat al-Kubra, Beirut, 1960).

Ternyata hasil dari perang ini yang disebut perang Uhud walaupun tidak disebut dengan suatu kekalahan total dari pihak kaum muslimin, karena dalam perang itu kaum muslimin masih mampu memukul kembali mundur kaum kaffir mekkah (walaupun beberapa pasukan kaum muslimin telah melanggar perintah Rasulullah untuk bertahan di tempat posisi pertahannya karena tergiur oleh nafsu untuk memiliki harta rampasan perang yang ditinggalkan kaum musuh kaffir Mekkah).

Dari pelajaran yang dicontohkan Rasulullah dengan para sahabatnya dalam penentuan taktik strategi perang Uhud, keputusan dari para sahabat yang mayoritas dalam menentukan taktik strategi perang Uhud itu adalah ternyata salah dan bertentangan dengan pendapat Rasulullah sendiri.

Nah, ternyata Rasulullah saw telah melakukan musyawarah melalui pemungutan suara, tetapi bukan untuk meentukan dasar hukum, melainkan untuk mengambil dan menjalankan taktik siasat perang Uhud.

Jadi, kalau kita hubungkan dengan referendum yang memilih dua opsi, opsi YA bebas dari RI dan opsi TIDAK bebas dari RI. Itu pilhan suara bukan untuk menetapkan dasar hukum, melainkan hanya suatu taktik untuk menyelesaikan konflik Acheh yang sudah lebih dari 50 tahun ini.

Karena itu, pelaksanaan pemungutan suara dalam referendum untuk memilih dua opsi ini ada contoh yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah saw. Jadi itu pemungutan suara untuk penentuan nasib sendiri Rakyat Acheh dibenarkan menurut hukum Islam, sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah saw ketika akan menentukan taktik dalam perang Uhud.

Kembali kepada perang di Acheh. Kunci masalahnya ada ditangan pihak Pemerintah RI. Dimana Pemerintah tidak mau mengakui dan tidak ingin menerima kenyataan, fakta dan bukti, dasar hukum dan sejarah yang menyatakan bahwa Negeri Acheh itu ditelan, diduduki, dan dijajah oleh Pihak Soekarno dengan Ris-nya yang kemudian diteruskan oleh pihak RI sampai detik sekarang ini.

Jadi, selama pihak RI tidak mau dan tidak ingin menerima kenyataan bahwa Negeri Acheh itu diduduki dan dijajah RI, maka selama itu konflik Acheh akan terus berlangsung.

Nah, kalau sekarang ada dalam tubuh TNI yang muslim, jelas mereka TNI yang muslim ini berperang demi mempertahankan pancasila dan telah disumpah untuk mentaati dan menjalankan pancasila dan UUD 1945. Mereka para serdadu TNI mana disumpah dengan menyebut nama Allah dan mempertahankan agama Allah.

Jadi, dari segi ini saja sudah jauh berbeda. Disatu pihak, RI mempertahankan pancasila dan UUD 1945 dan tetap mempertahankan Negeri Acheh yang diduduki dan dijajahnya. Sedangkan dari pihak rakyat Acheh mereka berjuang untuk mendapakan kembali tanah Negerinya yang telah dijajah Soekarno. Disamping untuk mempertahan agamanya. Mereka tidak disumpah harus setia kepada pancasila dan UUD 1945.

Kemudian lagi pernah juga diadakan perundingan, yang disaksikan oleh orang ketiga, seperti perundingan di Genewa sebelum ini, tetapi ternyata dilanggar pihak RI, bahkan perundingan terakhir di Tokyo, Jepang, jelas-jelas pihak RI menggagalkannya, dan terus melaksanakan Keppres No.28/2003 untuk menerapkan Darurat Militer.

Jadi disini, sudah kelihatan bahwa sebenarnya pihak RI masih terus ingin menduduki dan menjajah Acheh. Bahkan sudah kelihatan bahwa dengan mengatakan NKRI sudah final, itu menandakan bahwa Negeri Acheh yang hasil rampokan Soekarno itu tetap akan terus dipertahankan.

Perangnya serdadu TNI adalah perang atas nama pancasila dan UUD 1945 sebagai kain penutup untuk menjajah Negeri Acheh. Kalau perang atas nama pancasila dan UUD 1945, serta untuk mempertahankan Negeri Acheh yang ditelan Soekarno dan sudah masuk dalam kerangka RI, itu jelas telah menyimpang dari apa yang diajarkan dalam Islam.

Jadi, sekarang ada dua pihak yang berperang. Satu pihak TNI dan Pemerintah RI perang atas nama pancasila dan UUD 1945, dan melakukan pembunuhan, penghancuran , demi pancasila, demi NKRI, demi UUD 1945, demi Mbak Mega, demi Sutarto, dan demi Ryacudu. Dan satu pihak lagi, rakyat Acheh berperang untuk membebaskan Negeri Acheh yang dijajah oleh RI dan untuk mempertahankan agama endatu mereka, yakni Islam sambil meneriakkan Allahu Akbar. Mana pasukan TNI/RAIDER/POLRI berperang sambil meneriakkan Allahu Akbar. Paling meneriakkan, hantam terus, serang terus, sampai habis, demi pancasila, dan demi NKRI.

Jadi, sekarang sudah dapat gambaran bahwa TNI perang atas nama pancasila dan UUD 1945, dan atas nama NKRI dengan Negeri Acheh tetap didudukinya. Sedangkan pihak rakyat Acheh berperang utnuk kemerdekaan Negerinya dan untuk mempertahankan agamanya, Islam.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad.swaramuslim.net
ahmad@dataphone.se
----------

Date: Wed, 16 Jun 2004 23:31:12 -0700 (PDT)
From: rohma wawan <rokh_mawan@yahoo.com>
Subject: perang suci ?
To: ahmad@dataphone.se
Cc: narastati@yahoo.com

Assalaamu'alaikum Wr.Wb

Terima kasih atas tanggapan dan jawaban dari bapak, memang secara pribadi saya sendiri juga setuju dengan usul bapak yaitu di adakan votting, pungutan suara dengan opsi YA bebas dari RI atau TIDAK bebas dari RI. Akan tetapi yang menjadi permasalahan sekarang adalah pemerintahan RI tidak menyetujui opsi tersebut, dengan demikian pemerintahan RI tetap akan mempertahankan Aceh dan sebaliknya Anggota GAM/TNA serta masyarakat aceh yang ingin bebas dari pemerintahan RI tetap dengan pendiriannya yaitu ingin terbebas dari penjajahan/pendudukan RI. Yang menjadi pertanyaan apa dengan keadaan di atas kita sebagai umat muslim akan membenarkan perang di aceh tsb dengan argumentasi kita ? Mungkin bagi masyarakat aceh yg ingin bebas dari kekuasaan RI ataupun Anggota GAM/TNA akan menjawab ini adalah perang suci, kita berhak mempertahankannya, apabila mati, maka syahidlah kita.

Kita umat muslim harus bisa menilai, perang yang bagaimana yang di kehendaki Alloh SWT ? menurut pendapat saya yaitu perang yang di maksud adalah perang terhadap orang yang benar2 kafir dan memusuhi kita atau kafir harby.

Kita tidak boleh menjalankan sunnah atau kewajiban tetapi melanggar sunnah atau kewajiban yang lebih besar. Umat islam tidak boleh saling membunuh dengan alasan apapun. Menurut saya TNI/RI salah karena telah memberlakukan Darurat Militer dan begitupun dg Anggota GAM/TNA juga salah karena berani melawannya dan akhirnya perang tersebut mengakibatkan umat islam saling membunuh.

Solusi saya adalah tetap melalui perundingan dengan menghadirkan pihak2 diluar GAM dan RI. Saya perna dengar hadis dari Rosululloh SAW kurang lebih isinya "Apabila kaliyan bertikai maka hadirkanlah orang ke tiga untuk menyelesaikannya". Kita harus tahu kalau opsi YA atau TIDAK, mustahil di setujui pihak RI dan sebenarnya ini pun jika di lihat dari segi islam tidak dibenarkan. Saya mau bertanya kepada bapak Ahmad, apakah pemberian opsi tersebut satu-satunya jalan keluar bagi kita ? apakah opsi tersebut tidak sama saja dengan makna demokrasi yaitu suara rakyat atau suara mayoritas ?

Padahal Rosululloh tidak pernah mengajarkan kita Demokrasi dan ini oleh Pak Ahmad pasti sudah mengerti. Demokrasi bukan dari islam tapi dari bangsa yunani kono. "Barang siapa yg mengikuti suatu kaum maka akan Kami bangkitkan bersama kaum tersebut ".

Saya tujukan kepada umat muslim di manapun berada, marilah kita ber-itiba' kepada rosululloh SAW dan para sahabatnya, wujudkan masyarakat yang damai sejahtera, jangan saling bertikai dan membunuh yang akan mengakibatkan kesengsaraan saja dan akan di benci Alloh SWT.
Wallohu'alam bi showab

Wassalaam

Rokhmawan

rokh_mawan@yahoo.com
Solo,Jateng
----------