Stockholm, 13 Maret 2004

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

MAHKAMAH INTERNASIONAL PUTUSKAN SIPADAN & LIGITAN MILIK MALAYSIA ATAS PERTIMBANGAN EFFECTIVITES
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

TERNYATA MAHKAMAH INTERNASIONAL DI DEN HAAG BELANDA MEMUTUSKAN PULAU SIPADAN & PULAU LIGITAN MILIK MALAYSIA ATAS DASAR PERTIMBANGAN EFFECTIVITES

"Seperti diketahui bahwa Indonesia dan Malaysia pernah mengklaim pulau Ligitan dan Sipadan (dekat Kalimantan) itu miliknya masing-masing. Sehingga kedua negara (Indonesia dan Malaysia) saling bersengketa dalam memperebutkan kedua pulau tersebut. Kemudian setelah berbagai perundingan yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia tidak menghasilkan penyelesaian yang adil, akhirnya kedua negara memutuskan untuk membawa masalah klaim pulau tersebut ke Pengadilan Internasional (Arbitrase Internasional). Saya ingin tahu bagaimana sih posisi kedua pulau tersebut dimata Indonesia dan Malaysia, maksudnya Indonesia dan Malaysia mengklaim pulau tersebut atas dasar apa ? Terus koq Indonesia bisa dikalahkan oleh Malaysia, padahal sebelumnya Indonesia yakin menang ?" (Shahen Fasya , rimueng_acheh@yahoo.com ,Sat, 13 Mar 2004 02:50:49 +0000 (GMT))

Terimakasih saudara Shahen Fasya di Kutaraja Negeri Aceh.

Tentang sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara pihak NKRI dan Malaysia yang telah berlangsung lebih dari 40 tahun, akhirnya kedua Negara sepakat untuk diselesaikan dihadapan Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda. Pada tanggal 31 Mei 1997 kasus persengketaan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ditandatangani di Mahkamah Internasional oleh pihak NKRI dan Malaysia untuk disidangkan dihadapan Mahkamah Internasional.

Persidangan yang memakan waktu lebih dari 4 tahun itu yang dilaksanakan oleh Mahkamah Internasional yang menangani perkara Pulau Sipadan-Ligitan yang dipimpin oleh 15 orang hakim, ditambah 1 orang hakim panitera. Para hakim itu adalah Gilbert Guillaume (Prancis, ketua), Shi Jiuyong (Cina, wakil ketua), Shigeru Oda (Jepang), Raymond Ranjeva (Madagaskar), Géza Herczegh (Hongaria), Carl-August Fleischhauer (Jerman), Abdul G. Koroma (Sierra Leone), Vladlen S. Vereshchetin (Federasi Rusia), Rosalyn Higgins (Inggris), Gonzalo Parra-Aranguren (Venezuela), Pieter H. Kooijmans (Belanda), Francisco Rezek (Brazil), Awn Shawkat Al-Khasawneh (Yordania), Thomas Buergenthal (AS), Nabil Elaraby (Mesir), dan panitera Philippe Couvreur (Belgia). Ternyata pada tanggal 17 Desember 2002, Hakim Ketua Mahkamah Internasional Gilbert Guillaume yang berasal dari Prancis memutuskan bahwa Malaysia memiliki hak kedaulatan atas pulau Sipadan dan Ligitan atas dasar pertimbangan Effectivites (effective occupation). Artinya Pemerintah Penjajah Inggris telah melakukan tindakan administratif nyata yang berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpul telur penyu sejak tahun 1930, dan pembangunan mercu suar sejak awal tahun 1960.

Mengapa Ketua Hakim Mahkamah Internasional Gilbert Guillaume memutuskan atas dasar pertimbangan Effectivites (effective occupation) ? dan dasar pertimbangan apakah yang telah diajukan oleh pihak NKRI dan pihak Malaysia kehadapan Mahkamah Internasional ?

Nah, disini kita akan melihat dan memperhatikan alasan dasar yang dikemukakan oleh pihak NKRI dan pihak Kerajaan Malaysia.

Dari pihak NKRI mengajukan alasan dasar yang dinamakan dengan teori Treaty Based Title atau Konvensi 1891, sedangkan dari pihak Malaysia mengajukan alasan dasar yang dinamakan teori Chain of Title atau rantai kepemilikan.

Mengapa pihak Ketua Hakim Mahkamah Internasional Gilbert Guillaume menolak kedua alasan dasar yang diajukan oleh pihak NKRI dan pihak Melaysia, melainkan mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan Effectivites (effective occupation) ?

Dibawah diungkapkan apa yang tersembunyi dibalik alasan dasar teori Treaty Based Title atau Konvensi 1891 yang diajukan pihak NKRI dan teori Chain of Title atau rantai kepemilikan yang diajukan oleh pihak Malaysia.

TEORI TREATY BASED TITLE ATAU KONVENSI 1891 YANG DIAJUKAN PIHAK NKRI

Pihak NKRI mengklaim Pulau Sipadan-Ligitan berdasarkan pada Konvensi 1891 atau teori Treaty Based Title. Teori Treaty Based Title merupakan instrumen yang menyelesaikan sengketa antara pihak Belanda dan Inggris mengenai batas kepemilikan wilayah di Borneo Utara.

Dimana Pulau Sipadan dan Ligitan berada di wilayah yang diperebutkan oleh Kesultanan Bulungan dan Kesultanan Sulu pada abad 19. Tidak jelasnya batas daerah wilayah kekuasaan Kesultanan Bulungan dan Kesultanan Sulu itu ternyata seterusnya sampai ke pihak penjajah Inggris dan pihak penjajah Belanda, dimana Inggris menjajah Kesultanan Sulu sedangkan Belanda menjajah Kesultanan Bulungan. Dimana ketidak jelasan batas daerah wilayah dari kedua Kesultanan itu telah diselesaikan melalui Teori Treaty Based Title atau Konvensi 1891.

Karena Teori Treaty Based Title atau Konvensi 1891 begitu penting, maka penjajah Belanda melakukan amandemen atas instrumen hukum lokalnya yang menjelaskan batas wilayah Kesultanan Bulungan. Teori Treaty Based Title menetapkan juga batas wilayah darat yaitu membagi daratan Borneo menjadi dua bagian dan membagi pulau-pulau disekitarnya berdasarkan gari 4 derajat 10 menit Lintang Utara. Bagian yang berada di bagian utara garis tersebut milik penjajah Inggris dan yang terletak dibagian selatan milik penjajah Belanda.

Seterusnya, setelah Belanda menerima bagian timur patai Borneo dari Ingris dalam perjanjian Traktat 1814, selanjutnya penjajah Belanda memberikan membuat kontrak dan memberikan gelar Sultan kepada daerah wilayah jajahannya yang meliputi Sambaliung, Gunung Tabur dan Bulungan. Khusus kepada Sultan Bulungan Belnda ketika membuat kontrak mencantumkan uraian geografis atas daerah yang telah menjadi wilayah kekuasaannya.

Nah, berdasarkan Teori Treaty Based Title atau Konvensi 1891, menurut pihak NKRI, pihak Kesultanan Bulungan memiliki klaim lebih baik atas Pulau Sipadan dan Ligitan dibanding dengan Kesultanan Sulu, karena posisi kedua Pulau tersebut berada dibagian selatan garis Teori Treaty Based Title atau Konvensi 1891, yaitu 4 derajat 10 menit LU, maka kedua Pulau tersebut berada dibawah hak milik Belanda.

Dalam Pasal IV Teori Treaty Based Title atau Konvensi 1891 menyebutkan bahwa batas wilayah bagian timur antara Belanda-Inggris dengan perkataan "continued eastward along" diartikan bahwa garis 4 derajat 10 menit LU itu terus memanjang ke laut ke arah timur, jadi bukan berhenti di Pulau Sebatik saja. Penafsiran pihak NKRI tersebut didasarkan pada Pasal 31 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional yang menyatakan bahwa suatu perjanjian harus ditafsirkan dalam semangat dan iktikad baik sesuai dengan arti sesungguhnya dalam konteks dan tujuannya.

Kemudian perkataan "across" yang tercantum dalam pasal IV Teori Treaty Based Title atau Konvensi 1891 diartikan oleh pihak NKRI dengan "through and beyond the object being crossed". Jadi, garis 4 derajat 10 menit LU itu tidak hanya berhenti sampai di Pulau Sebatik saja, melainkan terus memanjang ke laut ke arah timur.

Menurut garis 4 derajat 10 menit LU yang memanjang melintasi Pulau Sebatik (through and beyond the object being crossed) seperti yang tertuang dalam lampiran explanatory memorandum setelah Teori Treaty Based Title atau Konvensi 1891 di ratifikasi oleh pihak Belanda sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal VIII dalam Teori Treaty Based Title atau Konvensi 1891 yang dutandatangani oleh pihak Inggris.

Seterusnya pihak NKRI mengajukan alasan dengan mebeberkan peta Universal Illustrated Encyclopedia of Spain 1927 dan pernyataan Mentri Luar Negara Amerika, Hay pada tahun 1930. Juga pihak NKRI menyatakan bahwa traktat 1898, traktat 1900, traktat 1930 tidak sesuai disebabkan tidak menyebutkan status Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dalam Perundingan antara Amerika dengan Inggris yang mendahului traktat 1930 tidak membicarakan Pulau Sipadan dan Ligitan, melainkan Turtle Islands dan Mangsee Islands, yang letaknya jauh dari Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.

Selanjutnya pihak NKRI membeberkan peta yang dibuat Amerika pada tahun 1897 yang diajukan pihak Amerika ketika sengketa Pulau Palmas, Dimana peta 1897 yang dibuat Amerika ini sesuai dengan peta lampiran dalam Memorie van Toelichting.

Dengan pengajuan peta 1897 oleh pihak Amerika menandakan bahwa Amerika mengakui Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan milik Belanda, sekaligus menyatakan semua pulau yang berada disebelah utara garis kedua Pulau tersebut berada digaris garis 4 menit 10 detik LU Teori Treaty Based Title atau Konvensi 1891 adalah milik Inggris.

Jadi, menurut pihak NKRI, Amerika menguatkan argumen Indonesia bahwa garis 4 menit 10 detik LU memang terus ke laut ke arah timur sampai melintasi Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.

KELEMAHAN TEORI TREATY BASED TITLE ATAU KONVENSI 1891 MENURUT PIHAK MALAYSIA

Menurut pihak Malaysia garis Teori Treaty Based Title atau Konvensi 1891, yaitu 4 derajat 10 menit LU hanya membelah Pulau Sebatik saja, tidak terus menuju ke timur hingga mencapai Pulau Sipadan-Ligitan. Dimana pihak Malaysia menafsirkan kata "across" yang tercantum dalam Pasal IV teori Treaty Based Title berdasarkan Konvensi 1891 dengan arti bahwa garis batas 4 derajat 10 menit LU sesuai teori Treaty Based Title atau Konvensi 1891 hanya sampai di pulau Sebatik saja.

TEORI CHAIN OF TITLE ATAU RANTAI KEPEMILIKAN YANG DIAJUKAN PIHAK MALAYSIA

Pihak Malaysia mengajukan alasan dasar berdasarkan teori Chain of Title untuk mengklaim Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang merupakan mata rantai kepemilikan menurut alur Sultan Sulu - Spanyol - AS - Inggris - Malaysia. Dimana masing-masing Negara memiliki hak kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.

Malaysia mendasarkan klaimnya pada dokumen peta War Department kepunyaan Amerika dan Dokumen The 1907 Exchange of Note antara AS dengan Inggris yang berisi pengakuan Inggris terhadap kedaulatan AS atas pulau-pulau yang terletak di luar 9 mil dari garis pantai, sebagai batas wilayah teritorial. Dimana pulau-pulau yang terletak di luar batas 9 mil adalah berada di bawah administrasi Inggris, termasuk Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.

Dalam Konvensi 1930 yang mendahului The 1930 Anglo-United States Convention antara Inggris-Amerika dinyatakan bahwa Amerika menyerahkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Inggris, yang selanjutnya Inggris menyerahkan kepada Malaysia.

KELEMAHAN TEORI CHAIN OF TITLE ATAU RANTAI KEPEMILIKAN MNENURUT PIHAK NKRI

Menurut pihak NKRI para pelaku transaksi Sultan Sulu, Spanyol, AS, Inggris dan seterusnya sampai Malaysia masing-masing tidak memiliki hak kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dimana buktinya Sultan Sulu tidak pernah memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Misalnya Sultan Sulu tidak pernah berusaha untuk memperluas klaimnya atas kedua pulau itu.

Disamping itu, Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan terletak di luar batas 9 mil laut dari mainland dan tidak mungkin menjadi bagian wilayah kekuasaan Kesultanan Sulu yang diserahkan melalui grant kepada Messr Den dan Overbeck pada tahun1878. Disamping itu Filipina sebagai pewaris sah wilayah Kesultanan Sulu tidak mengklaim Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Filipina.

Menurut NKRI Spanyol tidak pernah memiliki hak atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dimana wilayah kekuasaan Spanyol tidak mencakup kedua Pulau tersebut sebagaimana dinyatakan dalam The 1836 Capitulation between Spain and Sulu yang menyatakan bahwa yurisdiksi Spanyol hanya melingkupi wilayah titik barat Mindanao sampai Borneo dan Pulau Palawan, dengan kekecualian Pulau Sandakan dan daerah lainnya yang merupakan bagian wilayah Sultan di daratan Borneo.

Juga berdasarkan The 1851 Act of Submission dinilai bahwa Act tersebut tidak dapat membuktikan hak Spanyol atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Disebabkan Act tersebut hanya mencatat persetujuan Sultan Sulu atas penegakan kedaulatan Spanyol di Pulau Sooloo dan pulau sekitarnya yang menjadi bagian kepulauan Filipina. Disamping itu The 1885 Protocol yang ditandatangani oleh Inggris, Spanyol dan Jerman tidak dapat membuktikan hak Spanyol atas pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, karena The 1885 Protocol hanya merupakan hasil perjanjian jaminan kebebasan dagang bagi kapal Inggris dan Jerman di Kepulauan Sulu disamping sebagai penegasan penolakan Spanyol atas kepemilikan Sultan Sulu yang menjadi dasar grant 1878 kepada British North Borneo Company (BNBC). Seterusnya dalam The Treaty of Paris (1898) sebagai perjanjian kalah perang Spanyol terhadap Amerika menyatakan bahwa Spanyol menyerahkan kepulauan yang sekarang dinamakan Filipina termasuk juga pulau-pulau yang berada di sebelah utara garis 4 menit 45 detik LU.

Menurut pihak NKRI dokumen peta War Department kepunyaan Amerika tidak dapat digunakan Malaysia untuk mengklaim Pulau Sipadan dan Pulai Ligitan, karena Kantor Hidrografi Amerika telah menghapuskan garis batas yang dibuat melingkari Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, sesuai dengan surat Mentri Luar Negeri Amerika pada tanggal 23 Oktober 1903.

Dokumen The 1907 Exchange of Note antara Amerika dengan Inggris adalah bukan merupakan dokumen yang berisi pengakuan Inggris terhadap kedaulatan AS atas pulau-pulau yang terletak di luar 9 mil dari garis pantai, sebagai batas wilayah teritorial. Melainkan hanya pengadministrasian pulau-pulau di luar batas 9 mil tersebut oleh BNBC, jadi bukan bukan merupakan pelaksanaan hak kewilayahan.

Disamping itu, yang dimaksud dalam dokumen Exchange of Note pulau-pulau itu adalah Turtle Islands dan Mangsee Islands.

Seterusnya pihak NKRI menyatakan bahwa berdasarkan Konvensi 1930 Amerika tidak pernah memiliki hak atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Juga Konvensi 1930 bukan merupakan perjanjian penyerahan kedaulatan, melainkan penegasan kepemilikan Amerika atas Turtel Islands dan Mangsee Islands dalam suatu persetujuan garis batas yang pasti.

KETUA HAKIM MAHKAMAH INTERNASIONAL MEMUTUSKAN ATAS DASAR PERTIMBANGAN EFECTIVITES

Ternyata pihak Majelis Hakim yang diketuai oleh Gilbert Guillaume telah memutuskan bahwa Malaysia adalah pemilik sah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan atas dasar pertimbangan Effectivites (effective occupation).

Dikarenakan terbukti bahwa teori Treaty Based Title atau Konvensi 1891 yang diajukan oleh pihak NKRI dan teori Chain of Title yang diajukan pihak Malaysia tidak bisa dijadikan dasar yang utama untuk menentukan kepemilikan. Dimana Mahkamah Internasional tidak bisa memutuskan hak kepemilikan pihak mana yang kuat berdasarkan dokumen-dokumen itu. Karena kedua-dua teori tersebut sama kuatnya.

Oleh sebab itu Mahkamah Internasional menilai Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai daerah tak bertuan atau terra nulius.

Nah, karena menurut Mahkamah Internasional Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai daerah tak bertuan atau terra nulius, maka argumen effectivites yang dipakai dasar pertimbangan oleh Mahkamah Internasional. Dimana menurut Mahkamah Internasional pihak Malaysia telah secara efektif hadir melaksanakan kedaulatannya di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan jauh sebelum tahun 1969, maka Malaysia adalah pemilik yang sah atas kedua Pulau tersebut. Artinya sebelum Negara Federasi Malaysia berdiri pihak Inggris telah melakukan tindakan administratif nyata yang berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpul telur penyu sejak tahun 1930, dan pembangunan mercu suar sejak awal tahun 1960.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad.swaramuslim.net
ahmad@dataphone.se
----------

Date: Sat, 13 Mar 2004 02:50:49 +0000 (GMT)
From: shahen fasya rimueng_acheh@yahoo.com
Subject: bagaimana posisi pulau sipadan dan Ligitan dimata indonesia dan malaysia ?
To: ahmad@dataphone.se

Assalamualaikum wr. wb

To the point,
langsung aja nih. Seperti diketahui bahwa Indonesia dan Malaysia pernah mengklaim pulau Ligitan dan Sipadan (dekat Kalimantan) itu miliknya masing-masing. Sehingga kedua negara (Indonesia dan Malaysia) saling bersengketa dalam memperebutkan kedua pulau tersebut. Kemudian setelah berbagai perundingan yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia tidak menghasilkan penyelesaian yang adil, akhirnya kedua negara memutuskan untuk membawa masalah klaim pulau tersebut ke Pengadilan Internasional (Arbitrase Internasional).

Setelah mempelajari berbagai bukti yang diberikan oleh kedua belah pihak (Indonesia dan Malaysia), akhirnya Arbitrase Internasional memutuskan bahwa pulau Ligitan dan Sipadan milik Malaysia, sehingga Indonesia hanya bisa gigit jari (alias kecewa abis), padahal beberapa hari sebelum Arbitrase Internasional bersidang, pihak Indonesia (dalam hal ini Departemen Luar Negeri Indonesia) dengan sesumbar mengatakan bahwa pulau Sipadan dan Ligitan akan jadi milik Indonesia.

Bagi saya lebih bagus pulau tersebut jadi milik Malaysia ketimbang jadi milik Indonesia, karena Malaysia lebih baik dan pandai dalam mengelola pulau tersebut dan mensejahterakan rakyatnya. Sedangkan Indonesia hanya pandai mengklaim, tapi nggak pandai dalam mengelola dan cenderung tidak peduli akan nasib rakyatnya.

Nah, saya ingin tahu bagaimana sih posisi kedua pulau tersebut dimata Indonesia dan Malaysia, maksudnya Indonesia dan Malaysia mengklaim pulau tersebut atas dasar apa ? Terus koq Indonesia bisa dikalahkan oleh Malaysia, padahal sebelumnya Indonesia yakin menang ?

wassalam

Shahen Fasya

rimueng_acheh@yahoo.com
Banda Aceh/Kutaraja