Stockholm, 27 Januari 2004

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.

PAPUA DAN ACEH SAMA-SAMA DICAPLOK SOEKARNO CS MASUK KEDALAM RI-JAWA-YOGYA
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

MEMANG BENAR SOEKARNO TELAH MEMASANG BOM WAKTU NKRI DENGAN MENCAPLOK PAPUA DAN ACEH DAN BUKAN PEPERA MELAINKAN PEPESOE YANG BERARTI PENENTUAN PENDAPAT SOEKARNO

"Assalamu'alaikum Bung Ahmad. Bung, ini Arkilaus dari Papua di Yogya yang mengirim berita supaya Bung boleh memberi solusi bagi kami yang berjuang di dalam NKRI ini? Tentang situasi di dalam negeri NKRI Aliansi Mahasiswa Papua International, bersama Solidaritas untuk Aceh telah mengadakan beberapa pertemuan dengan elemen gerakan demokratik di Indonesia, seperti yang pernah saya tulis Solidaritas Aceh Papua, di Jakarta sekarang di Yogya kita bentuk yang namanya SRUPA ( solidaritas rakyat untuk Papua dan Aceh ). dimana agendanya yaitu referendum."
(Arkilaus Arka, raden_ok@yahoo.com , 31 december 2003 04:52:14)

Terimakasih saudara Arkilaus Arka di Yogya, Indonesia.

Baiklah.

Memang ada kesamaan antara rakyat Aceh dengan rakyat Papua ini yaitu, mereka sama-sama negerinya sedang diduduki oleh pihak Soekarno Cs dan diteruskan oleh para penerus Soekarno sampai detik ini.

Seperti yang telah saya tulis kurang lebih tujuh bulan yang lalu tentang Papua yang dicaplok Soekarno cs ini. Dimana sekarang dalam tulisan ini saya mengambil sebagian besar informasi dari tulisan tentang Papua Barat yang telah saya tulis sebelum ini.

Saya memahami dan mengerti bagaimana rakyat Papua yang negerinya telah disantap dan dicaplok Soekarno cs dengan melalui jalan kekerasan senjata dengan dentuman-dentuman senjata yang dilepaskan oleh pihak TNI yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat atas perintah Presiden Soekarno untuk memenuhi ambisi dan kebijaksanaan politik dan keamanan agresinya menjelmakan mimpinya guna menyatukan seluruh Negara/Daerah yang masih belum bisa dimasukkan kedalam tubuh Negara RI-Jawa-Yogya jelmaan dari NKRI yang dibangun dari puing-puing Negara/Daerah bagian RIS pada 15 Agustus 1950.

Dasar inilah yang menurut saya mengapa rakyat Papua sampai detik ini terus bangkit menuntut keadilan dengan menuntut penentuan nasib mereka sendiri untuk bebas merdeka dari pengaruh kekuasaan Negara RI-Jawa-Yogya.

Taktik dan strategi Soekarno dalam merebut dan menduduki Papua jauh berbeda dengan cara mencaplok Negeri Aceh. Pencaplokan Negeri Papua mengerahkan dengan puluhan ribu serdadu TNI baik itu Angkatan Laut, Angkatan Darat, Angkatan Udara dibawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto.

Setelah melahap 15 Negara/Daerah bagian RIS, Soekarno Cs menyiapkan satu delegasi RI-Jawa-Yogya untuk mengiktui Sidang Umum PBB pada tanggal 27 September 1950 guna mendaftarkan Negara RI-Jawa-Yoga menjadi anggota PBB, yang dipimpin oleh Ketua delegasi Mr. Moh.Roem, didampingi oleh Wakil Ketua L.N. Palar, dengan disertai para anggota delegasi Dr. Darmasetiawan, Mr. Soedjono, Mr.Tambunan, Mr.Soemanang, dan Prawoto.

Dengan gelar Indonesia is a peace-loving State yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi DK PBB No. 86 tahun 1950 pada 26 September 1950 yang memberikan rekomendasi kepada SU PBB untuk diterima menjadi anggota PBB ke-60.

Ternyata setelah Negara RI-Jawa-Yogya resmi menjadi anggota PBB yang ke-60, gelar a peace-loving State yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB luntur dan menghilang dari tubuh Negara RI-Jawa-Yogya, dikarenakan ambisi dan politik agresi Soekarno untuk mencaplok Daerah-daerah yang masih berada di luar tubuh NKRI atau Negara RI-Jawa-Yogya.

Dimana salah satu Negeri yang akan dicaplok Soekarno cs ini adalah Negeri Papua yang pada waktu itu dinamakan Irian Barat.

Soekarno tidak mau Negeri Irian Barat jatuh ketangan bangsa Irian, tetapi harus masuk kedalam wilayah kekuasaan Negara RI-Jawa-Yogya.

Dalam usaha mencaplok Negeri Papua Barat ini Soekarno menyusun strategi dengan cara memasukkan program perebutan dan pendudukan Irian Barat disetiap Kabinet yang dibentuknya, yang dimulai dalam Kabinet Natsir 7 September 1950, kemudian diteruskan dalam Kabinet Soekiman bulan April 1951, lalu dilanjutkan dalam Kabinet Wilopo 3 April 1952, kemudian dalam Kabinet Ali-Wongso 1 Agustus 1953, setelah itu diteruskan dalam Kabinet Burhanuddin Harahap 12 Agustus 1955, dan juga dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo 24 Maret 1956.

Dimasa Kabinet Ali Sastroamidjojo atau sering disebut Kabinet Ali II, Soekarno membatalkan secara sepihak perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 3 Mei 1956, dimana pembatalan perjanjian KMB secara sepihak ini dilakukan dengan Undang undang No.13 Tahun 1956.

Dimana Perjanjian KMB ini dlaksanakan pada tanggal 23 Agustus 1949 di Ridderzaal, Den Haag, Belanda, 13 bulan sebelum RIS diakui kedaulatan oleh Ratu Juliana, Belanda yang ditandatangani pada 2 November 1949 dengan hasil utamanya adalah Belanda akan menyerahkan kedaulatan RIS pada akhir bulan Desember 1949. Mengenai Irian barat penyelesaiannya ditunda selama satu tahun. Pembubaran KNIL dan pemasukan bekas anggota KNIL ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), adanya satu misi militer Belanda di Indonesia, untuk membantu melatih APRIS dan pemulangan anggota KL dan KM ke Negeri Belanda.

Nah sekarang, mulai Soekarno menjalankan taktik dasn strategi pencaplok Irian Barat atau Papua Barat. Sebagaimana yang telah diprogramkan dalam Kabinet Ali II ini, langkah pertama yang dijalankan Soekarno adalah membentuk provinsi Irian Barat diatas kertas dengan wilayah daerah Irian Barat dan daerah Tidore, Oba, Weda, Patani, serta Wasile di Maluku Utara dengan Ibu Kotanya dipilih Soa Siu, pada tanggal 17 Agustus 1956. Kemudian, untuk menjadi Gubernurnya diangkat Sultan Tidore, Zainal Abidin Syah, pada tanggal 23 September 1956.

Disini kelihatan, bagaimana Soekarno membangun Papua Barat diatas kertas lengkap daerah dan aparat pemerintahnya, padahal secara de-facto Negeri Papua Barat menurut perjanjian KMB masih berada dibawah kekuasaan Kerajaan Belanda, tetapi Soekarno dengan cara pembatalan sepihak langsung saja mengklaim bahwa Negeri Papua Barat atau Irian barat ini telah menjadi wilayah kekuasaan Negara RI-Jawa-Yogya.

Langkah Sokearno selanjutnya adalah ketika Kabinet Ali II dibawah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengembalikan mandatnya kepada Soekarno pada tanggal 14 Maret 1957, langsung Soekarno satu setengah jam setelah menerima pengembalian mandat dari Kabinet Ali II menyatakan negara dalam keadaan darurat perang, dan pada tanggal 17 Desember 1957 keadaan darurat perang ditingkatkan menjadi keadaan bahaya tingkat keadaan perang.

Nah, dalam keadaan bahaya tingkat keadaan perang untuk seluruh wilayah yang dikuasai Negara RI-Jawa-Yogya inilah Soekarno membangkitkan gerakan pencaplokan Irian Barat yang diadakan pada tanggal 18 November 1957 di Jakarta.

Dalam gerakan pembebasan Irian Barat ini dilakukan mogok total buruh di seluruh perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penerbangan KLM dilarang mendarat dan terbang idatas wilayah Negara RI-Jawa-Yogya. Pengambilalihan modal-modal perusahaan dan milik Belanda di Indonesia, seperti Nederlandsche Handel Maatschappij N.V. (sekarang menjadi Bank Dagang Negara) bulan Desember 1957. Pengambilalihan bank Escompto milik Belanda di Jakarta pada tanggal 9 Desember 1957. Pengambilalihan Perusahaan Philips dan KLM di Jakarta pada bulan Desember 1957. Pengambilalihan percetakan De Unie di Jakarta pada bulan Desember 1957. Agar supaya bisa dianggap legal pengambilalihan modal perusahaan-perusahaan Belanda, maka Soekarno membuat dasar hukumnya yang dinamakan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 1958.

Itulah kerja perampasan modal milik perusahaan dan bank-bank Belanda yang dipelopori oleh Soekarno Cs yang diberi nama pengambilalihan modal perusahaan-perusahaan Belanda dengan menggunakan senjata PP nomor 23 Tahun 1958 menjadi milik Negara RI-Jawa-Yogya.

Soekarno tidak hanya sampai disitu saja, melainkan pada tanggal 10 Februari 1958 membentuk Front Nasional Pencaplokan Irian barat yang lebih populer dinamakan Front Nasional Pembebasan Irian Barat.

Seterusnya, karena dalam sidang Konstituante hasil pemilu pertama tidak berhasil menelorkan UUD, maka setelah diadakan pemungutan suara tiga babak, tanggal 30 Mei, 1 dan 2 Juni 1959, kembali ke UUD 1945 atau memilih UUD berdasar Islam, ternyata hasil pemungutan yang babak ketiga hasilnya yang setuju kembali ke UUD 1945 sebanyak 264 anggota sedangkan 204 anggota menghendaki UUD berdasar Islam.

Ternyata jalan keluar yang diambil oleh Soekarno dari kegagalan pemungutan suara dalam sidang Konstituante adalah dengan cara mengeluarkan Surat Keputusan Presiden tentang keadaan bahaya tingkat keadaan perang 17 Desember 1957 dan pentungan Kabinet darurat Ekstraparlementer yang keropos, dengan disetujui oleh seluruh anggota TNI dan pembenaran dari Mahkamah Agung, Soekarno di Istana Merdeka pada tanggal 5 Juli 1959 membacakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menetapkan pembubaran Konstituante. Menetapkan Undang Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini dan tidak berlakunya lagi Undang Undang Dasar Sementara. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas Anggota anggota DPR ditambah dengan utusan dari Daerah daerah dan Golongan golongan serta pembentukan Dewan
Pertimbangan Agung Sementara akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat singkatnya. Ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 5 Juli 1959.

Tentu saja, dengan telah kembali ke UUD 1945, Soekarno dengan gencar membubarkan Kabinet Djuanda yang dibentuk sebelum dekrit 5 Juli 1959, diganti oleh dirinya sendiri sebagai Perdana Menteri dan Djuanda ditunjuk sebagai menteri Pertama. Kabinet baru yang diberi nama Kabinet Kerja ini dilantik pada tanggal 10 Juli 1959 dengan triprogramnya, 1. Sandang pangan. 2. Keamanan dan 3. Pencaplokan Irian Barat.

Karena Front Nasional Pencaplokan Irian barat yang lebih populer dinamakan Front Nasional Pembebasan Irian Barat yang dibentuk pada tanggal 10 Februari 1958 dianggap kurang memadai, maka Soekarno mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1959 pada tanggal 31 Dsember 1959 untuk digunakan membentuk Front Nasional.

Dimana tujuan dari Front Nasional ini adalah, 1. Menyelesaikan revolusi nasional Indonesia, 2. Melaksanakan pembangunan semesta nasional dan 3. Mencaplok Irian Barat kedalam Negara RI-Jawa-Yogya.

Setahun kemudian pada tanggal 19 Desember 1961 Soekarno menjalan taktik dan strategi pencaplokan Irian barat dengan propaganda yang disampaikan dihadapan rapat umum di Yogyakarta yang berisikan 3 sasaran, 1. Mencaplok Irian Barat yang dianggap sebagai boneka Papua buatan Belanda. 2. Bendera Negara RI-Jawa-Yogya harus dikibarkan diwilayah jajahan H.J. van Mook yang dianggap sebagai daerah wilayah kekuasaan Negara RI-Jawa-Yogya. 3.

Menyiapkan mobilisasi umum mempertahankan Negara RI-Jawa-Yogya yang akan mencaplok Irian Barat. Dalam usaha pencaplokan Irian Barat ini, Soekarno mengangkat Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat pada tanggal 2 Januari 1962.

Sedangkan digelanggang diplomasi di PBB yang dipimpin oleh Pd. Sek Jen PBB U.Thant pada tanggal 15 Agustus 1962 telah ditandatangani persetujuan New York, dari pihak Belanda diwakili oleh Dr J Van Roywen dan CW Schmurmann dan dari pihak Negara RI-Jawa-Yogya diwakili oleh Dr Subandrio.

Dimana Persetujuan New York ini berisikan:

1.Setelah pengesahan persetujuan antara Indonesia dan Belanda, selambat-lambatnya pada tanggal 1 Oktober 1962 Penguasa/Pemerintah Sementara PBB (United Nations Temporary Executive Authority-UNTEA) akan tiba di Irian Barat untuk melakukan serah terima pemerintahan dari tangan Belanda. Sejak itu bendera Belanda diturunkan dan diganti dengan bendera PBB.

2.Pemerintah Sementara PBB akan memakai tenaga-tenaga Indonesia baik sipil maupun alat-alat keamanan, bersama-sama dengan alat-alat keamanan putra-putra Irian Barat sendiri dan sisa-sisa pegawai Belanda yang masih diperlukan.

3.Pasukan-pasukan Indonesia yang sudah ada di Irian Barat tetap tinggal di Irian Barat, tetapi berstatus dibawah kekuasaan Pemerintah Sementara PBB.

4.Angkatan Perang Belanda secara berangsur-angsur dikembalikan. Yang belum pulang ditempatkan dibawah pengawasan PBB dan tidak boleh dipakai untuk operasi-operasi militer.

5.Antara Irian Barat dan daerah Indonesia lainnya berlaku lalu lintas bebas.

6.Pada tanggal 31 Desember 1962 bendera Indonesia mulai berkibar disamping bendera PBB.

7.Pemulangan anggota-anggota sipil dan militer Belanda sudah harus selesai pada tanggal 1 Mei 1963 dan selambat-lambatnya pada tangal 1 Mei 1963 Pemerintah RI secara resmi menerima pemerintahan di Irian Barat dari Pemerintahan Sementara PBB.

Sebagai bagian dari persetujuan New York tersebut dicantumkan bahwa Indonesia menerima kewajiban untuk mengadakan "Penentuan Pendapat Rakyat" (Ascertainment of the wishes of the people) di Irian Barat sebelum akhir tahun 1969 dengan ketentuan bahwa kedua belah pihak, Indonesia dan Belanda akan menerima keputusan hasil penentuan pendapat rakyat Irian Barat tersebut.

Untuk menjamin keamanan di wilayah Irian Barat dibentuk suatu pasukan PBB yang disebut United Nations Security Forces (UNSF) dibawah pimpinan Brig Jen Said Uddin Khan dari Pakistan. (30 tahun Indonesia merdeka, 1950-1964, Sekretariat NRI, 1986).

Nah disinilah bisa dilihat bagaimana Soekarno Cs mencaplok Irian Barat yang sebenarnya milik dan hak rakyat Irian barat. Tentu saja sesuai dengan persetujuan New York, pada tanggal 1 Mei 1963 pihak Penguasa/Pemerintah Sementara PBB (United Nations Temporary Executive Authority-UNTEA) menyerahkan pemerintahan Irian barat kepada pihak Pemerintah Negara RI-Jawa-Yogya dibawah agresor Soekarno.

Hanya masih ada satu lagi isi persetujuan New York yang belum dijalankan yaitu, "Penentuan Pendapat Rakyat" (Ascertainment of the wishes of the people) di Irian Barat sebelum akhir tahun 1969 dengan ketentuan bahwa kedua belah pihak, Indonesia dan Belanda akan menerima keputusan hasil penentuan pendapat rakyat Irian Barat tersebut.

Hanya sekali lagi dengan kelicikan dan keluwesan dalam menjalan taktik dan strategi tipu untuk mencaplok Irian Barat ini, Soekarno dari mulai tanggal 24 Maret 1969 sampai tanggal 14 Juli 1969 telah mengadakan apa yang dinamakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau act of free choice.

Tetapi apa yang dinamakan act of free choice dalam kenyataannya hanyalah merupakan penentuan pendapat sebagian kecil rakyat Irian Barat saja. Coba saja perhatikan dimulai pada tanggal 24 Maret 1969, yang merupakan tahap pertama, dilakukan konsultasi dengan Dewan-dewan Kabupaten di Jayapura mengenai tatacara penyelenggaraan Pepera. Seterusnya dilaksanakan tahap kedua, yaitu pemilihan anggota Dewan Musyawarah Pepera yang berakhir pada bulan Juni 1969 dengan dipilihnya 1026 anggota dari delapan kabupaten, yang terdiri dari 983 pria dan 43 wanita.
Selanjutnya dimulai Pepera pada tanggal 14 Juli 1969 di Merauke yang dilaksanakan di kabupaten demi kabupaten dan berakhir pada tanggal 4 Agustus 1969 di Jayapura.

Nah ternyata yang memilih masuk ke Negara RI-Jawa-Yogya atau berdiri sendiri adalah bukan seluruh rakyat sebegaimana yang disebut dengan nama Penentuan Pendapat Rakyat, melainkan justru para anggota Dewan Musyawarah Pepera itu sendiri yang banyaknya 1026 anggota.
Tentu saja anggota Dewan Musyawarah Pepera itu dengan mudah dimanipulasi oleh Soekarno Cs untuk memihak dan masuk kedalah wilayah gua Negara RI-Jawa-Yogya. Sehingga para anggota Dewan Musyawarah Pepera itu setuju saja masuk dan menjadi bagian dari wilayah gua Negara RI-Jawa-Yogya.

Inilah yang justru menjadi kepincangan dalam menjalankan Pepera di Irian Barat ini, yang sebenarnya bukan namanya Pepera, melainkan Pepesoe, artinya Penentuan Pendapat Soekarno.
Walaupun pelaksanaan Pepera ini dihadiri oleh para Duta Besar, diantaranya Duta Besar Australia dan Duta Besar Belanda di Jayapura dan disaksikan oleh utusan Sekretaris Jenderal PBB Duta Besar Ortis Sanz, tetapi karena caranya yang tidak mencerminkan suara seluruh rakyat Irian Barat, maka tetap saja hasilnya adalah sangat pincang dan tidak sempurna.

Dengan hasil tipu muslihat Soekarno yang bernama Pepera atau istilah lainnya Pepesoe, Duta Besar Ortis Sanz melapor ke Sidang Umum ke-24 PBB dan tentu saja, hasilnya sudah bisa ditebak bahwa itu yang namanya Pepera ala Soekarno disetujui oleh sidang Umum ke-24 PBB.

Tentu saja, bagi sebagian besar rakyat Irian Barat hasil Pepera itu tidak memuaskan, dan buktinya tuntutan untuk menentukan nasib sendiri terus makin bergemuruh di seluruh wilayah Irian Barat sampai detik ini.

Inilah akibat tipu daya dan penipuan dari pihak Soekarno yang berambisi untuk mencaplok semua Negara dan Daerah yang ada diwilayah Nusantara agar masuk kedalam Negara RI-Jawa-Yogya.

Dan inilah yang saya namakan bom waktu NKRI yang cepat atau lambat akan meledak dengan dahsyatnya.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
----------

Date: 31 december 2003 04:52:14
From: arkilaus arka <raden_ok@yahoo.com>
Subject: GERAKAN SIPIL DEMOKRATIK YOGYAKARTA BANGUN SOLIDARITAS BERSAMA UNTUK ACHEH dan PAPUA
To: ahmad_sudirman@hotmail.com

Assamu'alaikum Bung Ahmad.

Bung, ini Arkilaus dari Papua di Yogya yang mengirim berita supaya bung boleh memberi solusi bagi kami yang berjuang di dalam NKRI ini?

Tentang situasi di dalam negeri NKRI Aliansi Mahasiswa Papua International, bersama Solidaritas untuk Aceh telah mengadakan beberapa pertemuan dengan elemen gerakan demokratik di Indonesia, seperti yang pernah saya tulis Solidaritas Aceh Papua, di Jakarta sekarang di Yogya kita bentuk yang namanya SRUPA ( solidaritas rakyat untuk Papua dan Aceh ). dimana agendanya yaitu referendum.

Arkilaus Arka
raden_ok@yahoo.com
----------

GERAKAN SIPIL DEMOKRATIK YOGYAKARTA BANGUN SOLIDARITAS BERSAMA UNTUK ACHEH DAN PAPUA

Mahasiswa-mahasiswa Papua, Acheh dan beberapa elemen Gerakan Pro-Demokrasi Indonesia melakukan konsolidasi dengan maksud membuka pemahaman bersama menyikapi isu kedua wilayah ini, yang kemudian diharapkan terbentuknya sebuah solidaritas yang komit dalam menyuarakan persoalan yang terjadi di Aceh dan Papua.

Dengan memahami akar persoalan -tentu tak terlepas dari historis- kedua wilayah ini, diharapkan menjadi sebagai wacana ilmiah dalam membahasakan keinginan politik rakyat Papua dan Acheh diantara kekuatan Pro-Demokrasi di Yogyakarta dan Indonesia pada umumnya. Karena, kita ketahui, bahwa selama ini tidak ada sama sekali ruang bagi rakyat Acheh dan Papua mengekspresikan dirinya. Kalaupun ada, ujung-ujungnya selalu diakhiri dengan "senjata".

Untuk itulah, gerakan mahasiswa Papua dan Acheh perlu meleburkan diri dalam elemenpergerakan Pro-Demokasi sebagai bagian dari proses perjuangan mengedepankan nilai-nilai demokrasi, keadilan dan menjunjung hak asasi manusia (HAM) sebagaimana yang dibangga-banggakan Indonesia selama ini.

Untuk itu, elemen Gerakan Pembebasan Nasional Papua dan Acheh perlu membangun solidaritas, jaringan dan membahasakan isu tersebut untuk disikapi bersama. Setidaknya hal itu sedikit banyak mengemuka dalam "Konsolidasi Gerakan Sipil Demokratik Yogya terhadap Acheh - Papua" yang diselenggarakan oleh AMP, SUA, APACHE, LMND dan KAM UII di Aula Asrama Papua "Kamasan I" Jalan Kusumanegara 119 Yogyakarta, hari Sabtu (27/12) kemarin.

Ikut hadir dalam sharing politik itu sebanyak 60 elemen organisasi di Yogyakarta, diantaranya Partai Rakyat Demokratik (PRD), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Komite Mahasiswa Yogya (KMY), FORSMAD UNY, PUSHAM-UII, PSKP-UGM, Cuk Nyak Dhien, Central for Social Democratic Studies (CSDS), SEKAR Yogya, Serikat Pengamen Indonesia (SPI), Lidi Perdamaian, LPKP '65, PBHI Yogyakarta, LAPPERA Yogyakarta, INSIST Yogyakarta, Forum LSM Yogyakarta, Realino Yogyakarta, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) MPO, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) DIPO, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UGM, BEM UNY, BEM UII, BEM UPN, BEM Univesitas Widya Mataram, BEM Univesitas Atma Jaya Yogyakarta, BEM Univesitas Proklamasi, BEM IAIN Sunan Kalijaga, BEM Universitas Sanatha Dharma, BEM Institut Seni Indonesia, BEM Universitas Wangsa Manggala, BEM Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa Yogyakarta, BEM Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, BEM Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, BEM Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta, BEM Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan Yogyakarta, BEM STPMD "APMD", BEM IST "Akprind", BEM STIE YKPN Yogyakarta, Taman Pelajar Acheh (TPA) Yogyakarta, Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Aceh Yogyakarta (HIMPASAY), Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua (IPMAPA) DIY, Perisai Adat Papua (PAP), Community Development Dani Womens, Forum Intelektual Papua (FIP) Yogyakarta, Forum Perempuan Papua Yogyakarta (FP2Yo), Forum Perempuan Mee Yogyakarta, Front Nasional Mahasiswa Papua (FNMP), Liga Mahasiswa Papua untuk Perubahan (LMPP) Semarang, Solidaritas Mahasiswa Papua untuk Perubahan (SMPP) Salatiga, Liga Nasional Mahasiswa untuk Demokrasi (LMND) Semarang, LMND Salatiga, Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua (KP AMP), dan Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka (DeMMaK).

Dari presentasi dan sharing politics historycal itu, tentu ada target -baik target taktis maupun strategis-yang ingin dicapainya. Terbentuknya solidaritas bersama antara kekuatan Pro-Demokrasi di Yogyakarta dan turut berjuang bagi kepentingan rakyat Papua dan Acheh, juga diharapkan terciptanya pemahaman yang baik terhadap tuntutan dan keinginan politik Rakyat Papua dan Acheh, serta terinformasikannya agenda-agenda politik dari gerakan pembebasan Papua dan Acheh kepada kekuatan demokratik di Yogyakarta. Membangun sebuah alat kampanye dan perjuangan politik berupa front solidaritas yang akan mengkampanyekan masalah-masalah politik Papua dan Acheh, dan diharapkan munculnya sebuah sinergi bersama yang kuat dan solid diantara gerakan demokratik Indonesia, Papua dan Acheh sebagai sebuah energi perlawanan yang kuat demi mencapai satu tujuan bersama.

Oleh karenanya, ini menjadi sebuah keharusan dalam kerja politik untuk mewujudkan tujuan dan target tadi. Solidaritas yang utuh dari kekuatan rakyat sipil demokratik Indonesia terhadap hak-hak kebangsaan rakyat Acheh dan Papua dan Acheh yang hingga kini tak pernah dihargai itu.

Dalam pertemuan ini, banyak hal dibicarakan. Diawali presentasi historis Aceh dan Papua, yang masing-masing dibawakan oleh Rezza dari Solidaritas Untuk Acheh (SUA) dan Hans Gebze (Aliansi Mahasiswa Papua), kemudian diwacanakan bersama dalam sidang komisi dan pleno, sehingga eksplorasi pemikiran setiap peserta semakin memperkaya dan cukup menarik ditelaah.

Nafsu Besar Indonesia

Sejarah masuknya Aceh ke dalam NKRI tidak melalui prosedur, melainkan kompromi sepihak yang di kemudian hari membawa korban di pihak rakyat sipil di Tanah Bumi Rencong. Begitu pun hak politik rakyat Papua yang dianeksasi dengan rekayasanya mengklaim Papua Barat sebagai bagian sah dari NKRI. Padahal, secara historis judisial, hal itu salah besar! Tidak terbukti kalau Acheh dan Papua ini bagian dari NKRI. Hanya karena ambisi menguasai hasil kekayaan alam yang memang berlimpah ruah di kedua wilayah ini, sehingga Indonesia dengan berbagai cara akhirnya berhasil mengklaim diri sebagai bagian tak terpisahkan dari negara yang belakangan "hancur berantakan" oleh karena nafsu ambisius tak terkontrol dan "bunuh diri" yang selalu dipraktekannya.
Membicarakan persoalan Acheh, menurut Rezza, tak bisa terlepas dari sejarah masuknya Acheh ke dalam NKRI; tingkat kesejahteraan rakyat yang "miskin" di atas tanahnya yang "kaya"; dan represi militer yang selalu dijalankan Indonesia, sehingga rakyat sipil Acheh menjadi korban.

Hal sama juga terjadi di Papua Barat. Betapa tidak! Dari presentasi historis, sudah tergambar jelas, bahwa Acheh dan Papua sama-sama mengalami kelamnya nasib. Akar permasalahannya pun tak jauh beda. Hal ini dapat dilihat dari 3 perspektif, yakni sejarah integrasi Acheh dan Papua; kesejahteraan rakyat Acheh dan Papua yang -sama mengalami "kemiskinan" diatas "kekayaan" alam yang berlimpah-ruah, keterpinggiran hak ekonomi, budaya, hak menjadi tuan di atas negerinya sendiri yang terampas; dan penerapan pembangunan daerah yang sangat militeristik dengan pola represifnya "membunuh" jiwa dan roh manusia Acheh dan Papua. Program pembangunan hanyalah kedok saja. Teror mental, pembunuhan, pembantaian, pemerkosaan, penembakan warga sipil tanpa bersalah. Kaum perempuan dan mama-mama Acheh dan Papua diperkosa, anak-anak harapan bangsa Acheh dan Papua menjadi yatim-piatu akibat ibu dan ayahnya dibunuh orang berpakaian "loreng" yang tiap hari berkeliaran di sana.

Sungguh menyedihkan, tragis! Sebuah fakta yang telah tercatatkan dengan tinta emas bercampur darah anak negeri di dalam lembaran sejarah Acheh dan Papua.

Waktu terus berputar. Korban terus berjatuhan. Aspirasi murni rakyat terus mengalir, Indonesia tak pernah meresponnya. Dibalas pun selalu dengan "senjata", bukannya sesuai yang diminta rakyat, tak pernah ada ruang ekspresi, ruang duduk bersama membicarakan apa keinginan seluruh rakyat, menyampaikan apa saja yang dialaminya sehari-hari.

Namun, Jakarta tak pernah membuka mata-hati melihat persoalan dan mendengar isak tangis rakyat Acheh dan Papua. Semua itu menjadi tak berarti, seakan-akan rakyat tak bersuara. Padahal, mulut rakyat sudah capek berteriak. Sedangkan korban pun terus bertambah tiap saat. Ironis!!

HAM, Demokratisasi, Humanisme, Militerisme, Neo-Liberalisme

Ada beberapa isue pokok dibahas dalam sidang pleno dan komisi. Komisi A (Neo-liberalisme) membahas kapitalisme, ekonomi dan bisnis terselubung yang di-backing militer. Komisi B (Demokrasi) tentang demokratisasi bagi rakyat sipil yang hak-hak politiknya terampas dan tak ada ruang dialog dengan elite pemerintah daerah-pusat. Komisi C (Militerisme) seputar kejahatan kenegaraan, kebijakan pembangunan dengan pola represi militer, senjata menjadi jawaban terhadap aspirasi murni rakyat sipil, dan berbagai kasus pelanggaran lainnya.

Komisi D (Humanisme) melihat matinya nilai-nilai kemanusiaan sebagai ciptaan Tuhan yang selalu diinjak-injak oleh kuatnya kekuasaan pemerintah dan TNI, agama sering dipolitisir. Multikultur, lintas agama dan ras di Indonesia menjadi sorotan tersendiri. Humanisme itu sendiri sebagai sebuah gerakan kemanusiaan dalam lintas agama, budaya, suku, dalam memanusiakan manusia yang luhur, membela hak-hak asasi perempuan, anak dan setiap orang. Intinya, humanisme dilakukan satu atau beberapa orang di daerah konflik (Papua dan Acheh) yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.

Begitu mengorek kembali "luka lama" rakyat, melihat dan memahaminya, kedua gerakan pembebasan ini perlu segera memperjuangkan adanya penegakan HAM dan pengakuan terhadap hak-hak demokratik rakyat Papua dan Acheh, membuka ruang demokrasi: "Dialog Nasional" dan "PEPERA II" ataupun "REFENDUM". Ini sebuah kewajiban demokratis yang sewajarnya harus mendapat kesempatan utama dalam setiap diskursus politik dari setiap kekuatan demokratik di Indonesia yang berjuang bagi demokratisasi dan penegakan HAM.

Semua kekuatan yang ada itu harus disatukan sebagai sebuah sinergi untuk selangkah maju bersama berjuang demi terciptanya sebuah proses demokrasi yang benar. Dan diharapkan kemudian ada ruang bicara, ruang ekspresi bagi rakyat yang cinta damai untuk menyatakan dirinya sebagai manusia yang layak hidup dan perlu dihargai hak dan jati dirinya di muka bumi ini.

Sayangnya, rakyat Acheh menjadi "miskin" di atas tanah yang "kaya". Rakyat Papua Barat "mati" di atas "lumbung" emas dan tembaga. Sudah begitu, rakyat terus dikhianati. Kedaulatan rakyat digadaikan kepada para pemilik modal internasional dengan misi kapitalismenya. Banyak lembaga donor internasional yang ada dibalik kepentingan kapitalisme internasional. Lantaran itu, Neo-Liberalisme telah menjadi sebuah momok lain yang sengaja didukung oleh borjuasi Indonesia dalam mengeksploitasi wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam. Papua dengan sejumlah besar cadangan Gas Alam Cair, Minyak Bumi, Tembaga, Emas, hasil-hasil hutan dan kekayaan laut, telah menjadi target utama kaum pemodal (kapitalis).

Hal sama juga terjadi di Acheh; yang memiliki sumber kekayaan alam yang luar biasa melimpah. Tapi, semuanya seakan tak berarti bagi rakyat, sebaliknya alam hanya menjadi "kue" bagi Indonesia mengeruk dan mencuri semua kekayaan itu, sedangkan pemilik kekayaan itu mati dan terbunuh diatas kebunnya sendiri.

Pentas Darah

Papua dan Acheh dijadikan panggung pementasan "drama darah". Rakyat sipil dibantai habis-habisan. Darah manusia tak berdosa terus mengalir tiada hentinya membasahi pemukaan bumi Papua dan Aceh. Pelaku masuk ke rumah orang lain, menjarah dan mencuri semua yang ada di dalam rumah, di kebun, lalu dia membawa kabur. Tapi anehnya, pencuri ini tak pernah diproses dan mempertanggungjawabkan di depan korban. Padahal, katanya ini negara hukum. Malah dengan seenaknya berkeliaran, bahkan sudah sekian kali pelaku yang sama kembali beraksi lagi. Aneh bin ajaib!!

Begitulah yang terjadi. Sebuah fenomena yang selalu dan selalu dilakoni pemeran drama berdarah, Indonesia di panggung Acheh dan Papua.

Kita masih ingat sejumlah peristiwa tragis. Diberlakukannya Darurat Militer (DM) Acheh merupakan kemenangan lobby politik TNI paling mutakhir. Di sana terjadi berbagai pelanggaran HAM berat, tapi itu seakan-akan tidak terjadi sesuatu yang mengerikan bagi kemanusiaan rakyat Acheh. Ironis, memang. Sudah ribuan orang korban dalam agenda DM yang berlangsung selama hampir satu tahun, ratusan ribu orang mengungsi akibat DM, ribuan ibu dan anak-anak tak berdaya dibawah bayang-bayang tekanan militer yang represif itu.

Pemberlakuan perang di Bumi Tanah Rencong adalah merupakan langkah-langkah terencana dan tersistematik untuk membentuk pandangan publik Indonesia agar melupakan semua kejahatan kemanusiaan masa lalu, kedua: mengabaikan semua hal yang menyangkut aspek non-militer (penyelesaian militer), ketiga: mendorong publik masuk ke dalam keyakinan "nasionalisme hitam", dimana kekerasan, pengabaian martabat manusia, mencerca perbedaan pendapat dan melihat penghormatan terhjadap HAM sebagai sikap yang menghianati nasionalisme.

Di Papua, politik provokasi juga dilakukan TNI dan BIN yang sepenuhnya didukung oleh Rezim Mega - Hamzah. Inpres No. 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Timur, telah memicu timbulnya konflik horisontal diantara rakyat Papua yang pro maupun yang anti pemekaran. Peristiwa konflik pada tanggal 23 Agustus 2003 di Timika (Calon Propinsi IrjaTeng) adalah contoh bagi kita semua, dimana pemicu konflik itu sesungguhnya telah dipasang oleh TNI/BIN, dan tinggal menunggu saat yang tepat konflik itu meledak yang pada akhirnya akan melegitimasi TNI untuk memberlakukan Darurat Militer baru di Papua Barat.

Ironis. Mengapa? Kalau militer mendapat hak keistimewaa yang luar biasa, masrakayat sipil lainnya justru berada dalam situasi tanpa otoritas dan timbul rasa tertekan, terancam dalam dirinya sendiri. Rakyat sipil, kaum buruh, pedagang, dan profesi lain tidak saja "lumpuh", tapi juga tertekan dan terhinakan, bahkan nyawanya pun terancam.

Kita lihat bersama, elite Jakarta dan antek-anteknya dari kekuatan Orde Baru cukup memainkan perannya. Berbagai kemenangan politik kekuatan Orba dan TNI pada pentas politik Indonesia akhir-akhir ini, menunjukan sebuah kenyataan bahwa Reformasi 1998 yang dimenangkan oleh gerakan Pro-Demokrasi Indonesia, pada akhirnya harus ditutup kembali dengan kebangkitan politik TNI dan antek-antek Orba. Hal ini tidak saja menjadi momok menakutkan bagi gerakan Pembebasan Nasional Papua dan Acheh, tetapi restorasi politik TNI ini juga berdampak bagi kekuatan pro-demokrasi di Indonesia.

Buktinya? Lihat saja, berbagai produk hukum yang sangat represif telah dihasilkan parlementer yang katanya merupakan komposisi politik sipil reformis, tetapi reformasi yang diperdengarkan dari mulut mereka ternyata hanyalah lips service politik semata untuk mempertahankan kekuasaannya yang anti-demokrasi dan anti-rakyat sipil. Semua partai yang ada sekarang hanya tunduk dan takluk pada kehendak politik militer, dan membuat berbagai aturan represif bagi TNI sembari membebek dibelakang TNI demi mengamankan posisi politik mereka.

Kian langgengnya jalan bagi TNI menguasai kembali perpolitikan nasional, dilakukannya dengan semakin gencarnya propaganda yang diusungnya: "demi menjaga keutuhan NKRI, dari Sabang sampai Merauke". Inilah bentuk lain dari restorasi politik TNI akhir-akhir ini. "NKRI sudah final," kata TNI. Slogan politik inilah yang selalu didengungkannya pada hampir setiap kesempatan dimana mereka ada. TNI telah berhasil memenangkan hati sebagian besar publik Indonesia.

Dan, lebih fatalnya, mereka memang benar-benar didukung oleh publik di Indonesia, termasuk sejumlah lembaga swadaya masyarakat (Ornop) yang tak berdaya terhadap berondongan propaganda yang telah berhasil menguasai seluruh media kampanye, baik media elektronik maupun media cetak.

Kekuatan Sinergi

Sejauhmana mahasiswa Aceh dan Papua menyikapi daerahnya? Apakah sudah menjalin diri dengan kekuatan Pro-Demokrasi di Indonesia? Lantas, apa saja langkah ke depan? Tiga pertanyaan yang erat kaitan, sekadar melihat kembali seberapa besar suara mahasiswa Papua dan Acheh terhadap daerahnya yang selama ini selalu menjadi daerah praktik uji-coba "senjata" yang entah salah bidik atau tidak, rakyat sipil di sana jadi korban tertembak peluru timah.

Dari fakta ini, tampaknya menjadi penting bagi Gerakan Pembebasan Nasional Papua dan Acheh untuk mensosialisasikan berbagai masalah kemanusiaan dan demokrasi yang sedang terjadi di dua wilayah ini kepada seluruh kekuatan Pro-Demokrasi Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Hal ini dimaksudkan agar terbangun sebuah sinergi dan komunikasi politik yang kuat dan solid, sehingga di kemudian hari dapat menjadi sebuah solidaritas atas nama demokrasi dan kemanusiaan, yang bermuara pada hak menentukan nasib sendiri (self determination) yang saat ini diperjuangkan oleh rakyat Papua maupun Acheh.

Betapa pentingnya agenda konsolidasi gerakan sipil demokratik bagi perjuangan politik Papua dan Acheh, maka sudah menjadi kewajiban pula bagi kedua kekuatan pembebasan nasional ini untuk mempelopori terbentuknya solidaritas yang nyata dari seluruh kekuatan gerakan Pro-Demokrasi Indonesia, khususnya di Yogyakarta, dan secara bersama-sama membangun kerjasama politik yang bersifat strategis dan ideologis untuk kepentingan perjuangan demokrasi dan penegakan nilai-nilai kemanusiaan.

Sebab, selain membangun solidaritas yang kuat dan solid, komunikasi politik yang intensif merupakan harapan paling utama dari sejumlah harapan lain yang harus dibuat gerakan Pembebasan Nasional Papua dan Acheh kepada jaringan Pro-Demokrasi di Yogyakarta dan Indonesia pada umumnya.

Kemudian, membuka diskursus atau wacana baru bagi kekuatan Pro-Demokrasi sehingga muncul pemahaman kebangsaan dan demokrasi yang sama agar dapat memiliki pilihan politik yang tepat dalam bersolidaritas dan mendukung keinginan rakyat Papua dan Acheh. Untuk itulah, Gerakan Pembebasan Nasional ini diharapkan menjadi stimulator atau pemicu bagi terbangunnya kembali persatuan perjuangan kaum demokratik di Indonesia yang masih terfragmentasi pasca reformasi.
Karena itu, dalam kerja-kerja politik ini perlu memberikan pemahaman yang lebih kepada kawan-kawan pro-demokrasi di Yogyakarta sebagai kekuatan demokratik potensial yang pada akhirnya akan menjadi kawan politik dalam memperjuangkan hak-hak kebangsaan bagi perjuangan pembebasan Nasional Papua maupun Acheh.

Rekomendasi

Dalam kerja-kerja politik yang melibatkan kurang lebih 60 organisasi gerakan mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat atau Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) dan organisasi kampus (BEM), Pusat-pusat Studi lembaga dan dari setiap kampus, Intelektual dan akademisi serta beberapa organisasi mahasiswa Aceh dan Papua di Yogyakarta itu nantinya diwujudkan dalam aksi-aksinya. Ada beberapa rekomendasi politik yang bersifat programatik yang dihasilkannya.

Konklusi rekomendatif itu diantaranya Referendum bagi Papua dan Acheh, adili pelaku kejahatan HAM, Menolak Operasi Militer, Tarik militer dari Acheh dan Papua, Bubarkan badan-badan eskra territorial (Kodim, Koramil) dan ekstra yudisial (BAKIN/BIN/BAIS), Adili Jendral Koruptor di daerah konflik dan sita kekayaannya.

Rekomendasi Demokrasi: Menolak pelaksanaan (boikot) Pemilu 2004 di Aceh dan Papua; memberikan proses pendidikan politik massa rakyat; membentuk kekuatan rakyat sipil demokratik di Aceh dan Papua serta membuka jaringan keluar (nasional) untuk bersolidaritas; mendesak dan menolak segala bentuk produk perundang-undangan yang anti demokrasi, sekaligus membuka ruang dialog rakyat dengan pemerintah Indonesia secara damai dan demokratis.

Rekomendasi neo-liberalisme: Penolakan neo-kolonioalisme, sita dan nasionalisasikan semua asset Multi Nasional Coorporation (MNC) di Aceh dan Papua (Exon, Freeport, Rio Tinto, dll), Gulingkan rezim Boneka sang kapitalis, Tolak CGI, IMF, Word Bank dan lembaga sejenis lainnya.

Rakyat Papua dan Acheh menginginkan adanya ruang dialog secara demokratis dan damai dengan pemerintah Indonesia. Ruang desakan bagi pencabutan Darurat Militer di Acheh yang dilakukan oleh TNI disana; terjadinya Dialog Nasional di Papua maupun Acheh; penolakan terhadap pelaksanaan Pemilu 2004 di Papua maupun Acheh; terbukanya ruang demokrasi bagi rakyat Papua untuk melakukan PEPERA II dan Acheh untuk REFERENDUM yang demokratis.

Hasil pembahasan yang diujudkan dalam rekomendasi itu selanjutnya akan menjadi kebutuhan praksis bagi seluruh elemen organisasi yang mengikuti agenda ini dalam kerja-kerja politik di lapangan. Sebab, memang, generasi pemuda dan mahasiswa sebagai bagian dari rakyat, sudah menjadi tugas meneruskan cita-cita perjuangan bagi pembebasan bangsanya. Konsekuensi tentu ada, bahkan nyawa sekalipun menjadi taruhan.(YOGYAKARTA WPNews, WPNews, Monday, 29 Dec, 2003, 4:20pm)
----------