Stockholm, 2 Agustus 2003

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.

SEBAGIAN BESAR PIDATO MEGAWATI PADA ST MPR 2003 MENUTUPI PENDUDUKAN NEGERI ACEH
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

KELIHATAN JELAS HAMPIR 25 % DARI SELURUH ISI PIDATO MEGAWATI PADA ST MPR 2003 1 Agustus 2003 MENUTUPI PENDUDUKAN NEGERI ACEH

"Sesuai pula dengan amanah Majelis, pemerintah menawarkan penyelesaian dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, otonomi khusus, dan dilakukannya pengumpulan senjata oleh gerakan separatis tersebut. Kita bahkan menandatangani perjanjian penghentian permusuhan di Jenewa. Dalam perjanjian tersebut, pemerintah telah banyak mengakomodasikan persyaratan dan tuntutan yang diajukan oleh gerakan separatis ini, sehingga tidak jarang pemerintah mendapat kritik pedas dari mereka yang memandang pemerintah telah bersikap terlalu lunak. Pemerintah menerima dengan ikhlas seluruh kritik pedas tersebut, karena kita sungguh ingin dapat menyelesaikan konflik bersenjata ini dengan cara damai. Kita akhirnya mengetahui, semua itu ditolak oleh gerakan separatis tersebut. Sikap akomodatif pemerintah juga telah disalah-artikan dan secara curang telah digunakan bukan saja untuk mengkonsolidasi diri dan menambah persenjataan, tetapi juga untuk meningkatkan serangan-serangan yang meluas dan sistematis, baik terhadap pos militer dan polisi serta kantor-kantor pemerintahan, pembakaran gedung-gedung sekolah dan sarana transportasi umum, penculikan dan pembunuhan, pengrusakan sarana-sarana publik, serta pengusiran warga masyarakat dari suku-suku tertentu. Akhir-akhir ini terdapat indikasi bahwa serangan yang menjurus teror tersebut bahkan meluas ke daerah lain. Dengan serangan dan tindakan seperti itu, sesungguhnya telah terpenuhi kemungkinan untuk menyatakan bahwa gerakan separatis bersenjata GAM telah melakukan kejahatan kemanusiaan yang berat. Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas menyatakan bahwa adalah tugas pemerintah untuk melindungi seluruh bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 juga dengan tegas mengamanatkan tidak ada lagi perubahan terhadap bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu pula, dengan memperhatikan seluruh amanah Majelis ataupun berbagai pandangan yang dikemukakan keluarga besar bangsa ini, termasuk setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, maka setelah menilai bahwa tidak ada manfaatnya lagi untuk melanjutkan perundingan dengan gerakan separatis bersenjata GAM tersebut, pemerintah memutuskan untuk melancarkan operasi terpadu."
(Pidato Presiden Republik Indonesia pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, 1 Agustus 2003).

Nah, jelas sekali apa yang telah dibacakan oleh Presiden Megawati dalam pidatonya pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat tanggal 1 Agustus 2003 yang hampir seperempat bagian dari seluruh isi pidatonya itu menyangkut masalah bidang politik dan keamanan terutama yang menyangkut masalah Aceh.

Tentu saja seperti yang telah saya tulis dalam tulisan-tulisan saya sebelum ini, memang benar Presiden Megawati Cs telah menutupi sekuat tenaga tentang perjuangan rakyat Aceh dibawah pimpinan Teungku Muhammad Hasan di Tiro yang menuntut keadilan melalui tuntutan negeri Aceh yang diduduki Soekarno dikembalikan lagi kepada rakyat Aceh, karena tidak sesuai dan melanggar Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan "Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan".

Coba saja perhatikan dan pelajari secara mendalam apa yang dipidatokan oleh Presiden Megawati: "Kita bahkan menandatangani perjanjian penghentian permusuhan di Jenewa.....Pemerintah telah banyak mengakomodasikan persyaratan dan tuntutan yang diajukan oleh gerakan separatis ini, sehingga tidak jarang pemerintah mendapat kritik pedas dari mereka yang memandang pemerintah telah bersikap terlalu lunak.....Kita akhirnya mengetahui, semua itu ditolak oleh gerakan separatis tersebut. Sikap akomodatif pemerintah juga telah disalah-artikan dan secara curang telah digunakan bukan saja untuk mengkonsolidasi diri dan menambah persenjataan, tetapi juga untuk meningkatkan serangan-serangan yang meluas dan sistematis, baik terhadap pos militer dan polisi serta kantor-kantor pemerintahan, pembakaran gedung-gedung sekolah dan sarana transportasi umum, penculikan dan pembunuhan, pengrusakan sarana-sarana publik, serta pengusiran warga masyarakat dari suku-suku tertentu."

Padahal ketika saya melihat apa yang telah dijalankan oleh pihak Presiden Megawati Cs dan yang telah saya tulis dalam tulisan "[030528] Wirajuda, Yudhoyono, Sutarto dan Ryacudu batalkan perjanjian penghentian permusuhan" ( http://www.dataphone.se/~ahmad/030528.htm ). Sebenarnya bukan pihak Gerakan Aceh Merdeka yang menolak isi perjanjian Geneva itu. Justru pihak Presiden Megawati Cs. Seperti yang telah saya tulis dalam tulisan tersebut

"Sebenarnya gagalnya Pertemuan Dewan Bersama pada 17 - 18 Mei 2003 di Tokyo antara PRI dan GAM adalah memang sudah dirancangkan sebelumnya oleh Menlu Noer Hassan Wirajuda, Menko PolkamYudhoyono, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dan KASAD Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu.

Mereka berempatlah yang telah mengatur taktik dan strategi untuk membatalkan perjanjian penghentian permusuhan Geneva 09-12-2002 antara PRI dan GAM. Karena pihak PRI sudah tidak mampu lagi menjalankan isi perjanjian penghentian permusuhan Geneva 09-12-2002 dan tidak mampu lagi menahan dan membendung masalah Aceh ini dari dunia internasional.

Makin lama masalah Aceh makin melebar dan menjadi masalah internasional yang menurut pandangan mereka berempat diatas adalah sangat merugikan bagi pihak PRI.

Oleh karena itu, salah satu jalan yang paling singkat dan paling pendek adalah membatalkan dan menarik diri dari perjanjian penghentian permusuhan Geneva 09-12-2002 yang telah ditandatangani bersama. Taktik dan strategi penarikan diri dari perjanjian penghentian permusuhan Geneva 09-12-2002 adalah dengan cara menuduh GAM menjalankan taktik penghambatan dan mengultimatum GAM dengan tiga ultimatum sebagaimana yang dinyatakan oleh Menlu Noer Hassan Wirajuda "... I need hardly chronicle the sequence of events, the many dashed hopes for a peaceful solution through the convening of the Joint Council sabotaged by GAM's obstructionist tactics. To the very last moment, the Government of Indonesia, however, actively sought dialogue on the basis of GAM's explicit acceptance of the unitary state of Indonesia, special autonomy as a final solution, and the placement of their weapons...." ( http://www.deplu.go.id/new/briefing_052203.htm )

Menlu Noer Hassan Wirajuda, Menko PolkamYudhoyono, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dan KASAD Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu melihat memang sebenarnya isi dari perjanjian penghentian permusuhan Geneva 09-12-2002 antara PRI dan GAM tidak bisa dilaksanakan dan djalankan dilapangan sebagaimana yang diharapkan. Mereka berempat mengetahui bahwa bukan GAM yang salah melainkan pihak PRI juga melakukan kesalahan dan pelanggaran. Baru perjanjian berjalan 2 bulan beberapa pelanggaran berat telah dilakukan pihak PRI catatatannya dilampirkan dibawah. Dimana kalau kesalahan dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama masa berlakunya perjanjian penghentian permusuhan Geneva 09-12-2002 antara PRI dan GAM kalau dibicarakan di meja Pertemuan Dewan Bersama (Joint Council Meeting) yang memiliki fungsi untuk memecahkan segala persoalan atau perselisihan yang timbul dalam pelaksanaan Perjanjian ini, yang tidak dapat diselesaikan oleh Komisi-Komisi dan Struktur-Struktur lainnya yang dibentuk di bawah Perjanjian ini, maka akan terbongkarlah kesalahan-kesalahan yang telah dibuat dan dilanggar oleh pihak PRI.

Nah, daripada kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan PRI selama masa perjanjian penghentian permusuhan dibongkar dimeja Pertemuan Dewan Bersama (Joint Council Meeting), maka pihak PRI menggunakan pisau pemotong perjanjian yang terselubung dalam Pasal 9: Perubahan atau Pemansuhan Perjanjian, yang berisikan butiran bahwa perjanjian ini hanya dapat diubah melalui kesepakatan antara kedua belah pihak dalam Joint Council. Jika salah satu pihak ingin mengakhiri Perjanjian ini secara sepihak, maka mereka diwajibkan untuk membawa persoalan tersebut terlebih dahulu kepada Joint Council dan ikut serta dan mendukung segala upaya yang dilakukan oleh Joint Council untuk menyelesaikan masalah tersebut dalam jangka waktu yang cukup (tidak kurang dari 30 hari). Jika Joint Council tidak sanggup memecahkan persoalan tersebut, maka salah satu pihak berhak untuk menarik diri dari Perjanjian ini.

Yang dijadikan dasar pihak PRI untuk menarik diri dari perjanjian penghentian permusuhan Geneva 09-12-2002 antara PRI dan GAM adalah pertama GAM melakukan taktik penghambatan perjanjian dan yang kedua menuntut "GAM's explicit acceptance of the unitary state of Indonesia, special autonomy as a final solution, and the placement of their weapons".

Jelas, alasan yang dijadikan dasar oleh pihak PRI tidak bisa diterima oleh GAM, karena sebenarnya yang akan dibicarakan dalam Pertemuan Dewan Bersama (Joint Council Meeting) itu adalah memecahkan segala persoalan atau perselisihan yang timbul dalam pelaksanaan Perjanjian, yang tidak dapat diselesaikan oleh Komisi-Komisi dan Struktur-Struktur lainnya yang dibentuk di bawah Perjanjian penghentian permusuhan Geneva 09-12-2002.

Jadi, jelaslah sudah sebenarnya yang benar-benar ingin menggagalkan perdamaian di Aceh adalah bukan pihak GAM melainkan pihak PRI dengan geng militernya yang disponsori oleh Menko PolkamYudhoyono, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dan KASAD Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu. ( http://www.dataphone.se/~ahmad/030528.htm ).

Begitu juga pada perundingan tanggal 17-18 Mei di Tokyo Jepang yang saya telah tulis dalam tulisan "[030608] Benar Yudhoyono cs, Wirajuda dan Mega gagalkan JCM Tokyo dan kobarkan perang di Aceh " ( http://www.dataphone.se/~ahmad/030608.htm ). Dimana dibawah ini saya kutifkan kembali apa yang memang terjadi dalam perundingan itu.

Sebenarnya seluruh rakyat Aceh dan seluruh rakyat Indonesia perlu mendapat penjelasan yang terang mengenai apa yang sebenarnya telah terjadi di meja perundingan Joint Council Meeting (JCM) atau Pertemuan Dewan Bersama, antara pihak Pemerintah Republik Indonesia (PRI) dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Tokyo pada tanggal 17-18 Mei 2003.

Kelihatannya dari pihak PRI, khususnya dari pihak Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono Cs, Menlu Noer Hassan Wirajuda, Presiden Megawati, Ketua DPR Akbar Tandjung, Ketua MPR Amien Rais, dan Ketua Komisi I DPR Ibrahim Ambong telah menutupkan tirai hitam pekat diatas meja perundingan Joint Council Meeting (JCM) atau Pertemuan Dewan Bersama, antara pihak Pemerintah Republik Indonesia (PRI) dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Tokyo pada tanggal 17-18 Mei 2003.

Sehingga seluruh rakyat Aceh dan seluruh rakyat Indonesia terkelabui, dan yang muncul kepermukaan adalah suatu kebohongan dan hasil rekayasa ciptaan Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono Cs, Menlu Noer Hassan Wirajuda, dan Presiden Megawati. Dan tentu saja hampir seluruh rakyat Indonesia menganggap benar apa yang telah dilancarkan oleh pihak Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono Cs, Menlu Noer Hassan Wirajuda, dan Presiden Megawati dalam bentuk pengobaran perang yang dilandasi oleh sumber hukum Keputusan Presiden RI nomor 28 tahun 2003 tentang pernyataan keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Padahal sebenarnya kalau kita gali sedikit lebih dalam, ternyata terbukalah bahwa sebenarnya justru dari pihak Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono Cs, Menlu Noer Hassan Wirajuda, dan Presiden Megawati yang menggagalkan perundingan Joint Council Meeting (JCM) atau Pertemuan Dewan Bersama, antara pihak Pemerintah Republik Indonesia (PRI) dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Tokyo pada tanggal 17-18 Mei 2003 itu.

Coba kita perhatikan apa yang telah disodorkan oleh pihak PRI kemudian kita bandingkan dengan apa yang disodorkan oleh pihak GAM dalam Joint Council Meeting (JCM).

Nah pihak PRI menyodorkan draft :
3 Having reiterated their commitment to the peace process and desire to strengthen the COHA to that end, the Joint Council has agreed to the following:

GAM fully accepts the Special Autonomy status provided by the Nanggroe Aceh Darussalam Law within the framework of the unitary state of the Republic of Indonesia and consequently agrees not to seek the independence of Aceh; In this regard, GAM is committed to dropping the armed struggle; to disband the "Tentra Neugara Aceh", and to participate in the political process as stipulated in the COHA;

GAM commits itself to immediately place its weapons, ammunition, and ordnance and to complete the process as scheduled in the COHA; and reciprocally, the GOI commits itself to reposition itself to defensive positions as provided by the COHA. Further, GAM commits itself to cease immediately any efforts to bring additional weapons, ammunition, and ordnance into the Province of Aceh;

Both sides recognize the need to ensure the safety and integrity of all members of the JSC, and reaffirm their role in verifying the implementation of the COHA;
Both sides re-iterate their full commitment to respect the Article 2f and allow civil society to express their respective democratic rights without hindrance, within the framework of the Indonesian Law.
(Draft Statement of the Joint Council as proposed by the Indonesian Government)

Kemudian dari pihak GAM menampilkan draft:
3 Having reiterated their commitment to the peace process and desire to strengthen the COHA to that end, the Joint Council has agreed to the following:

GAM is committed to dropping the armed struggle as stipulated in the relevant clauses of the COHA with all reciprocal measures from the Government of the Republic of Indonesia and to participate in the political process as stipulated in the COHA; and in the context of the COHA will refrain from advocating independence;

GAM commits itself to immediately place its weapons, ammunitions, and ordnance and to complete the process as scheduled in the COHA; and reciprocally, the GOI commits itself to reposition itself to defensive positions as provided by the COHA;

GAM commits itself to cease immediately any efforts to bring in additional weapons, ammunitions, and ordnance in the Acheh, and the GOI commits itself to return immediately its forces in Acheh to pre-December, 2002, levels;
(Draft Statement of the Joint Council accepted by GAM, Proposed by the members of the Tokyo Conference on Peace and Reconstruction in Acheh (Japan, US, EU and World Bank )and the Henry Dunant Centre for Humanitarian Dialogue, Tokyo, Japan. 18 May 2003).

Nah dari draft yang diajukan oleh kedua belah pihak ada satu hal yang sangat bertolak belakang dan bertentangan dengan apa yang telah disepakati dan ditandatangani dalam perjanjian Penghentian Permusuhan Rangka Perjanjian Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Gerakan Acheh Merdeka, 9 Desember 2002 di Geneva, yaitu statement yang diajukan oleh pihak PRI yang dicantumkan dalam point nomor 3 bagian a yang berbunyi

"GAM fully accepts the Special Autonomy status provided by the Nanggroe Aceh Darussalam Law within the framework of the unitary state of the Republic of Indonesia and consequently agrees not to seek the independence of Aceh; In this regard, GAM is committed to dropping the armed struggle; to disband the "Tentra Neugara Aceh", and to participate in the political process as stipulated in the COHA;"

Padahal apa yang telah disepakati dan ditandatangani dalam perjanjian Penghentian Permusuhan Rangka Perjanjian Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Gerakan Acheh Merdeka, 9 Desember 2002 di Geneva tercantum dalam mukaddimah dengan jelas bahwa :

"Pemerintah Republik Indonesia (PRI) dan Gerakan Acheh Merdeka (GAM) telah terlibat dalam suatu proses dialog sejak bulan Januari 2000 dan setuju bahwa yang menjadi prioritas di Acheh adalah keamanan dan kesejahteraan rakyat dan dengan demikian sependapat akan perlunya menemukan segera suatu penyelesaian damai bagi konflik di Acheh. Pada tanggal 10 Mei 2002, PRI dan GAM telah mengeluarkan sebuah Pernyataan Bersama (Joint Statement) seperti dibawah ini:

Berdasarkan penerimaan Undang-Undang NAD sebagai langkah awal (starting point), sebagaimana yang dibicarakan pada tanggal 2-3 Februari 2002, menuju suatu musyawarah yang menyeluruh (all-inclusive dialogue) yang demokratis dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat Acheh yang akan difasilitasikan oleh HDC di Acheh. Proses ini bertujuan untuk menelaah kembali (review) elemen-elemen Undang-Undang NAD melalui ungkapan pendapat rakyat Acheh secara bebas dan. aman. Ini akan menuju kepada suatu pemilihan pemerintahan yang demokratis di Acheh, Indonesia.
(Penghentian Permusuhan Rangka Perjanjian Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Gerakan Acheh Merdeka, 9 Desember 2002 di Geneva).

Nah sekarang ternyata terlihat jelas bahwa sebenarnya masalah penerimaan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah bisa dilaksanakan setelah rakyat Aceh menelaah kembali elemen-elemen Undang-Undang NAD ini melalui ungkapan pendapat rakyat Acheh lewat jalur musyawarah yang menyeluruh dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat Acheh dengan difasilitasikan oleh HDC di Acheh secara bebas dan aman dalam rangka membangun pemerintahan yang yang demokratis di Acheh.

Jadi sekarang sudah jelas bahwa apa yang tercantum dalam point nomor 3 bagian a yang disodorkan oleh Pemerintah RI dalam perundingan Joint Council Meeting (JCM) atau Pertemuan Dewan Bersama, antara pihak Pemerintah Republik Indonesia (PRI) dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Tokyo pada tanggal 17-18 Mei 2003 itu, sudah keluar dari apa yang telah disepakati dan ditandatangai bersama dalam perundingan Penghentian Permusuhan Rangka Perjanjian Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Gerakan Acheh Merdeka, 9 Desember 2002 di Geneva. Padahal dalam perundingan Joint Council Meeting (JCM) atau Pertemuan Dewan Bersama itu telah disebutkan ddan dinyatakan bahwa "Having reiterated their commitment to the peace process and desire to strengthen the COHA to that end, the Joint Council".

Karena itu sekarang kita sudah bisa menarik gambaran dan kesimpulan yang jelas bahwa sebenarnya pihak Pemerintah RI dibawah komando Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono Cs, Menlu Noer Hassan Wirajuda, dan Presiden Megawati yang menggagalkan perundingan Joint Council Meeting (JCM) atau Pertemuan Dewan Bersama, antara pihak Pemerintah Republik Indonesia (PRI) dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Tokyo pada tanggal 17-18 Mei 2003 yang bertolak belakang dengan apa yang telah disepakati dalam perjanjian Penghentian Permusuhan Rangka Perjanjian Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Gerakan Acheh Merdeka, 9 Desember 2002 di Geneva.

Dan tentu saja yang bertanggung jawab atas perang dan kehancuran yang terjadi dan menimpa seluruh rakyat Aceh adalah pihak Pemerintah Indonesia bukan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Akhirnya memang terbukti akhirnya Presiden Megawati setelah menggagalkan perundingan di Tokyo, Jepang, langsung saja meluncurkan Keputusan Presiden RI nomor 28 tahun 2003 tentang pernyataan keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dikeluarkan pada tanggal 18 Mei 2003 dan diberlakukan pada tanggal 19 Mei 2003 selama 6 bulan, sebagaimana yang dipidatokannya: "Karena itu pula, dengan memperhatikan seluruh amanah Majelis ataupun berbagai pandangan yang dikemukakan keluarga besar bangsa ini, termasuk setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, maka setelah menilai bahwa tidak ada manfaatnya lagi untuk melanjutkan perundingan dengan gerakan separatis bersenjata GAM tersebut, pemerintah memutuskan untuk melancarkan operasi terpadu."

Presiden Megawati bukan hanya meluncurkan Keputusan Presiden RI nomor 28 tahun 2003, melainkan juga menuduh pihak Gerakan Aceh Merdeka dengan tuduhan: "Akhir-akhir ini terdapat indikasi bahwa serangan yang menjurus teror tersebut bahkan meluas ke daerah lain. Dengan serangan dan tindakan seperti itu, sesungguhnya telah terpenuhi kemungkinan untuk menyatakan bahwa gerakan separatis bersenjata GAM telah melakukan kejahatan kemanusiaan yang berat"

Tentu saja, kalau saya melihat dan memperhatikan apa yang dipidatokan oleh Presiden Megawati ini, tidak lebih dan tidak kurang, sebagaimana yang selalu saya katakan dalam tulisan-tulisan saya sebelum ini, yaitu:

Pihak Presiden Megawati, Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono Cs, Menlu Noer Hassan Wirajuda, KASAD Jenderal TNI Ryamizard, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, Ketua DPR Akbar Tandjung, Ketua MPR Amien Rais, Ketua Komisi I DPR Ibrahim Ambong, dan Mayjen TNI Endang Suwarya tetap saja menutup mata, menyumbat telinga dan mendindingi hati, maka usaha rakyat Aceh yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Hasan di Tiro menuntut keadilan melalui tuntutan negeri Aceh yang diduduki Soekarno dikembalikan lagi kepada rakyat Aceh, karena tidak sesuai dan melanggar Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan "Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan", dikatakan pihak Presiden Megawati: "Akhir-akhir ini terdapat indikasi bahwa serangan yang menjurus teror tersebut bahkan meluas ke daerah lain".

Nah terakhir, memang pihak Presiden Megawati, Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono Cs, Menlu Noer Hassan Wirajuda, KASAD Jenderal TNI Ryamizard, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, Ketua DPR Akbar Tandjung, Ketua MPR Amien Rais, Ketua Komisi I DPR Ibrahim Ambong, Mayjen TNI Endang tidak mampu lagi dan sudah tidak berkutik menghadapi serangan pihak luar yang menampilkan semua fakta, sejarah dan hukum yang mendasari waktu berlangsungnya sejarah pendudukan negeri Aceh ditunjang juga oleh dasar hukum internasional Resolusi PBB Nomor 2621 (XXV) tanggal 12 Oktober 1970 dan Resolusi PBB Nomor 2711 (XXV) tanggang 14 Desember 1970.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
----------

PIDATO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA SIDANG TAHUNAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Jakarta, 1 Agustus 2003
..........
Laporan tahunan ini saya susun dengan memperhatikan berbagai Ketetapan Majelis, utamanya Ketetapan Nomor II dan Nomor VI Tahun 2002, yang secara kebetulan, pengelompokannya berjalan seiring dengan pelaksanaan enam program Kabinet Gotong Royong yang saya pimpin. Sekedar penyegar ingatan, enam program kabinet tersebut pokok-pokoknya adalah: 1) Persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka keutuhan Negara Kesatuan; 2) Reformasi, demokratisasi, dan penghormatan hak asasi manusia; 3) Normalisasi kehidupan ekonomi rakyat; 4) Penegakan hukum, rasa aman, tentram dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme; 5) Politik luar negeri yang bebas aktif, pemulihan martabat bangsa dan negara serta kepercayaan asing; dan 6) Persiapan Pemilihan Umum 2004. Sesuai dengan waktu yang tersedia, izinkanlah saya merangkumnya dalam tiga bidang, yaitu bidang politik dan keamanan, bidang ekonomi keuangan, dan bidang kesejahteraan rakyat.

Di bidang Politik dan Keamanan, sebagai tindak lanjut berbagai pasal Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen, bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah telah menyelesaikan tiga buah undang-undang bidang politik yang penting, yaitu Undang-undang tentang Pemilihan Umum, Undang-undang tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta Undang-undang tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Dalam satu tahun terakhir, perkembangan masalah politik dan keamanan yang paling mengemuka adalah pernyataan keadaan darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2003 yang merujuk pada Undang-undang No. 23 Prp. Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Berdasar pernyataan keadaan darurat militer ini telah dibentuk Penguasa Darurat Militer, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang selama enam bulan bertugas menormalisasikan keadaan melalui operasi terpadu. Sampai saat ini operasi terpadu tersebut sudah berjalan selama 76 hari, dan meskipun sejumlah sasaran telah dicapai dengan baik, pemerintah terus melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan dan efektifitasnya.
Sesuai dengan namanya, keadaan darurat militer bukanlah keadaan normal. Dalam beberapa hal terpaksa diadakan pembatasan terhadap hal-hal yang lazim kita lakukan dalam keadaan biasa. Oleh karena itu, semakin cepat kita menormalkan kembali keadaan akan makin baik. Seperti Saudara-saudara ketahui, pernyataan keadaan darurat militer ini dilakukan dengan amat berat hati, bukan hanya dari visi nasional, tetapi juga dari kepentingan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam sendiri.

Sebelum ini, dalam waktu yang cukup panjang, dan dengan cara yang persuasif dan akomodatif, yang kadangkala malah terasa tidak sesuai dengan norma yang wajar dalam perlakuan negara terhadap pelaku insurjensi bersenjata, pemerintah telah mengadakan perundingan di luar negeri dengan wakil-wakil gerakan separatis bersenjata Gerakan Aceh Merdeka. Sesuai pula dengan amanah Majelis, pemerintah menawarkan penyelesaian dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, otonomi khusus, dan dilakukannya pengumpulan senjata oleh gerakan separatis tersebut. Kita bahkan menandatangani perjanjian penghentian permusuhan di Jenewa. Dalam perjanjian tersebut, pemerintah telah banyak mengakomodasikan persyaratan dan tuntutan yang diajukan oleh gerakan separatis ini, sehingga tidak jarang pemerintah mendapat kritik pedas dari mereka yang memandang pemerintah telah bersikap terlalu lunak. Pemerintah menerima dengan ikhlas seluruh kritik pedas tersebut, karena kita sungguh ingin dapat menyelesaikan konflik bersenjata ini dengan cara damai.

Kita akhirnya mengetahui, semua itu ditolak oleh gerakan separatis tersebut. Sikap akomodatif pemerintah juga telah disalah-artikan dan secara curang telah digunakan bukan saja untuk mengkonsolidasi diri dan menambah persenjataan, tetapi juga untuk meningkatkan serangan-serangan yang meluas dan sistematis, baik terhadap pos militer dan polisi serta kantor-kantor pemerintahan, pembakaran gedung-gedung sekolah dan sarana transportasi umum, penculikan dan pembunuhan, pengrusakan sarana-sarana publik, serta pengusiran warga masyarakat dari suku-suku tertentu. Akhir-akhir ini terdapat indikasi bahwa serangan yang menjurus teror tersebut bahkan meluas ke daerah lain. Dengan serangan dan tindakan seperti itu, sesungguhnya telah terpenuhi kemungkinan untuk menyatakan bahwa gerakan separatis bersenjata GAM telah melakukan kejahatan kemanusiaan yang berat.

Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas menyatakan bahwa adalah tugas pemerintah untuk melindungi seluruh bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 juga dengan tegas mengamanatkan tidak ada lagi perubahan terhadap bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu pula, dengan memperhatikan seluruh amanah Majelis ataupun berbagai pandangan yang dikemukakan keluarga besar bangsa ini, termasuk setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, maka setelah menilai bahwa tidak ada manfaatnya lagi untuk melanjutkan perundingan dengan gerakan separatis bersenjata GAM tersebut, pemerintah memutuskan untuk melancarkan operasi terpadu.

Walaupun di sana-sini telah terjadi kesalahan dan pelanggaran dalam operasi terpadu tersebut, yang telah diambil tindakan hukum dengan cepat terhadap para pelakunya, melalui forum ini izinkanlah saya menyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh pihak, utamanya masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang telah membantu terlaksananya operasi terpadu dengan baik.

Saya juga menyampaikan terimakasih kepada Pemerintah Kerajaan Swedia yang telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dan komitmen untuk mengambil tindakan hukum atas keterlibatan beberapa orang warganegaranya asal Aceh yang merupakan pemimpin dan penggerak makar yang berbahaya ini. Terimakasih yang sama juga saya tujukan kepada negara-negara sahabat yang tetap menghormati integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Saya juga memberikan penghargaan kepada masyarakat Aceh, yang bukan saja terus memberikan dukungan kepada Pemerintah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi juga telah secara aktif menggunakan haknya untuk membela diri dan kehormatan pribadi, dengan melancarkan perlawanan terhadap anggota gerakan separatis ini. Pada peringatan Hari Ulang Tahun Kepolisian Negara Republik Indonesia awal Juli yang lalu, saya telah meminta kepada seluruh jajaran kepolisian agar memberikan bantuan untuk terwujudnya hak asasi warganegara ini, dalam konteks sistem pertahanan keamanan rakyat semesta yang kita anut.

Dengan segala keterbatasan yang ada, tugas tersebut telah dilaksanakan secara baik oleh para prajurit TNI dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menangani operasi militer dan operasi penegakan hukum, dan oleh aparat pemerintahan sipil yang menangani operasi pemulihan pemerintahan dan operasi kemanusiaan. Daerah-daerah yang selama ini dikuasai oleh gerakan separatis bersenjata GAM, secara berangsur-angsur telah dipulihkan dan ditempatkan kembali di bawah kendali pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dibantu oleh Penguasa Darurat Militer setempat. Untuk itu, atas nama bangsa dan negara, saya menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan terimakasih kepada semua prajurit TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta seluruh jajaran pemerintahan di pusat ataupun daerah, atas pengabdian dan pengorbanan yang mereka berikan kepada bangsa dan negara.

Pemerintah tidak berkeinginan untuk memperlakukan keadaan darurat tersebut secara berkepanjangan. Pemerintah memperhatikan dengan sungguh-sungguh, menghargai, dan menyambut baik himbauan berbagai kalangan, baik di dalam maupun di luar negeri, agar konflik bersenjata dihentikan dan perundingan dibuka kembali.

Namun terlaksana atau tidaknya himbauan tersebut jelas tidak bergantung kepada pemerintah sendiri. Pepatah kita mengatakan bahwa bertepuk tidak bisa dengan sebelah tangan. Dari sisi pemerintah, telah berulang kali disampaikan ajakan dan himbauan kepada seluruh pimpinan dan personil gerakan separatis bersenjata tersebut di manapun mereka berada, untuk meletakkan senjata dan kembali ke kehidupan yang normal.

Bersamaan dengan mulai berangsur baiknya keadaan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dapat saya laporkan dicapainya pula kemajuan dalam bidang keamanan di daerah-daerah lain yang pernah mengalami gangguan keamanan, seperti di sebagian wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, serta Papua. Kemajuan dalam bidang keamanan tersebut telah ditindaklanjuti dengan normalisasi pemerintahan dan penegakan hukum, agar seluruh masyarakat dapat secepatnya melakukan kegiatannya sehari-hari dalam keadaan yang normal, bebas dari rasa takut.

Masalah khusus keamanan yang memerlukan perhatian kita adalah penyelesaian aksi teror kasus peledakan bom di kawasan Kuta, Bali, yang terjadi tahun lalu. Saya percaya bahwa Saudara-saudara sekalian telah mengikuti dengan cermat, bukan saja peristiwanya, tetapi juga penyidikan dan pengungkapannya oleh jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, penuntutannya oleh Kejaksaan, serta peradilannya oleh Pengadilan. Saudara-saudara juga sudah mengikuti materi dan argumen pembelaan para terdakwa dan pengacara yang bersangkutan. Sekali lagi saya menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada seluruh jajaran aparat penegak hukum atas kerja keras dan pengabdian mereka.

Sekarang suka atau tidak suka, percaya atau tidak percaya, dari keseluruhan pengungkapan aksi teror tersebut kita mengerti bahwa negeri kita ternyata bukan saja telah menjadi sasaran aksi terorisme internasional, tetapi juga merupakan asal sebagian aktor perencana, pelaku, serta pendukungnya. Jumlah mereka yang terlibat dalam aksi teror ini tidaklah banyak, tetapi kefanatikan mereka secara membuta kepada dogma yang bersifat ekstrim, yang tidak menghargai nyawa serta hak milik orang lain, dan tidak membeda-bedakan sasarannya, dan kemampuan untuk mengunakan bahan peledak, serta meletakkannya dengan sengaja di tempat-tempat umum, benar-benar telah menyebabkan cabang domestik dari gerakan terorisme internasional ini merupakan ancaman yang mengerikan. Untuk kepentingan orang banyak adalah layak, bahkan harus diambil tindakan untuk membongkar jaringan teroris ini sampai ke akar-akarnya.

Walaupun seluruh aktor yang terlibat ini mengaitkan dirinya dengan ajaran agama Islam, namun jelas bahwa baik agama Islam maupun umat Islam tidak ada kaitannya dengan aksi teror mereka. Baik jajaran pemerintah, maupun para penegak hukum serta umat Islam sendiri membedakan dua hal tersebut dengan tegas.

Mungkin itulah sebabnya mengapa langkah-langkah mendasar yang diambil Pemerintah untuk menanggulangi ancaman teror ini bukan saja memperoleh pengertian yang luas, tetapi juga memperoleh persetujuan. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 telah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2002. Dengan demikian, pemerintah telah dibekali dengan dasar hukum yang kuat untuk mencegah serta menanggulangi aksi terorisme ini.

Berhasil tidaknya keseluruhan program dalam bidang keamanan ini juga akan banyak tergantung pada keberhasilan kita dalam membangun dan mereposisikan TNI dan Kepolisian berdasar arahan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000. Program tersebut sudah dilaksanakan dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Pada saat ini sedang disiapkan Rancangan Undang-undang tentang Tentara Nasional Indonesia..........(Pidato Presiden Republik Indonesia pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, 1 Agustus 2003).