Stockholm, 28 Agustus 2003

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.

SECARA DE JURE ESTAFET PEMIMPIN NII KARTOSOEWIRJO MASIH BERJALAN
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

SAMPAI DETIK INI SECARA DE JURE ESTAFET PEMIMPIN NII KARTOSOEWIRJO MASIH BERJALAN

"Assalamu'alaikum Wr. Wb. Dari tulisan2 bapak saya menduga bahwa bapak adalah salah satu pendukung Darul Islam yang dideklarasikan oleh imam S.M. Kartosuwiryo. Berita2 yang beredar di Indonesia saat ini sangat miring tentang Darul Islam ataupun NII. Sebagai seorang akademisi saya terbiasa berfikir obyektif sehingga tidak cukup rasanya berita datang dari satu pihak saja. Untuk itu tolong dijelaskan kronologis Darul Islam hingga saat ini. Dan saat ini apakah masih ada satu pimpinan yang diakui? karena setahu saya Darul Islam telah terpecah menjadi beberapa faksi.
Terima kasih. Wassalamu'alaikum wr. Wb"
(Dwi Suryono , abu_hanifa@eudoramail.com , Sun, 24 Aug 2003 09:02:02 +0700)

Terimakasih saudara Dwi Suryono.

Sebenarnya mengenai estafet pemimpin Negara Islam Indonesia yang diproklamirkan Imam S.M. Kartosoewirjo 7 Agustus 1949 telah ditulis oleh saudara Mufry dalam bentuk Tanya Jawab Estapeta Pemimpin Negara Islam Indonesia Dalam Darurat Perang (TABTAPENII DATANG) dan dipublikasikan di http://www.dataphone.se/~ahmad/020914a.htm yang berjudul [020914] Rakyat NKA: Tanya Jawab Estapeta Pemimpin NII dalam Darurat Perang

Disini saya kutif kembali sebagian isi tulisan saudara Mufry tersebut.

"Lembaga kepemimpinan umat Islam Indonesisa PSI I (Partai Syarikat Islam Indonesia), pada tahun 1934 sudah mengadakan kongres. Dalam Program Azas menetapkan tujuan perjuangan Partai Syarikat Islam Indonesia menegakkan Negara Islam Indonesia yang berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Saw. Pada waktu itu ditetapkan pola hijrah fisik. Pada tahun 1935 Agus Salim
mengajukan pencabutan prinsip hijrah. Maka, pada tahun 1936 diadakan kongres XXII (Juli), pecah, yang satu mengatas-namakan P S I I penyadar ; yang satu lagi tetap sebagai P S I I dengan sistem hijrah fisik.

Selanjutnya pada tahun 1939, P S I I hijrah fisik itu pecah lagi. Yang satu menjadi P S I I Gapi (gabungan partai Islam) dengan istilah hijrah batin saja. Yang satu tetap sebagai P S I I berprinsip hijrah fisik.

Kemudian P S I I berprinsip hijrah fisik itu mendirikan Institut Suffah di Malangbong Jawa Barat sebagai pengkaderan bagi perjuangan fisik guna melaksanakan program azas waktu kongres tahun 1934. Waktu penjajahan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya menghadapi Inggeris dan Amerika, waktu itu Jepang menguasai beberapa negeri seperti Korea, Kamboja, Birma dan lainnya yang digempur. Dalam keadaan itu Jepang memberi kesempatan melatih para pemuda Indonesia. Kesempatan demikian dipergunakan oleh Institut Suffah yang dianggap oleh Jepang untuk kepentingan Jepang. Dengan demikian Institut Suffah berhasil melatih para siswanya, sehingga terbentuklah Tentara Sabiilillah dibawah komando PSII hijrah fisik. P S I I hijrah tetap bukan Masyumi, tetapi memanfaatkan wadah Masyumi yang direstui Jepang. Dengan itu S M Kartosuwirjo menjadi ketua Masyumi Jawa Barat.

Sesuai dengan Kongres 1934 bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia yang berdasarkan Qur'an dan Sunnah, maka juli 1945 S M Kartosuwirjo mengusulkan kepada pimpinan pusat Masyumi untuk mendirikan N I I, Masyumi menolaknya.

Akan tetapi, terhadap Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945 yang diprakasai oleh golongan Nasionalis sekuler yang ditanda-tanganioleh Sukarno dan Hatta, Masyumi merestuinya. Bisa jadi mereka (Masyumi) menolak usulan dari Kartosuwirjo, kemudian merestui Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, karena percaya kepada pihak nasionalis sekuler yang telah
menanda-tangani perjanjian tertulis "Piagam Jakarta" yang didalamnya dicantumkan delapan kata yaitu "...dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

Dengan proklamasi tersebut di atas, maka tidak ada harapan lagi bagi umat Islam yang akan memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Satu-satunya yang masih bisa diharapkan bagi pihak Islam ialah dibuktikannya Piagam Jakata. Namun, kenyataannya malah sebaliknya dari itu, yakni sehari sesudah Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, delapan kata yang tercantum dalam
Piagam Jakarta itu dihapus ! Sehingga lahirnya Republik Indonesia diawali dengan penghapusan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya !

Bisa saja beberapa alasan dimunculkan, tapi yang jelas ialah karena umat Islam itu sendiri sudah terpisah dari sejarah perjuangan Rasulullah sehingga rela ikut merestui / mengangkat orang-orang yang berjiwa sekuler sebagai pimpinan negara. Yang akhirnya begitu sehari sesudah berkuasa, kaum sekuler itu segera menghapus perjanjiannya -- Rupanya umat Islam Indonesia sebelumnya tidak sadar bahwa tanda tangan kaum nasionalis sekuler dalam Piagam Jakarta itu sebagai usaha penipuan !

Jadi, sejak 18 Agustus 1945 atau satu hari sesudah proklamasi sudah tidak ada lagi wadah perjuangan untuk menegakkan yang haq. Piagam Jakarta yang tadinya oleh umat Islam dianggap sebagai "jembatan emas", ternyata dikhianati oleh para pemimpin nasional sekuler alias kaum pendidikan Barat.

Oleh karena itulah, sewaktu sebagian laskar Hizbullah di Jawa Barat melebur menjadi T N I (Tentara Nasional Indonesia), maka sebagian besar laskar Sabiilillah tidak mau menjadi TNI. Adalah wajar bila lasykar Sabiilillah (kader Suffah) tidak mau melebur menjadi T N I, karena kekhawartiran terlepas dari tujuan membela tegaknya hukum-hukum Islam, yang mana TNI itu
ialah tentara R I, sedangkan R I ( Republik Indonesia ) itu yang sudah menghapus kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya !

Dengan demikian,"lantas bagaimana cita-cita umat Islam Indonesia untuk selanjutnya ?" Tentu, terus mengadakan pengkaderan sambil berdo'a kepada Allah hingga memberikan Karunia-Nya agar jalan untuk menegakkan hukum-hukum-Nya tidak buntu.

Kaum nasionalis sekuler yang telah mengingkari janji dengan mencoret delapan kata tersebut di atas tadi, kena balasan 'Hukum Karma' dengan dua kejadian ingkar janji oleh pihak Belanda, sebagaimana di bawah ini:

1). Perjanjian Linggajati, 15 Maret 1947, Pemerintah R I mengakui berdirinya NIS (Negara Indonesia Serikat) yang wilayahnya Borneo (Kalimantan) dan Timur Besar, sehingga wilayah R I tinggal Sumatra, Jawa dan Madura. Meskipun dengan perjanjian itu jelas R I kalah, namun diingkari oleh Belanda dengan serangan (agresi ) Belanda ke-I, 21 Juli 1947, sebelum
sampai ke Yogyakarta distop oleh PBB.

2). Akibat dari Agresi Belanda ke I itu terjadilah Perjanjian Renville ke I , 17 Januari 1948 yang isinya antara lain:

* Pemerintah R I harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda seluruhnya, sampai batas yang ditentukan oleh Belanda untuk menyelenggarakan kedaulatan ini kepada Negara Indonesia Serikat.

* Dalam waktu tidak kurang dari 6 bulan, dan tidak lebih dari satu tahun sesudah ditandatangani, maka di berbagai daerah di Jawa, Sumatra dan Madura akan diadakan pemungutan suara, untuk menentukan apakah di daerah-daerah tersebut akan turut dalam Republik Indonesia atau masuk di bagian lain di dalam lingkungan Negara Indonesia Serikat.

Peristiwa itu menyebabkan pada tanggal 10 - 11 Pebruari 1948 S M Kartosuwirjo mengadakan konferensi di Cisayong kab. Tasikmalaya, antara para tokoh Islam, ulama dan organisasi Islam antara lain: Masyumi, GPII, Hizbullah dan Sabilillah. Dalam konferensi itu diputuskan antara lain:

* Membubarkan Masyumi wilayah Jawa barat.
* Membentuk Majlis Islam sebagai komite pemerintahan sementara.
* Melebur Sabiilillah dan Hizbullah menjadi T I I (Tentara Islam Indonesia).

Di beberapa daerah yang dikuasai T I I sudah bisa dilaksanakan hukum Islam seutuhnya. Secara de facto Jawa Barat praktis dibawah kekuasan T I I yang direncanakan semenjak Institut Suffaah. Walaupun pemerintahan sementara itu sudah de facto, namun belum diproklamasikan secara resmi menunggu situasi yang lebih tepat.

Sementara menunggu waktu yang lebih tepat, maka sebelum waktu satu tahun dari Perjanjian Renville, tiba-tiba Belanda mengingkari janjinya lagi dengan agresi yang ke-II menyerang Yogyakarta. Sukarno dan Hatta menyerah, dengan sidang Dewan Menteri di Gedung Agung Yogyakarta memutuskan mengibarkan bendera putih.

Kalau saja ada yang bertanya, "Apa sebabnya sampai terjadi demikian kepada para pemimpin R I ?" Maka, mungkin saja bila ada yang menjawabnya, " Itulah 'Hukum Karma' akibat dari mengingkari perjanjian dengan umat Islam Indonesia, yang mana sehari sesudah proklamasi itu pihak Nasionalis itu berani menghapus kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, sehingga proklamasi kemerdekaannya juga ikut lebur !"

Sebelum Pengibaran Bendera Putih pun, nilai Proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945 itu sudah lebur, karena mengakui lagi kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda hal itu sama artinya dengan melenyapkan nilai "Proklamasi Kemerdekaan"

Sebab itu tibalah saatnya bagi umat Islam Indonesia memproklamirkan Negara Islam Indonesia yang didalamnya menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Dimulai dengan Bismillaaah ; diakhiri dengan Allahu Akbar ! Sebagai satu-satunya wadah kepemimpinan yang haq di Indonesia, karena proklamasinya memiliki nilai "Bara'ah", yakni lepas dari sistem
kepemimpinan yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah !

Di antara bunyi Proklamasi N I I itu di dapat kalimat "Hukum yang berlaku di dalam Negara Islam Indonesia ialah hukum Islam". Kalimat tersebut adalah pernyataan "Bara'ah", lepas dari sistem di luar Islam sehingga berarti:
a). Tidak kompromi dengan musuh-musuh Islam.
b). Siap menghadapi segala risikonya dalam menterapkan hukum-hukum Islam di Indonesia.
c). Bagi yang memperjuangkan kemenangan N I I berarti menegakkan hukum-hukum Allah, dan tidak terlibat dari berlakunya hukum-hukum bawaan kafir Belanda yang terus dipertahankan oleh pemerintah R I, Pancasila !

Apa sebabnya umat Islam Indonesia meproklamasikan negara, 7 Agustus 1949 namanya Negara Islam Indonesia, tidak memakai nama yang mengarah kepada dunia ?

Karena, 1). Adanya kenyataan bahwa umat Islam untuk bersatu belum bisa menjangkau
sedunia, yang mana umat Islam di tiap-tiap negeri masih menghadapi persoalannya masing-masing. Sehingga belum bisa eksis, dalam arti belum bisa menguruskan umat Islam di negeri lain. Dengan kondisi sedemikian itu, maka untuk sementara waktu perjuangannya diserahkan kepada umat Islam
dinegerinya masing-masing.

2). Sebelum tanggal 7 Agustus 1949, pada waktu itu di beberapa negara selain Indonesia belum muncul kepemimpinan Islam yang bersistem seperti jaman Khalifah Rasyidiin sebagaimana N I I. Dengan demikian para pencetus NII belum mampu merekrut mereka yang masih samar-samar, masih bercampur-baur dengan kaum nasionalis sekuler yang bekerja sama dengan kaum
penjajah dari Eropa guna lepas dari Daulah Ustmaniah.

Jangankan untuk yang di luar negeri yang tidak sebulan sekali bertemu, dengan umat Islam di dalam negeri saja yang sering bertemu, sulit menilai ideologi mereka. Apalagi untuk diluar negeri, yang baru saja dikuasai Inggeris, Perancis, Italia dan Spanyol sehingga lepas dari dari Daulah
Ustmaniah, serta bergejolaknya sekularisme di Turki dipimpin oleh Musthafa Kamal Ataturk yang berpengaruh keseluruh negeri Islam. Sedangkan bagi ummat Islam yang di Indonesia tidak punya waktu lagi untuk menunggu mereka.

"Di antara bunyi Proklamasi N I I didapat kata-kata "Kami ummat Islam Bangsa Indonesia". Dari itu apa perbedaan antara pengertian jiwa kebangsaan yang disebut "ashobiyyah" dengan pengakuan sebagai bangsa ?"

Karena, jiwa kebangsaan yang disebut ashobiyah ialah yang mengandung arti cinta terhadap satu bangsa, hanya karena sebangsa dengan dirinya, tanpa memperdulikan salah atau benar. Jadi, orang yang berperang membela kebangsaan (Ashobiyah), artinya bahwa yang menjadi dasar utama bagi dirinya berperangnya itu ialah karena bangsanya sedang berperang dengan bangsa lain, sehingga dirinya berpihak kepada bangsanya itu dengan tidak memperdulikan mana yang salah dan mana yang benar. Dalam arti lain bahwa berperang nya itu bukan karena membela kebenaran (hukum) dari Allah. Pengertiannya, meskipun bangsanya itu dalam posisi yang salah, namun tetap
dibela, karena satu bangsa. Sebaliknya, walaupun dalam posisi yang benar (haq), namun karena tidak sebangsa, maka diperanginya. Itulah yang dimaksud "Ashobiyah".

Maka, pantaslah mereka yang telah berperang mengusir bangsa asing, merasa puas walau hasilnya masih saja hukum-hukum kafir warisan bangsa asing. Hal itulah yang dimaksud oleh hadist mengenai yang mati karena Ashobiyah. Perhatikan sabda Nabi Saw: "Bukan dari golongan kami siapa saja yang mengajak kepada kebangsaan. Dan bukan pula dari golongan kami orang yang berperang karena kebangsaan. Dan tidak juga termasuk golongan kami yang mati karena kebangsaan." (HR Abu Daud).

Umat Islam Indonesia telah menyatakan diri berhijrah (baro'ah-nya ) dari pemerintahan Belanda. Yang mana sebelum itu kolonialis tersebut telah mengambil alih kedaulatan dari kaum nasionalis sekuler Indonesia ketika pemerintahan Sukarno-Hatta mengibarkan bendera merah putih pada tanggal 19 Desember 1948 di Yogyakarta ". . . dia bersama banyak pemimpin lain termasuk Hatta, Syahrir dan Suryadarma memilih untuk mengibarkan bendera putih dan menyerah"("Tempo",20 Maret 1982 hal.15 ). Dengan pengibaran bendera putih itu, maka sejak saat itu juga secara de jure bahwa Proklamasi Kemerdekaan yang pernah diumumkan oleh Sukarno-Hatta pada tanggal 17
Agustus 1945, pun telah bubar menyerah total sewaktu agresi Belanda, tanggal 19-12-1948 di Yogyakarta. Sebab itu, supaya kita mengetahui adanya proses yang merintangi NII, maka selanjutnya kita ungkap dalam penuturan berikut:

Kronologi Mengenai Hilangnya Nilai Proklamasi 17-8-1945.

Sebenarnya, sebelum peristiwa 19 Desember 1948 pun telah terjadi dua kali penghianatan oleh para pemimpin RI itu terhadap nilai Proklamasi itu sendiri. Buktinya ialah:
a). Bahwa sebagaian bunyi proklamasi 17-08-1945 "Menyatakan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia". Akan tetapi, tanggal 25 Maret 1947 dalam "Persetujuan Linggar Jati" mereka telah mengakui berdirinya "NIS" (Negara Indonesia Serikat) yang wilayahnya yaitu Borneo (Kalimantan) dan Timur Besar di bawah kekuasaan Belanda. Sehingga wilayah kekuasaan Republik Indonesia tinggal Sumatera, Jawa dan Madura.

b). Kemudian pada tanggal 17 Januari 1948, mereka itu menerima pula dasar-dasar persetujuan Renville ke I yang isinya antara lain:

* Pemerintahan Indonesia harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda seluruhnya, sampai batas yang ditentukan oleh Kerajaan Belanda untuk menyelenggarakan kedaulatan ini kepada Negara Indonesia Serikat.

* Dalam waktu tidak kurang dari 6 bulan dan tidak lebih dari satu tahun sesudah ditandatangani, maka di berbagai daerah di Jawa, Sumatera dan Madura akan diadakan pemungutan suara, untuk menentukan apakah di daerah-daerah tesebut akan turut dalam Republik Indonesia atau masuk di
bagian lain di dalam lingkungan Negara Indonesia Serikat.

Dengan diterimanya dasar-dasar Perjanjian Renville itu, maka wilayah kekuasaan proklamasi kemerdekan Indonesia itu menjadi lebih kecil lagi (sampai batas demarkasi Van Mook). Jelas, ini penghianatan terhadap nilai proklamasi 17 Agustus 1945 oleh para pemimpinnya itu sendiri. Dengan mengakui adanya kedaulatan Belanda di bagian wilayah Indonesia, juga menyetujui diadakan pemungutan suara yang disodorkan Belanda bagi penentuan kedaulatan, berarti leyaplah nilai proklamasi kemerdekan seluruh bangsa Indonesia.

Adanya penerimaan terhadap dasar-dasar dari kedua peristiwa perjanjian dengan Belanda itu, telah mengisyaratkan bahwa para pemimpin Republik Indonesia itu sudah tidak bertanggung jawab lagi terhadap proklamasinya. Sehingga bersedia didekte oleh kaum penjajah. Klimaks dari sejarah itu
membuat kaum imperalis tesebut tadi berani menyerang dan menduduki ibu kota Yogyakarta. Dan membuatnya Republik Indonesia menyerah secara keseluruhan kepada Belanda. Dalam pada itu pemimpi-pemimpin Indonesia telah kehilangan muka. "Nasution malah menganggap peristiwa itu "puncak kehinaan" ("Tempo", 20 Maret 1982,hal.13)".

2). Lenyapnya Estapeta Kepemimpinan Mengenai RI

Tentu mereka tidak usah merasa malu dan hina seandainya dalam keadaan itu masih ada estapeta kepemimpinan Sukarno kepada pelanjutnya. Akan tetapi, persoalannya lain lagi, karena mereka menginsafi kenyataan bahwa "Pengibaran Bendera Putih" di tempat kepresidenan itu adalah merupakan peristiwa yang secara total Republik Indonesia menyerah terhadap Belanda.
Sehingga melenyapkan landasan estapeta kepemimpinannya. Baik de facto maupun de jure, setelah peristiwa 19 Desember 1948 Sukarno itu bukan lagi presiden yang mana telah menyerahkan Republik kepada Belanda.

Memang, pada tanggal 22 Desember 1948 muncul PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) dalam pengasingannya yang diketuai oleh Syafrudin Prawiranegara, namun dalam kenyataannya pula diketahui bahwa PDRI itu tidak ada hubungannya dengan Sukarno. Yang mana Sukarno itu menganggap sepi tehadap PRDI. Sikap Sukarno sedemikian itu mungkin karena merasa tidak
memberi mandat tentang dibentuknya PDRI. Hal itu diakui pula oleh syafrudin ". . . saya tidak pernah menerima mandat itu... ("Tempo",21 Desember 1985 hal.13)." Juga, kita kutip keterangan yang bunyinya:"... Kami tidak pernah menerima pesan yang berisi mandat bagi Syafrudin untuk membentuk PDRI, "ujar Kolonel (pur) Kusnadi, salah seorang teknisi dan radio telegrafis
kala itu. ("Tempo",21 Desember 1985 hal.13)." Ringkasnya, PDRI diibentuk terutama inisiatif penuh tokoh-tokoh sipil di Sumatra Barat ("Tempo"21 Desember1985 hal.13)."

Juga, seandainya Sukarno memberi mandat kepada Syafrudin tentang PDRI maka apakah yang akan dijadikan landasan struktural mengenai estapeta kepemimpinannya dari Sukarno ? Bukankah Sukarno bersama dewan menterinya telah frustasi, mementingkan keselamatan pribadi-pribadinya sehingga memilih pengibaran bendera putih sebagai tanda menyerah ? Tidakkah peristiwa pada 19 Desember 1948 dengan keputusan dari sidang Dewan Menteri pemerintahan Sukarno itu, merupakan penumbukkan yang ketiga kalinya terhadap proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh pihak nasionalisnya itu sendiri sehingga Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu bubar ?
Ingatlah ! ". . bahwa pada tanggal 19 Desember 1948 itu sidang di Gedung Agung Yogya memutuskan tidak memilih jalan gerilya ("Tempo"21 Desember 1985 hal.13)." Dengan Keputusan Sedemikian itu berarti tidak akan meneruskan perjuangan. Dengan itu pula maka jelas tidak ada estapeta kepemimpinan dari RI ke PDRI.

3). Menyerahnya PDRI

Bagi pihak Nederland dalam menghadapi beberapa kesatuan gerilya yang telah siap melanjutkan perjuangan di luar kepemimpinan Sukarno, maka pihak Belanda itu bersedia membebaskan Sukarno-Hatta beserta tawanan-tawan lainnya untuk diajak berunding. Adapun dalam menghadapi perundingan tanggal 7 Mei 1949 antara Belanda dengan kaum nasionalis itu, maka ". . Sukarno
memberi mandat kepada Moh. Roem untuk berunding dengan Van Royen di pihak Belanda, tidak dengan pengetahuan dan persetujuan PDRI. Padahal, baik de facto maupun de jure, Sukarno bukanlah presiden. Syafrudin menolak isi perundingan Roem-Royen itu. "Kami ingin agar Belanda mengundurkan diri dari seluruh Indonesia, dan bukan hanya dari Yogya, "ucap syarifudin. "Kalau
PDRI yang berunding, pasti hasilnya lebih bagus. Tapi Bung Karno memang menganggap sepele PDRI ("Tempo",21 Desember 1985 hal.13)." Ditambah pula "Sukarno mau berunding, sebenarnya hanya supaya dia cepat keluar dari tahanan, "Kata Syafrudin (Ibid hal.14)."

Dengan sikap yang dilakukan Sukarno itu, telah membuktikan sejarah bahwa secara hukum ; baik formal maupun tidak, maka Sukarno tidak tahu-menahu mengenai PDRI. Dan logisnya bila dalam perundingan pada tanggal 7 Mei 1949 (Renville II ) itu, kubu nasionalis kelompok Sukarno tidak mengatas-namakan PDRI. Apalagi bahwa hasil perundingan pada waktu itu pihak Sukarno mengakui bertambah luasnya wilayah kekuasan Belanda yaitu Negara Indonesia Serikat (NIS). Yang mana secara tidak langsung berarti mengakui bedirinya negara boneka tersebut itu di Indonesia. Sehingga wilayah kekuasaan Sukarno hanya di Yogyakarta dan beberapa kabupaten.

Hal tersebut di atas itu berarti pula mereka masih mengakui Penjajahan Belanda atas Indonesia, dan mengakui bubarnya proklamasi kemerdekaan bagi seluruh Indonesia, yang timbal baliknya dari Belanda yaitu membiarkan para pemimpin Nasionalis kembali ke Yogyakarta, juga Belanda meninggalkan daerah itu. Padahal dengan ditinggalkanya Yogyakarta oleh kaum Imperalisme itu
tidaklah mengandung arti kerugian bagi Belanda. Bahkan darinya mengandung arti kemenangan politik bagi kaum kolonialis tersebut di dunia Internasional. Sebab, di samping de facto maka secara yuridis formal pun kekuasaan tetap ditangan Belanda. Yang mana dari Isinya "Perjanjian
Renville II" pun, secara tidak langsung bahwa kubu Yogya telah mengakui kembali "penjajahan Belanda atas Indonesia". Sehingga hilang nilai kemerdekaan bangsa Indonesia beserta proklamasi 17 Agustus 1945 nya.

Dan dengan diterimanya isi perundingan 7 Mei 1949 (statement Roem-Royen yang kedua) oleh pihak Sukarno, berarti pihak Yogya "tidak mengakui eksistensinya PDRI". Sehingga diambil manfaatnya oleh Belanda guna melumpuhkan gerilyanya PDRI yang mungkin tadinya bakal ngotot terhadap Belanda, tetapi menjadi lemah karena menghadapi kubu nasionalis pro Sukarno yang telah kembali ke Yogya, yang mana juga Sukarno itu memihak pada kehendak Belanda daripada ke PDRI. "saya tetap menyesalkan sikap Bung Karno dan Roem yang mestinya berpihak PDRI. Lebih menyakitkan lagi, perundingan Roem-Royen itu dilakukan di belakang kami, "kata Syarifudin. " ("Tempo",21 Desember 1985 hal.14)."

Pada mulanya para pemimpin kubu PDRI itu tidak akan menyerah terhadap kekuatan Sukarno itu di Yogyakarta "Semuanya tak mau kembali ke Yogya ( Ibid )." Akan tetapi, karena kubu PDRI itu memahami bahwa kekuatan dan pengaruh yang dimiliki Sukarno itu lebih hebat daripada Syafrudin, maka PDRI tidak sanggup bersaing dalam menghadapi pentas politik kubu Yogya.
Sebagaimana dinyatakan oleh Syafrudin: "Saya sepaham dengan pandangan saudara-saudara, tetapi jangan lupa bahwa dunia luar mengetahui siapa Sukarno - Hatta dan Balans Republik Indonesia lebih berat kepada beliau berdua. . . .("BPSIM.1981, hal. 350 )." Dan akhirnya pada tanggal 13 Juli
1949 Syarifudin pun datang ke Yogyakarta menyerah kepada Sukarno. Maka, lenyap pula PDRI.

Yang berkuasa di Yogyakarta ialah RI, negara pemberian Belanda yang dikepalai oleh Sukarno, sebagai rekayasa dari Belanda dalam Perundingan Renville II tanpa sepengetahuan PDRI, yang berarti RI Yogyakarta itu tidak mengakui eksistensi PDRI. Dengan itu berarti pula Sukarno "tidak mengakui adanya mandat kepada Syafrudin (PDRI)", dibuktikan dengan tidak berpihak kepada PDRI. Artinya, Sukarno yang merasa berkuasa. Dengan demikian kembalinya Syafrudin ke Yogyakarta itu secara hukum bukanlah menyerahkan mandat, melainkan menyerah kalah. Sebab, tidak masuk akal menyerahkan mandat kepada yang tidak mengakui mandat. Menyerah kepada negara 'boneka' (RI pemberian Belanda yang wilayahnya cuma Yogyakarta dan beberapa
kabupaten sekitarnya), maka yang ada tetap saja seperti itu.

4). Satu-satunya Jalan Bagi Umat Islam Indonesia

Tiga kali peristiwa yaitu: Linggarjati (25 Maret 1947), Renville I(17 Januari 1948), dan pengibaran bendera putih di Yogyakarta (19 Desember 1948), yang mana Belanda telah memainkan api. Juga, para pemimpin nasionalis selalu mengikuti kehendak kaum kolonialis tersebut. Sehingga secara sadar atau tidak, mereka telah mempereteli proklamasi 17 Agustus 1945 hingga lenyap nilainya kemerdekaan Indonesia. Yang mana Indonesia itu bukan hanya batas Yogyakarta. Pada ketika itu tidak ada lagi jalur proklamasi kemerdekaan bagi seluruh Indonesia. Bahkan PDRI pun telah
mengakui kembali ke kubu Yogya. Dan akhirnya mereka cukup puas dengan hasil "Persetujuan Renville II", dikasih oleh Belanda cuma "Yogyakarta". Dalam kekosongan seperti itu, tidak ada jalan bagi umat Islam Indonesia selain perlawanan melalui jalur proklamasi 7 Agustus 1949. Yakni Negara Islam Indonesia (NII), yang memiliki "furqon". Sungguh jelas, bahwa pada waktu
diproklamasikan Negara Islam Indonesia tersebut tidak ada negara merdeka di Indonesia. Yang ada hanyalah Negara Indonesia Serikat (NIS), sebagai negara boneka penjajah Belanda, serta RI Yogyakarta yang juga sebagai rekayasa dari Belanda, artinya bukan hasil proklamasi. Dengan demikian maka Proklamasi Negara Islam Indonesia bukanlah mendirikan negara dalam negara
merdeka. Melainkan, yaitu mendirikan negara hasil merebut dari penjajahan Belanda..

Dikarenakan bahwa bunyi proklamasi Negara Islam Indonesia itu intinya menyatakan berlakunya hukum Islam, maka Belanda memandang proklamasi demikian itu sangat berbahaya bagi Belanda daripada lembaga pemerintahan Yogya yang memakai nilai-nilai hukum dari kolonial Belanda. Pada waktu itu Belanda rupanya memakai pula pribahasa "tak ada rotan akar pun jadi". Sama
artinya bila Indonesia tidak sepenuhnya di bawah Nederland, maka biar Belanda menciptakan nama "Republik Indonesia Serikat" asalkan nilai-nilai hukum bawaan penjajahan itu tetap berlaku di Indonesia.

Pihak Belanda memahami nilai ideologi musuh barunya ini. Bahwa kubu NII, 7 Agustus 1949 adalah lebih berideologis dibandingkan dengan musuh yang terdahulu. Belanda yakin bahwa terhadap NII tidak dapat disodorkan perjanjian semodel Linggarjati dan Renville. Kaum penjajah itu sadar bahwa untuk menghadapi NII tidak bisa dilawan oleh Belanda secara langsung. Konfrotasi Terhadap negara yang berazaskan agama yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia, berarti menanggung resiko perang yang berkelanjutan, dan merupakan kerugian bagi pihak Nederland. Rupanya kaum kolonial itu berpikir: bila maju akan sia-sia, bila mundur berarti kalah, dan NII
bertegak menggilas hukum-hukum produk Belanda. Maka, sebagai jalan keluarnya dari persoalan itu digunakan kembali politik divide et impera, Nederland memecah -belah bangsa Indonesia menjadi dua Kekuatan yang bertentangan. Dan yang satunya yakni kubu nasionalis (RI Yogyakarta) disokong oleh Belanda supaya menolak dan melawan terhadap NII.

Terbuktilah hal diatas itu bahwa dalam tujuan menghancurkan jalur proklamasi 7 Agustus 1947 itu, Belanda berunding dengan pihak Nasionalis skuler pada tanggal 23 Agustus - 2 September 1949 dalam hal berdirinya apa yang mereka namakan Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan selubung UNI Nederland - Indonesia yang mana dimaksudkan sebagai tandingan terhadap Negara Islam Indonesia agar pengaruh dan kekuatannya menyusut. Dan masyarakat yang awam terhadap agama, supaya banyak memihak negara 'boneka' hasil dari konsesus dengan Belanda, sehingga hukum-hukum peninggalan kaum kafirin itu tetap berlaku di Indonesia.

Kaum Nasionalis sekuler telah bersedia menerima pembentukan RIS oleh Belanda. Hal itu Merupakan bukti pula bahwa yang mereka namakan RI (17-08-1945) itu secara hukum sudah tidak ada lagi. Dan menyerah kepada Belanda.. Akhirnya, maka sejak itu bahwa musuh yang dihadapi oleh Belanda ataupun oleh kubu nasionalis sekuler hanyalah NII. Nyata sekali bahwa antara pihak imperialis dan golongan Nasionalis sekuler dalam menciptakan UNI Nederland - Indonesia beserta RIS-nya adalah mempunyai tujuan yang sama ialah guna menghadapi perlawanan terhadap kubu NII, proklamasi 7 Agustus 1949, sehingga hukum Islam tidak bisa diberlakukan di Indonesia.

5). Sikap Kaum Borjuis dan Sikap Kaum yang Mengandalkan Partai-Partai Sebagai Wadah Perjuangan

Tentu saja bagi kaum sukeler / borjuis pada waktu itu lebih condong memihak RIS daripada NII. Mereka memilih RIS, sebab di dalamnya itu mereka lebih mudah meraih posisi dalam jabatan yang sesuai dengan ambisi mereka, serta memperoleh berbagai bantuan sarana dari Belanda. Dan memang NII itu tidak cocok dengan ideologi kaum yang berpendidikan Barat umumnya pada waktu itu. Karena itu pula mereka memihak RIS, walau titipan dari Belanda. Artinya,
Bukan hasil merebut dari penjajah !

Selain kaum nasionalis sekuler pun pada saat itu ada lagi golongan yang berpredikat Islam, tetapi mereka masih mempercayai perjuangan dengan cara parlementer sehingga menganggapnya sebagai metoda perjuangan yang cocok dengan jaman modern. Mereka menyangka bahwa hukum -hukum Islam itu bakal bisa ditegakkan dengan adanya partai-partai yang memiliki wakil-wakilnya di
parlemen pemerintah yang sudah jelas menghapus kewajiban umat Islam menjalankan hukum-hukum Islam.. Mereka tidak mau "Baro'ah", tidak melepaskan diri dari pemerintahan yang tidak berdasarkan pada hukum Islam itu, mungkin karena tidak paham akan metoda perjuangan Nabi SAW, atau juga memang sengaja maunya begitu. Tegasnya mereka tidak berpegang pada furqon,
dan mengira bahwa yang dinamakan kafir itu hanyalah bangsa Belanda. Sehingga berpihak kemana saja yang kuat yang didalamnya ada harapan bagi mereka memperoleh kedudukkan. . Atau memang sebenarnya mereka takut terhadap kaum nasionalis sekuler yang didukung oleh Nederland. Sehingga RIS itu dianggap lebih kuat (Q.S.4:139) daripada NII dari segi persenjataan.
Atau sebab pula kelihaian syaithan menggoda agar manusia-manusia itu tidak merasa campur-aduk dalam kebathilan. Dengan godaan nafsu dari syaitan yang tidak terasa itu membuat mereka berjiwa penakut dan bersikap kecut. Mereka lupa terhadap kebesaran Alloh, sehingga tidak menyadari hakekatnya kemenangan di hadapan Alloh SWT. Mereka tidak memperhatikan mengenai hal
"Dhoolimi anfusihim" (Q.S.4:97 ) perihal yang menganiaya diri mereka sendiri hingga terlibat dalam penerapan hukum-hukum thagut, dengan membantu langkah-langkah syaithan. Yakni ikut memberi pengaruh kekuatan bagi pihak yang mempertahankan tegaknya hukum-hukum kehendak syaithan, dan melawan negara yang berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullaah SAW.

Dengan ditandatanginya RIS pada tanggal 27 Desember 1949 di Nederland, maka secara Ideologi kaum penjajah itu memperoleh beberapa keuntungan besar di antaranya:

a. Keuntungan dalam politik yaitu berhasil membuat perlawanan terhadap NIIatas bantuan RIS sebagai bonekanya kaum penjajahan.

b. Secara ideologi dapat menerapkan nilai-nilai hukum peninggalan mereka, dan berhasil menekan perjuangan Islam di Indonesia. Sehingga tidak mengembang ke seluruh Dunia pada waktu itu.

c. Keuntungan moral bagi Belanda yaitu angkat kaki dari Bumi Indonesia, bukan karena kalah perang atau kedaulatannya direbut, melainkan dititipkannya melalui KMB (Konfrensi Meja bundar) pada tanggal 23 Agustus - 2 September 1949 di Nederland. Yang mana RIS itu kelahiran dari konsensus (KMB-CHARTER). dengan Belanda.

Yang Kita Tempuh Dewasa Ini

Mereka berselimut demi kehormatan serta menutupi muka, dan menjaga tanggapan negatip dari dunia Internasional. Maka, akhirnya yang menamakan Republik Indonesia Serikat (RIS) itu telah mengganti nama dengan "Republik Indonesia (RI)" pada tanggal 17 Agustus 1950. Akan tetapi, walau tinta dapat dihapus ; buku dapat diganti. Namun "Sejarah tetap hanya satu kali" bahwa tahun 1950 tetaplah tahun 1950, dan bukan tahun 1945. Maka, pada dasarnya bahwa nama " R I " yang muncul tahun 1950 itu tidak lain hanyalah sebagai penjelmaan dari "RIS" kelahiran dari KMB, yaitu persetujuan (konsensus) dengan Belanda. Dengan demikian maka baik itu namanya RIS
maupun RI yang mereka cantumkan pada tanggal 17-08-1950, tidak lain adalah negara boneka kolonial Belanda merupakan "tandingan" atau "pemberontak" terhadap Negara Islam Indonesia (7 Agustus 1949).

Mujahid-mujahid Islam di Indonesia telah memproklamirkan negara Islam itu pada tanggal 7 -08-49, berarti pada tanggal tersebut itu adalah tonggak sejarah berhijrahnya atau Baro'ah-nya umat Islam Indonesia dari struktur (penjajahan) pemerintahan yang bathil, serta beralih kepada yang
berdasarkan kepada kebenaran Allah SWT. Tegasnya, bahwa pada ketika itu adalah mulai terjadinya "Furqon di Indonesia secara haqkiky", sebagai landasan idiil dalam memisahkan yang haq dari yang berlawanan dengannya. Pada tanggal itulah umat Islam Indonesia mendirikan kedaulatannya tersendiri secara formal. Mempunyai lembaga pemerintahan yang menyatakan
berlakunya hukum Islam secara kaffah. Berdaulat dan syah sebagai lembaga ulil amri kita. Disertai pula landasan struktural dalam forum Internasional.

Bunyi Proklamasi Negara tersebut di atas itu dimulai dengan kalimat "Bismillaahirahmaanirrahiim" merupakan pengakuan bahwa bumi kita Indonesia ini hak Alloh, dan hukum-hukum yang berlaku di dalamya harus sesuai dengan yang diturunkan oleh-Nya. Juga, ditutup dengan "Allohu Akbar" sebagai bukti pernyataan adanya umat yang bertekad mewujudkan hukum-hukum Islam, sekalipun konsekuensinya berhadapan dengan senjata musuh.. Adanya proklamasi demikian itu sebagai realiasi dari bisikan hati yang mengakui kebenaran Hukum-hukum Alloh. Dan menyakini bahwa tugas pokok adalah mengabdi kepada "Rabbul 'Aalamiin". Sehingga siap menghadapi komponen apa pun yang merintanginya.

Meskipun pada saat ditulisnya buku ini NII sedang tidak de facto, namun secara de jure lembaga negara tersebut itu sudah memiliki landasan hukum dalam Islam sebagai kelembagaan tempat berhijrahnya Umat Islam di Indonesia. Itu bukan merupakan konsep lagi, melainkan berbentuk realitas yang sudah bukti menjalankan hukum-hukum Islam di pelbagai daerah yang pernah dikuasainya secara de facto sebelum terdesak oleh pihak musuh.

Tidak ada lembaga kepemimpinan yang telah membuktikan adanya furqon di Indonesia selain daripada NII proklamasi 7 Agustus 1949. Sebab itu diri wajib komitmen menjadi warganya sebagai pernyataan berhijrah atau berbaro'ahnya dari struktur pemerintahan yang tidak berdasarkan Qur'an dan Sunnah Nabi Saw. Begitu juga sebagai penempatan diri, maka walaupun saat disusunnya tulisan ini lembaga Imamah kita ini sedang dalam keadaan terdesak sampai hukum pidana Islam-nya tidak bisa didhohirkan, namun jika sudah berbaiat kepada lembaga furqon tersebut itu, maka memohon kepada Alloh tidak terlibat dosa dari praktek-praktek hukum jahiliyah ala pancasila, bila diri mati setelah memasuki furqon ini. Soal de facto-nya hukum Islam adalah soal amaliyah kita berdasarkan ukuran kemampuan dalam menghadapi musuh. Adapun yang utama ialah berpijak pada nilai hukum Islam dalam persaksian Alloh. Sebab, bahwa menempatkan diri dalam furqon itu
"tidak ada masttatho'tum". Tegasnya tidak bisa diukur dengan kemampuan, artinya bahwa semua juga harus melakukannya dalam kondisi bagaimanapun. Dan tiap diri itu pasti mampu bila mau.

Resapkan dengan ketulusan hati bahwa beribadah menurut aqidah Islam itu, hubungannya tidak cukup antara pribadi dan Rabb-nya, melainkan harus berhubungan pula dengan kepemimpinan , yakni dalam bermasyarakat. Artinya, seseorang itu wajib melibatkan diri dalam kebersamaan (Q.S.3:103) sehingga merupakan pemerintahan. Sebagaimana umat zaman Nabi SAW, begitu
pribadi-pribadinya menyadari adanya kebenaran Alloh, maka langsung pula menyatakan diri untuk ikut serta membela. Sehingga dapat mempertahankan Islam bersama-sama, makna lain yaitu berlembaga. Oleh karena itu, didalam Islam tidak ada hijrah cara diri pribadi, meski hanya dalam bentuk aqidah. Aqidah para pengikut Nabi itu adalah berada dalam ikatan kepemimpinan.
Jelasnya yaitu satu dalam segalanya. Sebab, bila tidak demikian berarti diri termasuk didalam kebatilan. Islam adalah mencakup pelaksanaan hukum-hukumnya, tidak ditegakkan oleh pribadi.

Jadi, bagaimanakah pandangan kita terhadap ormas-ormas yang menamakan Islam, sedang di bawah dominasi pemerintah Pancasila ? Semuanya bila memungkinkan hanyalah dapat dijadikan alat sementara atau sarana bila dianggap perlu oleh sebagian dari kita sesuai dengan kondisi dan situasi lingkungan kita bergerilya. Dalam hal itu tidaklah menjadi prisip. Karena, yang namanya Islam dalam kelembagaan mereka itu baru dalam "konsep", belum jadi. Apalagi bila hal itu campur-baur dengan rekayasa dari musuh.

Islam dalam kelembagan NII bukan lagi konsep, tetapi sudah nyata dibuktikan oleh sejarah dengan melaksanakan peribadahan yang mahdhoh dan ghairu mahdhoh. Sehingga lembaga proklamasi 7 Agustus 1949 itu merupakan wadah perjuangan Islam secara Kaaffah. Bersamanya tidak didekte oleh kaum kafirin / fasikin versi apapun ! Jadi, secara undang-undang, kita ini sudah memiliki negara yang berdasarkan Qur'an dan Sunnah.. Dari itu tidak bertujuan merebut apa yang dinamakan Republik Indonesia, sejak 17 Agustus 1945 sebagai penjelamaan dari RIS. Kita telah berlepas diri darinya. "RI baru" itu jangan direbut, bila merebutnya berarti menyeburkan diri ke dalam sistem kepemimpinan di luar Islam, dan berarti rela didikte oleh musuh. R I yang sebenarnya secara de jure sudah lenyap oleh pengibaran bendera putih di Yogyakarta. Adapun yang harus kira rebut yaitu "Kemenangan NII secara de facto", atau menzhohirkan kembali Negara Islam Indonesia, Proklamasi 7 Agustus 1949 selaku hak kita sehingga terjadinya "Futuh" !

Sekali kebenaran yang berdasarkan Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW diproklamirkan, maka sikap kita adalah wajib ( Fardhu 'ain) mempertahankannya. Perjuangan NII bukanlah hanya hak seseorang yang menjadi oknumnya, melainkan hak umat Islam. SM. Kartosuwiryo tertangkap saat
memimpin perjuangan. Dan "tidak Pernah" membubarkan kelembagaan NII. Sebab itu beliau siap dihadapkan ke muka regu tembak, tidak bersedia menandatangani teks perintah mencabut proklamasi, dan tidak menuruti perintah dari pemerintah pancasilais untuk menghentikan perjuangan. Begitulah bahwa mempertahankan "furqon" wajib terus dilakukan sejalan dengan kemampuan kondisinya. Kini bagi beliau telah selesai menyadang tugas dari Alloh SWT. Maka, kita inilah selaku pelanjutnya. Jelas kita sambut dengan gembira karena merupakan kesempatan diri guna mencapai "Ridho Alloh". Dan wajib bersyukur bahwa kita masuh diberikan usia untuk menjual diri kepada Alloh, serta memiliki kejelasan berada di jalan Allah Swt.

Satu kali yang "hak" dinyatakan berdiri, maka pada dasar sejarahnya tak dapat dihapuskan. Dari itu bagi yang tidak mengakui Proklamasi Negara Islam Indonesia, 7 Agustus 1949 itu, berarti tidak mengakui kebenarannya yang telah ada.. Atau selain itu termasuk pemecah ; perjuangan (mufarriq lil jama'ah). Cuma ada dua jalan (Q.S. 90 Al-Balad:10 ). Pengertianya bilamana posisi seseorang itu tidak berada pada jalan yang "hak", maka berarti berada pada jalan yang bathil. Selaras dengan itu bahwa lembaga "Imaamah", yang diproklamasikan pada tanggal 7 Agustus 1949 itu adalah "satu-satunya" wadah yang memisahkan yang hak dari kekuasaan yang bathal di Indonesia, juga sesuai dengan bunyi proklamasinya yang menyatakan berlakunya hukum Islam bagi seluruh Umat Islam Indonesia, maka bagi yang melawannya berarti di luar garis hijrah dan wajib ditumpas. Demikianlah "furqon di Indonesia". Allaahu akbar ! Begitulah keharusan kita mempertahan Negara Islam Indonesia

Adapun yang mengatakan NII telah berpecah-pecah, karena tidak menilai undang-undangnya, melainkan melihat dari adanya beberapa kelompok yang mengatas-namakan NII. Padahal bagaimanapun banyaknya yang mangatas-namakan NII, tetapi jika sumber kepemimpinannya itu tidak berdasarkan kepada peraturannya, sebagaimana dalam Kanun Azasy dan PDB (Pedoman Dharma Bhakti), maka bukanlah NII. Adapun sebab terjadi banyaknya kelompok yang
mengklaim NII di antaranya ialah:

1). NII yang sesungguhnya berdasarkan undang-undang belum memperoleh kemenangan secara de facto, sehingga belum banyak dikenal oleh seluruh umat Islam Indonesia.

2). Banyak yang belum memahami nilai kepemimpinan dalam Islam, juga belum tahu perundang-undangan serta wawasan sejarah NII yang sebenarnya. Sebab itu dalam jawaban yang lalu disebutkan adanya ITSLA (Islam Tujuan Sistem Lepas Aturan).

3). Adanya orang-orang yang sudah tahu perundang-undangan mengenai kepemimpinan NII, tetapi demi tujuannya, tetap tidak mau kembali kepada undang-undang walau mengatas-namakan dirinya NII.

Bagaimana bila ada yang berkata bahwa Pedoman Darma Bakti (PDB) itu bikinan manusia, bisa saja membuat sebagian kita pusing atau berbeda-beda menafsirkannya sehingga kita pecah, sebab itu kembali saja kepada Al-Qur'an dan Sunnah ?

1). Justru kita berpegang pada pedoman (undang-undang) tersebut itu supaya kita tidak pusing, kecuali jika bagi yang belum bisa memahaminya. Atau juga bagi yang sudah memahami serta mengakui kebenaran yang dikandung undang-undang itu sedang hatinya berat menerimanya. Itu satu di antara penyakit hati ; mengaku kebenaran cuma didalam hati menolak dalam sikap.Ada dua penyebab bagi yang menafsirkannya menyalahi dari penafsiran yang sebenarnya, yaitu:
 

(a). Kurangnya wawasan dalam hal yang berhubungan dengan undang-undang itu.
(b). Wawasan cukup, tapi tidak ikhlas mengaku kebenarannya, sehingga tidak jujur dalam mengemukakannya.

Point yang kedua (2) ini biasanya terjadi pada orang yang takut dengan undang-undang itu dirinya tergeser. Atau juga gengsi serta malu jatuh wibawa karena sudah terlanjur mempertahankan pendapatnya. Jadi, yang membuat umat pecah-belah itu bukan undang-undangnya. Melainkan, jika bukan faktor ketidakngertian, tentu sebab ketidakikhlasan sang penafsirnya.Perhatikan ayat di bawah ini yang bunyinya:

"Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya." (Q.S.26:197).

Pada ayat di atas itu terdapat "Ismun nakirah ????? ". Yakni, ulama bersifat umum. Jadi, bukan ditujukan kepada ulama Bani Isroil saja, melainkan orang yang sudah mengerti. Berkaitan dengan itu kita lihat lagi ayat yang bunyinya:

"Sesungguhnya kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah."--(Q.S.6:33).

Asbaabunnuzul dari ayat itu menerangkan bahwa para pentolan musyrikin seperti Abu Jahal, Abu Syofyan dan Akhnas dalam hati mereka membenarkan bahwa Muhammad itu sebagai Nabi. Namun mereka menyembunyikan hal itu di hadapan para pengikutnya, karena takut masing-masing kedudukannya jatuh. Artinya, jika ketahuan oleh para pengikutnya niscaya akan didepak dari
masing-masing kepemimpinannya. Atau jika terus terang mengakui kenabian Muhammad Saw, berarti para pentolan yang bangsawan itu akan dipimpin oleh Muhammad yang asalnya penggembala domba.

Memang, ayat itu ditujukan kepada para pentolan Quraisy seperti Abu Jahal dan Abu Syofyaan serta Akhnas yang jelas tidak sholat dan tidak berpuasa Ramadhan, juga mereka sudah mati. Akan tetapi, kesombongan serta dengki dari sifat iblis tidak berhenti sampai sekarang. Iblis sudah berikrar untuk menyesatkan manusia dari segala segi kehidupan (Q.S.7:16-17) sehingga seseorang tidak menyadarinya. Menuntun ummat keluar dari undang-undang Ulil Amri yang hak sungguh suatu kebathilan, sedangkan perbuatan bathil itu merusak shalat. Sebab itu, waspadalah terhadap pintu masuknya Iblis !

Tujuan Iblis ialah supaya manusia masuk neraka (Q.S.35:6). Caranya berbeda-beda tergantung kondisi manusianya. Bisa saja dari segi sholat dan puasa seseorang tidak tergoda, tapi dalam menghilangkan keangkuhan dan gila hormat tidak mampu, yang akibatnya terus membohongi ummat sehingga ummat tidak tahu dasar hukum pemimpinnya;dituntun kepada kepalsuan atau digiring kepada anggapan belum adanya pemimpin. Sungguh berani jika infaqnya diambil sedangkan belum ada pemimpinnya, atau tidak berdasarkan hukum. Bagaimanakah pertanggungan jawabnya nanti di Akhirat ?

Padahal pihak thogut alias 'Setan' saja punya pemimpin. Apalagi dalam Islam sebelum Khadizah, Abu Bakar serta Ustman bin Affan menginfaqkan harta mereka, juga sebelum Yassir dan Sumayyah dibunuh dan Bilal bin Raba'ah disiksa musuh, kesemuanya itu sudah ada kejelasan pemimpinya.

2). Justru dengan berpegang pada undang-undang itu supaya kita tidak berbeda-beda. Sebab, di dunia manapun tidak ada undang-undang yang dibuat supaya di antara para pemegangnya berbeda-beda dan berpecah-belah.

3). Justru pula kita harus berpegang pada undang-undang (PDB) itu karena kita berpegang kepada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Contohnya:

(a). Dalam Al-Qur'an ada ayat yang memerintahkan kita supaya menta'ati "Ulil Amri (para pemegang urusan)" yaitu pemimpin atau majlis kepemimpinan. Artinya, kita diperintahkan menta'ati peraturan/undang-undang yang ditetapkannya. Jadi, untuk kita berpegang pada Al-Qur'an itu kita wajib juga berpegang pada undang-undang, yang untuk NII yaitu Qanun Azasy, PDB
dan Strafrecht.

Ada yang mengatakan, sejelek-jeleknya hasil musyawarah, dan pengangkatan Adah Jaelani Tirtapraja pada Tahun 1978 itu di Tangerang adalah hasil musyawarah. Tapi, apa sebabnya hal itu tidak bisa dinyatakan sebagai musyawarah NII ?

Musyawarah bisa disebut baik, apabila musyawarah itu sesuai dengan undang-undang. Tetapi, karena yang menamakan musyawarah NII, Mahoni 1978 di Tangerang itu bertentangan dengan undang-undang NII, maka pengangkatan Adah Jaelani Tirtapraja sebagai Imamnya itu bukan saja tidak baik, melainkan juga secara hukum bukanlah musyawarah NII yang sebenarnya dari Proklamasi 7 Agustus 1949. Bila ada yang mengatakan baik, maka itu hanyalah menurut tinjauan dari pribadi dan bukan menurut dasar hukum NII. Sebab-sebabnya antara lain yaitu:

1). Menurut Qanun Azazy (UUD NII) Bab IV Pasal 2 "Imam dipilih oleh Majlis Syuro dengan suara paling sedikit 2/3 dari pada seluruh anggota.". Dan menurut Bab II Pasal 4 ayat 1 "Majlis Syuro terdiri atas wakil-wakil rakyat ditambah dengan utusan golongan-golongan menurut ditetapkan dengan undang-undang.". Sedangkan mereka yang mengatas-namakan musyawarah
pengangkatan Imam NII, Mahoni, 1978 Tangerang itu, para pelakunya bukan wakil-wakil rakyat NII juga bukan utusan golongan-golongan, melainkan adalah pribadi-pribadi dalam arti tidak berhak mengangkat Imam NII.

2). Sejak Proklamasi 7 Agustus 1949 sampai ditulisnya TABTAPENII DATANG ini NII dalam keadaan Darurat Perang sehingga belum ada Parlemen (MajlisSyuro) yang seperti dalam Bab II Pasal 4 ayat 1 tadi. Dengan keadaan demikian berlaku Undang-Undang Pasal 3 ayat 2, "Jika keadaan memaksa, hak Majlis Syuro boleh beralih kepada Imam dan Dewan Imamah." Sedangkan mereka yang mengatas-namakan Musyawarah 78, Mahoni, Tangerang itu bukanlah para anggota
Dewan Imamah, melainkan terdiri dari sebagian tokoh yang telah melarikan diri dari Medan Perang atau datang menyerahkan diri ke pihak musuh.

3). Menurut Bab XV Perubahan Kanun Azazy Pasal 34 dalam hal, "Cara Berputarnya Roda Pemerintahan." Pasal 1; "Pada umumnya roda Pemerintahan NII berjalan menurut dasar yang ditetapkan dalam "Kanun Azasy", dan sesuai dengan fasal 3 dari "Kanun Azasy", sementara belum ada Parlemen ( Majlis Syuro ), segala undang-undang ditetapkan oleh Dewan Imamah dalam bentuk Maklumat-Maklumat yang ditanda-tangani oleh Imam".

Adapun bunyi Maklumat yang ditetapkan oleh Dewan Imamah Yang tercantum dalam Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT) No.11 di antaranya yaitu:

"K.P.S.I.dipimpin langsung oleh Imam -- Plm. T.APN.I.I.. Jika karena satu dan lain hal, ia berhalangan menunaikan tugasnya, maka ditunjuk dan diangkatnyalah seorang Panglima Perang, selaku penggantinya, dengan purwabisesa penuh.".

"Calon pengganti Panglima Perang Pusat ini diambil dari dan diantara Anggota-Anggota K.T., termasuk didalamnya K.S.U. dan K.U.K.T., atau dari dan diantara para Panglima Perang, yang kedudukannya dianggap setaraf dengan kedudukan Anggota-Anggota K.T.".

Berdasarkan undang-undang itu. maka yang berhak dipilih sebagai Panglima Perang Pusat (Imam) dalam Darurat Perang (sementara belum ada Parlemen) harus diambil dari AKT (Anggota Komandemen Tertinggi), termasuk didalamnya K.S.U.(Kepala Staf Umum) dan KUKT (Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi) atau yang setaraf dengan A.K.T..

Sedangkan Musyawarah 1978, Mahoni, Tangerang tidak sesuai dengan undang-undang tersebut diatas tadi. Antara lain :

(a). Bukan saja karena kebanyakan yang ikut bermusyawarah itu orang-orang yang tidak berkedudukan setaraf dengan A.K.T., tetapi mereka juga adalah yang sudah keluar dari NII (meninggalkan Imam di Medan Jihad).

(b). Yang diangkat oleh mereka sebagai Imam NII adalah Adah Jaelani Tirtapraja yang sudah desersi, keluar dari NII; menyerahkan diri kepada Pemerintah RI. Dengan itu dia tidak lagi menjadi A.K.T..

Kesimpulannya, Musyawarah 1978 Mahoni, Tangerang itu tidak memakai undang-undang NII. Terbukti :

(1). Bab IV Pasal 12 Ayat 2 : "Imam dipilih oleh Majlis Syuro dengan suara paling sedikit 2 / 3 daripada seluruh anggota". Sedangkan pada kondisi darurat perang ini belum ada Majlis Syuro (parlemen).

(2). Bab IV Pasal 13 Ayat 3: "Didalam hal-hal yang amat memaksa, maka Dewan Imamah harus selekas mungkin mengadakan sidang untuk memutuskan Wakil Imam Sementara." Sedangkan yang hadir pada musyawarah itu bukan anggota-anggota Dewan Imamah. Dan seandainya yang hadir pada waktu itu para anggota Dewan Imamah, maka mereka tidak berhak bermusyawarah mengangkat Imam, karena undang-undang pasal 13 ayat 3 itu berlaku sebelum dikeluarkan MKT No. 11.tahun 1959 tentang calon pengganti Panglima Tertinggi. Sedanglan calon pengganti Panglima Tertinggi yang tercantum dalam MKT. No.11 tersebut itu masih ada dan tinggal satu. Disebabkan tinggal satu yaitu KUKT, maka KUKT itulah yang menjadi Panglima Perang Pusat (Imam) tanpa pemilihan lagi. Dengan demikian apabila ada pengangkatan Imam diluar undang - undang itu, maka adalah "ilegal". Artinya posisi kepemimpinan hasil pertemuan Mahoni di atas, sama sekali diluar ketentuan hukum NII. Dengan demikian, bagaimana mungkin orang yang diangkat berdasarkan ketentuan Non NII, bisa "Syah" memimpin Negara Islam Indonesia ???

(3). Bab IV Perubahan Kanun Azasy Pasal 34, "Cara Berputarnya Roda Pemerintahan", Ayat 1 yang dituangkan kepada Maklumat Komandemen Tertinggi No.11 mengenai penggantian Imam dalam Darurat Perang, singkatnya menerangkan bahwa yang mengangkat dan yang diangkat sebagai Imam itu harus setaraf dengan A.K.T.. Sedangkan musyawarah 1978 Mahoni, Tangerang itu para pelakunya bukanlah yang setaraf dengan AKT, dan yang diangkatnya juga bukan anggota AKT lagi. Melainkan, yaitu Adah Jaelani Tirtapraja bekas AKT, sebab telah melaporkan diri kepihak musuh sewaktu Imam SMK belum tertangkap.

Bernegara berarti berhukum dan berarti pula berundang-undang. Maka, bermusyawarahnya juga mesti berdasarkan undang-undang dari negara itu. Jika sekedar mengaku telah bermusyawarah tanpa undang-undang negara, maka siapapun bisa. Cuma, jadi pemimpin apa namanya ? Sebab, bila aturannya dari Persatuan Pencak Silat, ya, pemimpin Persatuan Pencak Silat.

Begitu juga jika aturannya dari pribadi-pribadi maka hasilnya juga jadi pemimpin pribadi-pribadi. Kemudian bila yang aturannya dari pribadi-pribadi itu diakukan sebagai pemimpin negara, maka hasil musyawarah seperti itu bukan hanya "tidak baik melainkan juga ngawur" _ Negara, sedangkan aturannya dari pribadi, makabisa-bisa banyak sekali yang mengatas-namakan negara Islam di Indonesia. Jika hal demikian masih saja dianggap baik maka waspadalah jangan kena ayat ".... dan syaitan pun menampakkan kepada mereka kebaikan apa yang selalu mereka kerjakan." ( Q.S. 6:43 ).

Ada yang mengatakan bahwa literatur informasi mengenai menyerahnya sebagian besar pimpinan TII itu hanya dari yang diterbitkan oleh media cetak pihak luar NII. Dengan bagaimana menanggapi perkataan itu ?"

Dari tahun 1961 - 1962 hingga saat ditulisnya TABTAPENI DATANG edisi pertama (1996 ) baru 34 (tiga puluh empat tahun), artinya para saksi mata, juga sebagian para pelaku sejarahnya banyak yang masih hidup. Jadi, mengenai informasi bahwa mereka menyerah itu, bukan saja dari media cetak yang diterbitkan oleh pihak luar NII, melainkan juga yang menjadi pokok ialah dari para saksi mata dan dari sebagian para pelakunya, serta dari kenyataan apa yang mereka yang lakukan. Dengan demikian sekalipun tidak dari yang diterbitkan oleh lawan pun, tapi jika memang itu ada kebuktiannya menurut saksi mata atau dari sebagian para pelaku sejarah, baik itu dari yang menyerah maupun dari yang tidak menyerah, melainkan karena terputus hubungan, atau juga dari photo-photo mereka, maka hal itu merupakan bukti sejarah.

Kalimat bisa dibuat - buat dan diputar-putar, tetapi bagaimana mengenai dengan photo - photo mereka ? Umpamanya anda membaca berita di koran mengenai pohon kelapa bercabang tiga, sebelum anda mengeceknya, boleh anda percaya atau tidak percaya, Tetapi jika anda membaca lagi koran yang memuat photo pohon kelapa bercabang tiga serta orang-orang yang menontonnya, maka masihkah anda tidak percaya ? Ataukah untuk mempercayai itu anda harus terlebih dulu menerbitkan koran sediri yang memuat berita pohon kelapa bercabang tiga ? Tentu tidak !

Jika anda percaya bahwa sekarang ini di Pakistan ada seorang priya tertinggi di dunia yang tingginya dua setengah meter. Hal itu bukan karena anda sudah bertemu dengannya, tetapi karena anda melihat photonya sedang berdiri bersama Kaisar Hirohito di Jepang. Dan anda juga tidak perduli siapa yang mencetak photonya. Dengan photonya cukup anda mempercayainya.

PDB - MKT No.11 adalah undang-undang produk. Dan undang-undang itu dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan kondisi. Jika kondisi tidak memerlukannya, bisakah dikembalikan kepada UUD (Kanun Azasy), yang mana dalam Kanun Azasy disebutkan bahwa Imam dipilih oleh Majlis Syuro (Bab IV Pasal 12 Ayat 2) ?

Justru dikeluarkannya MKT No.11, tahun 1959 itu karena NII dalam Darurat Perang yang kondisinya tidak bisa menjalankan Bab IV Pasal 2 (Pengangkatan Imam oleh Majlis Syuro). Karena itu, sungguh tidak masuk akal, jika pengangkatan Imam oleh MKT No.11 (Undang-undang Produk) tidak bisa dijalankan sedangkan oleh Kanun Azasy Bab IV Pasal 12 Ayat 2 bisa
dijalankan !

Sebab, adanya MKT No.11,tahun1959 mengenai calon pengganti Imam selaku K.P.S.I. sebagai jalan keluar untuk berpegang kepada Kanun Azasy yang kondisinya belum ada Majlis Syuro (parlemen), karena dalam darurat perang.

Dengan demikian kita menjalankan MKT No.11, tahun 1959 sebagai undang-undang produk dari Kanun Azasy itu berarti menjalankan Kanun Azasy. Logikanya tidak bisa disebut kembali kepada Kanun Azasy jika tidak mau menjalankan MKT No.11 dalam hal pengangkatan Imam, yang mana Kanun Azasy itu sudah menuangkannya kepada MKT No.11 sebagai undang-undang didalam
kondisi Darurat Perang.

Harus dipahami bahwa MKT No.11 mengenai pengangkatan Imam itu sebagai persiapan menjaga kemungkinan bila satu saat sebagian besar anggota Dewan Imamah akan gugur atau juga tidak berfungsi karena berhalangan dalam keadaan bahaya perang.

Memang, untuk menjalankan undang-undang produk harus sesuai dengan kondisinya. Artinya, jika masih bisa dijalankan maka wajib kita berpegang dengannya. Dan ada yang tidak bisa dijalankan, maka boleh meninggalkannya. Seperti halnya mengenai persenjataan yang objeknya selalu mengalami perubahan ( dulu belum ada AK 47 dan M 16). Berbeda halnya dengan estapeta
kepemimpinan Imam. Karena hal itu yang bersangkutan dengan keutuhan negara dan persatuan ummat, merupakan hal prinsip dan orangnya masih ada serta utuh, kita tidak bisa meninggalkannya. Sebab, kita diwajibkan taat kepada hukum semaksimal kemampuan (Q.S. 64:16).

Perhatikan Qaidah Usul : "Sesuatu yang tidak dapat dijangkau keseluruhannya jangan ditinggalkan keseluruhannya.". Dari Qaidah Usul itu diambil arti, "Jika ada peraturan yang tidak bisa dijalankan karena kondisinya, maka kita tidak boleh meninggalkan yang bisa dijalankan".

Ada yang mengatakan bahwa pengangkatan pemimpin itu harus didasari beberapa kriteria, maka bagaimanakah kaitannya dengan MKT.No.ll ?"

Sudah pasti hal itu mesti didasari kriteria. Tetapi, semua kriteria tidak boleh diluar peraturan. Sebab, dalam peraturan-peraturan itu sudah mengandung kriteria. Justru dengan peraturan (MKT.No.ll tahun 1959 ) itu supaya pengangkatan pemimpin tidak keluar dari kriteria yang sudah
ditentukan. Semua pemimpin negara manapun memiliki kriteria, tetapi semua kriteria itu tetap dalam lingkup peraturan negara.

Bukankah Undang-undang itu bisa dirubah ?

Betul undang-undang itu bisa dirubah, tetapi harus oleh yang berhak untuk merobahnya. Yaitu oleh Majlis Syuro. dan dalam keadaan darurat perang boleh oleh Dewan Imamah (lihat pasal 3 ayat 1 dan 2 Kanun Azasy). Sebab, jika undang-undang boleh dirubah oleh yang bukan haknya menurut undang-undang itu berarti boleh oleh siapa saja sehingga mengundang kekacauan. Dan
kekacauan itu musuhnya undang-undang atau negara !

Bolehkah yang menyerahkan diri kepada musuh pada tahun 1962 atau sebelumnya itu disebut sebagai ijtihad ?

1). Adanya ijtihaad itu apabila menghadapi masalah yang tidak didapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah, maka diputuskan dengan ijtihaad, dan keputusan itu tidak menyimpang dari Qur'an dan Sunnah. Adapun kabur dari medan perang meninggalkan Imam kemudian datang kepada musuh menyerahkan diri serta menyatakan setia kepada mereka itu, jelas melanggar hukum Al- Qur'an dan
Sunnah Rasul Saw.

2). Dibolehkan ijtihad hanya untuk kebaikan dalam arti tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Sedangkan meninggalkan Imam, kemudian melaporkan diri kepada musuh jelas itu melanggar baiat dan jelas sekali melangggar Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW.

3). Jika lari dari medang perang, meninggalkan Imam dengan dalih ijtihad karena terdesak, maka dimana letak pembelaan terhadap pimpinan dan perjuangan dengan pengorbanannya ?

4). Jika kabur dari medan perang dengan meninggalkan Imam dan banyak kesatuan prajurit bawahannya dibenarkan dengan dalih ijtihad, sedangkan hal itu jelas merusak "Jihaad", maka bagaimana bisa dikatakan tidak melanggar Qur'an ?

5). Apabila melarikan diri dari medan perang kemudian menyerahkan senjata kepada musuh dibolehkan dengan dalih ijtihad terdesak, maka apa artinya ancaman hukum bagi para pelaku "Firror" pada "Perang Uhud" dan Perang Akhzaab" ? Pada Perang Akhzaab, Khandak dan Perang Hunain pun terdesak. Padahal larinya mereka itu bukan ke pihak musuh. Maka, bagaimanakah bagi
mereka yang telah meninggalkan Imam di medan perang sehingga Imam tertangkap Tanggal 4 Juni 1962 ?

6). Bila setiap terdesak oleh musuh kemudian dibolehkan menyerahkan diri dengan dalih ijtihad, maka tidak relevan dengan harapan "Mati Syahid" dan tidak relevan pula dengan ayat yang bunyinya: "Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar.".__(Q.S.4:74). Bagaimana akan syahid kalau setiap terdesak lalu menyerah ??

7). Jika setiap terdesak kemudian boleh menyerahkan diri kepada musuh, maka tidak ada artinya menegakkan "Hak". Dan selamanya tidak akan tegak "Kebenaran", jika setiap terdesak lalu menyerah. Lagi pula apa artinya begitu lama menyusun kekuatan dengan banyak pengorbanan, jika akhirnya boleh menyerahkan diri kepada musuh ?

Dengan tujuh point di atas itu saja cukup, bahwa kabur meninggalkan medan perang itu "bukanlah ijtihad". Apalagi jika hal itu dilakukan oleh para komandan yang bisa mempengaruhi banyak prajurit. Perhatikan ayat di bawah ini :

"Dan sesungguhnya mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah : "Mereka tidak akan berbalik ke belakang (mundur)" Dan adalah perjanjian dengan Allah akan diminta pertanggung jawabannya.

"Katakanlah : "Lari itu sekali kali tidak berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian, atau pembunuhan, dan jika (kamu terhindar dari kematian) kamu tidak juga akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja" __ (S.33:15-16)

"Dan berapa banyak nabi nabi yang berperang bersama sejumlah besar pengikutnya yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu (Tidak pernah turun stamina jihadnya -pen) dan tidak pula menyerah kepada musuh. Allah menyukai orang orang yang shabar (seperti itu) __ (S.3:146)

Kesimpulannya, ijtihaad hanya berlaku dalam hal yang tidak ada dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Artinya, yang tidak ada dalilnya secara Qoth'i(putus). Adapun murtad dari jihad (medan perang) Islam, bukanlah ijtihaad, sebab sudah jelas dalilnya.

Ada yang mengatakan bahwa "At-Tibyan" Yang ditulis oleh Abdul Fattah Wirananggapati itu menjelek-jelekan sebagian para pelaku sejarah NII, adakah itu benar ?"

"Tidak benar !" Melainkan, menjelaskan sejarah. Sebab, yang dikutip dalam Risalah At-Tibyan itu hanya sebatas sejarah yang berhubungan dengan para pelaku sejarah NII. Artinya, tidak berkaitan dengan yang bersifat pribadi. Menjelaskan kenyataan sejarah merupakan keharusan, apalagi selaku pimpinan NII, sehingga di dapat kejelasan. Dalam Al-Quran disebutkan :

".... maka ceritakanlah (kepada mereka ) kisah-kisah itu agar mereka berfikir."__(Q.S.7:176).

Begitupun mengetahui sejarah yang sudah diperbuat oleh para mantan pimpinan / komandan TII, seperti halnya menyerahkan diri kepada musuh serta mendatangani Ikrar Bersama 1 Agustus 1962, maka generasi penerus NII akan bisa menilai dan menentukan sikap berdasarkan pengetahuan, yakni sejarah NII dan perundang-undangannya.

Dengan mengetahui At-Tibyaan (tulisan Abdul Fattah Wirananggapati), maka akan tahu pelanjut kepemimpinan pusat NII yang sebenarnya setelah Imam Asy-Syahid S.M. Kartosuwiryo. Dan mengetahui pula adanya yang memunculkan kepemimpinan di luar Undang-Undang NII.

Guna memahami pihak mana yang sesuai dengan undang-undang NII dan mana yang bertentangan dengannya, atau dengan Al-Quran, maka Risalah At-Tibyan itu menjelaskan pula sebagian dari perbuatan para pelaku sejarah NII yang telah melanggar Al-Quran dan Undang-undang NII(melakukan desersi).

Dengan demikian harus kembali kepada azas legalitas. Jadi, apabila yang berbalik dari NII
kemudian taubat/kembali kepada NII, maka harus dibuktikan dengan taat kepada peraturan/ undang-undang NII, sehingga terjadi perbaikan. Sebab, tidak di sebut mengadakan perbaikan dari kesalahan jika tidak berada dalam aturan NII. Mengaku mengadakan perbaikan dengan tetap melanggar aturan NII, sama saja dengan mengadakan perbaikan di tubuh RI !

Sebab pada kenyataannya, orang orang yang mengatas-namakan NII tanpamerujuk pada undang undangnya, dari hari ke hari terus menjegal langkah NII yang berpihak atas aturan. Dan siapa yang diuntungkan dengan akibat ini, jelas pemerintahan Thoghut.

Sejarah mencatat ketika Ateng Jaelani Setiawan (Panglima TII Jawa Barat) yang menyerahkan diri kepada musuh, serta membocorkan rahasia perjuangan N I I pada Tahun 1961, kemudian pada Tahun 1975 diakui lagi kedudukannya, yaitu dicantumkan dalam struktur kepemimpinan oleh Danu Muh.Hasan cs dengan alasan sebagai jalan bertobat, lalu membaiat sebagian dari para bekas anak
buahnya. Maka, bagaimanakah kejadiannya akhirnya ? Ya, ketika diinterogasi, dia itu bukan cuma menceritakan si anu-si anu, melainkan juga membukakan skema dari struktur yang mereka buat itu. Itulah akibat dibaiat oleh yang sudah mengkhianati baiatnya.

Lebih-lebih dalam pemerintahan Negara Islam Indonesia yang kaitannya dengan kemashlahatan ummat yang sungguh banyak, tidak begitu saja muncul tanpa peraturan. Komandan TII itukan dulu, tapi bila sudah desersi, apalagi berbalik keluar dari perjuangan NII, tentu jangankan jadi pimpinan, jadi prajuritnya saja mesti pakai prosedur hukum. NII adalah milik semua ummat Islam, tidak pandang dalam generasi manapun dilahirkannya.

Didalamnya siapapun bisa menjadi pemimpinnya asal melalui jalur hukum/ undang-undang. Jadi, bisa saja yang pada tahun1962 masih di dalam kandungan kemudian menjadi pemimpin, sedangkan yang sebelum tahun 1962 sudah menjadi pemimpin, tapi kemudian menjadi yang dipimpinnya.

Ingat, langkah gerak para pimpinan/panglima akan menjadi arah bagi jutaan ummat. Karenanya satu "Penyesalan" saja dilakukan pimpinan, hasilnya akan membengkak sejumlah ummat yang mengikutinya.

Sejarah menjadi bukti, betapa citra NII, wibawa perjuangan bahkan semangat menjadi lumpuh, akibat ulah gerak "Pena" beberapa puluh orang figur komandan, yang bersaksi bahwa apa yang sudah dilakukannya itu salah, sesat dan menyimpang dari hukum Islam ! Sebuah persaksian palsu yang mengguncang keyakinan prajurit dibelakang mereka. Begitu "Ikrar Bersama", 1 Agustus
1962 ditandatangani, rakyat yang bersimpati pada perjuangan mereka ikut juga merasa bersalah atas sekian tahun dukungan mereka. Tentara Islam gamang menentukan arah berikutnya. Akhirnya mereka pun turun, mundur dari gelanggang perang mengikuti jejak para pemimpin yang telah kembali ke "pangkuan" pemerintah yang tidak bersistem Islam. Jika kemudian merekabangkit kembali hendak memimpin ummat, tanpa terlebih dulu meampertanggungjawabkan langkah fatal mereka sebelumnya, maka akan terjadi ganjalan sejarah sebagai berikut:

(a). Mereka yang pertama mengomandani Perang Perlawanan, tetapi berikutnya mereka berikrar bahwa langkah yang lalu itu keliru, salah bahkan sesat, menyimpang dari ajaran Islam.

(b). Selanjutnya mereka lagi yang mengajak ummat kembali melakukan perlawanan.

Tidakkah ini jadi pelajaran bagi orang yang berpikir ? Mana yang benar dari jejak mereka ? Apakah ketika keliru dan mengajak yang lain menyerahkan diri kepada musuh, atau ketika merasa benar dan mengajak lagi melawan ? Persoalan ini harus jelas dahulu, agar tidak jadi kesamaran di hari
mendatang.

Kemudian apa jaminannya bahwa mereka tidak akan berbalik lagi menganggap jika ajakan kedua ini tidak keliru dan salah seperti mereka menyesali ajakan yang pertama ?

Lain persoalannya bila mereka berani secara jantan mengakui bahwa penyesalan dahulu itu "salah" dan tidak diembeli kata-kata "Perjanjian Damai Hudaibiyah", kemudian bertobat menjalani proses hukum. Jika tidak demikian berarti tidak mau taubat.

Ringkasnya, bahwa bagi yang telah berbalik dari NII kemudian bertaubat, bisa kembali menjadi aparat NII, jika bertobatnya itu sesuai dengan proses hukum, serta memperoleh rehabilitasi (pembersihan nama baik) dari pemimpin yang syah menurut undang undang.

Nilai Proklamasi Negara Islam Indonesia 7Agustus 1949 hanya wilayahnya yang dikuasai musuh, tetapi nilai proklamasi serta nilai estapeta kepemimpinannya tetap utuh. Nyatanya:

1). Tatkala Imam disergap dalam keadaan sakit, diperintahkan pindah dari pembaringannya ke tandu yang baru dibuatkan, maka Imam tidak mengikuti perintah tersebut. Terhadap perintah itu, Imam menjawab: "Jika saya bergeser dari tempat ini, berarti saya menyerah. Tidak ada kamusnya dalam perjuangan Islam menyerah. Sekarang saya tidak berdaya, karena itu terserah anda mau diapakan saya." Dengan jawaban sedemikian, maka Imam itu dipindahkan dari pembaringannya. Kemudian diboyong oleh musuh. Dengan sikap Imam sedemikian itu, maka bukanlah menyerah, melainkan tertangkap. Dan sejak tertangkap, 4 Juni 1962 itulah "berhalangan menunaikan tugasnya". Dan estapeta kepemimpin beralih sesuai dengan MKT No.11 tahun 1959.

2). Sebelum Imam NII tertangkap, Dewan Imamah mengeluarkan Undang-Undang tahun 1959 yang isinya antara lain:Darurat Perang yang tercantum dalam MKT No.11

" K.P.S.I. dipimpin langsung oleh Imam _ Plm. T. APN.I.I. Jika karena satu dan lain hal, ia berhalangan menunaikan tugasnya, maka ditunjuk dan diangkatnya seorang Panglima Perang, selaku penggantinya, dengan purbawisesa penuh. "

"Calon pengganti Panglima Perang Pusat ini diambil dari dan diantara Anggauta-Anggauta K.T., atau dari dan diantara para Panglima Perang, yang kedudukannya dianggap setaraf dengan kedudukan Anggauta-Anggauta K.T."

Dengan undang-undang itu meskipun Imam tertangkap, namun estapetanya tetap belangsung. Jadi, begitu Imam berhalangan menunaikan tugasnya, tertangkap, diboyong musuh, maka kepemimpinannya beralih kepada yang memiliki jabatan yang tercantum dalam undang-undang (MKT No 11) di atas itu.

3). Washiat Imam tahun 1959, di hadapan para Panglima\ prajurit antara lain: "Jika Imam berhalangan, dan kalian terputus hubungan dengan Panglima dan yang tertinggal hanya prajurit petit saja, maka prajurit petiti harus sanggup tampil jadi Imam".

Dari wasyiat itu diambil arti, jika hubungan terputus dengan Imam atau dengan yang tercantum dalam undang-undang (MKT. No.ll Tahun 1959) mengenai estapeta Imam, maka sekalipun yang ada itu cuma prajurit petit, dia berhak menjadi Imam. Kepemimpinan NII tetap berlangsung, beralih kepada yang lain sesuai dengan dasar hukum yang telah ditetapkan.

Adapun soal mengadakan Daulat Islam, menjawab pertanyaan di atas tadi, kita perhatikan apa yang diuraikan oleh Said Hawa dalam Kitab Al-Islam (jilid 2 halaman 400). Disebutkan bahwa tempat hidup ummat Islam itu ialah seluruh bumi Allah. Disebabkan bahwa bumi itu milik Kerajaan Allah (Q.3:189), dengan demikian ummat muslimin itu sebagai Ahli (Hamba) Allah (Q.S.24:55,
S.21:105).

Karena itu jelas seluruh bumi ini diwariskan kepada manusia yang shaleh, yaitu mesti dipelihara dan diatur serta diambil manfaatnya oleh manusia-manusia yang taat kepada Allah. Dengan demikian bahwa bumi itu asalnya bumi Islam (Darul Islam). Menurut Said Hawa (Al-Islam juz dua
halaman 402) daarul Islam ada 5 macam :

1. Daerah Islam yang adil
2. Daerah Islam yang bughot
3. Daerah Islam yang sudah bid'ah
4. Daerah Islam yang murtad
5. Daerah Islam yang sudah dirampas kafir
Selanjutnya dalam kitab yang sama juz 2 halaman 403- 404:

Tentara Islam Indonesia wajib mentaati perintah Panglima Tertinggi, bukan karena pribadi S.M.Kartossuwiryo-nya, melainkan karena jabatannya. Karena itu bila memerintahkan menyerahkan diri kepada musuh , berarti sudah melanggar baiatnya dan berarti pula lenyap jabatannya.

Dengan tiga point diatas itu, maka terlepas dari adanya perintah Imam atau tidak adanya perintah darinya, bahwa menyerahkan diri kepada musuh itu adalah suatu pelanggaran terhadap baiat.

5). Pada tanggal 4 Juni 1962, Imam itu dalam keadaan sakit, tidak berdaya sehingga tertangkap kemudian diboyong oleh musuh. Maka, sejak itu Imam berhalangan dari menunaikan tugasnya. Juga sejak sa'at itu pula tugas sebagai KPSI (Komando Perang Seluruh Indonesia) langsung beralih kepada yang tercantum dalam Maklumat Komandemen Tertinggi atau dengan washiat Imam
tahun 1959.

Dengan demikian semenjak tertangkap 4 Juni 1962 itu, SM Kartosuwiryo tidak berhak mengeluarkan perintah apapun atas nama Negara. Sebab, dengan undang-undang /MKT No.11 itu tugas memerintahnya bukan lagi pada dirinya.

Dengan undang-undang itu, maka apapun yang dilakukan oleh SM Kartosuwiryo sejak berhalangan sampai dihadapkan ke pengadilan RI, semuanya itu tidak mewakili Pemerintah Negara Islam Indonesia.

Bagaimana kaitannya antara MKT No. 11 tentang Estapeta Panglima tertinggi dengan amanat Imam di hadapan para panglima tahun 1959 dalam point 5 ?

Sebelum lanjut menjawab pertanyaan di atas itu, kita kemukakan dulu bunyi amanat Imam Tahun 1959 dalam point 5. Yaitu, "Jika Imam berhalangan, dan kalian terputus hubungan dengan panglima, dan yang tertinggal hanya prajurit petit saja, maka prajurit petiti harus sanggup tampil jadi Imam".

Kalimat "harus sanggup tampil jadi Imam", mengacu kepada kegigihan berjuang dan kesanggupan bertanggung jawab. Artinya, sanggup memimpin perjuangan tanpa menunggu panglima yang belum ditemukan. Kalimat di atas bukanlah sebagai pijakan dasar bagi estapeta kepemimpinan dalam arti jabatan formal kenegaraan secara permanen.

Bisa dibayangkan bila dalam satu pertempuran ada seratus orang prajurit terputus hubungan dengan panglima, kemudian dengan alasan washiat Imam tadi, sebulan kemudian mereka keluar menemui teman-temannya dan masing-masing mendakwakan diri sebagai "Imam". Akan bagaimanakah jadinya negara ini ?

Bila ini dijadikan pijakan tanpa disertakan undang-undang lagi, maka tiap orang yang berhati bengkok serta pintar memanfaatkan kesempatan punya alasan untuk tampil jadi Imam. Kalau ditanya apa dasar keimaman anda ? Lalu dengan enteng menjawab "dulu saya pernah terpisah dari panglima". Bisakah kita menerima kenyataan ini ? Ingat ! Imam (awal) bicara begitu, di hadapan
yang sudah dianggap mengerti aturan, bukan di depan manusia awam yang buta aturan negara.

Maklumat Komandemen Tertinggi No.11, tahun1959 yang dikeluarkan oleh Dewan Imamah NII strateginya yaitu guna kehati-hatian dalam menampilkan calon Imam dalam darurat perang. Juga, faedahnya ialah guna persatuan dan mencegah perselisihan. Dari itu jika ada yang mengadakan kepemimpinan di luar aturan, maka merekalah yang membuat perselisihan.

Bagaimana tanggapan kita terhadap perkataan bahwa kondisi medan perang antara Tahun 1961 - 1962, pihak T I I itu dalam keadaan terjepit, seandainya orang yang sekarang hidup dalam generasi mereka serta menjadi T I I, tentu akan menyerah seperti mereka, ikut meninggalkan Imam ?"

Pada Tahun 1961 - 1962, sebagian dari T I I juga sungguh siap mati sehingga tidak menyerah kepada musuh. Sebagian "Syahid", sebagian lagi kehilangan jejak, putus hubungan ditinggal oleh kawannya atau komandannya. Dan sebagiannya lagi karena ditipu dengan istilah 'Perjanjian Hudaibiyah'. Yang jelas, yaitu sesuai dengan ayat, jika sebagian menyerah maka sebagiannya lagi tidak menyerah. Dengan demikian sungguh ngawur bagi yang mengatakan seandainya orang sekarang (kita) hidup pada masa generasi mereka, menjadi T I I akan menyerah kepada musuh ! Sebab, masih ada jalan untuk mengatakan, "tidak termasuk kepada yang menyerah, melainkan
termasuknya kepada yang mati Syahid, atau tertipu oleh komandan, sehingga putus hubungan, sehingga pula darinya "tidak memiliki nilai menyerah kepada musuh".

Kalau begitu siapakah yang memegang estapeta kepemimpinan NII dalam darurat perang setelah Imam awal tertangkap tanggal 4 Juni 1962 ?

Kita lihat terlebih dulu bunyi undang-undang di bawah ini:

"K.P.S.I.dipimpin langsung oleh Imam __ Plm.T. APN.II.jika karena satu dan lain hal, ia berhalangan menunaikan tugasnya, maka ditunjuk dan diangkatnyalah seorang Panglima Perang, selaku penggantinya, dengan purbawisesa penuh."

"Calon pengganti Panglima Perang Pusat ini diambil dari dan diatara Anggauta- Anggauta K.T., termasuk didalamnya k.S.U. dan K.U.K.T., atau dari dan diantara para Panglima Perang, yang kedudukannya dianggap setaraf dengan kedudukan Anggauta-Anggauta K.T."

Calon pengganti Panglima Perang Pusat yang tercantum dalam MKT No.11 di atas itu, setelah Imam (awal) berhalangan, tinggal satu lagi yaitu K.U.K.T (Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi), karena yang lainnya sebagian sudah gugur dan sebagian lagi telah meninggalkan tugasnya atau desersi dari NII.

Disebabkan calon pengganti Imam yang tercantum dalam undang-undang itu tinggal satu lagi yakni K.U.K.T., maka KUKT itulah yang langsung menjadi Imam tanpa adanya pemilihan dari manapun. Hal itu bukan saja karena calonnya tinggal satu lagi, melainkan juga karena undang - undang
sebelumnya, mengenai pemilihan Imam dalam Darurat Perang sudah dituangkan kedalam MKT No.11.tahun 1959. Dengan demikian sekalipun dalam keadaan darurat sehingga Dewan Imamah tidak berfungsi karena anggautanya banyak yang gugur, maka penggantian Imam tetap berlangsung. K.U.K.T. yang satu itu ialah Abdul Fatah Wirananggapati.

Adapun Imam NII pengganti Abdul Fattah Wirananggapati, yakni sejak Tanggal 8 Ramadhan 1417 H (18 Januari 1997). yaitu Ali Mahfuzh. Hal itu berdasarkan MKT. No.5 Tahun 1997 (diuraikan pada jawaban mendatang).

KUKT, Abdul Fatah Wirananggapati dipenjarakan oleh musuh dalam tahun 1953, kemudian dibebaskan pada tahun 1963. Maka, bagaimanakah hubungannya dengan MKT No. 11 yang dikeluarkan pada tahun 1959 ?

Harus diperhatikan bahwa yang ditunjuk oleh peraturan itu bukanlah ditujukan kepada pribadinya, melainkan terhadap "jabatannya", yaitu Anggauta-Anggauta K T, termasuk didalamnya KSU, dan K.U.K.T.. Dengan itu bilamana salah seorang dari yang jabatannya setaraf dengan AKT(Anggaota
Komandemen Tertinggi) itu pernah ditawan musuh dari tahun 1953 - 1963, maka undang-undang itu tetap berlaku kepada jabatannya.

Ya, bisa saja bila selama K.U.K.T. itu dalam tawanan musuh, maka fungsinya diambil alih oleh yang lain yang jabatannya setaraf dengannya atau oleh atasannya yaitu (Imam). Dan kalaupun ada, perlu pembuktian sejarah - tetapi dengan hal itu tidak berarti jabatannya hilang. Jabatan K.U.K.T. adalah jabatan negara, diangkat oleh negara. Karena itu, hanya dengan keputusan dari negara itulah bisa dipecatnya. Yang hilang itu hanyalah fungsinya, karena sedang berhalangan.

Secara logika bisa dibuatkan satu misal, yaitu bilamana seorang sekretaris telah berhalangan tidak dapat melakukan pekerjaan karena dirinya kena musibah, artinya tidak disengaja. Lalu tugas-tugasnya itu diambil oleh orang lain atau oleh direkturnya. Kemudian suatu sa'at perusahaan itu
mengeluarkan peraturan / maklumat mengenai calon-calon pengganti direkturnya. Sedangkan ketentuan sebagai calon pengganti direktur menurut aturan itu di antaranya temasuk dari "jabatan sekretaris". Tentu, dalam hal jabatan sekertaris itu tidak mesti ditujukan kepada siapa orangnya, tetapi yang pokok adalah yang memiliki jabatan sebagai sekertaris. Adapun dirinya masih dalam musibah, itu adalah pribadinya dan bukan jabatannya.

Seandainya sewaktu sekretaris dalam musibah itu, konon ada lagi seseorang atau beberapa orang yang diangkat menjadi sekretaris, maka tinggal berunding saja mana yang memadai jadi direktur. Akan tetapi, jika kenyataannya sesudah sekretaris yang kena musibah tadi itu bebas kembali ke
perusahaannya, sedangkan di perusahaan itu tidak ada yang muncul selain dirinya, maka terlepas dari ada atau tidak ada lagi pengangkatan selain dirinya, tentu sekretaris yang telah bebas itu berhak menjadi direktur. Sebab, ketentuan mengenai pengganti direktur yang disebutkan dalam Maklumat
itu adalah kepada jabatannya (sekretaris), dan bukan kepada pribadinya.

Kembali kepada MKT No.11 yaitu mengenai calon-calon pengganti Imam. Dalam maklumat itu tidak ditentukan tentang waktunya penggantian, melainkan "jika ia berhalangan menunaikan tugasnya". Disebabkan waktunya tidak ditentukan, maka sekalipun MKT No.11 dikeluarkan pada waktu K.U.K.T.sedang ditawan oleh musuh, namun pelaksannannya bisa pula terjadi sesudah K.U.K.T. dibebaskan oleh musuh. Ya, tidak selamanya yang ditawan; akan selamanya ditawan,
mungkin akan lama dan mungkin akan segera bebas dengan izin Allah. Jadi, logis jika MKT No.11 mengenai penggantian Imam dengan mencantumkan calon-calonnya yang diambil dari yang jabatannya setaraf dengan A.K.T., termasuk didalamnya K.S.U.dan KUKT, walau maklumat itu dikeluarkannya sewaktu K.U.K.T.masih ditawan musuh. Sebab, undang-undang itu bukan kepada
pribadi orangnya, melainkan terhadap jabatan K.U.K.T.-nya. Dan yang menjadi K.U.K.T. itu pada waktu itu ialah Abdul Fatah Wirananggapati.

Apakah tidak mungkin bila sewaktu KUKT itu ditawan lalu ada lagi yang diangkat menjadi KUKT, sehingga KUKT itu tidak satu ?"

Dalam Islam itu, kita diwajibkan menentukan hukum dengan kenyataan atau dengan yang sudah bukti. Dengan itu kita pun bertanya, mana buktinya ada pengangkatan K.U.K.T., sewaktu K.U.K.T. ditawan dari tahun 1953 - 1963 selain daripada dirinya ? Kalau ada, maka mesti dibuktikan dengan fakta sejarah mengenai apa yang pernah dilakukan olehnya dalam tugas KUKT. Jika tidak berani muncul apalagi ummat telah mencarinya, maka berarti tidak bertanggung jawab terhadap Allah Swt., juga ummat dan Negara. Dan berati juga telah menggugurkan jabatannya atau desersi.

Sekiranya masih saja ada yang berkata : "Ya, pengangkatan itu ada, cuma sekarang orangnya entah dimana adanya..., entah sudah mati atau belum, nanti dicari dulu, mungkin merahasiakan dirinya". Maka, harus kita jawab lagi dengan pertanyaan, " Mengapa mesti mencari dulu yang belum pasti,
bukankah dia yang mesti merasa bertanggung jawab hingga memberi penjelasan terhadap ummat, apalagi ummat telah mencarinya" ? "Mengapa mencari Imam yang sudah tidak mau tampil di kala ummat ingin mendapat konfirmasi kebenarannya ?"

Kalau ada Imam (pemimpin) yang maunya bersembunyi alias tidak mau bangkit memimpin, maka tidak ubahnya dengan ular yang menunggui harta karun, yakni oleh orang lain tidak boleh dimanfaatkan, sedang bagi dirinya pun tidak bermanfaat !

Apakah setelah KUKT Abdul Fatah Wirananggapati bebas dari penjara musuh pada tahun 1963, pada waktu itu juga menyatakan dirinya sebagai pemegang estapeta kepemimpinan NII ?"

Abdul Fatah Wirananggapati diangkat sebagai K.U.K.T pada Tahun 1953 dan pada tahun itu juga tertangkap di Jakarta setelah kembali dari Aceh melantik Daud Bereuh selaku Panglima Wilayah V TII Cik Di Tiro. Mendekam selama sepuluh tahun di Nusakambangan, membuat dirinya tidak banyak dikenal oleh warga NII apalagi dalam hal jabatan KUKT-nya.

Lebih-lebih pada masa itu banyak yang tidak memahami perundang-undangan NII sehingga umumnya tidak tahu siapa sebenarnya pelanjut dari Imam sesudah S.M.Kartosuwiryo. Kondisi secara umum pada waktu itu jangankan orang memikirkan perundang-undangan NII, bahkan terhadap NII-nya saja sudah dianggap hancur lebur.

Sesudah Imam S.M.K. tertangkap, 4 Juni 1962 kemudian disusul oleh adanya "Ikrar Bersama" yang dilakukan oleh sebagian besar mantan pimpinan / komandan T.I.I. dalam hal sumpah setia terhadap UUD 45 dan Pancasila serta menyesali diri, dan mencaci maki perjuangan NII, maka sungguh sulit pada tahun-tahun itu untuk memastikan siapa yang bisa diajak bicara tentang kelanjutan perjuangan NII. Sebab, terbetik pandangan bahwa para pemimpinnya saja sebagian besar sudah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi serta mencaci-maki NII dengan pernyataan tertulis, maka apalagi prajurit
bawahannya serta masyarakat umum.

Dalam kondisi sedemikian itu membutuhkan proses waktu untuk menjelaskan estapeta kepemimpinan NII, karena tidak mungkin menjelaskan estapeta kepemimpinan NII jika orang yang akan dipimpinnya juga belum ditemukan. Juga, tidak tepat bila menjelaskan estapeta kepemimpinan NII kepada mereka yang sudah menyesali diri mengenai keterlibatan dalam perjuangan NII, serta mengakui kesesatannya, sehingga menjatuhkan martabat NII.

Tentu, pada waktu itu masih ada pribadi-pribadi yang masih berkeinginan melanjutkan perjuangan NII, tetapi karena mereka sudah terpencar serta bercampur dengan sebagian yang sudah kompromi dengan penguasa RI, maka sukar bagi Abdul Fatah Wirananggapati mencari mereka yang masih setia terhadap perjuangan NII. Kondisi pada waktu itu hanyalah kecurigaan atau saling ketidakpercayaan antara mereka.

Contohnya, sesudah Imam S.M. Kartosuwiryo tertangkap, waktu itu di Jawa Tengah masih ada pasukan sekitar 100 orang yang dipimpin oleh Ismail Pranoto yang tetap mengangkat senjata, terus mengadakan perlawanan sesuai dengan amanat Imam Tahun 1959. Tetapi, begitu ketahuan oleh bekas kawan-kawannya kemudian dibujuk oleh tipuan bahwa di kota telah ada "Cease Fire" (gencatan senjata). Disebabkan mereka tidak mengikuti bujukan demikian maka akhirnya diultimatum oleh para pembujuk itu, bila tidak menyerah akan digempur. Dan nyata bahwa pasukan yang dipimpin Imail Pranoto itu dikejar-kejar. Bukan saja oleh TNI, melainkan juga dibantu oleh bekas-bekas TII.

Setelah pengejaran terhadap pasukan Ismail Pranoto, maka sisa dari pasukan itu terus bergerilya dan pimpinannya diambil alih oleh Kastolani, karena Ismail Pranoto pindah ke Yogya mencari dukungan di daerah tersebut. Selanjutnya pada Awal Tahun 1965, Ismail Pranoto mengutus Hanif dan Safri (Salman Farisi) kepada Kastolani dengan pesan bahwa Ismail Pranoto akan
berangkat ke Sumatra untuk mengusahakan tempat di sana sebagai basis baru untuk bergerilya.

Pada Tahun 1967 pasukan yang dipimpin Kastolani tinggal 12 orang lagi yang terdiri dari delapan orang militer dan empat orang sipil. Mereka sudah bertekad dengan pribahasa sekalipun menjadi "monyet" (hidup di hutan), tetap tidak akan menyerah. Hanya, mereka tidak mengetahui keadaan yang sesungguhnya. Di saat-saat sedemikian itu datanglah dua utusan dari Kadar Solihat yaitu Khaeruddin salah seorang bekas komandan Kompi TII Kebumen, yang satunya ialah Abdullah.

Khaerudin memberitahukan masih adanya kekuatan Kahar Muzakar di Sulawesi serta Daud Beureh di Aceh, juga di Jawa Barat Siliwangi separuhnya sudah NII. Dengan kalimat-kalimat itu Kastolani dan Zaenal Asikin merasa pasukannya akan diperintahkan untuk pindah tempat bergerilya ke luar Jawa. Utusan Kadar Solihat itu menjanjikan ada tiga pilihan tempat bergerilya: 1). Apakah mau di Sulawesi. 2). Apakah mau di Aceh. 3). Atau mau di Jawa Barat.

Tertipu oleh informasi demikian maka Kastolani menuruti Khaeruddin, kemudian mengirimkan empat orang personilnya yang sipil dengan diantar oleh Khaeruddin ke Jawa Barat. Setelah satu minggu perjalanan dengan menginap di beberapa tempat, lalu sesuai dengan yang sudah ditentukan dijemput di stasion kereta api Bandung oleh Fajri seorang bekas komandan Resimen TII Banyumas. Fajri dan Khaeruddin yang telah bersekongkol dengan Kadar Sholihat, membawa mereka ke Jalan kancra, yakni ke rumah Kadar Sholihat.

Keempat orang itu mengikutinya dengan maksud dalam rangka bergerilya mencari kawan-kawan seperjuangan yang dalam dugaan sedang menyusun kekuatan di kota. Tetapi, karena tidak tahu mana yang masih setia terhadap NII dan mana yang sudah menyerah kepada musuh, maka secara tidak disadari ketika masuk kerumah Kadar Sholihat (mantan komandan resimen TII ); ketika itu
juga masuk dalam perangkap musuh.

Kemudian setelah seminggu lamanya berada di rumah tersebut, mereka dibawa oleh Kadar Sholihat, dan dikatakan kepada mereka akan dibawa ke Tasikmalaya. Mereka tidak curiga akan ditangkap, walau dibawa ke Brigif 13, karena informasi sebelumnya bahwa Siliwangi separuhnya sudah NII, juga yang membawanya yaitu Kadar Sholihat. Baru menyadarinya bahwa mereka ditangkap oleh musuh, yaitu sewaktu mereka melakukan sholat dikawal oleh anggota T N
I dengan senjata otomatis.

Sementara itu pasukan Kastolani yang di Jawa Tengah belum tahu adanya kejadian yang menimpa kepada empat orang anak buahnya yang di utus ke Jawa Barat. Tujuh belas hari sesudah kedatangan Abdullah dan Khairuddin atau setelah empat orang sipil tadi ditangkap musuh, datang lagi Khaeruddin mengantar Kadar Sholihat bersama Sam'un bekas komandan kompi TII di Jawa
Barat, disertai tiga orang T N I yang menyamar dengan berpakaian preman yang sebelumnya tidak diketahui oleh Kastolani bahwa pada masing-masing pinggangnya terselip pistol.

Sewaktu berlangsung pembicaraan, Kastolani bertanya kepada Kadar Sholihat, Apakah hal ini tidak menggunakan sarana musuh (maksudnya tidak diketahui musuh ). Dalam hal ini Kadar Sholihat meyakinkan bahwa mereka akan dimutasikan dalam rangka melanjutkan perjuangan.

Kastolani percaya akan hal itu karena mengingat pesan dari Ismail Pranoto yang berusaha menyediakan tempat di Sumatra, dan inilah dianggap sebagai hasilnya. Selain itu juga Kastolani percaya bahwa Siliwangi sudah banyak yang NII, sehingga tidak curiga ketika diperintahkan naik ke pik up oleh Kadar Sholihat. Dengan itu delapan TII termasuk Kastolani, bersama kelima orang penjemput itu meninggalkan Brebes. Kastolani baru sadar bahwa dirinya sudah tertipu, tatkala mobil yang mereka tumpanginya itu memasuki markas Brigif 13 Galuh, Tasikmalaya Jawa Barat. Sungguh jelas pada tahun-tahun itu sangat susah untuk saling percaya, sebab kawan dan lawan amat samar.

Pernah seseorang bertanya langsung kepada Abdul Fatah Wirananggapati mengenai keadaan pertama-tama setelah keluar dari penjara Nusakambangan, "Mengapa bapak tidak segera menyusun ?" beliau menjawab : "Siapa yang bisa saya percayai pada waktu itu ?"

Sekarang semakin dimengerti jawaban beliau, setelah kita membaca buku "Tantangan dan Jawaban" ungkapan oleh seorang Pelda purnawirawan Ukon Sukandi, dia pernah bertugas sebagai intellijen TNI yang berhasil menyusup ke tubuh TII bahkan sempat diangkat sebagai Wakil Panglima KW Jakarta. Pada buku itu dia menyiratkan bahwa, Warga dan aparat TII di kota Bandung dan Jakarta tahun 1955 saja bisa dikatakan sudah fifty fifty. Setengahnya TII tulen sedang hampir setengahnya lagi adalah susupan lawan. Wajar bagi Abdul Fatah Wirananggapati yang memahami bahwa N I I yang pernah terjebak jaring lawan, maka beliau berhati hati sekali untuk memainkan peran dan fungsinya.

Dalam kondisi sedemikian, langkah pertama yang bisa ditempuh oleh Abdul Fattah Wirananggapati, yaitu mengadakan pendekatan kepada masyarakat secara bertahap sehingga ditemukan kader-kader baru atau warga NII. Juga, berusaha menemukan personil TII yang masih utuh terlepas dari nilai kompromi dengan musuh.

Adapun langkah kedua, yaitu menjelaskan kelanjutan perjuangan serta estapeta pimpinan NII kepada yang ingin mengetahuinya. Sebab, masalah estapeta kepemimpinan NII pada awal kebangkitannya , cuma bisa dijelaskan kepada yang sudah benar-benar diketahui berkeinginan memahaminya. Dengan itu sangat terbatas. Hal demikian karena adanya beberapa faktor di
antaranya ialah:

1). Kebanyakan ummat tidak memiliki wawasan mengenai perundang-undangan NII. Atau tidak menganggap penting, sehingga mereka mengakui pemimpin itu cuma berdasarkan idolanya masing masing atau ikut-ikutan.

. 2). Kebanyakannya tidak memahami nilai hukum mengenai yang sudah mundur dari NII, sehingga masih dianggap sebagai pimpinan.

3). Adanya sebagian eks pimpinan TII yang tidak sadar dalam monitoring serta arahan dari pemerintah RI, sehingga terpancing memunculkan kepemimpinan, dengan tidak berdasar pada peraturan NII.

4). Banyak eks tokoh TII yang tidak mengakui kesalahan dalam hal "desersi" dari NII, sehingga yang sebenarnya menyerahkan diri kepada musuh, malah disebutnya sebagai "Hudaibiyah".

5). Banyaknya eks pimpinan TII yang tidak mau taubat menurut prosedur hukum (tidak mau mengeterapkan Q.S.4:64), sehingga menyepelekan Abdul Fatah Wirananggapati bahkan menjegal langkahnya. Hal itu berjalan sampai beliau ditangkap kembali oleh Pemerintah RI pada tahun 1975, kemudian dipenjarakan di Bandung.

Selama Abdul Fatah Wirananggapati mendekam dalam penjara dari tahun 1975 sampai tahun 1983, selama itu pula terjadi perpecahan yang besar dalam tubuh ummat yang mengatas-namakan NII. Hal itu terjadi karena hilangnya rujukan mengenai kepemimpinan, sehingga ummat terbagi kedalam banyak kelompok yang tiap kelompok punya langkahnya masing-masing, sehingga
terjadi benturan-benturan paham mengenai siapa pemimpin yang sebenarnya harus dita'ati.

Akibat saling mengklaim pemimpin, padahal masing-masing tidak memiliki dasar undang-undang, akhirnya terjadi tuduh menuduh serta bughat membughatkan. Klimaknya terjadilah pembunuhan terhadap yang dianggap bughat atau indisipliner, seperti halnya terhadap Jaja Sujadi, Rusli, Bahrowi, Ajid dan banyak lagi yang lainnya.

Di saat-saat ummat bingung menentukan kepemimpinan yang sebenarnya sehingga ada yang menganggap "tidak perlu punya pemimpin - yang penting berjuang", maka tahun 1983 sesudah Abdul Fattah Wirananggapati. bebas dari penjara, beliau memberikan penjelasan-penjelasan yang intinya, yaitu "Bahwa estapeta kepemimpinan NII yang sebenarnya mesti berdasarkan undang-undang / MKT No.11 tahun 1959".

Akan tetapi, karena Abdul Fatah Wirananggapati itu baru keluar dari tawanan dan dianggap masih sedikit pengikutnya, maka bagi yang maunya berpihak kepada banyaknya pengikut, mereka dengan cepat menolak penjelasan darinya. Lebih dari itu dikarenakan mereka tidak bisa menolak dengan hujjah, maka ada sebagiannya yang melemparkan fitnah dengan tuduhan ambisi kepemimpinan,
serta lainnya.

Sebaliknya dari yang di atas itu, bagi yang berjihad ingin berdasarkan ilmu (Q.S.17:36) dan berkehendak dipimpin oleh pemimpin yang keberadaannya didasari hukum / peraturan, maka menyambut dengan gembira terhadap penjelasan mengenai estapeta kepemimpinan yang berdasarkan undang-undang. Hal itu didasari ayat yang bunyinya:

"Dan janganlah kamu seperti mereka yang berpecah-belah dan berselisih, sesudah tanda bukti yang jelas datang kepada mereka Dan bagi mereka adalah siksaan yang berat." _(Q.S.3:105).

Guna memenuhi kebutuhan ummat dalam memahami nilai undang- undang, maka Abdul Fatah W., pada tahun 1987 menulis "At-Tibyaan" yang artinya penjelasan. Sungguh, apa yang diperbuat oleh Abdul Fatah Wirananggapati sebagai Imam NII adalah sesuai dengan batas kemampuan dirinya yang tidak terlepas dari proses kondisi dan situasi serta tidak luput dari berbagai rintangan. Jadi, bila penjelasan itu sampai kepada anda belum lama, atau baru sekarang saja, maka itu hanya merupakan proses sejarah diri kita semua, karena masing-masing diri punya sejarahnya. Jadi, bila terlambat, tidak harus bertanya atau protes "mengapa kita terlambat ?" Sebab, termasuk diri anda juga harus menjawabnya ! Tentu, jika hati suci, maka akan menjawabnya,"biarlah masih mendingan terlambat daripada terliwatkan sama sekali " !

Apa sebabnya K.U.K.T., Abdul Fatah Wirananggapati tertangkap di Jakarta Tahun 1953 sepulang melantik Daud Beureh, sebagai Panglima Wilayah V T I I Cik Di Tiro ?

Karena terjerat jaring rencana lawan yang telah lama digelar sejak dua tahun sebelumnya (1951 ), terhadap NII secara keseluruhan, sehingga pada tahun-tahun itu yang tertangkap di Jakarta bukan hanya Abdul Fatah W., melainkan juga Sohby, kolonel TII, Wakil Komandan Komando Wilayah I Sunan Rahmat.

Tentara Nasional Indonesia, sebagai tulang punggung Republik Indonesia mempersiapkan rencana operasi untuk menghancurkan Negara Islam Indonesia ini, peperangan antara RI dan NII benar benar total meliputi segala aspek kehidupan, mulai dari perang propaganda, perang intellijen sampai penghancuran satuan satuan militer TII. Keberhasilan TNI menghancurkan TII didahului dengan keberhasilan operasi intellijen.

Pada tahun 1951 Sersan Mayor Ukon Sukandi yang bertugas sebagai intel dengan nama samaran Sukarta, memperoleh informasi adanya bekas komandan/tokoh TII, dari Batalyon Kalipaksi yang berkedudukan di Garut, bernama Ali Murtado, telah melemah semangat tempurnya dan kembali ke kota. Ukon Sukandi mendatanginya dan berusaha merebut simpati bekas komandan ini dengan berbagai kebaikan. Ali Murtado tertarik dengan segala kebaikan Ukon Sukandi tadi bahkan Ali Murtado melaporkan pada pimpinan TII di atasnya -pamannya sendiri- Bapak Sujai bahwa Ukon Sukandi ini pantas untuk direkrut demi kepentingan TII dalam menjalankan aksi intellijen di kota.

Sebaliknya Sersan Mayor Ukon Sukandi pun melaporkan pada atasannya bahwa Ali Murtado berhasil didekati dan bisa diperalat, diserap informasinya bahkan bisa menjadi jalan bagi masuknya operasi intellijen TNI ke dalam tubuh TII. Lewat Ali Murtado inilah Ukon Sukandi berhasil menipu Bapak Sudjai, ia memberikan banyak bantuan kepada komandan TII tersebut, baik berupa uang, pakaian. Alat alat tulis, surat kabar, dan surat pribadinya yang menunjukan rasa simpati terhadap perjuangan Negara Islam. Bapak Sudjai terkecoh dengan kemurahan ini, kemudian ia mengirim surat balasan pada Ukon Sukandi bahkan dalam surat itu ia menjelaskan dirinya sudah mengusulkan kepada Panglima Wilayah Divisi I Sunan Rahmat TII, Agus Abdullah agar mengangkat Ali Murtado sebagai petugas khusus di Jakarta, yang setiap saat bisa dihubungi oleh Ukon Sukandi.

Dua hari kemudian datang surat penetapan dari Komandan Divisi I Sunan Rahmat TII, Agus Abdullah yang menetapkan dan mengangkat Ali Murtado sebagai Kepala Pos Hubungan Wilayah I dan berkedudukan di Jakarta. Penugasan ini terasa membawa dampak positif bagi lalu lintas surat menyurat untuk kepentingan perjuangan NII, dan Agus Abdullah melaporkan hal positif ini kepada Imam Kartosoewirjo, yang selanjutnya Imam memerintahkan Agus Abdullah untuk meningkatkan hubungan dan kegiatan di Jakarta, bahkan kalau memungkinkan dibentuk perwakilan pemerintah NII di Jakarta. Akhirnya Agus Abdullah memerintahkan kepada Ali Murtado untuk menyusun personalia guna mengisi jabatan dalam perwakilan Pemerintah NII di Jakarta. Kartosoewirjo
mempercayai Ali Murtado, karena usulan ini datang dari orang kepercayaan Kartosoewirjo sendiri di Jawa Barat (Komandan Divisi).

Ali Murtado menyampaikan surat ini kepada Ukon Sukandi, segera saja ia membahasnya bersama Komandan Intellijen TNI, Letnan Muda Satiri dan Kepala seksi I KMKB - DR (Komando Militer Kota Besar Djakarta raya) , Lettu Suhadi. Dengan persetujuan Seksi I KMKB - DR, setelah berhasil menyusupkan anggota kepolisian dari seksi Djatinegara, segera Ukon Sukandi dan Ali
Murtado menyusun personalia perwakilan Pemerintah NII sebagai berikut :

Komandan : Ali Murtado
Wakil Komandan : Sukarta (nama samaran Sersan Mayor TNI Ukon Sukandi)
Kepala Kepolisian : Among (Anggota POLRI seksi Djatinegara)

Perwakilan pemerintahan ini menunjukkan keberhasilan kerja yang lumayan (maklum karena memang disponsori oleh agen intellijen RI), ketika Sukarta berhasil meluluskan transaksi jual beli senjata. Walaupun akhirnya senjata yang telah berhasil dibeli NII itu berhasil dirampas kembali dalam sebuah pemeriksaan truk di jalan Karawang - Purwakarta. Terbongkarnya truk yang
membawa senjata ini bukanlah kebetulan, namun demikianlah rencana TNI untuk menjebak aparat NII yang telah berhasil disusupinya.

Meskipun senjata yang berhasil dibeli NII itu gagal tiba di tempat tujuan, namun kepercayaan pemerintah pusat terhadap perwakilan pemerintah NII di Jakarta tidak hilang, karena pihak intellijen RI berhasil membuat alibi, seakan akan kebocoran itu bukan disebabkan adanya unsur kontra intellijen RI di tubuh NII tetapi karena kecerobahan para prajurit TII sendiri di
Karawang. Pada tahun itu juga Agus Abdullah memberitahukan Ali Murtado dan Sukarta bahwa Kolonel TII, wakil Komandan wilayah I Sunan Rahmat akan datang mengontrol pasukan ke Jakarta, sebab sebelumnya Sukarta berhasil menipu Ali Murtado dengan mengatakan bahwa dirinya berhasil menyusun satuan satuan rakyat terlatih yang mendukung perjuangan NII.

Ketika Kolonel TII Sohby datang ke Jakarta dan menyatakan keinginannya untuk menginspeksi pasukan, Sukarta menyampaikan alasan bahwa para prajurit yang dilatihnya tersebar di berbagai wilayah Jakarta, dan ia minta waktu dua hari saja untuk mengumpulkan mereka. Untuk memenuhi keinginan ini dan demi memperkuat rasa percaya pemerintah NII terhadap dirinya, maka
"simunafiq" Ukon Sukandi ini mengontak pimpinan intel Jakarta untuk meminjam beberapa puluh karaben dari Detasemen Markas. Bersamaan dengan itu juga dikumpulkan 40 orang intel yang secara kilat dilatih tatacara upacara militer TII oleh Ali Murtadho. untuk hadir di sekitar Rawa Buaya daerah Tangerang, berpura pura sebagai pasukan TII yang siap menyambut kedatangan
komandannya.

Kolonel TII Sohby menyatakan kepuasaannya melihat kesigapan 'para prajurit' itu, bahkan mengomentari, "sekalipun berada di daerah jantung musuh, namu semangat dan disiplinnya melibihi pasukan TII yang kini beroperasi di gunung gunung." Selama seminggu di Jakarta Sohby menyuruh Ali Murtado untuk mengetik surat buat Imam Kartosoewirjo dan kepada Agus Abdullah dan ditembuskan kepada semua panglima wilayah TII, bahwa setelah mendapat restu dari Imam NII ia (Kolonel TII Sohby) akan melanjutkan tugasnya sebagai Duta Keliling di luar negeri.

Berita ini tentu saja amat bernilai di mata intellijen RI, Sersan Mayoor Ukon Sukandi segera saja melaporkan hal ini kepada Kepala Seksi I Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya. Si munafik Ukon Sukandi mengusulkan agar Sohby tidak ditangkap di Jakarta, sebab itu akan menimbulkan kecurigaan pemerintah pusat NII kepadanya. Akhirnya Sohby dijebak di Bogor, sekaligus Ukon Sukandi memfitnah, melaporkan pada pemerintah pusat, bahwa tertangkapnya Duta besar keliling NII ini disebabkan pengkhianatan A.M Firdaus. Dengan demikian pihak TNI berhasil menghancurkan dua orang sosok pilihan Negara Islam sekaligus. Sohby ditangkapnya, sedang tentara Islam yang asli A.M. Firdaus dihukum mati oleh kawannya sendiri.

Ukon Sukandi sendiri semakin dipercaya oleh Komandan Divisi I TII Sunan Rahmat, ketika ia menyatakan kesiapannya untuk membujuk dan menyogok perwira TNI untuk membebaskan Kolonel TII Sohby yang tertangkap itu. Agus Abdullah menyetujui rencana itu, bahkan sekalian meminta Ukon Sukandi untuk membeli beberapa peti peluru untuk pasukan TII yang dipimpin Letkol TII Ahmad Sungkawa. Ukon Sukandi berhasil membobol keuangan NII dengan cara
menjual peluru jelek yang bisa membuat senjata rusak, disamping itu Sohby pun sengaja dilepaskan, dengan skenario melarikan diri loncat dari pickup di tikungan Jalan Setiabudi, tanjakan Lembang Bandung. Dan dalam upaya melarikan diri itulah Sohby ditembak dengan penembakan yang sudah dipersiapkan, sehingga terjangan peluru sulit dihindarkan. Licin sekali siasat ini, Ukon Sukandi sempurna melaksanakan tugasnya. Tanpa curiga karir si munafik ini terus menanjak, ia berhasil menguasai KBW I NII (Kantor Berita Wilayah) yang berdasarkan keputusan Kartosoewirjo semua surat keluar masuk pulau Jawa harus melalui Jakarta.

Demikian strategisnya posisi yang berhasil dicaplok Ukon Sukandi sehingga seluruh jaringan Koordinasi Pemerintah Pusat NII dengan wilayah lainnya berhasil d lacak lewat KBW I Jakarta ini. Tidak Heran bila pada tahun 1953 KUKT APNII Abdul Fatah Tanu Wirananggapati yang baru saja pulang menggalang wilayah Aceh menjadi bagian dari NII, tertangkap di Jakarta.

Penyusupan yang dilakukan lewat Ukon Sukandi dengan memperalat Ali Murtado ini, terus berkembang, sehingga pada tahun 1955, di Bandung saja, antara pejuang TII asli dengan pasukan Intellijen RI yang berhasil disusupkan sudah fifty-fifty. Akibatnya mudah diduga, apapun perintah Kartosoewirjo dalam mengatur strategi perang, dengan mudah digagalkan oleh TNI. Ini diakibatkan oleh kecerobohan aparat TII yang dengan mudahnya menerima kembali seorang yang telah berhenti berjuang dan kembali ke kota (Ali Murtado), yang kemudian hanya karena dianggap berhasil merekrut seorang kader potensial, langsung diangkat kembali untuk menjabat posisi penting, tanpa memproses pelanggarannya.

Sebenarnya seorang pejabat tinggi NII- menjadi jalan bagi menggelindingnya kepercayaan dari pejabat tinggi NII yang lain. Bapak Agus Abdullah sebagai panglima KW Jawa Barat pun ikut ikutan percaya, dengan menyandarkan alasan "Karena Pak Sujai pun sudah percaya". Jika seorang Panglima KW sudah memberikan rekomendasi kepercayaan, maka bisa dimengerti bila Imam pun
akhirnya ikut mempercayai "musuh yang menyusup" tersebut,

Kesimpulannya, bahwa tertangkapnya Kolonel TII Sohby juga KUKT, Abdul Fatah Wirananggapati Tahun 1953 itu, bukanlah kekeliruan pribadi, melainkan adalah kekeliruan secara menyeluruh, akibat awalnya menyepelekan prosedur hukum terhadap yang sudah "desersi (kabur dari medan perang)" dipercaya kembali.

Berpikirkah tuan-tuan bahwa itu peringatan dari Allah Swt. Tapi, mengapa penyimpangan dari prosedur hukum itu terulang kembali, yaitu Ateng Jaelani Setiawan yang pada Tahun 1961-1962 menghianati perjuangan NII, kemudian pada Tahun 1975 ditempatkan kembali dalam stuktur kepemimpinan yang tuan - tuan setujui ? Sehingga sejarah mencatat bahwa pada Tahun 1977 dia kembali melaporkannya kepada musuh dengan membeberkan skemanya.

Bagaimana tanggapan dari Dewan Imamah NII terhadap petikan wawancara Abdul Fattah Wirananggapati yang dimuat dalam Majalah Ummat halaman 25 terbitan tanggal 9 Desember 1997 ?

Kesimpulan surat tanggapan dari Dewan Imamah NII tanggal 22 Desember 1996 terhadap petikan wawancara Abdul Fattah Wirananggapati dalam Majalah Ummat tanggal 9 Desember 1996, Dewan Imamah memutuskan di antaranya yaitu membatalkan tugas wajib sucinya terhadap Abdul Fattah Wirananggapati. Dengan demikian siapakah Imam NII pengganti Abdul Fattah Wirananggapati itu?

Segera setelah Dewan Hakim memutuskan vonis yakni diberhentikan dari tugasnya sebagai Imam NII, dan diterima keputusan itu oleh Abdul Fattah Wirananggapati, terbukti ketika ditawarkan kesempatan untuk membela diri, beliau tetap menerima kebersalahan dirinya tanpa memerlukan pembelaan lebih lanjut. Maka Dewan Imamah secara bersungguh sungguh dan penuh tanggung
jawab pada hari itu juga, bermusyawarah untuk memilih dan mengangkat Imam Negara Islam Indonesia.

Akhirnya dengan suara bulat dengan idzin Alloh pada tanggal 9 Ramadhan 1417 H / 18 January 1997 Ali Mahfudz secara resmi memikul wajib suci sebagai Imam Negara Islam Indonesia. Semoga Alloh menangurahi rahmat yang melimpah atasnya sehingga dipandaikanNya melaksanakan amanah ummat / rakyat Negara Islam Indonesia, Aamiin. Lebih jelas silahkan lihat Maklumat Komandemen Tertinggi No. V tahun 1997.
( http://www.dataphone.se/~ahmad/020914a.htm )

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
----------

From: "dwi - suryono" <abu_hanifa@eudoramail.com>
To: Ahmad Sudirman <ahmad@dataphone.se>
Subject: (No Subject)
Date: Sun, 24 Aug 2003 09:02:02 +0700

Assalamu'alaikum Wr. Wb

Dari tulisan2 bapak saya menduga bahwa bapak adalah salah satu pendukung Darul Islam yang dideklarasikan oleh imam S.M. Kartosuwiryo. Berita2 yang beredar di Indonesia saat ini sangat miring tentang Darul Islam ataupun NII. Sebagai seorang akademisi saya terbiasa berfikir obyektif sehingga tidak cukup rasanya berita datang dari satu pihak saja.

Untuk itu tolong dijelaskan kronologis Darul Islam hingga saat ini. Dan saat ini apakah masih ada satu pimpinan yang diakui? karena setahu saya Darul Islam telah terpecah menjadi beberapa faksi.
termia kasih.

Wassalamu'alaikum wr. wb

Dwi Suryono

Jakarta, Indonesia
abu_hanifa@eudoramail.com
----------